Jacob Pattipi
Jacob "Jack" Pattipi (25 Juli 1938 – 15 Oktober 2001) adalah Gubernur Irian Jaya ke-10 yang menjabat antara tahun 1993–1998. Lahir di Fakfak, Pattipi menempuh pendidikan di akademi pamong praja Nugini Belanda sebelum ditugaskan untuk pertama kalinya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Sorong. Setelah wilayah Nugini Belanda digabungkan dengan Indonesia, Pattipi merantau ke Malang untuk menempuh pendidikan di Institut Ilmu Pemerintahan dan lulus pada tahun 1970. Ia kembali ke Papua setelah lulus dan berkarier sebagai pamong praja di Kabupaten Merauke sampai ditunjuk sebagai Bupati Merauke lima tahun kemudian. Pattipi menjabat sebagai bupati selama sembilan tahun. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh Pattipi selama menjabat sebagai bupati adalah kayu-kayu yang tidak dapat diekspor dan mengakibatkan keresahan masyarakat. Ia menindaklanjutinya dengan memerintahkan PNS untuk tidak terlibat dalam pemotongan kayu dan meminta perusahaan kayu di wilayah tersebut untuk tidak membayar penebang dalam bentuk non-uang. Ia juga memulai pembangunan sebuah depot minyak di kabupaten tersebut yang diinisiasi oleh perusahaan Pertamina dan dibiayai oleh negara. Ia ditunjuk untuk menjabat sebagai Pembantu Gubernur di tengah masa jabatannya sebagai bupati. Setelah setahun menjabat, ia diangkat sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Pattipi dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Irian Jaya sebagai Gubernur Irian Jaya pada April 1993. Ia dilantik beberapa hari sesudahnya. Program-program pembangunan yang diterapkannya berfokus kepada bidang pertanian dan dinilai hanya mengadopsi program yang diterapkan oleh pemerintah di Pulau Jawa sehingga tidak berdampak signifikan di Irian Jaya. Pattipi juga menyerukan intensifikasi program transmigrasi yang dianggap sebagai komponen penting dalam membangun Provinsi Irian Jaya dan solusi untuk mengatasi kekurangan sumber daya manusia. Selama menjabat sebagai gubernur, Pattipi mengganti Direktur Umum Bank Pembangunan Daerah Irian Jaya yang membuatnya dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik, menambah jabatan wakil gubernur dari satu menjadi tiga sebagai upaya untuk mempersiapkan pemekaran provinsi tersebut, dan membentuk sejumlah kabupaten dan kota baru di wilayah Irian Jaya. Karena sakit jantung dan stroke yang dideritanya di tengah masa jabatannya, sejumlah mahasiswa memintanya untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pattipi mengakhiri masa jabatan lima tahunnya pada tanggal 9 April 1998 dan ia diganti oleh Freddy Numberi yang terpilih sebagai Gubernur Irian Jaya oleh DPRD Irian Jaya. Ia wafat tiga tahun kemudian pada tanggal 15 Oktober 2001. Masa kecil dan karier sebagai pamong prajaPattipi lahir pada tanggal 25 Juli 1938 di Kampung Siboru, Wartutin, Fakfak, Afdeeling Nieuw-Guinea. Pattipi menempuh pendidikan menengah atasnya di Opleidingsschool voor Inlandsche Bestuursambtenaren, sebuah institusi pendidikan untuk pamong praja. Ia lulus dari institusi pendidikan tersebut pada tahun 1958.[1] Pattipi kemudian memulai kariernya sebagai pamong praja ketika ia ditempatkan sebagai kepala distrik di Sorong. Setelahnya, Pattipi menjalani berbagai penugasan di berbagai wilayah Nugini Belanda.