Sejarah Kota Banjarmasin

Sketsa peta Kota Banjarmasin dan sekitarnya pada masa Hindia Belanda (circa 1916)

Sejarah Kota Banjarmasin bermula dari sebuah perkampungan dataran rendah bernama "Banjarmasih" yang ditahbiskan pada tanggal 24 September 1526. Pada tanggal

tersebut-lah, 24 September ditetapkan sebagai hari jadi Kota Banjarmasin.

Garis waktu

Tahun 1520-1860

Tahun 1900-2005

Rumah orang Belanda di Banjarmasin (tahun 1900-an)

Banjarmasin pada Masa Kesultanan Banjar

Oloh Masih

Perahu Tambangan bersampung bengkok (melengkung) yang sekarang sudah punah

Banjarmasih adalah nama kampung yang dihuni suku Melayu. Kampung ini terletak di bagian utara muara sungai Kuin, yaitu kawasan Kelurahan Kuin Utara dan Alalak Selatan saat ini. Kampung Banjarmasih terbentuk oleh lima aliran sungai kecil, yaitu sungai Sipandai, sungai Sigaling, sungai Keramat, sungai Jagabaya dan sungai Pangeran yang semuanya bertemu membentuk sebuah danau. Kata banjar berasal dari bahasa Melayu yang berarti kampung atau juga berarti berderet-deret sebagai letak perumahan kampung berderet sepanjang tepian sungai. Banjarmasih berarti kampung orang-orang Melayu, sebutan dari dari orang Ngaju (suku Barangas) yang menghuni kampung-kampung sekitarnya.

Penduduk Banjarmasih dikenal sebagai Oloh Masih yang artinya orang Melayu, sebutan oleh Oloh Ngaju (oloh = orang, ngaju = hulu) tersebut. Pemimpin masyarakat Oloh Masih disebut Patih Masih yang nama sebenarnya tidak diketahui. Menurut Hikayat Banjar, ketika menjadi ibu kota kerajaan (1520), Banjarmasin memiliki pelabuhan perdagangan yang disebut Bandar yang letaknya di tepi sungai Martapura di sebelah hulu dari muara sungai Kelayan.[butuh rujukan]

Keraton Banjarmasih 1526-1612

Rumah Adat Kota Banjarmasin

Pada abad ke-16 muncul Kerajaan Banjarmasih dengan raja pertama Raden Samudera, seorang pelarian yang terancam keselamatannya oleh pamannya Pangeran Tumenggung yang menjadi raja Kerajaan Negara Daha sebuah kerajaan Hindu di pedalamam (Hulu Sungai). Kebencian Pangeran Tumenggung terjadi ketika Maharaja Sukarama masih hidup berwasiat agar cucunya Raden Samudera yang kelak menggantikannya sebagai raja. Raden Samudera sendiri adalah putra dari Puteri Galuh Intan Sari, anak perempuan Maharaja Sukarama. Atas bantuan Arya Taranggana, mangkubumi negara Daha, Raden Samudera melarikan diri ke arah hilir sungai Barito yang kala itu terdapat beberapa kampung di antaranya kampung Banjarmasih.

Patih Masih dan para patih (kepala kampung) sepakat menjemput Raden Samudera yang bersembunyi di kampung Belandean dan setelah berhasil merebut Bandar Muara Bahan di daerah Bakumpai, yaitu bandar perdagangan negara Daha dan memindahkan pusat perdagangan ke Banjarmasih beserta para penduduk dan pedagang, kemudian menobatkan Raden Samudera menjadi raja dengan gelar Pangeran Samudera. Hal ini menyebabkan peperangan dan terjadi penarikan garis demarkasi dan blokade ekonomi dari pantai terhadap pedalaman. Pangeran Samudera mencari bantuan militer ke berbagai wilayah pesisir Kalimantan, yaitu Kintap, Satui, Swarangan, Asam Asam, Laut Pulo, Pamukan, Pasir, Kutai, Berau, Karasikan, Biaju, Sebangau, Mendawai, Sampit, Pembuang, Kota Waringin, Sukadana, Lawai dan Sambas. Hal ini untuk menghadapi Kerajaan Negara Daha yang secara militer lebih kuat dan penduduknya kala itu lebih padat. Bantuan yang lebih penting adalah bantuan militer dari Kesultanan Demak yang hanya diberikan kalau raja dan penduduk memeluk Islam. Kesultanan Demak dan dewan Walisanga kala itu sedang mempersiapkan aliansi strategis untuk menghadapi kekuatan kolonial Portugis yang memasuki kepulauan Nusantara dan sudah menguasai Kesultanan Malaka.

