Prasetia Salib Kunan
Prasetia Salib Kunan (bahasa Malayalam: കൂനൻ കുരിശ് സത്യം, Kunan Kurisu Satyam) atau Prasetia Salib Doyong, adalah prasetia yang diikrarkan beramai-ramai di Matanceri pada tanggal 3 Januari 1653 oleh umat Kristen Santo Tomas untuk tidak tunduk kepada padri-padri Yesuit, hierarki Katolik Latin, dan Padroado, baik dalam kehidupan bergereja maupun kehidupan bermasyarakat.[1][2][3] Ada bermacam-macam versi dari isi prasetia ini. Ada yang menyiratkan perlawanan terhadap bangsa Portugis, ada yang menyiratkan perlawanan terhadap padri-padri Yesuit, dan ada pula yang menyiratkan perlawanan terhadap kewibawaan Gereja Roma[4] Mulanya umat Kristen Santo Tomas bersatu dengan Gereja Persia, Gereja yang mengamalkan ritus liturgis Suryani Timur.[5] Bangsa Portugis mendustakan keabsahan tradisi-tradisi gerejawi umat Kristen Santo Tomas, bahkan memaksakan berbagai tata cara Gereja Latin kepada mereka.[6] Sinode Udayamperur tahun 1599, yang diketuai Aleixo de Menezes, Uskup Agung Goa dan Primat Hindia Timur yang diangkat Padroado, mengukuhkan sejumlah usaha latinisasi semacam itu. Sinode ini mewajibkan umat Kristen Santo Tomas untuk mendahulukan uskup-uskup berkebangsaan Portugis, mengubah suai liturgi, mengenakan vestimentum khas Ritus Romawi, mewajibkan selibat bagi rohaniwan Kristen Santo Tomas, dan membentuk Inkuisisi Goa dan Bombai-Basai yang menyelenggarakan kewenangan hukum gerejawi di Koci.[7][8][9][10] Pada tahun 1653, sesudah setengah abad lamanya diatur-atur Gereja Latin, mayoritas umat Kristen Santo Tomas akhirnya menolak padri-padri Yesuit Padroado dan berprasetia di Matanceri, mengikrarkan tekad mereka untuk membebaskan diri dari usaha latinisasi maupun penjajahan bangsa Portugis. Mereka mendapuk Toma I menjadi diakon agung sekaligus pemimpin komunitas mereka, dan memutuskan untuk kembali membina persekutuan dengan Gereja-Gereja Timur.[11][2][12] Latar belakangUmat Kristen Santo Tomas di Malabar diyakini bersatu dengan Gereja Persia dari tahun 300 sampai 1599.[13][14] Mereka mengandalkan Batrik-Katolikos Gereja Persia sebagai pemasok uskup.[15] Meskipun digembalakan uskup-uskup asal Timur Tengah, tata usaha Gereja Kerala diselenggarakan oleh seorang diakon agung bumiputra.[16] Diakon agunglah pemimpin umat Kristen Santo Tomas yang sesungguhnya.[17] Bahkan bilamana ada lebih dari satu orang uskup asing, hanya akan ada satu orang diakon agung bagi segenap komunitas Kristen Santo Tomas.[17] Sesudah bangsa Portugis menjajah beberapa daerah di India, rohaniwan asal Portugal, khususnya padri-padri Serikat Yesus (Yesuit), berusaha melatinkan umat Kristen India.[18] Bangsa Portugis mendirikan keuskupan ritus Latin di Goa pada tahun 1534, dan di Koci pada tahun 1558, lalu berusaha menggiring umat Kristen Santo Tomas ke dalam lingkup kewenangan hukum Padroado dan menjadi umat pengamal ritus liturgis Latin di haribaan Gereja Katolik. Sinode-sinode, termasuk Sinode Goa tahun 1585, diselenggarakan demi memasukkan unsur-unsur latin ke dalam peribadatan umat Kristen Santo Tomas. Pada tahun 1599, Sinode Udayamperur yang diketuai Aleixo de Menezes, Uskup Agung Goa, akhirnya secara resmi menempatkan umat Kristen Santo Tomas di bawah yurisdiksi Keuskupan Agung Goa Ritus Latin.