Sarwanto Priadhi

Ir. Sarwanto Priadhi
LSKD, Jln. Pakuwojo Gang Melati No.91, Sumberan Barat RT/RW : 03/02 Wonosobo Barat, Wonosobo, Jateng
Informasi pribadi
Lahir21 April 1965 (umur 59)
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah
Partai politikNon partaisan
Suami/istriNurmayaktri
AnakJasmine Shifa Pertiwi, Jasmine Mega Mawarni
AlmamaterUNSOED
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Sarwanto Priadhi terlahir sebagai anak ke 8 dari 10 bersaudara dari pasangan Soeratman Karto Soedarmo dan Sabarijah. Sarwanto (lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada hari Rabu Pon tanggal 21 April 1965)

Riwayat Hidup

Sarwanto kecil menyelesaikan pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Wonosobo, lantas melanjutkan kuliahnya di Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto. Selama di bangku kuliah, Sarwanto menekuni aktivitas pergerakan mulai dari organisasi kemahasiswaan (GMNI) hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Tahun 1992-1997, Sarwanto menekuni dunia pendidikan sebagai Pembantu Direktur Akademi Pertanian PGRI Wonosobo. Namun kemudian, Sarwanto melompat ke Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta sebagai Kepala Biro Kemahasiswaan tahun 1998. Dua tahun kemudian, dia memutuskan untuk kembali ke Wonosobo dan menekuni dunia jurnalistik melalui Tabloid POLES. Selanjutnya, pada Pemilu Legislatif 2004, Sarwanto terpilih sebagai Anggota DPRD Wonosobo dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) periode tahun 2004-2009. Namun, seiring dengan dinamika kepartaian, Sarwanto lantas memutuskan untuk keluar dari PDIP dan membangun partai baru yaitu Partai NasDem di kabupaten Wonosobo (2011-2016). Kini, Sarwanto menyatakan tidak berpartai lagi dan kembali menekuni dunia lamanya yaitu dunia pergerakan sosial melalui Lembaga Studi Kebijakan Daerah (LSKD) dan Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) Wonosobo.

Pembentukan Karakter

Sejak kecil, Sarwanto Priadhi memiliki hobby membaca. Kesukaan membaca ini bisa jadi oleh karena pengaruh faktor lingkungan keluarganya. Sekitar tahun 1970-1976, keluarganya membuka usaha penyewaan buku bacaan bernama Taman Bacaan Pelita Hati di rumah mereka tinggal. Sarwanto yang waktu itu masih berumur 5 tahun, menjadi terbiasa dengan situasi seperti itu. Sebelum bisa membaca, dia suka melihat gambar-gambar dalam majalah maupun komik. Setelah masuk sekolah dasar, kemampuan membacanya berkembang sangat baik dibandingkan kawan-kawan seusianya. Mungkin hal itu karena bentukan situasi di dalam keluarganya yang setiap hari selalu bergumul dengan aneka buku bacaan. Pada dasarnya semua jenis buku bacaan disukai, namun buku tentang biografi tokoh-tokoh politik adalah yang paling disukainya, dan Soekarno adalah tokoh idolanya sejak kecil.

Saat menempuh pendidikan di bangku SMA (1981-1984), Sarwanto semakin menyukai politik. Dia ikuti perkembangan politik dari koran, radio, dan televisi. Hal ini tampak ketika musim kampanye Pemilu tahun 1982, dia nekat menyebarkan gambar partai di sekolah. Namun gambar partai yang dia sebarkan adalah gambar dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan Pembangunan (PPP); padahal peserta Pemilu tahun 1982 ada tiga yaitu Golongan Karya (Golkar), PDI, dan PPP. Alasannya tidak lain karena Sarwanto menganggap bahwa PDI dan PPP adalah partai yang tertindas sehingga perlu dibantu. Tidak hanya di situ, dia juga ikut menyebarkan pandangan politik Petisi 50 yang saat itu dilarang oleh Pemerintah.

Memasuki masa kuliah, kegemaran berpolitik mendapatkan media yang tepat. Pada tahun 1987-1989, dia aktif dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Purwokerto, sebuah organisasi kemahasiswaan yang berhaluan nasionalis. Di dalam GMNI itulah, cara berpikir dan akses politiknya berkembang. Perkenalan dengan tokoh-tokoh politik baik lokal maupun nasional mulai terbentuk. Pada tahun 1989, bersama kawan-kawannya mendirikan Lembaga Swadaya (LSM) Masyarakat Rama Duta yang bermarkas di Purbalingga. Melalui LSM ini, Sarwanto bergiat di pemberdayaan kaum marginal perdesaan, lingkungan hidup, dan advokasi. Aliansi dengan berbagai LSM seluruh Indonesia pun dilakukan melalui pembentukan Jaringan Kerja Pendamping Rakyat (CO Network) pada tahun 1991. Melalui aliansi itu maka gerakan perlawanan terhadap pemerintah Orde Baru semakin meningkat. Maka Sarwanto banyak terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi yang selanjutnya menghasilan perubahan politik nasional, Reformasi Indonesia (1998).