Sultan Trenggono mengirim seribu pasukan dan seorang penghulu Islam, yaitu Khatib Dayan yang akan mengislamkan raja Banjarmasih dan rakyatnya. Pasukan Pangeran Samudera berhasil menembus pertahanan musuh. Mangkubumi Arya Taranggana menyarankan rajanya daripada rakyat kedua belah pihak banyak yang menjadi korban, lebih baik kemenangan dipercepat dengan perang tanding antara kedua raja. Tetapi pada akhirnya Pangeran Tumenggung akhirnya bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera.

Dengan kemenangan Pangeran Samudera dan diangkutnya rakyat negara Daha (orang Hulu Sungai) dan penduduk Bandar Muara Bahan (orang Bakumpai) maka muncullah kota baru, yaitu Banjarmasih yang sebelumnya hanya sebuah desa yang berpenduduk sedikit. Pada 24 September 1526 bertepatan tanggal 6 Zulhijjah 932 H, Pangeran Samudera memeluk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah (1526-1550). Rumah Patih Masih dijadikan keraton, juga dibangun paseban, pagungan, sitilohor (sitihinggil), benteng, pasar dan masjid (Masjid Sultan Suriansyah). Muara sungai Kuin ditutupi cerucuk (trucuk) dari pohon ilayung untuk melindungi keraton dari serangan musuh. Di dekat muara sungai Kuin terdapat rumah syahbandar, yaitu Goja Babouw Ratna Diraja seorang Gujarat.[13]

Banjarmasih Sesudah Tahun 1612

Kerajaan Banjarmasih berkembang pesat, Sultan Suriansyah digantikan anaknya Sultan Rahmatullah 1550-1570, selanjutnya Sultan Hidayatullah 1570-1620 dan Sultan Musta'inbillah 1520-1620. Untuk memperkuat pertahanan terhadap musuh, Sultan Mustainbillah mengundang Sorang, yaitu panglima perang suku Dayak Ngaju beserta sepuluh orang lainnya untuk tinggal di keraton. Seorang masuk Islam dan menikah dengan adik sultan, kemunkinan dia masih kerabat dari isteri Sultan, yaitu Nyai Siti Diang Lawai yang berasal dari kalangan suku Dayak. Tahun 1596, Belanda merampas 2 jung lada dari Banjarmasin yang berdagang di Kesultanan Banten. Hal ini dibalas ketika ekspedisi Belanda yang dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin tanggal 7 Juli 1607.

Pada tahun 1612, armada Belanda tiba di Banjarmasih untuk membalas atas ekspedisi tahun 1607. Armada ini menyerang Banjarmasih dari arah pulau Kembang dan menembaki Kuin ibu kota Kesultanan Banjar sehingga Banjar Lama atau kampung Keraton dan sekitarnya hancur, sehingga ibu kota kerajaan dipindahkan dari Banjarmasin ke Martapura. Walaupun ibu kota kerajaan telah dipindahkan tetapi aktivitas perdagangan di pelabuhan Banjarmasih tetap ramai. Menurut berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah di atas air yang dikenal sebagai rumah Lanting (rumah rakit) hampir sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu (bahasa Banjar: pelupuh) dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar. Rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi. Menurut Willy, kota Tatas (Banjarmasin) terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk

rumah hampir bersamaan dan antara rumah satu dengan lainnya yang dihubungkan dengan titian. Alat angkutan utama pada masa itu adalah jukung atau perahu.