[19] Umat Kristen Santo Tomas merasa kemandirian Gereja purba mereka telah direnggut. Pemerintahan Padroado berlangsung singkat lantaran rasa tidak puas dan hasrat untuk merdeka di dalam sanubari umat Kristen Santo Tomas sungguh-sungguh nyata dan sudah tidak dapat dibendung lama-lama. Diakon Agung Tomas, pemimpin umat Kristen Santo Tomas, akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa sesungguhnya tiada lain penawar derita kaumnya kecuali kedatangan seorang uskup Gereja Timur dari latar belakang tradisi yang sudah berabad-abad lamanya mereka akrabi.[3] Ia lantas mengajukan permohonan bantuan lewat surat kepada Batrik Aleksandria Qubti, Batrik Antiokhia Yakubi, dan Batrik Babel Nestorian.[3] Sayang sekali tak sepucuk pun balasan ia dapatkan. Pada tahun 1652, Ahatallah, seorang prelatus Gereja Timur, berkunjung ke India. Tersiar kabar bahwa ia mendarat di bandar Surat dan berkunjung ke Mayilapur, kota tempat ia ditahan padri-padri Yesuit pada tanggal 3 Agustus 1652.[20] Selama berada di Mayilapur, Ahatalla sempat bertemu dengan dua orang diakon Kristen Suryani, yakni Cengganur Iti dan Kurawilanggad Kizakedat Kurien dari Malangkara, yang sedang singgah dalam perjalanan ziarah ke makam Santo Tomas. Kepada mereka, Ahatalla menitipkan sepucuk surat berisi pesannya kepada Gereja Malangkara sebagai berikut:
Di Madras, Ahatalla dinaikkan ke atas sebuah kapal Portugis yang hendak berlayar ke Goa, dan akan singgah di bandar Koci sebelum meneruskan pelayarannya sampai ke tujuan. Saat mendengar kabar bahwa kapal itu akan singgah di bandar Koci, diakon agung bersama sejumlah besar imam dan beberapa ratus umat awam berkumpul di Matanceri. Usaha mereka untuk menemui Ahatallah selagi kapal itu berlabuh di Koci berakhir sia-sia. Mereka menyurati semua pihak berwenang di Koci, baik sipil maupun keagamaan, demi mendapatkan sekurang-kurangnya satu kesempatan tatap muka dengan Ahatallah untuk memastikan asal-usul dan jati dirinya, dengan berjanji akan menjadi pihak pertama yang menuntut supaya ia dijatuhi pidana jika nanti kedapatan berdusta. Permohonan mereka ditolak lantaran ditentang keras Uskup Agung Garcia dan padri-padri Yesuit.[20] Mereka diberi tahu bahwa kapal yang ditumpangi Ahatallah sudah berlayar ke Goa. Bahkan tersiar selentingan bahwa Ahatallah sudah mati ditenggelamkan orang-orang Portugis. Apa yang dialami Ahatallah di tengah Laut Arab masih menjadi misteri. Menurut sejarawan-sejarawan terdahulu, Ahatallah mati ditenggelamkan orang-orang Portugis.[21] Beberapa penulis modern menyebutkan bahwa Ahatallah tidak mati dibunuh pada tahun 1653, tetapi diberangkatkan sebagai tahanan ke Lisboa, dan wafat secara wajar di penjara kota itu.[21] Menurut Jacob Kollamparambil, salah seorang pakar sejarah Gereja, sesudah kapal yang ditumpanginya sampai di Goa, Ahatallah diserahkan kepada inkuisisi, dan tinggal di wisma paguyuban Yesuit di bawah pengawasan ketat. Ia diberangkatkan ke Portugal dengan kapal Nosa Senhora da Graca dari Goa, dan tiba di Lisboa pada tanggal 14 Juli 1653.[20] Raja Portugal memutuskan untuk memberangkatkannya ke Roma. Joseph Thekkedath, pakar sejarah Gereja lainnya, mengemukakan bahwa Vinsensius de Paul, yang berjumpa dengan Ahatallah di Paris, menyebutkan bahwa "masih berdiam di kota ini seorang pria budiman lagi sepuh, delapan puluh tahun usia beliau, seorang asing, tinggal menumpang di rumah Tuan Uskup Agung Mira. Kata orang, beliau adalah Batrik Antiokhia. Andai pun benar demikian, beliau hidup sebatang kara, tanpa tanda-tanda jabatan rohaniwan berpangkat tinggi".[22] Joseph Thekkedath menambahkan pula bahwa kemungkinan besar Ahatalla wafat di Paris.[23] Isi prasetiaPerlakuan yang diterima Ahatalla mengguncang komunitas umat Kristen Santo Tomas. Perasaan terluka pada akhirnya mengobarkan gerakan massa yang menuntut pemutusan hubungan dengan Padroado Kerajaan Portugal maupun dengan padri-padri Yesuit.[24]