Berjuang di Jalur Politik

Perjuangan politik secara formal dilakukan melalui kepartaian. Pada tahun 2000-2010. Sarwanto tergabung dalam kepengurusan DPC PDIP Kabupaten Wonosobo. Selanjutnya duduk sebagai anggota DPRD Wonosobo periode tahun 2004-2009, serta menjadi pimpinan Fraksi PDIP dan pimpinan Komisi E dan A. Selama menjadi pengurus PDIP dan wakil rakyat, Sarwanto dikenal sebagai pekerja keras yang banyak gagasan dan kritis dalam melihat suatu kebijakan. Maka tidak heran jika kemudian Sarwanto dinilai telah banyak memberikan warna baru baik di partainya maupun di lembaga legislatif.

Sarwanto juga berusaha mewujudkan dirinya sebagai “penyambung lidah rakyat”. Hal itu ditunjukkan dengan kedekatannya dengan masyarakat yang diwakilinya. Sarwanto selalu aktif mengunjungi konstituennya, dan juga setia menerima kunjungan para konstituennya di rumah kediaman Sarwanto tanpa kenal waktu. Artinya, dalam menerima konstituennya, Sarwanto tidak membatasi waktu. Kapan saja saja diterima.

Selama menjalankan mandat rakyat, Sarwanto dikenal sebagai anggota Dewan yang rajin, penuh ide, visioner dan bersih. Menurut Sarwanto, menjalankan tugas sebagai anggota Dewan itu berbeda dengan menjalankan tugas dalam bidang profesi lainnya. Sarwanto sadar bahwa tugas di Dewan adalah mandat rakyat maka dia berusaha memfokuskan diri pada perjuangan hak-hak rakyat. Oleh sebab itu, dia tidak tertarik untuk "bermain anggaran" ataupun "bermain proyek". Sarwanto menegaskan bahwa duit itu penting tapi integritas itu jauh lebih penting dan berharga dari sekadar duit.

Beberapa gagasannya diwujudkan dalam peraturan daerah (perda) yang dia susun dan dia ajukan sendiri ke DPRD Wonosobo, diantaranya adalah Peraturan Daerah Wonosobo Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Daerah Wonosobo Nomor 3 Tahun 2009 tentang Partisipasi dan Transparansi. Kedua perda tersebut merupakan perda yang visioner oleh karena Sarwanto telah memprediksi bahwa dikemudian hari, penyelenggaraan pemerintahan modern akan mengarah pada model good governance dan clean government yang mendasarkan diri pada nilai-nilai partisipasi, transparansi dan kolabirasi.

Seiring dengan dinamika kepartaian, pada tahun 2011 Sarwanto memutuskan keluar dari keanggotaan PDIP dan membangun partai baru yaitu Partai NasDem di kabupaten Wonosobo. Di tangan Sarwanto, Partai NasDem bergerak sangat cepat dan mendapatkan respon positif masyarakat. Maka pada Pemilu 2014, Partai NasDem meraih 4 kursi di DPRD Wonosobo. Hasil yang dicapai Partai NasDem bisa dibilang sangat baik untuk ukuran sebuah partai baru yang berumur 3 tahun. Namun hal yang menarik, Sarwanto justru tidak ikut serta dalam pencalegan karena ingin memberikan kesempatan pada kader-kader muda. Dia lebih memilih untuk fokus mengelola partai agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pemenang pada pemilu selanjutnya. Namun pada tahun 2016, Sarwanto menyatakan mengundurkan diri dari aktivitas Partai NasDem dan kembali menekuni jalur gerakan sosial melalui Lembaga Studi Kebijakan Daerah (LSKD) dan Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) Wonosobo.