Selain rumah-rumah panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah rakit yang diikat dengan tali rotan pada pohon besar di sepanjang tepi sungai. Kota Tatas merupakan sebuah wilayah yang dikelilingi sungai Barito, sungai Kuin dan Sungai Martapura seolah-olah membentuk sebuah pulau sehingga dinamakan pulau Tatas. Di utara Pulau Tatas adalah Banjar Lama (Kuin) bekas ibu kota pertama Kesultanan Banjar, wilayah ini tetap menjadi wilayah Kesultanan Banjar hingga digabung ke dalam Hindia Belanda tahun 1860. Sedangkan pulau Tatas dengan Benteng Tatas (Fort Tatas) menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda yang sekarang menjadi pusat kota Banjarmasin saat ini. Nama Banjarmasih, oleh Belanda lama kelamaan diubah menjadi Banjarmasin. Kota Banjarmasin modern mencakup pulau Tatas, Kuin dan daerah sekitarnya.[butuh rujukan]

Banjarmasin pada Masa Kolonial

Kesultanan Banjar dihapuskan Belanda pada tanggal 11 Juni 1860, merupakan wilayah terakhir di Kalimantan yang masuk ke dalam Hindia Belanda, tetapi perlawanan rakyat di pedalaman Barito baru berakhir dengan gugurnya Sultan Muhammad Seman pada 24 Januari 1905. Kedudukan golongan bangsawan Banjar sesudah tahun 1864, sebagian besar hijrah ke wilayah Barito mengikuti Pangeran Antasari, sebagian lari ke rimba-rimba, antara lain hutan Pulau Kadap Cinta Puri, sebagian kecil dengan anak dan isteri dibuang ke Betawi, Bogor, Cianjur dan Surabaya, sebagian mati atau dihukum gantung. Sementara sebagian kecil menetap dan bekerja dengan Belanda mendapat ganti rugi tanah, tetapi jumlah ini amat sedikit.[14]

Struktur Pemerintahan 1898

Pada tahun 1898 Belanda kemudian mengangkat seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin, yaitu C.A. Kroesen dengan dibantu oleh:

  • Sekretaris: E.J. Gerrits
  • Commies (komis): G.J. Mallien
  • Commies (komis) ke-2: F.N. Messchaert
  • Landmeter en rooi meester: G.J. Beaupain.

Sedangkan dalam Afdeeling Banjarmasin, struktur kepemimpinannya adalah:

  • Asisten Residen: E.B. Masthoff
  • Kepala polisi: C.W.H. Born
  • Ronggo: Kiahi Mas Djaja Samoedra
  • Luitenants der Chinezen: The Sin Yoe dan Ang Lim Thay
  • Kapitein der Arabieren: Said Hasan bin Idroes Al Habesi[15]

Setiap kampung Belanda dipimpin Wijkmeester, seperti:

  • Kampung Litt. A oleh G.J. Mallien
  • Kampung Litt. B oleh R.R. Hennemann
  • Kampung Litt. C oleh K.F. Pereira
  • Kampung Litt. D oleh G. Weidema
  • Kampung Litt. E oleh H.G.A. Henevelt[14]

Masyarakat Kolonial yang Pluralistik

Ekspansi modal dan teritorial setelah tahun 1870 diikuti dengan imigrasi intelek Belanda dan pengusaha hingga muncullah "enclave masyarakat bule" sebagai pusat kebudayaan Barat di tengah masyarakat Banjar yang muslim dan tradisional. Masyarakat kolonial yang pluralistik dengan ciri adanya pemisahan warna kulit antara penguasa dengan rakyat yang dikuasai, adanya sub ordinasi politik serta ketergantungan ekonomi dan ekslusivisme setiap golongan hidup terpisah dan merasa lebih unggul dari yang lainnya. Dengan bertambah penduduk kulit putih yang berkuasa politis dan ekonomi atas suatu kota, timbullah hasrat untuk mengatur urusan sendiri lebih bebas dari ketentuan pemerintah kolonial.[14]

