Technische Faculteit, Nood-Universiteit van Nederlandsch-Indië
Nood-Universiteit van Nederlandsch Indie biasa disingkat Nood-universiteit yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah Universitas Darurat Hindia Belanda adalah universitas yang dibuka Nederlandsch Indië Civil Administratie - NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) pada tanggal 21 Januari 1946 di Kota Jakarta dan Bandung dalam upaya menunjukkan kembali eksistensinya terutama dalam bidang pendidikan di Indonesia.[1][note 1] SejarahSebelum pendudukan Jepang ke Indonesia (1942-1945) pihak Hindia Belanda sudah memutuskan untuk mendirikan sebuah universitas yang merupakan gabungan tiga sekolah tinggi yang sebelumnya sudah berdiri yaitu Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS - Sekolah Tinggi Teknik di Bandung - sekarang ITB sejak tahun 1920); Rechtshoogeschool te Batavia (RHS - Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - sejak tahun 1924); dan Geneeskundige Hoogeschool (GHS - Sekolah Tinggi Kedokteran - sekarang FKUI - sejak tahun 1927); ditambah dua fakultas baru yaitu Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (fakultas sastra dan filsafat - sejak tahun 1940) dan Faculteit der Landbouwwetenschap (fakultas pertanian - sekarang IPB - sejak tahun 1940). Pada tanggal 12 Desember 1941 Gubernur Jenderal di hadapan Volksraad (Dewan Rakyat) telah menyajikan sebuah rancangan ordonansi dengan nota penjelasan untuk mendirikan sebuah Universiteit van Nederlandsch Indie (Universitas Hindia Belanda). Volksraad menyetujui dengan rencana pendirian tersebut dan ordonansi akan segera diundangkan oleh Gubernur Jenderal dalam Staatsblad (Lembaran Negara) pada awal tahun 1942, jika invasi Jepang tidak menjadi kenyataan.[3] Namun ternyata sejarah berkata lain, 8 Desember 1941 Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Setelah mengalami kekalahan di berbagai pertempuran, pada tanggal 8 Maret 1942 pasukan Sekutu di Indonesia menyerah. Universiteit van Nederlandsch Indie urung untuk didirikan.[3] Pendudukan Jepang secara resmi berakhir dengan menyerahnya Jepang di Pasifik tanggal 15 Agustus 1945. Selama di dalam kamp interniran, orang Belanda tetap berusaha menyelenggarakan pendidikan.[3] Setelah Jepang menyerah, maka tercetus keinginan untuk meneruskan kembali rencana sebelum perang untuk membuka universitas. Direktur Pengajaran mengambil inisiatif, dengan kekuatan kecil dari sisa-sisa staf pengajar fakultas kedokteran Geneeskundige Hoogeschool (GHS), fakultas hukum Rechtshoogeschool (RHS), fakultas sastra, fakultas pertanian dan fakultas teknik dari Technische Hoogeschool (THS) berkumpul bersama di sebuah toko kacamata tua. Baas Becking mengatakan tentang sejenis universitas darurat (nooduniversiteit) yang pernah dilaksanakan di Eindhoven selama 26 Februari hingga 20 December 1945.[3] Akhirnya pada tanggal 21 Januari 1946 Petrus Adrianus Kerstens, fd. Directeur van Onderwijs & Eeredienst (Pejabat Direktur Jawatan Pengajaran dan Agama), mewakili Indische Regering (Pemerintah Hindia) membuka Nood-Universiteit di Rumah Sakit Cikini, Jl. Raden Saleh Jakarta.[1] Saat pembukaannya diumumkan, Nood-Universiteit terdiri dari 5 fakultas, yaitu:[1]