Memperjuangkan Lingkungan Hidup

Sebagai aktivis pergerakan, selain berjuang untuk menegakkan tata kelola negara yang demokratis, Sarwanto juga memiliki kepdulian besar pada lingkungan hidup. Kerusakan alam akibat proses pembangunan telah memunculkan kekawatiran atas keberlangsungan alam sebagai sumber kehidupan. Maka Sarwanto banyak terlibat aktif pada gerakan pro lingkungan hidup. Lembaga yang digunakan sebagai alat perjuangannya antara lain Serikat Masyarakat Peduli Lingkungan (SMPL) Jawa Tengah, yang kemudian menjadi cikal bakal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah; dan Konsorsium untuk Pembangunan Masyarakat dan Lingkungan Hidup (KPMLH) Wonosobo. Pada tahun 2007, Sarwanto berkesempatan untuk mengikuti United Nations Climate Change Conference (UNCCC) di Bali. Konferensi ini digelar sebagai upaya lanjutan untuk menemukan solusi pengurangan efek gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Selain itu, pembicaraan juga akan membahas mengenai cara membantu negara-negara miskin dalam mengatasi pemanasan dunia.

Memperjuangkan Pendidikan

Pada tahun 1992-1997, Sarwanto berkarya pada Akademi Pertanian PGRI Wonosobo sebagai Pembantu Direktur dan Dosen. Kemudian, pada tahun 1998 dia berpindah ke Jakarta untuk membantu pendirian Universitas Bung Karno (UBK). Ketika UBK resmi berdiri, Sarwanto ditugaskan sebagai Kepala Biro Kemahasiswaan UBK. Namun sayangnya, pada tahun 2000 dia memutuskan berhenti dan kembali ke Wonosobo. Setibanya di Wonosobo, aktivitasnya di dunia pendidikan dilaluinya dengan membentuk Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) Wonosobo pada tahun 2000. Lembaga ini dimaksudkan sebagai implementasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Lantas antara tahun 2002-2012, Sarwanto ditunjuk menjadi pimpinan Dewan Pendidikan Kabupaten Wonosobo. Lembaga ini merupakan lembaga non pemerintah yang wajib diadakan di setiap daerah untuk membantu percepatan pembangunan pendidikan. Salah satu hal penting yang menjadi sumbangan Dewan Pendidikan Kabupaten Wonosobo adalah tersusunnya Rancangan Peraturan Daerah Wonosobo tentang Pendidikan, dimana Sarwanto menjadi ketua tim penyusunnya.

Memperjuangkan Tani dan Buruh

Sesuai dengan basis akademiknya, Sarwanto sangat mencita-citakan sebuah kemajuan pertanian dan kemakmuran petani. Maka disamping melakukan transfer of knowlegde melalui jalur pendidikan formal Akademi Pertanian PGRI Wonosobo, Sarwanto juga aktif dalam membangun kekuatan organisasi petani. Oleh sebab itu, Sarwanto ikut terlibat dalam pendirian Serikat Petani Jawa Tengah (SPJT), Serikat Petani Kedu & Banyumas (Sepkuba), serta Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Sementara itu, di jalur perburuhan Sarwanto juga aktif memperjuangkan hak-hak buruh. Berbagai advokasi peruburuhan telah dilakukan di banyak daerah di Jawa Tengah. Sarwanto juga ikut membidani munculnya Serikat Buruh untuk Keadilan (SERBUK). Hasil perjuangan yang fenomenal adalah penyelesaian sengketa antara PT Dieng Djaja dengan 5.000 karyawannya. Dalam waktu kurang lebih 3 bulan Sarwanto telah bisa menyelesaikan sengketa itu dengan terbayarnya gaji karyawan yang tertunda sebesar kurang lebih Rp.22,5 Miliar.

Bersuara melalui Media

Kegemaran Sarwanto dalam hal menulis tersalurkan melalui Tabloid POLES. Tabloid itu merupakan tabloid bulanan yang memuat berbagai berita yang terjadi di daerah Wonosobo dan sekitarnya. Sarwanto pernah menjadi Pemimpin Redaksi pada tabloid tersebut selama tiga tahun (2000-2003). Kemudian dilanjutkan dengan memimpin Tabloid Suara Demokrasi (2003-2004), serta berkontribusi pada pendirian Tabloid Chanel One (2004). Di samping itu, sejak masa kuliah hingga sekarang, Sarwanto juga masih aktif menulis di beberapa media cetak daerah. Artikel hasil tulisannya enak dibaca karena Sarwanto cukup pintar merangkai kata-kata namun tetap tidak meninggalkan nilai-nilai ketegasan dan kekritisannya. Sarwanto juga sempat menulis tiga buah buku bacaan. Dua buku untuk bacaan siswa sekolah, masing-masing berjudul Wonosobo yang Aku Banggakan, dan Mencintai dan Membangun Wonosobo. Sedangkan satu buku lainnya untuk bacaan umum berjudul Benderaku Teruslah Kau Berkibar.

Referensi

Pranala luar

 [2]
Kembali kehalaman sebelumnya