[1] Selama masa penugasannya sebagai pamong praja di Nugini Belanda, Pattipi turut aktif dalam Serikat Pekerja Kristen Nugini Belanda sebagai bendahara umum[2] dan sebagai bendahara dari Asosiasi Bola Voli Sorong.[3] Ia berhasil memenangkan sebuah kejuaraan voli yang diadakan oleh asosiasi tersebut.[3] Setelah Nugini Belanda masuk ke dalam wilayah Indonesia pada tahun 1962, Pattipi menempuh pendidikan lanjutan dalam bidang kepamongprajaan di Institut Ilmu Pemerintahan Malang (sekarang Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Ia merupakan bagian dari angkatan pertama di institut tersebut dan lulus pada tahun 1970.[1] Pada tahun 1971, sebuah aksi boikot yang dilakukan oleh pimpinan Organisasi Papua Merdeka di Merauke mengajak masyarakat setempat untuk tidak memilih dalam pemilihan umum Indonesia yang diadakan tahun itu. Akibatnya, terjadi kerusuhan di sejumlah tempat pemungutan suara dan sekitar 350 orang menolak untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum tahun itu. Pattipi yang pada waktu itu menjabat sebagai anggota Badan Pemerintah Harian ditempatkan dalam tahanan rumah akibat aksi boikot tersebut. Ia dibebaskan beberapa waktu kemudian.[4] Bupati MeraukePattipi menjabat sebagai Bupati Merauke dari tahun 1975 hingga 1980 dan kembali menjabat untuk periode kedua dari tahun 1980 hingga 1984.[1] Selama menjabat sebagai bupati, Pattipi dihadapkan dengan berbagai persoalan terkait komoditas di wilayah Merauke. Terdapat sekitar seratus ribu kubik kayu tertumpuk di Merauke yang tidak dapat diekspor dan hal tersebut mengakibatkan keresahan masyarakat pada bulan Juni 1980.[5] Untuk menanggulangi permasalahan ini, Pattipi menginstruksikan pegawai negeri yang hanya bermodalkan status pejabat atau pegawai negeri agar tidak terlibat dalam aktivitas penebangan kayu.[6] Ia juga memerintahkan perusahaan-perusahaan penebangan kayu di kabupaten tersebut agar berhenti membayar penebang-penebangnya dalam bentuk pakaian dan tembakau dan memberikan pembayaran dalam bentuk yang layak sebagai penghormatan terhadap hak-hak penebang tersebut.[7] Selain masalah komoditas, Pattipi juga harus mengatasi permasalahan perdagangan buaya di Merauke. Banyak pengusaha dan peternak buaya di wilayah tersebut hanya memiliki izin usaha tetapi tidak memiliki izin penangkapan. Pattipi menginstruksikan agar kegiatan peternakan buaya yang tidak memiliki izin penangkapan di kabupaten tersebut dihentikan sementara hingga memperoleh izin dari pihak yang berwenang.[8] Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1978, perusahaan Pertamina mengumumkan bahwa mereka akan membangun sebuah depot minyak dengan biaya pembangunan dari pemerintah pusat. Pattipi mendukung rencana ini dan menyatakan bahwa pembangunan depot minyak tersebut akan membantu penghidupan dari warga yang tinggal di pusat kota Merauke dan sekitarnya karena akan menjadi pusat pengisian ulang bahan bakar bagi kapal kecil dan besar yang melewati kabupaten tersebut. Pemerintah Kabupaten Merauke di bawah Pattipi telah menyiapkan sebuah lahan kosong untuk pembangunan depot minyak tersebut. Sebuah petak di lahan tersebut ternyata dihuni oleh sejumlah penduduk di 15 rumah yang terbuat dari sagu hutan. Pemkab Merauke lalu menjanjikan ganti rugi bagi penduduk yang tinggal di petak lahan tersebut.