Masyarakat kulit putih diberi keleluasan untuk mengatur kepentingan kelompok mereka melalui sebuah Dewan Gemeente. Masyarakat Eropa ini akhirnya berhasil membentuk pemerintahan Eropa untuk orang Eropa, adanya seorang Burgemeester kota di samping Residen yang sudah ada di dalam Karesidenan Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo. Stijl hidup Barat pun ikut terbawa. Bahasa Belanda menjadi bahasa golongan yang terpelajar dan lapisan atas. Perkembangan modernisasi kota Banjarmasin dengan pusat-pusat perkantoran, bank, firma-firma Belanda, gereja, jalanan kampung Belanda, pasar, alun-alun, sungai dengan jembatan ringkap. Tumbuhnya kebudayaan Barat di dalam tubuh kebudayaan Banjar yang tradisional dengan kontak yang saling memengaruhi dan memberikan stimulans, akulturasi dan enkulturasi.[14]

Di lingkungan priyayi baru, kelompok kiai dan pegawai pemerintah bumiputera yang mendapat didikan Belanda merasa status sosialnya lebih tinggi daripada masyarakat biasa. Pakaian barat dan bahasa Belanda menjadi ciri khas orang berpendidikan. Dalam masyarakat tradisional, tuan guru yaitu para ulama sangat dihormati karena kharisma dan pengetahuan agamanya. Naik haji merupakan keinginan yang kuat karena status haji dapat mengubah status sosial dan pandangan umum, ditambah lagi dengan kombinasi pengetahuan agama dan kekayaan yang dimiliki dari perdagangan dan pertanian. Lambat laun difusi budaya modern mendesak yang tradisional, misalnya bentuk dan jenis pakaian mulai berubah baik pada pria maupun wanita, pemakaian gramofoon dengan lagu klasik dan kroncong, film bisu, sandiwara, tonil dan radio menggeser gamelan Banjar, tari topeng, Wayang Kulit Banjar dan Wayang Gung.[14]

Gemeente Raad 1919

Kunjungan Mgr.Pacificus Bos, OFM Cap di Banjarmasin
Aktivitas perahu jukung di Banjarmasin

Penghibahan otonomi yang pertama kepada masyarakat kulit putih di Banjarmasin tercantum dalam Lembaran Negara Hindia Belanda tahun 1919 nomor 252, tertanggal 1 Juli 1919. Gemeente Raad Banjarmasin beranggotakan 13 orang, yaitu 7 orang Eropa, 4 bumiputera dan 2 Timur Asing.

Dewan ini diketuai: P.J.F.D. Van De Riveira (Asisten Residen Afdeeling Banjarmasin), dengan anggota:

  • Pangeran Ali
  • Amir Hasan Bondan
  • B.J.F.E. Broers
  • A.H. Dewald
  • H.M.G. Dikshoorn
  • Mr. L.C.A. Van Eldick Theime
  • Hairul Ali
  • H.H. Gozen
  • Lie Yauw Pek
  • Mohammad Lelang
  • J. Stofkoper
  • Tjie San Tjong
  • J.C. Vergouwen
  • dan Sekretaris: G. Vogel

Walaupun pada kulitnya pembentukan Gemeente Banjarmasin dan Gemeente Raad menyangkut segi politik semua golongan masyarakat Banjarmasin, dalam pelaksanaan selanjutnya meliputi segi-segi kepentingan golongan kulit putih semata, kepentingan pemnerintah dan pengusaha Belanda, pendidikan anak-anak kulit putih, rekreasi kulit putih, kebersihan kota, penerangan, air minum dan sebagainya seperti terlihat pada jalanan kampung Belanda (Resident de Haanweg).[14]

Ibu kota Borneo 1938

Pegawai Kantor Gubernur Borneo di Banjarmasin

Selanjutnya tahun 1938, Kalimantan menjadi gouvernorment Borneo yang terdiri dari Karesidenan Borneo Barat dan Karesidenan Selatan serta Timur Borneo yang beribu kota di Banjarmasin dengan Gubernur A. Haga. Gemeente Banjarmasin ditingkatkan dengan Stads Gemeente Banjarmasin. Sejak adanya Provincial Raad (Banjar Raad) mulai Agustus 1938, wakil Kalimantan dalam Volksraad adalah Pangeran Muhammad Ali, selanjutnya digantikan oleh anaknya, yaitu Ir. Pangeran Muhammad Noor (1935-1938), kemudian digantikan Mr. Tajuddin Noor (1938-1942).[14][16]