Kesulitan pertama Nood-Universiteit adalah mengambil alih kembali aset Hindia Belanda sebelum perang, di mana setelah Jepang kalah dan kemudian dilanjutkan proklamasi kemerdekaan, hampir semua aset bangunan berada di tangan pihak "Merah Putih" - Republik Indonesia. Cara okupasinya cukup dengan selembar kertas bertuliskan: "Hak Milik Repoebliek Indonesia" seperti dilakukan di Rumah Sakit Universitas (sekarang RSCM) dan Sekolah Tinggi Kedokteran ditempatkan, suatu metode sederhana namun efektif untuk transfer kepemilikan. Dalam keadaan darurat, maka digunakanlah Rumah Sakit swasta Tjikini, yang baru diperluas untuk kapasitas 350 tempat tidur dan sebagian lagi oleh mahasiswa itu sendiri.[3] Perkuliahan di Nood-Universiteit diadakan di ruangan dan di kapel Rumah Sakit Cikini tersebut, karena gedung yang dikenal sekarang sebagai Gedung Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jl. Salemba Raya No. 6, pada waktu itu ditempati oleh Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Gabungan Fakultas Hukum dan Fakultas Sastra dan Filsafat menggunakan beberapa ruangan kelas dan sebuah perpustakaan di sebuah gedung pemerintah.[3] Sementara pihak Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS - sekarang menjadi Kampus ITB) telah menawarkan bangunannya sendiri untuk Technische Faculteit dari Nood-Universiteit, setidaknya itu yang tersisa setelah pendudukan Jepang, yang kemudian diambil alih gurkha setelah kekalahan Jepang.[3] Komposisi staf pengajar Nood-Universiteit sebagai berikut:
Pada tanggal 1 Januari 1948 rasio mahasiswa adalah 67,9% orang Tionghoa, 22,3% orang Eropa, dan 9,8% orang Indonesia.[4] Sementara sumber lain menyatakan bahwa jumlah mahasiswa yang tercatat saat Nood-Universiteit dibuka sebanyak 221 orang, terdiri dari 104 mahasiswa Belanda, 103 mahasiswa Tionghoa, dan 14 mahasiswa Indonesia. Pada bulan April 1946 jumlahnya meningkat menjadi 450 mahasiswa dengan staf pengajar sejumlah 64 orang.[3] Jumlah mahasiswa yang terdaftar pada Januari 1946 adalah:[5]
Sedikitnya jumlah mahasiswa Indonesia yang memungkinkan pendaftaran - sekitar dua puluh, dibandingkan dengan lebih dari 200 orang Belanda dan lebih dari 200 orang Tionghoa dapat dimengerti. Suasana perang kemerdekaan, dan adanya dua pemerintahan (Republik Indonesia Jakarta - Jogjakarta di satu sisi dan NICA di sisi lain) tentunya memberikan beban psikologis bagi orang Indonesia yang datang ke suatu lembaga Belanda. Situasi keamanan juga menuntut para mahasiswa tinggal di dalam asrama yang dijaga oleh tentara British Indian (Gurkha).[3] Organisasi universitas ini menggunakan model seperti universitas di Amerika di mana semua fakultas dikoordinasikan oleh Presiden Universitas. Selama perjalanan sejarahnya terdapat tiga orang yang menjabat Presiden Nood-Universiteit yaitu:
Technische FaculteitSampai dengan bulan Desember 1946, konfirmasi resmi mengenai pengangkatan dosen untuk penambahan staf pengajar Technische Hoogeschool te Bandoeng belum sepenuhnya selesai.
