Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-BangsaKomite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Bahasa Inggris: UN Human Rights Committee) atau dikenal dengan Komite Hak Asasi Manusia PBB merupakan badan ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dipilih oleh negara-negara anggota dengan mempertimbangkan laporan yang disampaikan oleh negara-negara tentang kepatuhan mereka terhadap Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).[1] Komite Hak Asasi Manusia PBB dibentuk berdasarkan pada Pasal 28 Konvenan dan terdiri dari 18 ahli independen yang dipilih untuk masa jabatan empat tahun oleh negara anggota pelaksana ICCPR.[2] Setiap anggota harus berasal dari negara anggota ICCPR, bermoral tinggi, dan memiliki kompetensi yang diakui di bidang hak asasi manusia di tingkat internasional. Setiap negara hanya bisa mengirimkan satu orang untuk dapat dimasukkan ke dalam Komite.[1] Badan ahli independen ini bertugas memantau pelaksanaan ICCPR oleh negara anggota (pemerintah) melalui pertimbangan dari laporan negara, pengaduan individual, dan keluhan antarnegara, persiapan dari komentar umum, pernyataan substantif, serta diskusi umum.[3] Sebagai badan hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Komite Hak Asasi Manusia memantau bagaimana pemerintah menerapkan dan menghormati hak asasi manusia.[4] Komite juga menerbitkan interpretasinya tentang isi ketentuan hak asasi manusia yang dikenal sebagai komentar umum tentang isu-isu tematik atau metode kerjanya. Komentar umum juga digunakan untuk menjelaskan hak-hak yang tercantum dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.[1] Komite ini biasanya mengadakan pertemuan tiga sesi per tahun di Jenewa, Swiss atau New York, Amerika Serikat.[5] Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak sama dengan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Bahasa Inggris: UN Human Rights Council) atau Dewan Hak Asasi Manusia PBB.[6] Pada Dewan Hak Asasi Manusia PBB terbentuk dari resolusi Majelis Umum PBB, dan membahas seluruh cakupan hak asasi manusia. Sementara itu, Komite Hak Asasi Manusia PBB adalah badan ahli PBB yang terdiri dari orang-orang berkompeten dan dibentuk melalui ICCPR sehingga ruang lingkup pembahasannya hanya berkaitan dengan perjanjian tersebut.[2] Dasar HukumKovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan PolitikPada saat adopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sudah ada kesepakatan luas bahwa hak asasi manusia harus diterjemahkan ke dalam bentuk hukum sebagai suatu perjanjian yang akan secara langsung mengikat negara-negara yang setuju untuk terikat dengan ketentuan-ketentuannya. Hal ini menyebabkan negosiasi ekstensif di Komisi Hak Asasi Manusia (badan politik yang didirikan pada tahun 1946) terdiri dari perwakilan negara yang bertemu setiap tahun di Jenewa untuk membahas berbagai macam masalah hak asasi manusia.[2] Pada akhirnya, Majelis Umum PBB melalui Resolusi No.2200 A (XXI) mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights),dan Opsional Protokol Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights) secara bersama-sama pada 16 Desember 1966 dan berlaku pada 23 Maret 1976.[7] Konvenan tersebut terdiri dari bagian Pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bagian utama dan 53 Pasal. Bagian I dan II mengatur tentang serangkaian ketentuan yang berlaku umum untuk semua hak yang dijelaskan dalam Kovenan. Bagian III adalah “tulang punggung” Kovenan yang menguraikan hak-hak individu yang substantif. Pada bagian terakhir, membahas tentang pembentukan Komite Hak Asasi Manusia, fungsi pemantauan Komite dan berbagai hal teknis.