Perang KotorIstilah perang kotor pada umumnya mengacu pada program terorisme negara dalam menanggapi apa yang dipahami sebagai subversi sayap kiri yang dituduh mengancam kestabilan negara. Para penentang langkah-langkah ini sebaliknya menganggapnya sebagai strategi ketegangan yang sengaja dikembangkan untuk membenarkan suatu program rezim otoriter yang menindas. Nama Perang Kotor (dalam bahasa Spanyol: Guerra Sucia) sering kali digunakan khususnya untuk mengacu pada pembersihan terhadap warga negara pembangkang yang dilakukan antara 1976 dan 1983 oleh pemerintahan militer Jorge Rafael Videla di Argentina (pada apa yang disebut Proses Reorganisasi Nasional). Pada masa ini, pemerintahan junta yang dipimpin oleh Videla hingga 1981, kemudian oleh Roberto Viola dan Leopoldo Galtieri, bertanggung jawab atas penangkapan ilegal, penyiksaan, pembunuhan, atau penghilangan paksa atas sekitar 10.000 hingga 3.000 orang Argentina. Kejahatan-kejahatan ini adalah bagian dari suatu rencana terorisme negara yang lebih luas — hingga mencakup seluruh Amerika Selatan — yang disebut Operasi Burung Kondor, yang keberadaannya sekurang-kurangnya diketahui oleh Departemen Luar Negeri AS, yang dipimpin oleh Henry Kissinger di bawah Presiden Richard Nixon. Perdebatan telah berlangsung lama di Argentina menyangkut masalah amnesti untuk para perwira yang tersangkut dalam Perang Kotor ini. Suatu bentuk amnesti secara kontroversial disahkan sebagai hukum setelah pemerintahan demokratis dipulihkan dan proses peradilan dilakukan terhadap para pemimpin tertinggi junta militer pada 1984, pada masa kepresidenan Raúl Alfonsín (1983–1989), tetapi hal ini tetap tidak populer. Pada Juni 2005, Mahkamah Agung Argentina membatalkan undang-undang Amnesti yang disebut Ley de Punto Final Undang-undang "Titik" dan Ley de Obediencia Debida ("Undang-undang Ketaatan"), sehingga membuka pintu bagi tuntutan terhadap para bekas perwira Junta [1]. Undang-undang Punto Final disahkan pada 24 Desember 1986, di bawah kepresidenan Raúl Alfonsín dan menghapuskan segala tuntutan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan sebelum 10 Desember 1983. [2] Kembalinya PeronismeSejak Juan Domingo Perón, seorang bekas perwira Angkatan Darat digulingkan dari jabatannya sebagai presiden Argentina oleh sebuah kudeta pada 1955 (Revolución Libertadora) (Revolusi Pembebasan), kebencian militer terhadap gerakannya yang merakyat (Peronisme) telah mendominasi politik Argentina. Setelah hampir dua dasawarsa pemerintahan sipil yang lemah, kemerosotan ekonomi dan intervensi militer, Perón kembali dari pembuangan dan terpilih kembali pada 1973, didukung oleh sebuah koalisi luas yang merentang dari para anggota serikat buruh di tengah hingga kaum nasionalis fasis di sayap kanan dan kaum radikal sosialis seperti kelompok Montoneros yang dipimpin oleh Mario Firmenich di sayap kiri. Namun, setelah ia kembali ke tampuk kekuasaan, Peron tidak lagi dapat memuaskan semua orang. Sang caudillo tua meninggal dunia pada 4 Juli 1974 dan meninggalkan Isabel Martínez de Perón, wakil presiden dan istri ketiganya untuk menghadapi perebutan yang penuh kekerasan antara pendukung-pendukungnya di sayap kanan dan sayap kiri. AAA (Alianza Antiimperialista Argentina (Aliansi Antiimperialis Argentina) yang belakangan berganti nama menjadi Alianza Anticomunista Argentina), yang dibentuk oleh José López Rega, menteri sosial di bawah Isabel dan anggota loji freemason (yang terlibat dalam strategi ketegangan Italia) menjawab serangan-serangan kaum Montoneros dengan cara yang sama, seperti dengan membunuh José Ignacio Rucci, Sekretaris Jenderal Peronis dari Confederación General del Trabajo (CGT - Serikat Buruh Argentina). Sementara itu, Ejército Revolucionario del Pueblo ("Tentara Revolusioner Rakyat" atau ERP), yang Marxis, yang dipimpin oleh Roberto Santucho, mulai melakukan pemberontakan di pedesaan di provinsi Tucumán, di daerah pegunungan di barat daya Argentina. akibatnya, pada Februari 1975, pemerintahan demokratis Isabel Martínez de Perón mengeluarkan Dekret No. 261 yang memerintahkan tentara untuk membasmi kaum pemberontak di Tucumán. Militer berkuasaPada pertengahan tahun 1975, negara menjadi panggung dari kekerasan yang meluas. Pasukan-pasukan maut sayap kanan ekstrem, seperti misalnya Aliansi Antikomunis Argentina, yang dibentuk oleh José López Rega, menteri kesejahteraan social Juan Perón dan seorang anggota P2, menggunakan perburuan mereka untuk mencari para gerilyawan sayap kiri ekstrem sebagai alasan untuk membasmi semua lawan ideologis mereka di sayap kiri dan sebagai selubung untuk kejahatan-kejahatan biasa. Pembunuhan politik dan penculikan oleh kaum Montoneros dan ERP (Ejército Revolucionario del Pueblo - " Tentara Revolusioner Rakyat") ikut menyebarkan rasa takut. Pada bulan Juli, terjadi pemogokan umum. Pada 6 Oktober 1975, pemerintah, yang untuk sementara waktu dipimpin oleh Italo Luder dari Partai Peronis, mengeluarkan tiga dekret untuk melawan para gerilyawan. Dekret 2770, 2771 dan 2772 menciptakan sebuah Dewan Keamanan yang dipimpin oleh presiden dan mengikutsertakan menteri-menterinya serta para panglima dari angkatan bersenjata. Dewan ini diberikan komando atas polisi nasional dan provinsi dan fasilitas-fasilitas penjara dan misinya adalah membasmi para gerilyawan di seluruh wilayah Argentina. Kaum Konservatif, termasuk sejumlah elit yang kaya, menggalakkan militer, yang siap untuk memegang kendali dengan menyusun daftar orang-orang yang harus “ditangani” setelah kudeta yang telah direncanakan. Pada 1975, Presiden Isabel Perón, di bawah tekanan dari militer, mengangkat Jorge Rafael Videla panglima tertinggi militer Argentina. "Sebanyak mungkin orang mungkin harus mati di Argentina sehingga negara bisa aman kembali," demikian Videla mengumumkan pada 1975 dalam dukungannya terhadap pasukan-pasukan maut. Videla adalah salah seorang pimpinan militer dari kudeta itu yang menggulingkan Isabel Perón pada 24 Maret 1976. Sebagai ganti Perón, diangkatlah sebuah junta militer, yang dipimpin oleh Admiral Emilio Eduardo Massera (yang juga seorang anggota loji freemason P2), yang keluar pada September 1978, Jendearl Orlando Agosti dan Videla sendiri. Pelanggaran hak-hak asasi manusiaPada 1976, salah seorang jenderal meramalkan, “Kita harus membunuh 50.000 orang: 25.000 orang subversif, 20.000 orang simpatisan, dan 5.000 orang lainnya hanya kekeliruan.” Perkiraan jumlah orang Argentina yang terbunuh atau "desaparecido" oleh rezim militer pada 1979–1983 diperkirakan antara 6.000 hingga 30.000 orang. Setelah kejatuhan rezim militer, CONADEP, sebuah komisi sipil pemerintah memperkirakan jumlah mereka yang hilang mendekati 11.000 orang. Para korban meliputi tidak hanya para gerilyawan bersenjata, yang organisasinya praktis sudah dibasmi, tetapi siapapun yang diyakini berhubungan dengan kelompok-kelompok front radikal, termasuk para anggota serikat buruh, mahasiswa dan orang-orang yang dianggap berpandangan kiri. (misalnya, biarawati Prancis Leonie Duquet, yang diculik oleh Alfredo Astiz). Sembilan ratus orang lainnya dibunuh atau "dihilangkan" oleh pasukan-pasukan maut, di antaranya adalah Triple A, yang dihubungkan dengan rezim Peronis sebelum kudeta. Gerilya bertanggung jawab atas pembunuhan sekitar 1.500 orang pada masa ini, ditambah hampir 1.800 penculikan. Organisasi-organisasi