AVC Membumihanguskan Banjarmasin 8 Februari 1942

Masuknya Jepang dari Kalimantan Timur ke wilayah Kalimantan Selatan tanggal 6 Februari 1942 di Bongkang. Tanggal 8 Februari 1942, tiga buah kapal KPM masuk Banjarmasin untuk evakuasi massa Belanda ke pulau Jawa. Pada saat kapal terakhir berangkat, Algemene Vernielings Corps (AVC), yaitu korps perusak melaksanakan tugas bumi hangus agar fasiltas yang ada tidak digunakan oleh Jepang, Banjarmasin menjadi lautan api.

Banjarmasin bergetar oleh ledakan dinamit yang keras. Gubernur A. Haga dan pejabat terasnya lari ke Kuala Kapuas, selanjutnya ke Puruk Cahu dalam rencana perang gerilya untuk kelak merebut Banjarmasin kembali yang sudah tentu tidak mungkin didukung oleh rakyat jajahan. Apa yang tertinggal dari kebanggaan Kompeni tidak ada lagi. Kerusuhan menjalar, terjadi penjarahan terhadap gudang-gudang firma dan rumah Belanda, pertokoan dan Grand Hotel. Pasar Baru terbakar pada malam harinya.[14]

Jepang Menduduki Banjarmasin 1942-1945

Parade tentara Australia Batalyon 2/31 pada bulan September 1945 di Banjarmasin
Major General Michio Uno, Imperial Japanese Army, Commanding the Japanese Forces in the area, lays his sword at the feet of Lieutenant Colonel Murray Robson, Commanding Officer, 2/31 Infantry Battalion during the Japanese surrender ceremony on the local sports ground. Also identified is Warrant Officer Class 2 Arthur Pappadopoulos, Interpreter with the Allied Translator and Interpreter Section (ATIS), beside Robson and on the extreme left. Behind Lt Col Robson is Warrant Officer Class 1 George Hawkins. 17 September 1945.
Frans Heerens wafat 29-7-1945
Banjarmasin 10 mei 1949

Dengan persetujuan wali kota H. Mulder, orang-orang Indonesia membentuk pemerintahan Pimpinan Pemerintahan Civil (PPC), diketuai Mr. Roesbandi. Tanggal 10 Februari 1942, wali kota Banjarmasin H. Mulder, Ruitenberg (Kepala Polisi) dan Muelmans menjalani hukuman tembak oleh bala tentara Jepang di tepi Jembatan Coen yang telah diputus AVC, mayatnya dibuang ke sungai Martapura. Disusul 3 orang Belanda dan 3 Tionghoa dipancung juga. Di Telawang, Luth (konteler Tanjung), inspektur Labrijn, Balk (konteler Pleihari) dan H.J. Honning (pegawai rubberisteriksi) dipancung dan mayatnya dibiarkan bergelimpangan untuk menakuti rakyat. Pada tanggal 12 Februari 1942, Jepang mengeluarkan maklumat, Banjarmasin dan daerahnya dibawah PPC. Para Kiai (kepala distrik) diangkat kembali ke posnya masing-masing.[14]