Tambahan dosen yang diharapkan dapat didatangkan dari Belanda di antaranya Dr. P. van der Leeden, yang akan menggantikan Prof. Dr. H. R. Woltjer untuk mengajar fisika, dan Ir. Hoytema untuk kuliah arsitektur. Jumlah staf pengajar yang terdaftar ada delapan "dosen sementara", dan lima "pejabat sementara" lektor. Dari 13 guru besar tetap dan guru besar luar biasa pada tahun 1942, hanya empat orang yang terdaftar yaitu Prof. Ir. J. W. F. C. Proper - ketua Fakultas, Prof. Dr. Ir. G. Otten, Prof. Ir. P. H. Poldervaart, dan Prof. Ir. M. E. Akkersdijk. Sementara belum ada kepastian mengenai kembalinya beberapa guru besar yang masih tinggal di Belanda. Sejak tahun 1942, dua profesor dan seorang lektor luar biasa telah meninggal dunia.[10] Dua guru besar yang dimaksud adalah Prof. Ir. Albert Sybrandus Keverling Buisman dan Prof. Ir. W. Lemei, sedangkan lektor luar biasa yang telah meninggal dunia adalah Ir. Herman Thomas Karsten.[11] Sementara sumber lain menyatakan, pada saat ditutupnya TH Bandung tanggal 8 Maret 1942 korps guru besar terdiri dari 17 orang. Selama masa pendudukan Jepang, tiga orang telah meninggal. Sebuah gambaran serupa juga terjadi pada korps lektor, asisten dan tenaga staf teknis menengah. Masalah pertama adalah, tentu saja, pengangkatan profesor, lektor dan anggota lain dari staf akademik dan teknis. Pada tahun-tahun 1946 dan 1947 sebagian besar pendidikan diberikan oleh para dosen temporer/sementara yang bertugas melaksanakan fungsi utama pendidikan tanpa bantuan siapapun.[12] Para staf pengajar "sementara" di antaranya:[13]
Selanjutnya pada tahun 1946 keadaan sarana prasarana bangunan, lahan, furnitur, peralatan dan perpustakaan dalam kondisi rusak parah dan telantar. Oleh karena itu persoalan terbesar adalah bagaimana membangun kembali/rekonstruksi kondisi seperti masa sebelum perang. Selain itu juga perlu dipastikan pasokan air, gas dan listrik untuk seluruh kompleks bangunan tersebut.[12] Dalam kondisi darurat tersebut, jurusan yang diselenggarakan adalah Teknik Sipil, Teknik Kimia, dan Teknik Mesin - sesuai bagian-bagian yang terakhir diselenggarakan pada masa TH Bandung.[12] Dalam buku alumni ITB 1920-1979 pada tahun 1946 tercatat tujuh insinyur sipil diluluskan[14] , mereka adalah mahasiswa TH Bandung yang pada saat ditutupnya tahun 1942 sudah berada di tingkat-tingkat akhir masa studinya. Opleiding voor Glasblazers en InstrumentmakersSelain pendidikan insinyur, di Kampus Ganesha juga dibuka Opleiding voor Glasblazers en Instrumentmakers yang merupakan "kursus untuk mendidik ahli peniup gelas dan pembuat instrumen" yang dibuka kembali pada tanggal 15 November 1946 di Technische Hoogeschool te Bandoeng setelah ditutup pada tahun 1942. Kursus swasta ini dikelola dan berafiliasi kepada Bosscha Natuurkunde Laboratorium (Laboratorium Fisika Bosscha). Syarat pendaftarannya adalah lulusan sekolah dasar (lagere school).[15] Di kemudian hari, kursus ini berkembang menjadi "Sekolah Ahli Instrumen Gelas" (SAIG) - sekolah setingkat SMK di bawah pengelolaan Jurusan Teknik Fisika ITB, sekarang berupa "Pelatihan Produksi Instrumen Gelas" yang dikelola Pusat Teknologi Instrumentasi dan Otomasi ITB.[16] Dekan Fakultas Teknik BandungDekan Fakultas Teknik atau Voorzitter der Technische Faculteit te Bandoeng sampai dengan berakhirnya periode Nood-Universiteit adalah Prof. Ir. Paulus Pieter Bijlaard (21 Januari 1946 – 1 September 1947)[note 2] - Guru besar Teknik Sipil bidang Bangunan Jalan dan Jembatan, yang pada periode 31 Juli 1936 - 14 Agustus 1937 menjabat Rektor/Voorzitter der Faculteit van Technische Wetenschap TH Bandung. CatatanRujukan
Pranala luar
|