[9] Pembantu Gubernur dan Ketua BappedaSetelah menjabat sebagai bupati selama sembilan tahun, Pattipi dilantik sebagai Pembantu Gubernur Irian Jaya untuk Wilayah III pada tanggal 11 Januari 1984.[10] Pada masa itu, pembantu gubernur merupakan jabatan baru yang diciptakan untuk membantu kinerja Gubernur Irian Jaya dan untuk mempersiapkan pemekaran provinsi tersebut. Setiap pembantu gubernur membawahi tiga wilayah, dan Wilayah III meliputi Kabupaten Merauke dan Kabupaten Fak-Fak dengan ibu kota Timika.[11] Setelah satu tahun menjabat, ia digantikan oleh F.K.T. Poana pada tanggal 17 Desember 1985. Ia selanjutnya ditunjuk untuk menjabat sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Irian Jaya.[12] Selama menjabat sebagai Bappeda, Pattipi dikenal sebagai pejabat yang dekat dengan lembaga swadaya masyarakat dan sering meminta saran dari lembaga-lembaga tersebut.[13] Selama satu tahun pertama kepemimpinannya sebagai Kepala Bappeda, Pattipi dinilai kurang dapat merealisasikan aspek fisik dan keuangan dari proyek-proyek sektoral di Provinsi Irian Jaya. Realisasi fisik dan keuangan dari proyek-proyek sektoral di provinsi tersebut hanya mencapai 35,94 persen dan 31,18 persen hingga akhir triwulan II tahun anggaran 1986/1987.[14] Setahun setelah ditunjuk sebagai Kepala Bappeda, ia melakukan studi banding ke Padang, Sumatera Barat, untuk mempelajari metode-metode pembangunan yang diterapkan di provinsi tersebut.[15] Pada tahun selanjutnya, ia menganggarkan biaya sebesar 250 juta untuk menangani banjir di Kota Jayapura.[16] Pattipi ditunjuk selaku Kepala Bappeda untuk menjabat sebagai Ketua Yayasan Karya Dharma, sebuah yayasan yang dikelola oleh korps pegawai negeri dan aparatur pemerintahan setempat di Merauke. Yayasan tersebut menaungi Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Merauke, sekolah tinggi pertama yang berdiri di kabupaten tersebut.[17] Gubernur Irian JayaDalam pemilihan Gubernur Irian Jaya tahun 1993, Pattipi yang masih menjabat sebagai Ketua Bappeda Irian Jaya dimajukan oleh Fraksi ABRI di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Irian Jaya sebagai bakal calon Gubernur Irian Jaya. Pattipi bersama dengan empat orang lainnya (Barnabas Suebu, Sertheis Wanma, Willem Maloali, dan August Kafiar) ditetapkan sebagai bakal calon untuk pemilihan gubernur dan nama-nama tersebut dimajukan ke Kementerian Dalam Negeri untuk diseleksi.[18] Dari kelima nama tersebut, hanya tersisa tiga nama sebagai calon gubernur Irian Jaya, yakni Pattipi, Sertheis Wanma, dan Willem Maloali.[19] Pemilihan gubernur Irian Jaya akhirnya diadakan pada tanggal 5 April 1993. Dalam pemilihan yang hanya melibatkan anggota DPRD Irian Jaya tersebut, terdapat dua suara yang tidak sah dari 45 anggota DPRD yang memberikan suaranya. Pattipi menang tipis dalam pemilihan ini dengan 20 suara melawan Sertheis Wanma yang berada pada urutan kedua dengan 18 suara.[20] Beberapa hari setelah kemenangannya dalam pemilihan tersebut, ia dilantik sebagai Gubernur Irian Jaya pada tanggal 13 April 1993.[13][21] Program pembangunan yang diterapkan oleh Pattipi berfokus pada sektor pertanian dan menerapkan intensifikasi untuk meningkatkan hasil pertanian. Metode intensifikasi ini meniru metode yang diterapkan di Pulau Jawa sehingga penduduk setempat di Papua mengalami kesulitan dalam mengadopsi dan melaksanakannya.