Lancipan Maros (artefak)
Lancipan Maros (atau kalangan arkeolog umum menyebut sebagai Maros point) adalah artefak dari alat batu berbentuk serpihan mata panah bergerigi dari peradaban prasejarah budaya Toalean di Sulawesi Selatan. Artefak ini adalah jenis artefak teknokompleks yang pertama kali ditemukan oleh Fritz Sarasin dan Paul Sarasin saat menjelajahi wilayah pegunungan karst di Sulawesi Selatan pada tahun 1902. Awal munculnya masih diperdebatkan. Namun, sebagian besar ahli sepakat bahwa alat ini baru muncul tidak lebih dari 4.000 tahun yang lalu dan diposisikan sekonteks dengan tembikar atau masa neolitik. Lancipan Maros dianggap dibuat oleh penghuni awal Sulawesi setelah kedatangan dan kontak dengan migrasi penutur Austronesia di Sulawesi Selatan. Permasalahannya adalah hasil penelitian terbaru justru bertentangan dengan pendapat sebelumnya. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bukti baru dari penggalian di situs Leang Jarie, sebagai teknologi Maros Point paling tua berumur ca. 8.000 tahun lalu di kawasan budaya Toalean. Maros Point dari masa preneolitik dibuat lebih sederhana dengan dukungan serpih tanpa harus menggunakan pola penyerpihan teknologi serpih bilah. Serpih dengan bentuk yang tidak simetris pun dapat dimanfaatkan selama memiliki ujung runcing dan tipis. Teknik peretusan “dipunggungkan” juga digunakan untuk memaksimal serpih dengan tepian tajaman yang terjal. Dengan demikian, fase budaya Toalean yang disusun oleh penelitian sebelumnya perlu ditinjau ulang dan kehadiran Maros Point tidak bisa lagi dijadikan sebagai penanda fase paling muda. Maros Point diproduksi dari awal holosen atau preneolitik dan mungkin terus berlanjut hingga masa neolitik.[1] KarakteristikLancipan Maros memiliki karakteristik teknokompleks dari peradaban prasejarah budaya Toalean di Sulawesi Selatan. Alat batu ini berbentuk segitiga sama kaki meruncing (lancip) dengan ukuran berkisar 1–3 cm. Terdapat cekungan/lekukan (bercabang) di bagian pangkal, serta gerigi pada kedua sisinya. Para ahli mengasosiasikan bentuknya dengan mata panah. Meski alat batu berbentuk mata panah cukup umum ditemukan, namun detail gerigi pada kedua sisi (lateral) menjadi ciri pembeda lancipan Maros. Sejauh ini, belum ada temuan artefak sejenis dari belahan dunia lain yang identik secara keseluruhan dengan lancipan Maros.[2] Fungsi dan teknik pembuatanPara ahli memiliki banyak pandangan mengenai fungsi lancipan Maros. Ada yang berpandangan bahwa lancipan Maros digunakan dengan cara diikat dan ditancapkan pada ujung kayu sebagai tombak atau panah. Alat ini digunakan oleh manusia Toalean di Pulau Sulawesi. Mereka merupakan masyarakat yang belum sepenuhnya diketahui asal usulnya. Para peneliti sepakat, mereka adalah Homo sapiens modern, leluhur jauh manusia modern sekarang. Manusia Toala berbeda dengan manusia dalam gelombang Austronesia dari Tiongkok. Orang-orang Austronesia inilah yang disebut sebagai leluhur langsung manusia Sulawesi saat ini. Austronesia keluar dari Tiongkok sekitar 6.000 tahun lalu, dan mencapai Sulawesi sekitar 4.000 hingga 3.000 tahun lalu. Ciri khas pendukung kebudayaan ini adalah membawa teknologi tembikar. Manusia prasejarah membuat lancipan Maros dengan membuat serpihan (support) terlebih dahulu. Support merupakan hasil pelepasan pertama dengan teknik direct percussion. Ini adalah bentuk dasar berbentuk segitiga sebagai cikal bakal untuk membentuk lancipan Maros. Setelah memperoleh serpihan yang baik (ideal) berbentuk segitiga mereka lalu mulai memberikan sentuhan. Meretus bagian pangkal dan atau kedua sisi lateralnya.[3][4] Persebaran dan temuanLancipan Maros ditemukan di banyak tempat di kawasan karts Maros, termasuk di Leang Jarie. Tidak hanya di wilayah Maros, lancipan Maros sebagai tinggalan budaya manusia Toala juga ditemukan di wilayah Pangkep, Selayar, Bone, dan Bantaeng walau tidak sebanyak di wilayah Maros. Dikatakan sebagai lancipan Maros atau Maros point karena jenis artefak ini pertama kali ditemukan di wilayah Maros.