Umat Kristen Santo Tomas sekali lagi melakukan pendekatan damai sebelum mengambil tindakan tegas. Mereka menyurati Uskup Agung Garcia, memintanya untuk menghadiri suatu pertemuan tatap muka dengan mereka, tetapi undangan ini ditolak. Umat Kristen Santo Tomas benar-benar kesal lantaran niat baik mereka tidak diindahkan Uskup Agung Garcia. Pada tanggal 3 Januari 1653, Diakon Agung Tomas dan wakil-wakil umat berkumpul di Gereja Bunda Hayat di Matanceri untuk berprasetia "tidak lagi tunduk kepada orang-orang Portugis". Mereka mengikrarkan prasetia tersebut dengan lantang seraya berdiri menghadap sebuah tugu salib granit dan lilin-lilin bernyala, sementara diakon agung dan imam-imam menumpangkan tangan di atas Alkitab.[26] Lantaran sangat ramai orang yang hadir, tidak semuanya dapat berprasetya sambil menyentuh tugu salib. Oleh karena itu, seutas tambang disangkutkan pada tugu salib, lalu diulurkan untuk dipegang para hadirin.[26] Konon lantaran tambang dihela khalayak yang begitu ramai, tugu salib menjadi sedikit doyong, sehingga peristiwa itu pun akhirnya dikenang dengan nama "Prasetia Salib Doyong" (Kunan Kurisu Satyam).[27][28] Sesudah diikrarkannya prasetia bersejarah ini, hanya 400 orang dari 200.000 jiwa umat Kristen Santo Tomas yang bertahan tunduk kepada Uskup Agung Garcia. Peristiwa ini menghancurkan supremasi Padroado selama 54 tahun atas umat Kristen Santo Tomas, terhitung sejak ditetapkan dalam Sinode Udayamperur tahun 1599. Beragam tafsirKalimat-kalimat yang dilisankan pada peristiwa Prasetia Salib Kunan masih diperdebatkan. Ada bermacam-macam versinya.[4] Sumber sekunderStephen NeillDi dalam bukunya, A History of Christianity in India: The Beginnings to AD 1707, Stephen Neill, sejarawan sekaligus misionaris Anglikan asal Skotlandia, menguraikan peristiwa itu sebagai berikut:
Bagi Stephen Neil, Prasetia Salib Kunan hanyalah ungkapan kemarahan terhadap Uskup Agung Garcia dan padri-padri Yesuit. Pakar sejarah Gereja lainnya, Dietmar W. Winkler, juga berpandangan bahwa Prasetia Salib Kunan bukanlah ikrar perlawanan terhadap Takhta Suci Roma, melainkan terhadap uskup agung ritus Latin dan karya misi padri-padri Yesuit.[29] Robert Eric FrykenbergSejarawan Amerika, Robert Erick Frykenberg, meriwayatkan peristiwa tersebut di dalam bukunya, Christianity in India From Beginnings to the Present, sebagai berikut:
Bagi Robert Eric Frykenberg, Prasetia Salib Kunan adalah penentangan terhadap Gereja Roma. István PerczelIstván Perczel, pakar Kristen purba asal Hungaria sekaligus pakar hal-ihwal umat Kristen Santo Tomas, menjabarkan peristiwa tersebut sebagai berikut:
Sumber primerSurat Mar Gabriel, Metropolit Suryani Timur di Malabar (1705–1731)Di dalam sepucuk surat bertajuk "Purbakala Umat Kristen Suryani dan Peristiwa-Peristiwa Bersejarah yang Berkaitan dengan Mereka", yang dialamatkan kepada Jacobus Canter Visscher, pendeta Belanda yang berkarya di Koci dari tahun 1717 sampai 1720, Mar Gabriel meriwayatkan peristiwa Prasetia Salib Kunan sebagai berikut:[32]