yang erat terkait dengan terorisme negara ini meliputi Batallón de Inteligencia 601 dari unit militer, Sekolah Mekanik Angkatan Laut the Naval Mechanics School (ESMA), dan Secretaría de Inteligencia de Estado SIDE. SIDE bekerja sama dengan DINA, mitranya dari Chili dan dan satuan-satuan intelijen Amerika Selatan dalam Operasi Burung Kondor. Para sanak keluarga dari korban-korbannya menemukan bukti-bukti bahwa sejumlah anak dari para korban menemukan bukti-bukti bahwa beberapa anak diambil dari ibu mereka segera setelah mereka dilahirkan dan kemudian dibesarkan sebagai anak-anak angkat dari sejumlah keluarga militer, seperti dalam kasus Silvia Quintela. Selama hampir tiga puluh tahun, sebuah kelompok yang menyebut dirinya Ibu-ibu dari Plaza de Mayo telah menuntut dikembalikannya anak-anak yang diculik ini, yang diperkirakan jumlahnya mencapai 500 orang. Sebagian korban bahkan didorong jatuh dari pesawat ke perairan Río de la Plata atau Samudera Atlantik hingga tenggelam (bentuk penghilangan ini diistilahkan vuelos de la muerte, "penerbangan maut"). Pada 1977, Jorge Videla mengatakan kepada para wartawan Inggris, "Dengan tegas saya menyangkal bahwa di Argentina ada kamp konsentrasi, atau lembaga-lembaga militer di mana orang-orang ditahan lebih lama daripada yang mutlak diperlukan dalam … perjuangan melawan subversi ini.” Namun ada orang-orang seperti Alicia Partnoy, yang disiksa dan yang telah menuliskan pengalamannya dalam buku "The Little School", yang mengklaim sebaliknya. Pada 1980, Adolfo Pérez Esquivel, seorang aktivis hak asasi manusia Katolik yang telah mengorganisasi "Servicio de Paz y Justicia" dan mengalami siksaan sementara ditahan tanpa pernah diadili selama 14 bulan di sebuah kamp konsentrasi di Buenos Aires, diberikan Penghargaan Perdamaian Nobel atas usaha-usahanya untuk membela hak-hak asasi manusia di Argentina. Pada 1981 Videla pensiun dan Jenderal Roberto Eduardo Viola menggantikannya, tetapi sembilan bulan kemudian Viola mengundurkan diri karena alasan-alasan kesehatan, dan Jenderal Leopoldo Fortunato Galtieri mengambil alih kedudukannya. Demokarsi kembali bersama Raúl Alfonsín, yang membentuk CONADEP ("Komisi Nasional untuk Orang-orang yang Hilang) pada 15 Desember 1983. Raúl Alfonsín kemudian mengajukan Ley de Punto Final dan Ley de Obediencia Debida sebagai undang-undang amnesty, tetapi dibatalkan pada Juni 2005 oleh Mahkamah Agung. Invasi ke Kepulauan FalklandPada 1982, militer Argentina menyerbu ke Kepulauan Falkland yang dikuasai Britania, dalam sebuah upaya yang putus asa mempersatukan rakyat di sekitar perang ini, mengangkat semangat patriotik. Junta dengan segera dikalahkan oleh Britania, yang dipimpin oleh Margaret Thatcher, yang merebut kembali kepulauan itu. Tampaknya junta, yang begitu yakin akan dukungan AS, mengira bahwa Britania tidak akan menyerang untuk wilayah yang begitu kecil. Kekalahan dalam perang ini menyebabkan pengunduran diri Galtieri pada 17 Juni tahun yang sama, dan junta ketiga (dan yang terakhir) dibentuk dan diberikan kekuasaan di bawah presiden yang baru, Reynaldo Bignone. Pendudukan terhadap Kep. Falkland mempercepat berakhirnya pemerintahan junta. Anti-KomunismeMisi junta konon adalah untuk mempertahankan diri dalam menghadapi komunisme internasional. Memang, doktrin “perang ideologi” dari militer Argentina adalah memusatkan perhatian pada upaya menghapuskan basis sosial pemberontakan serta menyerang kaum gerilyawan itu sendiri. Mereka juga berhubungan dengan pemerintahan diktatur Amerika Selatan lainnya dalam Operasi Burung Kondor, dan bekerja sama dengan erat dengan Liga Anti komunis se-Dunia yang berbasis di Asia, dan afiliasinya di Amerika