[22] Selain itu, pola pembangunan yang diterapkan pada sektor ekonomi oleh para kepala kantor wilayah (kanwil) hanya menyalin program pemerintah daerah di Pulau Jawa. Akibatnya, pola pembangunan tersebut tidak memperbaiki keadaan ekonomi secara umum di Irian Jaya.[23] Kebijakan transmigrasiPattipi dikenal sebagai gubernur yang jauh lebih giat melaksanakan program transmigrasi dibandingkan dengan pendahulu-pendahulunya.[24] Pattipi berpendapat bahwa transmigrasi akan mendapatkan prioritas tinggi dalam pemerintahannya karena transmigrasi merupakan komponen penting dalam membangun Irian Jaya dan sebagai solusi untuk mengatasi kurangnya sumber daya manusia di provinsi tersebut.[1] Beberapa bulan setelah dilantik, Pattipi menyatakan bahwa provinsi tersebut akan menerima 52.000 transmigran dalam jangka waktu lima tahun setelahnya.[25] Pattipi menyerukan agar program transmigrasi tersebut dilanjutkan dengan proses asimilasi antara penduduk setempat dan transmigran.[26] Penggantian Dirut BPD IrjaSemenjak Pattipi dilantik sebagai gubernur menggantikan Barnabas Suebu, mulai terdengar isu bahwa Direktur Utama, Direktur Keuangan dan Direktur Umum Bank Pembangunan Daerah Irian Jaya (BPD Irja) akan diganti, sehingga media lokal Irian Jaya mulai mengangkat kasus-kasus di BPD Irja. Pada awal Februari 1994, sebuah kasus yang melibatkan BPD Irja terkuak. Kasus tersebut terkait dengan direktur utama (dirut) bank tersebut, Nawawi Hasan, Direktur Keuangan Suwaji, dan Direktur Umum Sri Raharjo. Kasus tersebut terungkap pada tanggal 7 Februari 1994 ketika Pattipi selaku Ketua Dewan Pengawas BPD Irja mengungkapkan bahwa ketiga orang tersebut telah melakukan tindakan indisipliner seperti mengeluarkan keputusan yang mengakibatkan kredit macet di bank tersebut sebesar 19 miliar rupiah. Tindakan-tindakan indisipliner lainnya berupa tindakan dirut yang pergi keluar negeri tanpa meminta izin ke Dewan Pengawas BPD Irja.[27] Melalui surat pembaca yang diterbitkan di koran Kompas, Nawawi menyanggah tuduhan Pattipi dan menyatakan bahwa ia siap menghadapi seluruh tuduhan tersebut dan siap untuk diadili di pengadilan. Nawawi kemudian menunjuk seorang pengacara yang tidak diketahui namanya sebagai kuasa hukumnya untuk menuntut Pattipi yang dianggap mencemarkan nama baiknya. Kuasa hukumnya tersebut menawarkan perjanjian damai kepada Pattipi, tetapi Pattipi menolaknya karena menurutnya kasus BPD Irja "menyangkut wibawa dan nama baik Pemerintah".[27] Pasca terkuaknya kasus ini, DPRD Irja memanggil Nawawi, Dewan Pengawas BPD Irja, Bank Indonesia Cabang Irian Jaya (BI Cabang Irja), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Irja untuk meminta kejelasan mengenai kasus ini. Ketua DPRD Irian Jaya, Setiyono Hadi, menjelaskan bahwa pemanggilan tersebut dikarenakan permasalahan kasus ini sudah menjurus ke masalah pidana dan perdata dan menimbulkan keresahan masyarakat. Kepala Kejaksaan Tinggi Irian Jaya Benny Arli Jasin, yang secara aktif mengikuti kasus tersebut, meminta agar pejabat-pejabat yang terlibat dalam kasus tersebut terbuka kepada masyarakat. Ia berpendapat bahwa kasus ini bisa diungkapkan oleh instansi pemerintah yang mengawasi BPD tersebut seperti BI Cabang Irja dan BPKP Irja.[27] Beberapa hari setelah pemanggilan oleh DPRD dilakukan, pada tanggal 21 Februari, Pattipi mengganti Nawawi Hasan dan melantik Djamonang H. Manik sebagai Pjs. Direktur Utama BPD Irja. Acara serah terima tersebut tidak dihadiri oleh Nawawi dan Pattipi sendiri dalam amanatnya meminta agar Suwaji dan Sri Raharjo (yang hadir dalam acara tersebut) mengundurkan diri. Nawawi lalu melaporkan Pattipi kepada Polda Metro Jaya atas tuduhan pencemaran nama baik sehari setelah pelantikan tersebut dilaksanakan.[28] Sebagai tindak lanjutnya, sebuah tim penelitian administrasi dibentuk untuk menyelidiki dugaan maladministrasi dan mengumpulkan data dalam kasus yang menimpa Nawawi Hasan tersebut. Pattipi lalu menyatakan bahwa ia akan mengganti Suwaji dan Sri Raharjo apabila kedua direktur tersebut tidak menunjukkan perubahan dalam waktu tiga bulan semenjak Djamonang H. Manik memimpin BPD Irja.[29] Administrasi daerahSelama menjabat sebagai gubernur, terjadi perubahan dan pembentukan sejumlah kota dan kabupaten di wilayah provinsi Irian Jaya. Kota Jayapura yang sebelumnya merupakan kota administratif ditingkatkan statusnya menjadi kota berotonomi penuh pada tanggal 21 September 1993.[30] Selain itu, Pattipi juga mengesahkan pembentukan sejumlah kabupaten dan kota administratif pada tahun 1996. Kabupaten Administratif Paniai, Puncak Jaya, dan Mimika, diresmikan pada tanggal 8 Oktober 1996,[31] sedangkan Kota Administratif Sorong diresmikan pada tanggal 3 Juni 1996.[32] Karena kabupaten dan kota administratif tersebut masih bergantung dengan kabupaten induknya, maka birokrat-birokrat yang ditunjuk untuk menduduki jabatan bupati dan walikota administratif tersebut berasal dari pejabat-pejabat kabupaten induk.[32] Penambahan wakil gubernur dan usulan pemekaranSatu bulan setelah menduduki jabatan gubernur, Wakil Gubernur Irian Jaya pada saat itu, Soedardjat Nataatmadja, menyerahkan jabatannya kepada Pattipi pada tanggal 26 Mei 1993 karena ditunjuk sebagai Inspektur Jenderal Departemen Dalam Negeri. Pattipi menyerahkan wewenang penunjukan wakil gubernur baru kepada Panglima Daerah Militer Trikora saat itu, E. E. Mangindaan.[33] Mangindaan menunjuk Sekretaris Inspektorat Jenderal Angkatan Darat, Basyir Bachtiar, untuk mendampingi Pattipi sebagai wakil gubernur. Basyir dilantik sebagai wakil gubernur pada tanggal 21 September.[34] Pada awal tahun 1996, usulan mengenai pemekaran wilayah Irian Jaya kembali dibicarakan dengan adanya usulan dari Penasihat Ketua Bappenas bidang Sosial dan Budaya, Prof. Dr. Astrid Susanto, untuk memecah provinsi tersebut menjadi tiga provinsi berbeda.[35] Berkaitan dengan usulan tersebut, Jacob Pattipi mengambil tindakan untuk mengusulkan penambahan jabatan wakil gubernur sebagai persiapan untuk pemekaran provinsi tersebut.[36] DPRD Irian Jaya menyetujui prakarsa Pattipi tersebut dan mengusulkan Basyir Bachtiar sebagai Wakil Gubernur Wilayah I yang membantu gubernur dalam memerintah wilayah Kotamadya Jayapura serta Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, dan Merauke. Sementara itu, Herman Monim (saat itu Pembantu Gubernur Wilayah I) ditunjuk sebagai Wakil Gubernur Wilayah II yang membantu memerintah Kabupaten Biak-Numfor, Yapen-Waropen, dan Paniai, dan Abraham Octavianus Atururi (saat itu Bupati Sorong) ditunjuk sebagai Wakil Gubernur Wilayah III yang membantu memerintah Kabupaten Manokwari, Fakfak, Sorong, dan Kota Administratif Sorong.