Versi Anggamali Padiyola tahun 1787Di dalam Anggamali Padiyola, deklarasi umat Katolik Suryani (umat Kristen Santo Tomas golongan Pazayakur) tahun 1787, Prasetia Salib Kunan diriwayatkan sebagai berikut:
Laporan Perhimpunan Misi Gereja tahun 1818-1819Laporan Perhimpunan Misi Gereja tahun 1818-1819 (halaman 319) memuat uraian singkat tentang sejarah Gereja Suryani Malangkara (umat Kristen Santo Tomas golongan Putengkur) yang terlestarikan di kalangan umat Gereja itu sendiri. Di dalam uraian tersebut, peristiwa Prasetia Salib Kunan dipaparkan sebagai berikut:
Surat Punatara Dionisius III di dalam surat kepada Perhimpunan Misi GerejaVersi berikut ini termuat di dalam sepucuk surat yang ditulis dalam bahasa Suryani oleh prelatus Gereja Suryani Malangkara, Dionisius Punatara (wafat sekitar tahun 1825), dan dialamatkan kepada ketua Perhimpunan Misi Gereja Anglikan:
Di dalam surat ini, Prasetia Salib Kunan ditafsirkan sebagai penentangan terhadap Sri Paus. Majalah Idawakapatrika tahun 1896Berikut ini adalah riwayat Prasetia Salib Kunan menurut Matanceri Padiyola yang dimuat di dalam majalah Idawakapatrika (buku 5, jilid 3, bulan Minam), terbit tahun 1896 dan disunting sejarawan dan penulis Ortodoks Suryani, E.M. Philip:
Sampalur berarti biara atau kota Santo Paulus, sebutan masyarakat pribumi untuk pangkalan pertahanan Portugis di dekat Waipikota yang menjadi tempat tinggal padri-padri Paulus alias padri-padri Yesuit.[38] Kesudahan
Selepas insiden Prasetia Salib Kunan, beredar tiga pucuk surat berisi pernyataan bahwa penulisnya adalah Ahatalla. Sepucuk surat dibacakan di hadapan sidang di Edapali pada tanggal 5 Februari 1653, berisi pelimpahan beberapa kewenangan uskup agung kepada diakon agung. Seusai pembacaan isi surat, khalayak ramai dengan gegap gempita mengelu-elukan Diakon Agung Tomas sebagai pemimpin Gereja mereka,[39] dan menunjuk empat orang imam menjadi penasihatnya, yakni Kaliseri Anjilimutil Iti Tomen Katanar, Kurawilanggad Parambil Paliwitil Candi Katanar, Kaduturuti Kadawil Candi Katanar, dan Anggamali Wenggur Giwargis Katanar.[40] Pada sidang berikutnya yang diselenggarakan di Alanggat pada tanggal 23 Mei 1653, sepucuk surat lagi dibacakan. Selain memuat pernyataan bahwa penulisnya adalah Ahatalla, surat ini juga berisi arahan kepada umat Kristen Santo Tomas agar bilamana belum ada uskup, dua belas orang katanar (imam) harus menumpangkan tangan ke atas Tomas, dan dengan demikian dapat dianggap menahbiskannya menjadi uskup.[39] Keaslian surat-surat tersebut tidak dapat dipastikan. Beberapa pihak beropini bahwa surat-surat tersebut hanyalah hasil rekayasa Anjilimutil Iti Tomen Katanar yang memang menguasai bahasa dan aksara Suryani.[39] Meskipun demikian, Hieronimus memang menyebut-nyebut tentang adat kuno di Gereja Aleksandria pra-Konsili Nikea untuk mengangkat seorang presbiter menjadi batrik melalui penumpangan tangan dua belas orang rekan sejawatnya sesama presbiter.[41] Demikianlah Diakon Agung Parambil Tomas diangkat menjadi metropolit dengan penumpangan tangan dua belas orang katanar, dan kemudian menyandang gelar Mar Toma I.[42] Salinan-salinan ketiga pucuk surat yang konon ditulis Ahatalla dan dialamatkan kepada umat Kristen Santo Tomas tersebut masih tersimpan di dalam arsip Propaganda Fide. Ketiga-tiganya diterbitkan dalam bentuk faksimili oleh pakar sejarah Gereja, Jacob Kollaparambil.[43] Di dalam surat yang pertama, Ahatalla mengabari umat Kristen Santo Tomas tentang kedatangannya ke India dan penahanan dirinya oleh padri-padri Yesuit. Di dalam surat yang kedua, ia memberi perintah agar Diakon Georgius (Georgius Parampil, salah satu dari orang-orang yang mengunjunginya di Mayilapur) ditahbiskan menjadi Diakon Agung, dan agar umat Kristen Santo Tomas membentuk dewan yang beranggotakan dua belas orang presbiter, salah seorang di antaranya harus dipilih menjadi uskup. Di dalam surat yang ketiga, ia menetapkan bahwa Metropolit Toma I harus dicalonkan menjadi Batrik Seluruh India.[44] István Perczel, mendapati bahwa bahasa Suryani di dalam surat-surat tersebut terkesan sangat ganjil. Dua surat pertama ditulis dengan gaya yang sama, sayangnya dalam bahasa Suryani yang tidak begitu bagus, tetapi surat yang ketiga ditulis dengan gaya yang berbeda. Beberapa sejarawan di Kerala beranggapan bahwa surat kedua dan ketiga adalah hasil rekayasa, sementara beberapa sejarawan lain menganggap ketiga-tiganya asli. István Perczel mengemukakan bahwa keaslian surat-surat tersebut sukar untuk dipastikan. Surat pertama dan surat kedua ditulis dalam bahasa Suryani yang tidak begitu bagus, mungkin sekali sudah dipengaruhi bahasa Malayalam. Selain itu, surat pertama mengandung banyak sekali kekeliruan yang tidak masuk akal. Kekurangan-kekurangan tersebut mungkin sekali muncul dalam proses penyalinan. Di lain pihak, rendahnya mutu bahasa Suryani di dalam surat-surat tersebut dan gaya penulisannya dapat saja merupakan indikasi rekayasa yang dilakukan dengan tujuan mempersiapkan dan/atau membenarkan pemberontakan Salib Kunan, oleh imam-imam Kristen Santo Tomas yang belajar bahasa Suryani pada Francisco Ros.[40] Ia menegaskan lebih lanjut bahwa surat kedua, yang dijadikan dasar bagi pengangkatan Diakon Agung Tomas, sama sekali tidak menyebut-nyebut namanya, malah berisi arahan kepada umat Kristen Santo Tomas untuk mengangkat Diakon Georgius Parambil menjadi diakon agung dan untuk membentuk dewan dua belas presbiter guna mengangkat metropolit sesudah Fransiskus Garcia mangkat.[40] István Perczel mengemukakan bahwa kenyataan tersebut berkontadiksi dengan hipotesis bahwa surat tersebut adalah hasil rekayasa para pencetus pemberontakan Salib Kunan. Pada kenyataannya, pihak-pihak yang mengobarkan pemberontakan itu dan menahbiskan Diakon Agung Tomas menjadi uskup harus memutarbalikkan isi surat tersebut untuk membenarkan tindakan mereka, antara lain dengan melimpahkan kepada Diakon Agung Tomas hak-hak yang menurut surat tersebut seharusnya dilimpahkan kepada Georgius Parambil.[40] Sesudah Toma I ditahbiskan, warta tentang penahbisannya disiarkan ke semua jemaat. Kebanyakan jemaat menerima Toma I sebagai uskup mereka.[45] Dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah, umat Kristen Santo Tomas memiliki seorang uskup dari bangsa mereka sendiri, dan yang mereka pilih sendiri.