Latin, Confederación Anticomunista LatinoAmericana. Pada 1980, militer Argentina membantu penjahat perang Nazi Klaus Barbie, Stefano Delle Chiaie dan para juragan narkoba besar melakukan kudeta kokain berdarah terhadap Luis García Meza Tejada di negara tetangga Bolivia. Sejumlah satuan khusus, seperti misalnya Batallón de Inteligencia 601, juga melatih tentara-tentara Contras Nikaragua pada tahun 1980-an. Sejak berakhirnya diktatur, sebagian bekas militer, politikus dan wartawan telah berusaha membenarkan kejahatan-kejahatan ini sebagai sesuatu yang disayangkan atau semata-mata sebagai “ekses” yang tidak terhindari yang disebabkan oleh hakikat lawan sendiri (artinya, kaum pemberontak), yang menggunakan taktik yang sama. Para kritik juga menciptakan ungkapan "doktrin dua iblis" untuk mendukung tesis yang berpandangan bahwa kekuatan hukum dari negara nasional dan kelompok-kelompok subversif radikal secara moral adalah entitas yang sebanding. Lawan-lawan dari teori ini berbicara tentang strategi ketegangan yang disengaja. Keterlibatan ASMenurut Arsip Keamanan Nasional, junta yang dipimpin oleh Jorge Rafael Videla percaya bahwa mereka mendapatkan persetujuan Amerika Serikat untuk serangan totalnya terhadap golongan kiri atas nama “doktrin keamanan nasional”. Kedutaan besar AS di Buenos Aires mengadu ke Washington bahwa para pejabat Argentina "bergembira" ketika mendapatkan sinyal-sinyal dari pejabat-pejabat tinggi AS, termasuk Menteri Luar Negeri Henry Kissinger [3]. Setelah pengunduran diri Richard Nixon, penekanan hak-hak asasi manusia oleh Presiden Jimmy Carter menyebabkan hubungan yang tegang antara AS dan rezim militer di Argentina pada puncak Perang Kotor pada akhir tahun 1970-an. Namun Reagan yang terpilih pada 1981, menegaskan bahwa Carter telah memperlemah hubungan diplomatic AS dengan sekutu-sekutunya dalam Perang Dingin dan membalikkan kutukan resmi pemerintahan sebelumnya terhadap praktik-praktik hak-hak asasi manusia junta. Pembentukan kembali hubungan diplomatik memungkinkan CIA bekerja sama dengan dinas intelijen Argentina dalam latihan dan persenjataan tentara-tentara Contra Nikaragua melawan pemerintahan Sandinista. 601 Intelligence Battalion, misalnya, melatih Contras di pangkalan Lepaterique, di Honduras. (lihat Affair Iran-Contra). Komisi Kebenaran dan pengadilanJunta melepaskan kekuasaannya pada 1983. Setelah pemilu yang demokratis, Presiden terpilih Raúl Alfonsín membentuk National Commission for Forced Disappearances (CONADEP) pada Desember 1983, yang dipimpin oleh penulis Ernesto Sábato, untuk mengumpulkan bukti-bukti tentang kejahatan Perang Kotor. Rincian-rincian yang mengerikan, termasuk dokumentasi mengenai hilangnya hampir 11.000 orang, mengejutkan dunia..Jorge Rafael Videla, pemimpin junta, termasuk di antara jenderal-jenderal yang dinyatakan bersalah melakukan kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk penghilangan paksa, penyiksaan, pembunuhan, dan penculikan. Presiden Alfonsín memerintahkan sembilan anggota junta militer dikenai tuduhan hokum, bersama-sama dengan pemimpin gerilya, Mario Firmenich, Fernando Vaca Narvaja, Rodolfo Galimberti, Roberto Perdía, dan Enrique Gorriarán Merlo. Pada 1985, Videla dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di penjara militer Magdalena. Namun pada 1990-12-29, Presiden Carlos Menem memberikan pengampunan kepada Videla dan para jenderal lain yang terbukti bersalah. Pada 1998, Videla menerima hukuman penjara atas peranannya dalam penculikan 11 anak pada masa pemerintahan rezimnya dan atas pemalsuan dokumen-dokumen identitas anak-anak itu ("bayi-bayi yang dicuri", diculik dari orang tua mereka yang ditangkap, dan dibesarkan