Rotan irit
Rotan irit (Calamus trachycoleus) adalah rotan berkualitas baik untuk membuat lampit (tikar). Di Indonesia, rotan irit dikenal dengan nama-nama seperti rotan irit (Melayu Banjar), uwèï irit (Dayak Ngaju), dan jahap (Kutai).[1] DeskripsiRotan irit adalah rotan yang masih berkerabat dengan keluarga palem dengan tinggi 30 meter, dan hidup berumpun. Bagian pangkal batang dapat membentuk tunas baru yang melata di atas tanah; bagian ini dikenal dengan selantar.[2] Rotan irit, menurut Odoardo Beccari berbadan bungkuk dan berwarna merah karat pada duri-duri kecilnya dan berbentuk segitiga memanjang.[3] Daunnya berbentuk sirip, terdiri atas 14 pasang anak daun yang tersusun dalam 2–3 kelompok. Anak-anak daun berbentuk lanset memanjang. Jumlah anak daun dalam setiap daun tidaklah banyak; berjumlah sekitar 15 pasang saja. Bagian atas berwarna hijau, baik bagian atas maupun bawah. Bagian atas daun berwarna agak mengilap, sedangkan bagian bawahnya kusam. Anak-anak daun ini berukuran: 30–35 × 28–32 cm. Yang jelas, daun dari rotan irit agak lebar. Perbungaan berbentuk malai, panjangnya 1,5 m. Perbungaan jantan dan betina terletak pada berlainan pohon. Bunga-bunganya tersusun dalam bentuk bulir. Buahnya oval-melonjong, jelas-jelas kelihatan berbengkok, berukuran 11–13 mm lebarnya, panjangnya 8 mm, dan berukuran agak lebar dan berwarna kekuning-kuningan. Ujung buah berwarna cokelat-kemerahan dan beralur. Bijinya memanjang, oval, dan tepi-tepinya membulat.[2][3] Persebaran dan habitatRotan irit hidup endemik di Kalimantan.[4] Tumbuhan ini bertumbuh di pinggir sungai dan rawa-rawa pada ketinggian 0–15 mdpl. Sebagai penghasil rotan, tumbuhan ini cukup dikenal masyarakat. Odoardo Beccari mengatakan bahwa koleksi rotan irit di Museum Ekonomik Botani Kebun Raya Bogor rupa-rupanya didapati dari Kalimantan Tengah, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).[2][3] Rotan ini didapati di tepian sungai bertebing yang digenangi air selama 6 bulan; sebagian badannya merambat di tepi sungai dan sebagiannya lagi di dalam air, dan di saat banjir tumbuhan ini bisa bertahan, tidak mati.[1] KegunaanRotan irit memiliki pasaran yang bagus sekali untuk bahan baku lampit (tikar), macam-macam keranjang dan anyam-anyaman lainnya.[2][5] Menurut Heyne, kualitas rotan irit lebih baik ketimbang rotan sega (Calamus caesius Bl.). Karena mudah dibengkokkan seperti simpul, ia bisa dibuat untuk anyaman dengan cepat. Oleh sebab itulah, rotan irit juga ditanam masyarakat. Terutama di Kalimantan Selatan.[5] Namun, rotan irit memiliki kekurangan dibandingkan dengan rotan sega: agak lunak dan kurang kuat. Namun, warnanya indah. Jenis ini secara keseluruhan pendek dan bisa diikat seperti simpul berupa cincin berwarna merah yang berukuran kecil asal mengikuti alur batang. Di Banjarmasin, ia biasanya dicampur dengan rotan sega (dikenal juga dengan sebutan rotan taman) sebelum digunakan.[1] Rotan irit juga dipergunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah setelah ditebang, juga menjadi pendapatan bagi orang Dayak yang menanam rotan ini.[6] Musim berbuah rotan irit terjadi pada Oktober–November.[5] PenanamanTumbuhan ini dibudidayakan di tepi sungai Barito, Kalimantan Selatan dan Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Di sana, tumbuhan ini dibudidayakan dengan luas ribuan hektare. Dipanen apabila sudah berusia 7–10 tahun. Dipanen dengan jarak 2 tahun setelah panenan yang pertama. Selanjutnya, rumpun rotan irit tidak lagi menghasilkan rotan lagi. Kalaupun ada, jumlahnya tidak berarti. Budi daya rotan irit hanya dilakukan secara tradisional. Belum ada usaha secara terencana untuk mempertinggi produksi dan mutu rotan ini hingga tahun 80-an.[2] Dalam menanam rotan irit, ia perlu pohon rambatan/peneduh, misalnya Syzygium, Mallotus muticus, dan Diospyros sp. Namun, Mallotus muticus dianggap lebih penting dari ketiga tumbuhan di atas. Adapun yang menjadi masalah, penanaman rotan irit ini masih menggunakan metode tebang dan bakar. Sehingga, ini bisa mengurangi kesuburan tanah. Hendaknya, penanaman rotan irit ini dijadikan subjek dalam pengembangan.[6] Referensi
|