[37] Meskipun penambahan jabatan wakil gubernur disetujui oleh DPRD, pihak Departemen Dalam Negeri (Depdagri) sendiri belum yakin mengenai persiapan pemekaran wilayah tersebut sebagai tindak lanjut dari penambahan jabatan wakil gubernur. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Yogie S. M. menyatakan bahwa "Jika ditanya apakah penambahan wakil gubernur tersebut merupakan embrio propinsi, ya tidak mesti. Kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya." Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Sumitro Maskun, menyatakan bahwa pemekaran wilayah Irian Jaya akan memberikan "dampak psikologis politis" bagi masyarakat Irian Jaya dan mengakibatkan reorganisasi batas-batas administratif, kesukuan, dan militer.[38] Pada akhirnya, Mendagri menyetujui usulan tersebut dan ketiga wakil gubernur Irian Jaya dilantik pada tanggal 7 Oktober 1996.[36] Permintaan pengunduran diriSekitar tahun 1990-an, Pattipi mulai mengidap penyakit jantung dan stroke. Pada tanggal 1 Februari 1996, dia harus dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo karena penyakit yang diidapnya kembali kambuh.[39] Tugasnya sehari-hari harus diambil alih oleh Wakil Gubernur Irian Jaya pada saat itu, Basyir Bachtiar. Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Generasi Muda Irian Jaya (FKGMIJ) meminta agar Pattipi mengundurkan diri karena mereka merasa bahwa Pattipi "sudah lama mengalami stroke sehingga dia tidak mampu lagi memimpin Irja [Irian Jaya]" dan meminta agar pemerintah mengadakan pemilihan gubernur untuk menentukan gubernur baru yang akan menggantikan Pattipi.[40] Sekretaris Jenderal Depdagri saat itu, Suryatna Subrata, menyanggah dugaan para mahasiswa dan menyatakan bahwa sepengetahuannya Pattipi masih mampu untuk menjalankan tugasnya dan dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam rapat kerja yang diadakan oleh Depdagri. Suryatna menyatakan bahwa pihaknya belum menerima surat pengunduran diri Pattipi dan menyatakan bahwa untuk mengundurkan diri dari jabatan gubernur karena sakit, Pattipi harus menempuh tes kesehatan oleh Majelis Kesehatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jika Pattipi terbukti tidak sakit dan tetap meminta pengunduran diri, maka Depdagri akan melimpahkan urusan tersebut kepada Presiden.[41] Pattipi akhirnya mulai pulih semenjak akhir bulan Agustus dan ia pun sembuh secara penuh beberapa hari kemudian.[42] Akhir hayat dan peninggalanPattipi meninggal di Jayapura, Papua, pada tanggal 15 Oktober 2001.[43] Dia dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Abepura yang terletak di Jayapura.[44] Pada tanggal 28 Desember 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sidang kabinet memutuskan untuk memberi nama sebuah varietas ubi baru dengan namanya. Varietas ubi tersebut diberi nama Varietas Pattipi, yang digunakan untuk mengatasi masalah kelaparan di Provinsi Papua dalam jangka pendek.[45] Sementara itu, Bandar Udara Jacob Pattipi, yang dinamai darinya, sedang dibangun di kampung halamannya oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak dan Kementerian Perhubungan RI. Pengerjaan bandara tersebut dimulai pada tahun 2019.[46] Referensi
|