oleh keluarga militer). Sebagian orang menganggap pengampunan ini sebagai keputusan pragmatis untuk rekonsiliasi nasional yang berusaha memuaskan pihak militer dan dengan demikian mencegah pemberontakan lebih jauh. Yang lainnya mengutuknya dan menganggapnya inkonstitusional, sambil mencatat bahwa hak Presiden yang diakui konsitusional untuk mengampuni tidak mencakup orang-orang yang belum dinyatakan bersalah — seperti yang terjadi dalam kasus sejumlah pejabat militer. Yang lainnya lagi menganggap bahwa hak istimewa Presiden ini tidak tepat untuk masa modern, menganggapnya seagai sisa-sisa pemerintahan monarkhi yang harus dihapuskan. Ironisnya, diktator Videla secara de facto tidak dapat meninggalkan rumahnya, karena setiap kali ia keluar di muka umum, ia dapat dihina atau bahkan diserang. Suatu kali, jalanan dicat dengan tanda-tanda panah yang besar menunjuk ke rumahnya, ditambah dengan kata-kata: 30.000 orang hilang, pembunuh bebas berkeliaran. Pemerintah-pemerintah asing yang warga negaranya menjadi korban Perang Kotor ini melakukan tuntutan-tuntutan individual terhadap bekas rezim militer. Prancis telah mengusahkan ekstradisi atas Kapten Alfredo Astiz atas penculikan dan pembunuhan warganya, di antaranya biarawati Leonie Duquet. Adolfo Scilingo, seorang bekas perwira Angkatan Laut Argentina, dinyatakan bersalah di Spanyol pada 19 April 2005, dan dijatuhi hukuman 640 tahun dengan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kontroversi berlanjutPada 2001, Jorge Zorreguieta, seorang warga sipil yang pernah menjadi wakil menteri Pertanian dalam rezim Videla, menjadi pusat perhatian ketika anak perempuannya, Máxima bertunangan dengan Putra Mahkota Belanda. Pentingnya hubungannya dengan keluarga kerajaan Belanda, dan kemungkinan kehadirannya dalam pesta pernikahan kerajaan hangat diperdebatkan selama berbulan-bulan. Zorreguieta mengklaim bahwa, sebagai seorang warga sipil, ia tidak sadar akan Perang Kotor itu, sementara ia menjadi anggota kabinet. Namun, hal itu tampaknya tidak mungkin bagi seseorang yang memiliki posisi yang begitu berkuasa di pemerintahan. Tuduhan-tuduhan resmi belum pernah diajukan terhadapnya, tetapi ia dilarang menghadiri pernikahan kerajaan yang diadakan di Amsterdam pada 2 Februari 2002. Tuduhan terhadap Kardinal BergoglioPada 15 April 2005, seorang pengacara hak-hak asasi manusia mengajukan pengaduan kriminal terhadap Kardinal Jorge Bergoglio, dari Argentina dan menuduhnya telah bersekongkol dengan junta pada 1976 untuk menculik dua orang imam Yesuit. Sejauh ini tidak ada bukti kuat yang telah diajukan yang menghubungkan kardinal dengan kejahatan ini. Diketahui bahwa kardinal adalah seorang tokoh tertinggi dalam Serikat Yesus dari para Yesuit Argentina pada tahun 1976 dan telah meminta kedua imam itu meninggalkan pelayanan penggembalaan mereka setelah terjadinya konflik di dalam Ordo mengenai bagaimana mestinya mereka menanggapi pemerintahan diktatur militer yang baru, dengan sejumlah imam menganjurkan penggulingan kekuasaan dengan kekerasan. Juru bicara Bergoglio menyangkal keras tuduhan-tuduhan ini. [4] Harus dicatat bahwa Bergoglio adalah seorang tokoh kunci dalam pembebasaan para imam Katolik setelah mereka diculik oleh pasukan-pasukan Angkatan laut Argentina, sementara ia menekan Panglima Angkatan laut, Emilio Eduardo Massera. Pengaduan ini diajukan sementara konklaf Katolik Roma bersiap-siap memilih seorang paus yang baru, kemungkinan sebagai cara untuk memprotes pencalonan Bergoglio. Lihat pula
Pranala luar
Buku-bukuStudi oleh Paul Lewis dari Universitas Tulane adalah karya standar masa kini yang meneliti konteks dan akibat-akibat dari Perang Kotor ini.
Film
|