[2] Pengesahan ICCPR bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik sebagaimana tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait.[7] Opsional Protokol IProtokol Opsional Pertama mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976 dan saat ini memiliki 116 negara anggota.[8] Protokol Opsional ini berfungsi menetapkan sistem di mana Komite Hak Asasi Manusia dapat menerima dan mempertimbangkan pengaduan dari individu yang menuduh bahwa hak asasi manusia mereka telah dilanggar.[2] Pada Protokol Opsional Pertama pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik memungkinkan individu (yang berasal dari negara yang telah meratifikasi kedua dokumen ini) untuk mengajukan pengaduan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, negara anggota berjanji untuk memastikan bahwa perempuan dan laki-laki menikmati semua hak sipil dan politik secara setara.[9] Opsional Protokol IIProtokol Opsional Kedua merupakan perjanjian tambahan yang dirumuskan pada 15 Desember 1989 dan mulai diberlakukan pada 11 Juli 1991.[8] Pada September 2018, telah memiliki 86 negara anggota. Pada Protokol Opsional kedua berfungsi menghapuskan hukuman mati bagi negara anggota.[2] Tujuan dan fungsiKomite memeriksa setiap laporan semua negara anggota wajib menyampaikan laporan rutin kepada Komite tentang bagaimana hak-hak tersebut dilaksanakan. dan menyampaikan keprihatinan dan rekomendasinya kepada Negara Pihak dalam bentuk "pengamatan kesimpulan". Merujuk pada pasal 41 Kovenan mengatur agar Komite mempertimbangkan pengaduan antarnegara. Selanjutnya, Protokol Opsional Pertama pada Kovenan memberikan kewenangan kepada Komite untuk memeriksa pengaduan individu sehubungan dengan dugaan pelanggaran Kovenan oleh negara-negara anggota Protokol. Kompetensi penuh Komite mencakup Protokol Opsional Kedua pada Kovenan tentang penghapusan hukuman mati berkenaan dengan negara-negara yang telah menerima Protokol.[10] Fungsi Komite Hak Asasi Manusia tertuang dalam Bagian IV dari Kovenan, yakni memiliki peran dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan oleh negara-negara anggota (pemerintah) dari kewajiban mereka di bawah naungan ICCPR.[11] SejarahKomite Hak Asasi Manusia PBB bukanlah badan perjanjian hak asasi manusia tertua di PBB. Namun, seiring berjalannya waktu, Komite Hak Asasi Manusia telah muncul sebagai lembaga yang paling aktif dan inovatif di antara lembaga-lembaga hak asasi manusia PBB lainnya. Terdapat sejumlah faktor yang mungkin berkontribusi terhadapnya. Salah satunya berkaitan dengan fakta bahwa Komite memiliki yurisdiksi terluas dari salah satu badan perjanjian ini. Faktor lain dapat dikaitkan dengan Perang Dingin dan persepsi saat itu bahwa CERD, menawarkan kepada Uni Soviet dan sekutunya serta negara dunia ketiga non-blok alat propaganda untuk digunakan melawan Barat.[12] Sebaliknya, Komite Hak Asasi Manusia, memberikan pengelompokan negara-negara ini tanpa keuntungan propaganda yang sebanding. Oleh karena itu, muncul kompromi yang tercermin dalam keputusan Komite untuk bekerja dengan konsensus. Fakta bahwa Komite dianggap bukan sebagai medan perang Perang Dingin memungkinkannya selama tahun-tahun untuk merekrut sekelompok anggota yang terkemuka — pengacara internasional terkenal, sarjana hak asasi manusia dan hakim nasional — turut bekerja keras untuk memperkuat mandat Komite. Selama dekade pertama keberadaannya telah meletakkan dasar bagi kemajuan institusional yang dibuat Komite selama bertahun-tahun.[12] KeanggotaanAturan dasar mengenai keanggotaan Komite Hak Asasi Manusia PBB tertuang dalam ICCPR. Pasal 28 ICCPR menyatakan bahwa Komite terdiri dari 18 anggota dari negara-negara pihak ICCPR di mana anggota "harus menjadi orang yang bermoral tinggi dan kompetensi yang diakui di bidang hak asasi manusia". Setiap anggota dicalonkan oleh negaranya, dan dipilih oleh negara anggota dalam pemungutan suara rahasia.[2] Lebih lanjut dalam Pasal 28, para anggota melayani dalam kapasitas pribadi mereka, bukan sebagai perwakilan negara mereka. Oleh karena itu, proses Komite harus tidak memihak secara politik. Untuk memastikan standar perilaku tertinggi, Komite telah mengadopsi pedoman etika untuk panduan para anggotanya. Aturan prosedur Komite CCPR/C/3/Rev.7 juga memformalkan elemen-elemen ini.[2] Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 dan 30 ICCPR, mereka dipilih melalui pertemuan negara-negara pihak dalam ICCPR yang diadakan di Markas Besar PBB. Berdasarkan Pasal 32, anggota Komite menjabat selama empat tahun, dengan setengah dari jumlah mereka dipilih setiap tahun kedua.[13][14] Para anggota memilih petugas Komite untuk masa jabatan dua tahun. Petugas-petugas ini adalah Ketua Komite, dengan tanggung jawab keseluruhan atas pelaksanaan pekerjaan Komite yang dibantu oleh tiga Wakil Ketua, dan Pelapor. Keempat petugas ini yang dipercayakan dalam penyusunan laporan tahunan Komite kepada Majelis Umum. Selain itu, saat ini ada tiga pelapor khusus yang ditunjuk oleh Komite untuk masa jabatan yang sama untuk menjalankan fungsi tertentu, di antaranya:[2]
Dalam memilih para petugas Komite ini, terdapat berbagai faktor yang dipertimbangkan, termasuk keinginan dari penyebaran geografis dan bahasa yang adil di antara mereka. Komite ini dilayani oleh sekretariat yang disediakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bermarkas di Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss.[2] Berikut daftar keanggotaan Komite Hak Asasi Manusia saat ini:[15][16]
Agenda Pertemuan dan AktivitasKomite Hak Asasi Manusia mengadakan pertemuan sebanyak tiga kali dalam setahun (biasanya diadakan pada bulan Maret di Markas Besar di New York, dan pada bulan Juli dan November di Kantor PBB di Jenewa).[17] Setiap pertemuannya dapat berlangsung selama tiga sampai empat minggu. Pada setiap sesi Komite didahului oleh pertemuan Kelompok Kerja Komite selama satu minggu.[11] Fungsi Kelompok Kerja telah berkembang selama bertahun-tahun dan saat ini dikhususkan sebagai awal ruang hanya untuk menangani keputusan tentang diterimanya Komunikasi Individu di bawah Protokol Opsional Pertama.[11] Komite Hak Asasi Manusia memiliki dua ruang lingkup, meliputi:[10]
Pengaduan tentang Pelanggaran Hak Asasi ManusiaKemampuan individu untuk mengadukan pelanggaran haknya di kancah internasional membawa makna nyata pada hak-hak yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian hak asasi manusia. Ada tiga prosedur utama untuk membawa pengaduan pelanggaran ketentuan perjanjian hak asasi manusia ke badan perjanjian hak asasi manusia:[18]
Ada juga prosedur pengaduan yang berada di luar sistem badan perjanjian - melalui Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia dan Prosedur Pengaduan Dewan Hak Asasi Manusia.[18] Metode KerjaPelaporan NegaraSatu tahun setelah ICCPR mulai berlaku, setiap negara pihak harus menyerahkan laporan kepada Komite Hak Asasi Manusia yang merinci status pelaksanaan ketentuan ICCPR. Pada tahun 2020, Komite akan memperkenalkan prosedur pelaporan yang disederhanakan untuk laporan awal. Setelah laporan awal, suatu negara akan menyampaikan laporan berkala setiap kali Biro Komite Hak Asasi Manusia memintanya. Secara historis, langkah pertama dalam tinjauan Komite Hak Asasi Manusia atas laporan berkala negara adalah penyerahan laporan negara yang membahas kemajuan yang dibuat sejak siklus pelaporan sebelumnya. Selanjutnya, komite akan mengadopsi daftar masalah untuk mengidentifikasi topik yang paling diinginkan untuk berdiskusi selama dialog konstruktif dengan negara. Berdasarkan laporan dan jawaban atas daftar masalah yang diajukan oleh negara dan masyarakat sipil, Komite kemudian akan menyiapkan kesimpulan kesimpulannya.[19] Pada Juli 2010, Komite Hak Asasi Manusia menerapkan perubahan untuk menghasilkan prosedur pelaporan yang disederhanakan disebut dengan "List of Issues Prior to Reporting" (LOIPR) atau "Simplified Reporting Procedure".[20] Berdasarkan pada Pasal 40 ICCPR , CCPR/C/2009/1, laporan berkala negara bagian hanya boleh menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Komite dalam daftar masalah-masalahnya, daripada membahas implementasi negara dari setiap pasal ICCPR.[19] Pada sesi ke-123 pada Juli 2018, Komite mengadopsi prosedur pelaporan yang disederhanakan sebagai fitur permanen, dan mendorong semua negara pihak untuk beralih ke prosedur pelaporan yang disederhanakan. Komite juga memutuskan untuk berusaha membatasi jumlah pertanyaan dalam setiap daftar masalah menjadi 25 pertanyaan.[21] Pada tahun 2019, Komite memutuskan untuk menjadikan prosedur pelaporan yang disederhanakan sebagai default, mengubah pilihan negara bagian dari model opt-in menjadi opt-out.[22] Pada Juli 2019, Komite memutuskan untuk memindahkannya ke "Siklus Tinjauan Terprediksi" (Predictable Review Cycle) dimulai tahun 2020. Komite akan menjadwalkan satu tinjauan untuk setiap negara pihak (termasuk negara bagian yang gagal melaporkan). Siklus ini melibatkan proses peninjauan lima tahun dengan interval tiga tahun sebelum proses peninjauan berikutnya dimulai.[21] Semua negara pihak dibagi menjadi 8 kelompok yang masing-masing terdiri dari 21-22 negara bagian, dengan proses pelaporan dimulai untuk setiap kelompok pada tahun yang berbeda.[22] Pelaporan NGONon-governmental organization (NGO) atau LSM beserta organisasi atau komunitas masyarakat sipil lainnya dapat memainkan peran penting dalam proses pelaporan. Setiap LSM – terlepas dari akreditasinya – dapat menyerahkan laporannya sendiri kepada Komite, mengomentari laporan negara, dan menghadiri semua sesi Komite sebagai pengamat. Selain itu, Komite sering mengadakan pertemuan tertutup dengan LSM yang berkepentingan sebagai bagian dari peninjauan laporan negara.[1] Pengaduan IndividuKomite Hak Asasi Manusia dapat mempertimbangkan pengaduan individu yang menuduh terjadinya pelanggaran hak individu berdasarkan ICCPR apabila negara adalah pihak pada Protokol Opsional Pertama ICCPR yang menetapkan mekanisme pengaduan. Kemudian, pada Pasal 1 sampai 5 Protokol Opsional mengidentifikasi persyaratan untuk pertimbangan Komite atas pengaduan individu. Pada Januari 2020, telah ada 116 Negara yang menjadi pihak pada Protokol Opsional.[1] Untuk mengajukan pengaduan individu, formulir model keluhan dapat digunakan untuk memberikan: (1) Informasi dasar, (2) Negara yang menjadi sasaran pengaduan dan hak-hak yang ditetapkan dalam ICCPR yang dituduhkan terbukti telah dilanggar, (3) Langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan pemulihan domestik, (4) Daftar kronologis fakta yang menjadi dasar pengaduan, dan (5) Daftar dokumen pendukung, termasuk salinan pengaduan atau keputusan di depan pengadilan domestik dan bukti yang menguatkan.[23][24] Intervensi MendesakLangkah-langkah intervensi mendesak digunakan pada 1990-an ketika Komite Hak Asasi Manusia meminta beberapa negara (Bosnia dan Herzegovina, Kroasia, Republik Federal Yugoslavia, Burundi, Angola, Haiti, Rwanda, dan Nigeria) untuk menyajikan laporan mereka yang terlambat tanpa penundaan atau untuk mempersiapkan laporan ad hoc tentang isu-isu tertentu. Kemudian, Komite Hak Asasi Manusia membahas adanya kemungkinan menghidupkan kembali mekanisme intervensi mendesak pada Maret 2004, tetapi belum dilaksanakan pada 2013.[1] Komentar UmumKomite Hak Asasi Manusia mengeluarkan komentar umum untuk memperjelas ruang lingkup dan makna dari artikel ICCPR. Komentar umum diperlukan dalam membantu menjelaskan kepada negara-negara anggota apa pandangan Komite tentang kewajiban yang telah diemban oleh masing-masing negara dengan mengaksesi ICCPR. Setiap komentar umum secara khusus menargetkan artikel tertentu dari ICCPR dan termasuk daftar komentar umum Komite Hak Asasi Manusia yang telah disusun atau diadopsi.[1] Komentar-komentar ini akan membantu memandu negara-negara dalam penerapan hak asasi manusia, tidak hanya memberikan pemahaman yang lebih baik tentang hukum hak asasi manusia, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan hukum lebih lanjut.[4] Pasal 40 menetapkan kemungkinan untuk menghasilkan Komentar Umum. Pada pertengahan tahun 2020, Komite telah mengeluarkan sebanyak 37 Komentar Umum.[25] Hal ini bertujuan memperjelas ruang lingkup dan arti berbagai pasal dan kewajiban negara-negara anggota. Semua komentar umum dapat ditemukan di situs website OHCHR.[11] Surat Terbuka dan PernyataanKomite Hak Asasi Manusia juga akan membuat pernyataan substantif yang mirip dengan pernyataan atau siaran pers mengenai praktik negara atau kondisi hak asasi manusia yang menjadi perhatian, atau mengomentari perkembangan dalam sistem hak asasi manusia PBB.[1] Sebagai contoh, Pernyataan Awal Komite Hak Asasi Manusia tentang Penguatan Badan-badan Perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterbitkan pada tanggal 22 Juni 2012 oleh Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia berjudul "Memperkuat sistem badan perjanjian hak asasi manusia PBB”."[26] Komite Hak Asasi Manusia mengambil kesempatan ini untuk mengeluarkan Pernyataan Pendahuluan atas laporan Komisaris Tinggi. Komite mengingatkan bahwa proses antar-pemerintah harus menghormati integritas masing-masing perjanjian, wewenang badan-badan perjanjian untuk memutuskan metode kerja dan aturan prosedur mereka sendiri, dan menjamin independensi mereka. Pandangan lebih rinci dari Komite akan tersedia pada waktunya.[26] Diskusi dan Konferensi TematikKomite Hak Asasi Manusia mungkin juga dapat menjadi tuan rumah diskusi umum untuk meminta masukan dari badan-badan PBB lainnya, lembaga HAM nasional, LSM, dan para pemangku kepentingan masyarakat sipil yang tertarik pada topik yang menarik. Hingga Januari 2020, Komite Hak Asasi Manusia telah menyelenggarakan tiga diskusi umum.[1] Diskusi umum pertama berlangsung pada bulan Oktober 2012 untuk mempersiapkan penyusunan Komentar Umum Komite Pasal 9 (Kebebasan dan Keamanan Pribadi) dari ICCPR. Diskusi umum kedua yang berlangsung pada bulan Juli 2015 untuk meningkatkan proses penyusunan dari Komentar Umum Komite Pasal 6 (Hak Hidup) ICCPR. Selama diskusi umum ketiga yang berlangsung pada Maret 2019, Komite menyiapkan rancangan Komentar Umum atas Pasal 21 (Hak untuk Majelis Damai) ICCPR.[1] Rapat Negara AnggotaKomite Hak Asasi Manusia mengadakan pertemuan negara anggota yang terdiri dari pertemuan rutin, luar biasa, atau pemilihan umum ketua baru.[27]
Kasus yang Ditangani oleh Komite Hak Asasi Manusia PBBKomite Hak Asasi Manusia PBB Soroti Pelaporan Lembaga Al-Haq Terkait Pelanggaran Hak Palestina oleh IsraelAl-Haq adalah organisasi hak asasi manusia non-pemerintah Palestina independen yang didirikan pada tahun 1979 untuk melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia dan supremasi hukum di Wilayah Pendudukan Palestina (OPT). Organisasi ini memiliki status konsultatif khusus dengan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa. Oleh karena itu, Al-Haq memiliki kesempatan untuk menyampaikan informasi kepada Komite Hak Asasi Manusia PBB, sehubungan dengan pelaksanaan ICCPR oleh Israel dalam OPT.[28] Sebagaimana diartikulasikan oleh Komite dalam pengamatan penutup tahun 2010 setelah laporan berkala ketiga Israel, ketentuan ICCPR berlaku untuk kepentingan penduduk Palestina di wilayah pendudukan, termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza.[28] Al-Haq menegaskan terkait penerapan Kovenan oleh Israel terhadap Palestina di OPT, meliputi Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Penelitian lapangan selama empat tahun terakhir menggambarkan bahwa Israel terus secara terbuka menolak penerapan ICCPR dalam OPT yang bertentangan dengan standar hukum internasional yang ditetapkan.[28][29] Pada 29 Juli 2010, Komite Hak Asasi Manusia mengadopsi Observasi Penutup atas implementasi Israel dari ICCPR. Komite menyimpulkan bahwa Israel telah melanggar Kovenan sehubungan dengan beberapa hak yang tercantum di dalamnya, dan khususnya kewajiban untuk menerapkan Kovenan kepada rakyat Palestina di Wilayah Pendudukan Palestina. Terlepas dari klaim Israel, Komite Hak Asasi Manusia menekankan bahwa Israel tetap menjadi Kekuatan Pendudukan atas Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza dan Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki.[29] Selain itu, Komite menegaskan kembali bahwa “berlakunya rezim hukum humaniter internasional tidak menghalangi pertanggungjawaban negara anggota berdasarkan Pasal 2, paragraf 1, Kovenan atas tindakan otoritas atau agen mereka di luar wilayah mereka sendiri, termasuk di wilayah pendudukan.” Dengan demikian Komite menegaskan bahwa “Semua pembuat keputusan, baik pejabat militer dan sipil, harus diselidiki dan jika relevan dituntut dan diberi sanksi.”[29] Al-Haq memberikan laporan tersebut sebagai tanggapan atas daftar masalah pada 2012 sebelum penyerahan laporan berkala keempat Israel. Berdasarkan temuannya, Al-Haq melaporkan bahwa Israel, sebagai Occupying Power, melanggar beberapa ketentuan hak asasi manusia yang ditetapkan oleh ICCPR. Khususnya, Israel terus menghambat hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.[28] Menurut informasi Al-Haq, pihak berwenang Israel menghancurkan lebih dari 32 bangunan air dalam rentang waktu 10 bulan, antara Januari dan Oktober 2012.[28] Pada 20 Oktober 2014, Israel menjalani tinjauan berkala keempatnya oleh Komite Hak Asasi Manusia terkait hak masyarakat Palestina. Selanjutnya, Komite melakukan pemantauan implementasi negara yang bersengketa terhadap Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Selama peninjauan, anggota Komite menolak keras klaim dari pemerintah Israel bahwa ICCPR tidak berlaku untuk penduduk Palestina di Wilayah Pendudukan Palestina (OPT). Komite sangat kecewa karena Israel gagal dalam melaporkan kewajibannya terhadap penduduk Palestina di bawah ICCPR dalam laporan berkala keempatnya kepada Komite.[30] Sebagai bagian dari proses peninjauan Israel, Al-Haq berpartisipasi dalam pengarahan masyarakat sipil informal dan formal kepada anggota Komite di markas besar PBB di Jenewa. Secara khusus, sebuah pernyataan lisan yang disampaikan oleh Al-Haq kepada Komite menyoroti pencaplokan baru-baru ini dan pengambilalihan secara tidak sah sekitar 1.000 hektar tanah Palestina di kegubernuran Betlehem dan Hebron sebagai contoh kebijakan dan praktik Israel yang terus merusak kedaulatan Palestina.[29] Kedaulautan Palestina yang dilanggar oleh Israel mencakup tanah dan sumber daya alam di OPT yang melanggar Pasal 1 ICCPR. Al-Haq lebih lanjut menganjurkan penyebutan secara eksplisit hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri dalam Pengamatan Penutup Komite. Hal ini mencakup akses ke tanah dan sumber daya alam yang diperlukan dalam upaya berkelanjutan untuk menegaskan dan mengamankan kedaulatan Palestina dan kontrol atas sumber daya tersebut, termasuk gas alam, minyak dan air. Dalam laporan alternatifnya, Al-Haq merinci masih kurangnya akses warga Palestina ke sumber daya alam dan menyoroti pelanggaran ICCPR lainnya di seluruh OPT termasuk di antaranya mengenai penggunaan kekuatan yang berlebihan dan pembatasan hak atas kebebasan bergerak.[29] Komite Hak Asasi Manusia melalui Pengamatan Penutupnya dalam paragraf 17, menunjukkan bahwa kebijakan Israel seperti pencaplokan tanah yang berkelanjutan melalui “praktik mengklaim tanah sebagai tanah negara,” bersama dengan sifat aneksasionis tembok dan terkait rezim, membatasi akses Palestina ke sumber daya alam. Selain itu, tindakan Israel telah melanggar hak warga Palestina dalam menentukan nasib sendiri. Oleh karena itu, Komite merekomendasikan bahwa Israel harus memastikan dan memfasilitasi akses non-diskriminatif warga Palestina di wilayah pendudukan Palestina, termasuk Yerusalem Timur, baik ke tanah, sumber daya alam, air maupun sanitasi. Israel sebelumnya telah gagal untuk mengadopsi rekomendasi yang termasuk dalam Observasi Penutup Komite tahun 2010 dan terus mengabaikan kewajibannya di bawah ICCPR terhadap penduduk Palestina di OPT.[29] Komite Hak Asasi Manusia PBB Tanggapi Laporan ISHR menyerukan Thailand untuk Melindungi Hak Asasi Manusia Para Penyintas Penghilangan PaksaDalam pengajuan kepada Komite Hak Asasi Manusia PBB, International Service for Human Rights (ISHR) menyoroti kegagalan Thailand dalam menangani kasus lebih dari 82 orang dari daftar hilang, termasuk pengacara HAM terkemuka yang menghilang selama 12 tahun bernama Somchai Neelapaijit.[31] ISHR meminta pemerintah Thailand untuk mematuhi rekomendasi Komite tentang penghilangan paksa dan lebih banyak hal yang harus dilakukan untuk melindungi kerabat dan pasangan yang selamat dari orang hilang.[32] Pemenuhan kewajiban negara-negara pihak berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dievaluasi secara berkala oleh Komite Hak Asasi Manusia (HRCtee). HRCtee diharapkan untuk menilai kepatuhan Thailand terhadap rekomendasi yang diprioritaskan HRCtee selama tinjauan terbarunya tentang Thailand pada tahun 2017.[32] Untuk melengkapi tinjauan tersebut, ISHR mengajukan penilaian atas tindakan yang diambil oleh Thailand untuk menerapkan rekomendasi HRCtee tentang penghilangan paksa .[32] Pengajuan tersebut berfokus pada pelanggaran Thailand terhadap hak Angkhana Neelapaijit terkait hilangnya suaminya Somchai Neelapaijit pada tahun 2004, seorang pengacara dan pembela hak asasi manusia yang secara terbuka menentang perlakuan Negara terhadap Muslim Melayu di Provinsi Selatan.[32] Dalam pengamatan penutupnya pada 25 April 2017, Komite Hak Asasi Manusia PBB secara eksplisit menyatakan bahwa mereka sangat prihatin dengan laporan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, eksekusi di luar proses hukum dan penghilangan paksa terhadap para pembela hak asasi manusia, termasuk penghilangan paksa Somchai Neelapaijit. Komite meminta pihak berwenang Thailand untuk segera melakukan penyelidikan yang tidak memihak dan menyeluruh atas kasus-kasus ini.[33] Pengajuan Kasus Penyiksaan terhadap Yefri Peña oleh Beberapa Organisasi ke Komite Hak Asasi Manusia PBBBertepatan dengan Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Centro de Promoción y Defensa de los Derechos Sexuales y Reproductivos (Promsex), Coordinadora Nacional de Derechos Humanos (CNDDHH), dan Synergía mengajukan kasus Yefri Peña ke hadapan Komite Hak Asasi Manusia PBB.[34] Kasus ini bermula pada bulan Oktober 2007, Yefri Peña Tunama, seorang transgender dari Lima, Peru, diserang oleh lima orang dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya sebagai pendidik kesehatan seksual di distrik Ate-Vitarte.[34] Yefri mencari bantuan di kantor polisi, tetapi petugas polisi menolak membantunya karena identitas gendernya.[35] Yefri diserahkan kembali kepada lima penyerangnya yang secara brutal menyerangnya lagi dan pergi hanya ketika mereka mengira dia sudah mati. Akibat cedera tersebut, Yefri menghabiskan satu bulan di rumah sakit dalam kondisi setengah koma.[34] Pada 2015, Yefri pun mengajukan pengaduan terhadap dua petugas polisi tersebut, dan mengklaim mereka bertanggung jawab atas tuduhan penyiksaan yang dialaminya.[36] Namun, jaksa menyangkal fakta tersebut merupakan penyiksaan, dan kasus itu diarsipkan atau ditunda sementara.[34] Oleh karena itu, organisasi pembela hak asasi manusia percaya bahwa Komite Hak Asasi Manusia PBB akan meminta pertanggungjawaban Peru di bawah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik karena kurangnya penyelidikan yang memadai, kurangnya hukuman terhadap pelaku, dan kurangnya reparasi.[34] Dampak dari Keterlibatan Komite Hak Asasi Manusia PBBHingga saat ini belum ada catatan atau laporan negara yang berhasil melindungi dan mempromosikan hak-hak sipil dan politik yang sempurna dan bebas dari kritik. Oleh karenanya, kehadiran dari Komite Hak Asasi Manusia adalah untuk mendorong setiap negara anggota:[2]
Hasil dari pekerjaan Komite Hak Asasi Manusia telah memberikan efek nyata dalam mempromosikan pemenuhan hak-hak sipil dan politik di banyak negara, meskipun hubungan sebab dan akibat terkadang sulit untuk dibedakan dengan jelas. Seseorang dapat dengan mudah mengidentifikasi banyak contoh pengaduan individu yang mengarah pada hasil positif bagi individu yang bersangkutan, baik itu dalam bentuk pembayaran kompensasi, pengurangan hukuman mati, pengadilan ulang, penyelidikan atas peristiwa tertentu, atau sejumlah kasus di negara anggota yang bersangkutan.[2] Kasus-kasus tersebut juga telah menyebabkan perubahan undang-undang yang memunculkan temuan pelanggaran terhadap Kovenan. Setiap tahun, hasil komunikasi individu yang dipertimbangkan selama tahun tersebut dapat dikonsultasikan dalam laporan tahunan Komite kepada Majelis Umum, yang diterbitkan sebagai Tambahan No. 40 dari Catatan Resmi Sesi Majelis.[2] Referensi
Pranala luar |