Tanggal 17 Maret 1942, Jepang membawa Kapten van Epen kembali ke Puruk Cahu untuk melucuti dan melakukan penyerahan diri pihak militer dan pemerintahan sipil Belanda. Tanggal 18 Maret 1942, Kiai Pangeran Musa Ardi Kesuma diangkat sebagai Ridzie membawahi daerah Banjarmasin, Hulu Sungai dan Kapuas-Barito serta wakil Ridzie ditunjuk dr. Sosodoro Djatikoesoemo, sedangkan Wakil Ketua "Gemeente Banjarmasin" yang disebut Haminta adalah Mr. Roesbandi. Para tawanan orang Belanda yang dijemput dari Puruk Cahu dimasukan ke barak Benteng Tatas, wanita dan anak-anak ditahan di bekas rumah opsir menghadap Ringweg (Jl. Loji). Semua terjadi bawah tontonan rakyat yang menghinanya. Masyarakat kelas atas yang tadinya memerintah diperlakukan sebagai paria oleh Jepang. Hidup dalam kamp konsentrasi dengan penderitaan dan kekurangan makanan. Dalam tawanan Dr. A. Haga sempat membuat rencana-rencana untuk pemulihan kekuasaan, tetapi akhirnya ketahuan Jepang.[14] Pada bulan Mei 1942, semua pihak yang tersangkut sebanyak lebih dari 200 orang ditangkap dan akhirnya dibunuh Jepang di antaranya dr. Soesilo dan Santiago Pareira.[17] Segala lapangan kehidupan masyarakat pada masa itu diawasi dengan ketat oleh Kempetai. Menjelang akhir kekuasaan Jepang, banyak romusha berupa manusia berkerangka berbalut kulit penuh koreng, para gadis belia asal Jawa maupun Kalimantan Selatan sendiri yang dijadikan jugun ianfu[14] seperti yang dialami Mardiyem (Momoye) dan Soetarbini (Miniko) yang didatangkan dari Yogyakarta ke Banjarmasin ketika berusia 13 tahun dipaksa dalam perbudakan seks. Sampai di ian jo Telawang mereka tempatkan dalam kamar-kamar yang bertuliskan nama-nama dalam bahasa Jepang, sepanjang hari melayani kebutuhan seks para militer dan sipir Jepang. Penderitaan Mardiyem selaku saksi hidup peristiwa tersebut telah dibukukan dalam Momoye Mereka Memanggilku.[18][19] Di Banjarmasin sedikitnya terdapat 3 buah ian jo (asrama jugun ianfu).

Referensi

  1. ^ (Inggris) Rogue Trader
  2. ^ (Inggris) http://www.1911encyclopedia.org
  3. ^ (Indonesia) Ukur, Fridolin (2000). Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835. BPK Gunung Mulia. hlm. 42. ISBN 9789799290588.  ISBN 979-9290-58-9
  4. ^ (Inggris) Evangelical (1836). "Evangelical magazine and missionary chronicle,". 14. s.n: 578. 
  5. ^ (Indonesia) Wellem, Frederiek Djara (2004). Kamus sejarah gereja. BPK Gunung Mulia. ISBN 979-687-139-4. ISBN 978-979-687-139-1}}
  6. ^ Pangeran Adjie Benni Syarief Fiermansyah Chaliluddin. "Masa Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS)". Diakses tanggal 2011. 
  7. ^ (Inggris) Bandjermasin
  8. ^ (Indonesia)Haris, Syamsuddin (1999). Kecurangan dan perlawanan rakyat dalam pemilihan umum 1997. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 185. ISBN 979-461-313-4.  ISBN 978-979-461-313-9
  9. ^ Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (Indonesia), Ngrumat Bondo Utomo, PT. (2003). Muhamad Hisyam, ed. Krisis masa kini dan Orde Baru. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 225. ISBN 9794614602. ISBN 978-979-461-460-0
  10. ^ "Dua Belas Kota Tak Nyaman". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-12. Diakses tanggal 2011-08-31. 
  11. ^ “Kondisi Kota Besar di Indonesia Mengkhawatirkan”
  12. ^ "INDONESIA MOST LIVABLE CITY INDEX 2011". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-10. Diakses tanggal 2011-08-31. 
  13. ^ (Belanda) Anton Abraham Cense, De kroniek van Bandjarmasin, C.A. Mees, 1928
  14. ^ a b c d e f g h i j k Saleh, Idwar; SEJARAH DAERAH TEMATIS Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, Depdikbud, Jakarta, 1986.
  15. ^ Forum Kuniti Asyraaf[pranala nonaktif permanen]
  16. ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman Kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda. PT Balai Pustaka. hlm. 38. ISBN 979407411X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-31. Diakses tanggal 2011-08-27. ISBN 978-979-407-411-4
  17. ^ PEMBANTAIAN KOMPLOTAN HAGA DI BORNEO SELATAN
  18. ^ MOMOYE Mereka Memanggilku[pranala nonaktif permanen]
  19. ^ KISAH PILU BUDAK SEKS (JUGUN IANFU) DI BANJARMASIN

Lihat pula

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya