Mi Le Da Dao
Mi Le Da Dao (Hanzi: 彌勒大道; Pinyin: Mílè dàdào) atau Maitreya Great Tao adalah agama keselamatan Tiongkok yang didirikan oleh Wang Hao-te pada akhir abad ke-20. Agama ini terbentuk setelah terjadinya penolakan dari para pemimpin kelompok-kelompok I Kuan Tao pada keabsahan Firman Tuhan yang diemban oleh Wang Hao-te, setelah meninggalnya Sun Suzhen di tahun 1975.[1] Agama ini kemudian terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Taiwan (中華民國內政部) di tahun 2000 dan sepenuhnya menjadi agama yang berbeda dengan I Kuan Tao. Sosok pemujaan utama adalah Buddha Maitreya, dan kubah di atas aula utama memiliki pola Ibu Mulia Tanpa Batas (無極老母). SejarahPada tahun 1975, setelah meninggalnya Sun Suzhen (Shi Mu), patriark kedelapan belas dari I Kuan Tao, Wang Haode, yang menjadi senior yang selama ini mendampingi Shi Mu mengaku telah mendapatkan Firman Tuhan dari Shi Mu, menyebut dirinya sebagai “Perwakilan dari Shi Mu” (師母大人代表人), dan berniat untuk memimpin I Kuan Tao. Penunjukan ini tidak diakui oleh para pemimpin kelompok I Kuan Tao lain.[1] Sejak itu Wang menyebarkan ajaran menggunakan nama Xian Tian Da Dao (先天大道) dan kemudian mengganti nama kelompoknya menjadi Mi Le Da Dao (彌勒大道) pada tahun 2000.[2] Pada tahun 1987, Wang Haode mendirikan "Maha Vihara Tian En Maitreya" (天恩彌勒佛) di Kota Hsinchu, berdekatan dengan Taman Sains Hsinchu dan di saat yang sama membeli tanah di Desa Huguang, Kotapraja Emei, Kabupaten Hsinchu sebagai rencana pembangunan vihara baru.[3] Pada Bulan Juni 2000, dengan persetujuan Kementerian Dalam Negeri Taiwan (中華民國內政部) dibentuklah Yayasan Asosiasi Maitreya Great Tao (財團法人彌勒大道總會基金會). Di saat yang sama vihara juga berpindah ke Emei, serta membuat rencana pembangunan Nature Loving Wonderland (大自然文化世界). Miledadao secara resmi diakui sebagai agama baru yang berbeda dengan I Kuan Tao oleh Kementrian Dalam Negeri Taiwan pada bulan Mei 2001. Pada Oktober 2002, pembangunan patung Buddha Maitreya perunggu setinggi 72 meter dimulai di tepi Danau Emei di Kabupaten Hsinchu.[4] Pada tanggal 19 Agustus 2011, pembukaan dan pemotongan pita Nature Loving Wonderland diadakan, menarik lebih dari 3.000 orang dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam acara akbar tersebut.[3] Menurut statistik pemerintah tahun 2005, jumlah pengikut Maitreya Great Tao sebesar 1 persen dari total penduduk Taiwan.[5] Jutaan lainnya diperkirakan adalah umat yang ada di luar negeri. Miledadao di IndonesiaI Kuan Tao mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1949, melalui seorang pandita bernama Chen Boling (陳伯齡) dari grup Baoguang Jiande (寶光建德). Chen Boling yang di kemudian hari dikenal dengan nama Maitreyawira datang ke Malang, Indonesia untuk mulai menyebarkan ajaran.[6] Dia diutus oleh sesepuh Lǚ Shugen (呂樹根) yang merupakan pemimpin dari kelompok Baoguang Jiande dalam rangka misi kaihuang (開荒 membuka ladang baru / membuka kalangan Tao di tempat baru) di Indonesia.[1] Dia mendirikan vihara (佛堂 fotang) Maitreya pertama di Malang bernama Qiaoguang Tang (僑光堂) pada tahun 1950. Pada tahun-tahun awalnya, Chen membuka kalangan Tao di lokasi-lokasi baru hampir setiap tahun. Di akhir tahun 1950, Chen menyebarkan ajaran ke Pasuruan dan melintasi Yang Caihui (楊彩繪) yang kemudian menjadi tangan kanannya.[7] Chen membuka kalangan Tao ke Semarang, Surabaya, Jakarta, Medan, Palembang dan berbagai kota di Indonesia. Dalam waktu kurang dari tiga puluh tahun, lebih dari dua ratus vihara umum dan vihara keluarga telah didirikan di Indonesia.[7][8] Dalam perkembangannya, Chen Boling mengubah kotbah-kotbahnya menjadi sangat terlokalisasi serta mengijinkan para umat-umatnya untuk menerjemahkan istilah-istilah bahasa Mandarin menjadi bahasa Indonesia. Pada saat masuk ke dalam Orde Baru, di mana terjadi surpresi terhadap kebudayaan Tionghua, semua vihara yang di bawah kepemimpinan Chen Boling menyesuaikan diri dengan mengubah hampir semua istilah-istilah bahasa mandarin di dalam vihara menjadi bahasa Indonesia.[7] Di masa Orde Baru ini, kelompok-kelompok Yiguandao yang lain di Taiwan tidak berani menyebarkan ajaran di Indonesia karena adanya kebijakan anti-Tionghua yang dijalankan Orde Baru.[9] Sementara itu, kalangan Tao yang berada di bawah kepemimpinan Chen Boling ini terus berkembang menjadi salah satu aliran dari agama Buddha di Indonesia. Kalangan Tao yang dipimpin Chen Boling juga mulai mengadopsi istilah-istilah bahasa Indonesia dari bahasa Sanskerta serta mengubah gelar-gelar para dewa yang disembah dan upacara keagamaan ke dalam Bahasa Indonesia.[9] Sebagai contoh, Zhang Tianran, salah satu dari patriark ke-18 I Kuan Tao, diterjemahkan menjadi "Bapak Guru Agung", sementara itu Sun Huiming, diterjemahkan menjadi "Ibu Suci".[7] Dan kitab yang penting seperti "Penjelasan dari Jawaban Kebenaran" (性理題釋) diterjemahkan menjadi "Kitab Uraian Metafisika".[7] Vihara-vihara pun tercantum kalimat "Tuhan Maha Esa", dan mulai mengikuti perayaan agama Buddha seperti Waisak, Kathina, dan menggantungkan gambar Buddha Siddharta. Hal ini merupakan salah satu alasan utama mengapa I Kuan Tao di bawah kepemimpinan Chen berkembang pesat dan dapat bertahan di era Orde Baru. Setelah meninggalnya Shi Mu di tahun 1975, terjadi kekacauan di kalangan I Kuan Tao di Taiwan. Wang Hao-te mengklaim bahwa dirinya merupakan penerus Firman Tuhan yang diangkat oleh Shi Mu. Para pemimpin kelompok I Kuan Tao menolak klaim tersebut dan tidak lagi mengakui kelompok Wang Hao-te sebagai bagian dari I Kuan Tao, sehingga Wang Hao-te mendirikan kelompok baru yang kemudian dikenal dengan nama Miledadao. Wang Hao-te kemudian menghubungi kalangan I Kuan Tao yang ada di Indonesia, tapi Chen Boling melarang Wang Hao-te untuk mencampuri urusan kalangan Tao di Indonesia dan melarangnya untuk menginjakkan kaki di pulau Jawa.[8] Demi urusan ini, Wang Hao-te menjalin komunikasi dengan kalangan Tao yang ada di Medan. Sesepuh yang bertanggung jawab di kalangan Tao Medan, Yang Shuiyuan (楊水源) atau dikenal dengan Prajnamitra, sudah cukup tua sehingga menyerahkan urusan Tao kepada anaknya Yang Qingmu (楊青木), yang kemudian mengakui Firman Tuhan Wang Hao-te dan membuat kalangan Tao di Medan mengikuti petunjuk dari kalangan Miledadao, dan juga membantu Wang Hao-te mengambil alih kalangan-kalangan Tao di vihara lainnya.[8] Selanjutnya, Wang Hao-te menetapkan Fu Yuchun (傅玉春) sebagai penerus dari Chen Boling. Tak lama setelah itu, Chen Boling meninggal dunia, dan sebagian besar kalangan Tao di Indonesia sudah masuk ke dalam kalangan Miledadao. Setelah itu, Wang Hao-te mengangkat Fu Yuchun sebagai sesepuh (qianren), tapi pada prakteknya, dia tidak memegang kekuasaan secara sebenarnya. Fu sering bepergian ke Australia demi mengobati penyakitnya dan pada akhirnya memutuskan untuk pindah ke Australia.[8] Salah satu pemimpin kalangan Tao di Jakarta, Yang Xiaoqin (楊孝親) tidak mengakui Firman Tuhan Wang Hao-de dan keluar dari kalangan Miledadao, dan sejak itu kalangan Tao-nya secara berlahan mulai habis. Dari sini, dapat dilihat bahwa pada tahun 1970-an dan 1980-an, kalangan Tao di bawah kepimpinan Chen Boling harus menanggung tekanan kebijakan anti-Tionghua secara eksternal, sementara secara internal, mereka berada dalam kondisi kebingungan dan kekacauan akibat pengakuan dari Wang Hao-te setelah Shi Mu meninggal.[8] Pengubahan semua elemen ke dalam bahasa Indonesia menjadi pedang bermata dua, di satu sisi hal tersebut membuat ajaran menjadi mudah diterima di kalangan masyarakat Indonesia dan sesuai dengan kebijakan anti-Tionghua yang dijalankan Orde Baru, di sisi lain hal tersebut membuat para penceramah lokal Indonesia tidak mengetahui asal-usul kalangan Tao induk-nya di Taiwan, sehingga hampir semua kalangan Tao di Indonesia sulit untuk menjalin hubungan dengan kelompok asalnya di Taiwan. Maka secara alami, banyak kalangan I Kuan Tao di Indonesia yang pada akhirnya berubah menjadi Miledadao.[10] Miledadao secara resmi diakui di Indonesia setelah mendaftarkan diri ke Kementerian Agama pada tahun 2000 dan membentuk Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI) yang bernaung di bawah Walubi. Lihat pulaReferensi
Daftar Pustaka
|