Penelitian ahliDi dalam studi Arkeologi, lancipan Maros masuk ke dalam artefak batu yang disebut alat serpih. Secara teknologi dan kebudayaan, arkeolog menggolongkan artefak ini sebagai hasil dari kebudayaan tersendiri yang khas, yaitu “Teknokompleks Toalean”. Kekhasan lancipan Maros sudah sejak lama tercatat oleh peneliti asing. Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, etnolog sekaligus naturalis asal Swiss melaporkan keberadaan artefak ini untuk pertama kalinya di Leang Cakondo yang berlokasi di Bone pada Desember 1902. Mereka menyebut artefak ini “mata panah dengan gigi gergaji”. Dalam bukunya berbahasa Jerman jilid keduanya “Reisen in Celebes” yang terbit tahun 1905 mengungkap bahwa selama dua hari kedua naturalis ini menelisik Leang Cakondo. Tak sedikit tulang dan perkakas batu mereka temukan di kedalaman 10 cm. Mereka juga menemukan tulang, perkakas batu, dan sampah dapur yang melimpah pada kedalaman 40 cm. Makin ke dalam jumlahnya makin sedikit. Mereka menemukan beberapa perkakas batu. Di antara temuannya adalah kapak batu, alat penyerut, bilah pisau, dan mata panah. Dalam bukunya tersebut, mendeskripsikan rupa karakteristik dari lancipan Maros. Tak hanya menjelaskan bentuk dan karakter perkakas batunya, mereka juga menyertakan gambarnya dengan jelas. Hingga kemudian mengantarkan arkeolog lain meneliti lebih jauh di Leang Cakondo dan sekitarnya. Mulvaney dan Soejono (1970), pertama kali mendeskripsikan lancipan Maros secara detail. Melalui publikasi ilmiah mereka berdua dengan judul The Australian–Indonesian Archaelogical Expedition to Sulawesi melalui jurnal Asian Perspective volume 13. Menurutnya, lancipan Maros memiliki ciri: cekung dengan tepian bergerigi. Arkeolog dari dua negara berbeda ini menemukan lancipan Maros sebanyak 45 sampel di Leang Burung 1. Sekarang, gua ini secara administratif berada di Kelurahan Kalabbirang, Maros dan merupakan wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Pada tahun 1972, alat batu ini tercatat di dalam penelitian arkeolog asal Belanda, Hendrik Robbert van Heekeren. Di dalam bukunya yang berjudul “The Stone Age of Indonesia”, Heekeren menyusun kronologi lancipan Maros ke dalam fase kebudayaan neolitik, berbarengan dengan hadirnya peralatan berbahan tembikar. Heekeren juga mendefinisikan lancipan Maros yang ia peroleh dari Situs Batu Ejaya dan Panganreang Tudea, Kabupaten Bantaeng. Heekeren menemukan 143 lancipan Maros, kemudian menelitinya dengan melihat morfologinya secara umum. Senada dengan Heekeren, arkeolog Australia, Peter Bellwood memposisikan lancipan Maros ke dalam kebudayaan prasejarah yang usianya muda, tak lebih dari 4.000 tahun. Ia beranggapan bahwa teknologi artefak ini berasal dari kebudayaan penutur Austronesia yang bermigrasi ke Sulawesi. Ciri segitiga sama kaki dengan pangkal yang berongga adalah ungkapan Presland (1979). Setelah ia menganalisis 94 sampel lancipan Maros hasil penggalian di Situs Ulu Leang 1, Kelurahan Leang-Leang, Bantimurung, Maros dan juga merupakan wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Glover (1986), juga melakukan penelitian di Gua Ulu Leang 1. Hasilnya ia memperoleh pertanggalan tertua teknologi Toalian yang berlangsung 8.000–7.000 SM. “Teknologi Lancipan Maros dan mikrolitik geometrik berlangsung kira-kira 5.500 sampai dengan 3.500 SM. Glover juga meneliti bahan baku lancipan Maros. Ia mendapati bahwa chert dan vulkanik adalah bahan batuan yang digunakan manusia prasejarah untuk membuat lancipan Maros. Penelitian ini berlangsung di situs Batu Ejaya. Pertanggalan lancipan Maros ia peroleh angka 4.700 hingga 4.300 SM. Dua dekade terakhir, penelitian lancipan Maros kian masif dan intensif. Penelitian terbaru, Balai Arkeologi Sulawesi Selatan menemukan lancipan Maros dalam penggalian di Situs Leang Jarie, Sulawesi Selatan. Analisis temuan lancipan Maros oleh Suryatman dan tim menghadirkan perspektif baru. Berdasarkan stratigrafi tanah, temuan lancipan Maros berada satu lapisan dengan temuan artefak-artefak bercirikan masa pra-Neolitik. Pertanggalan radiokarbon pada arang di lapisan ini menunjukkan angka 7870-7750 BP, lebih tua dari pendapat Heekeren dan Bellwood. Berbagai kemungkinan masih terbuka, mengingat penelitian terus berlanjut. Terlebih lagi, teori yang menyatakan kegunaan alat ini sebagai mata panah belum terbukti. Perlu ada analisis pada jejak pemakaian alat untuk memastikan fungsi alat di dalam kebudayaan Toalean. Lembaga/instansi peneliti
Bagian koleksiLancipan Maros telah menjadi bagian koleksi dari beberapa museum di Sulawesi Selatan, diantaranya:
Galeri
Lihat pula
Referensi
|