[45] Pada waktu itu, para misionaris Portugis mengupayakan rekonsiliasi dengan umat Kristen Santo Tomas, tetapi tidak membuahkan hasil. Kemudian hari, Paus Aleksander VII mengutus Yosef Sebastiani, seorang imam Karmelit, selaku ketua delegasi Karmelit. Padri-padri Karmelit menegaskan bahwa penahbisan diakon agung oleh klerus tidak sesuai dengan hukum Gereja. Yosef Sebastini berhasil membujuk umat Kristen Santo Tomas, termasuk Paliwitil Candi Katanar dan Kadawil Candi Katanar, penasihat-penasihat Toma I. Karena keabsahan tahbisannya dipertanyakan, Toma I mulai kehilangan pengikut. Sementara itu, Yosef Sebastiani kembali ke Roma dan ditahbiskan menjadi uskup oleh Sri Paus pada tanggal 15 Desember 1659.[46] Yosef Sebastiani kembali ke Kerala pada tahun 1661, dan dalam waktu singkat membawa sebagian besar jemaat yang tadinya mendukung Toma I kembali ke pangkuan Roma. Oleh karena itu, pada tahun 1663, 84 dari keseluruhan 116 jemaat sudah memihak Yosef Sebastiani, tinggal 32 jemaat saja yang memihak Toma I.[47] Pada tahun 1663 Belanda merebut Koci, mengakhiri dominasi Portugis atas daerah Pesisir Malabar, dan mengusir semua misionaris Portugis dari Kerala. Sebelum meninggalkan Kerala, pada tanggal 1 Februari 1663, Yosef Sebastiani menahbiskan Paliwitil Candi menjadi metran bagi umat Kristen Santo Tomas yang bersatu dengan Gereja Roma.[48][49][50] Sementara itu Toma I mengajukan permohonan kepada berbagai Gereja Ortodoks Oriental untuk mendapatkan pengesahan atas penahbisan dirinya menjadi uskup. Pada tahun 1665, Gregorios Abdul Jalil, uskup yang diutus Batrik Antiokhia Ortodoks Suryani, tiba di India. Kedatangannya disongsong golongan yang dipimpin Toma I. Gregorios Abdul Jalil diutus sebagai tanggapan terhadap surat yang dilayangkan Toma I kepada Kebatrikan Antiokhia Ortodoks Oriental. Gregorios Abdul Jalil mengesahkan tahbisan Toma I,[51][52] dan dengan demikian membuat perpecahan umat Kristen Santo Tomas menjadi resmi sifatnya. Golongan yang berafiliasi dengan Gereja Katolik di bawah pimpinan Uskup Paliwitil Candi menyebut diri mereka sebagai Pazayakutukar atau "Kawanan Lama", dan menyebut golongan yang berafiliasi dengan Toma I sebagai Putengkutukar atau "Kawanan Baru".[53][54][55][56] Sebutan-sebutan tersebut agak kontroversial karena kedua belah pihak sama-sama menganggap diri sendiri sebagai ahli waris sejati tradisi Santo Tomas, dan menganggap pihak lawan sebagai golongan sempalan.[53] Gregorios Abdul Jalil memperkenalkan liturgi, adat-istiadat, dan aksara Suryani Barat ke daerah Pesisir Malabar.[57] Sejak saat itu, kunjungan para prelatus Ortodoks Suryani dari Gereja Antiokhia berlangsung terus-menerus, dan ritus liturgis Suryani Timur lambat laun tergantikan oleh ritus liturgis Suriah Barat. Golongan Putengkur pun akhirnya menganut Kristologi Miafisit yang menjadi akidah persekutuan Kristen Ortodoks Oriental.[58][59][60] Golongan Pazayakur tetap melestarikan tradisi Suryani Timur di pangkuan Gereja Katolik dengan akidah Diofisitnya.[61] Meskipun demikian, sepeninggal Uskup Paliwitil Candi pada tahun 1687, golongan ini kembali dipimpin misionaris asing untuk waktu yang lama,[62] dan harus menghadapi berbagai rongrongan terhadap khazanah warisan sejarah maupun ritus peribadatan mereka yang asli, ketimuran, dan suryani.[63] Golongan Pazayakur adalah cikal bakal Gereja Suryani Malabar dan Gereja Suryani Kasdim, sementara golongan Putengkur adalah cikal bakal Gereja Masehi Suryani Yakubi, Gereja Suryani Ortodoks Malangkara, Gereja Suryani Mar Toma, Gereja Katolik Suryani Malangkara, dan Gereja Suryani Mandiri Malabar.[64][52] Baca jugaRujukan
Kepustakaan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Prasetia Salib Kunan.
|