Idrus Nasir Djajadiningrat
Laksamana Muda TNI (Purn.) Raden Bagus Idrus Nasir Djajadiningrat, M.A. (EYD: Jayadiningrat; 04 Juni 1920 – 24 Agustus 1980) atau juga dikenal sebagai Didi Djajadiningrat adalah seorang diplomat dan tokoh veteran asal Indonesia.[2] Dia juga bergabung sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 pada masa penjajahan.[3] Pada masa Orde Baru, dia kemudian menjadi Dewan Perwakilan Rakyat dari Golongan Karya fraksi ABRI yang diangkat oleh Soeharto.[4] BiografiKehidupan awalR.B.I.N. "Didi" lahir dari keluarga Jayadiningrat di Serang, Banten sebagai anak ke-7 dari delapan bersaudara.[5] Salah satu kakak perempuannya, Erna Djajadiningrat menjadi perempuan pertama yang menerima penghargaan Bintang Gerilya berkat jasanya selama perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.[6] Ayahnya adalah Achmad Djajadiningrat, seorang bangsawan Banten yang menjadi Bupati Serang periode 1901-1927.[7] Sedangkan ibunya adalah Raden Ajeng Suwitaningrat Sastradipura, seorang putri bangsawan keturunan Singaperbangsa, Adipati Karawang pertama periode 1633-1677.[5] PendidikanDjajadiningrat memulai pendidikan formalnya di Carpentier Alting Stichting Nassau School (CAS), kemudian melanjutkan ke jenjang Hogereburgerschool (HBS) di Batavia. Setelah menyelesaikan HBS-nya, dia kemudian melanjutkan pendidikan ke Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) yang pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia berganti nama menjadi Ika Daigaku.[catatan 1] Namun, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dia tidak melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran, melainkan bertugas sebagai anggota Kementerian Penerangan dan menjadi penyiar bahasa Inggris di Radio Republik Indonesia.[2] Djajadiningrat melanjutkan pendidikan magister di Universitas Cornell, Amerika Serikat jurusan Ilmu Politik. Dia lulus dengan gelar Master of Arts pada tahun 1957.[8] Kehidupan pribadiDjajadiningrat menikah dengan Elise Wihelmina Loedin dan dikarunia 3 orang anak: Raden Andra Madita Kala Djajadiningrat, Raden Ayu Kamarina Laurentia Aisya Djajadiningrat, dan Raden Ayu Laurentina Maryam Nurul 'Ain Djajadiningrat.[9] KarierKarier militerPra kemerdekaanDjajadiningrat memperoleh pendidikan militernya di Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) Surabaya, sebuah tempat pendidikan perwira yang didirikan oleh Conrad Emil Lambert Helfrich sebagai cabang dari KIM pusat di Den Helder, Belanda. Dia adalah taruna promosi (angkatan) 1940, yang pada bulan Agustus 1940 direkrut untuk dididik selama dua tahun bersama 39 orang taruna lainnya.[10] Pada tanggal 8 Desember 1941, Belanda menyatakan perang dengan Jepang. Tiga bulan setelah itu Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda, sehingga para taruna yang sedang melakukan pendidikan perwira dilarikan ke Colombo, Sri Lanka. Djajadiningrat bersama taruna angkatan 1940 lain yang dididik di Colombo dan mengikuti operasi di kapal kemudian diangkat menjadi perwira KM (Koninklijk Marine) pada tanggal 1 Maret 1943. Pada tahun 1945, dia bergabung bersama para pejuang lain untuk kemerdekaan Indonesia dari pendudukan Jepang.[10] Pasca proklamasi kemerdekaanKetika terjadi Pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946, Djajadiningrat bersama para Tentara Republik Indonesia lain pun ikut hijrah ke kota tersebut.[2] Selama Revolusi Nasional Indonesia sejak 1945 sampai penyerahan kedaulatan dan terbentuknya Republik Indonesia Serikat hasil Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949, di dalam jajaran personel militer Angkatan Laut pada BKR, TKR, TNI, dan atau ALRI hanya terdapat dua perwira Angkatan Laut: R. Soebijakto dan R.B.N. Djajadiningrat.[3] Pada tanggal 5 Agustus 1947, Agresi Militer Belanda I diakhiri dengan Perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat, USS Renville, tetapi hubungan antara Republik Indonesia dan Belanda tetap bersitegang. Perundingan-perundingan diplomatik di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara (KTN; Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia) menemui jalan buntu, bahkan Belanda bersiap-siap untuk menyerang Republik Indonesia kembali. Angkatan perang Republik Indonesia menyusun rencana untuk menghadapi kemungkinan serangan Belanda. Akhirnya, R. Soebijakto selaku Kepala Staf TNI Angkatan Laut memindahkan Markas Besar Umum Angkatan Laut Republik Indonesia (MBU-ALRI) ke Aceh.[11] Pada tanggal 1 Desember 1948, R. Soebijakto beserta anggota stafnya berangkat dari Yogyakarta ke daerah tersebut. Sehubungan dengan keberangkatannya itu, R. Subijakto menunjuk Djajadiningrat (yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel) sebagai Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut di Yogyakarta.[12] Sebagai kelompok Wakil KSAL, Letnan Kolonel R.B.N. Djajadiningrat beserta beberapa perwira stafnya bergabung dengan Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel Abdul Haris Nasution yang berkedudukan di daerah Prambanan, Sleman. Djajadiningrat kemudian diangkat sebagai Kepala Staf MBKD, sedangkan kelompok staf lainnya yang terdiri dari perwira-perwira MBU-ALRI Yogyakarta ditempatkan di Imogiri untuk mengadakan komunikasi dengan pasukan-pasukan ALRI yang berada di sekitar Gunung Kidul.[13] Karier politikPada masa awal Kemerdekaan Indonesia, Djajadiningrat telah menjadi anggota Kementerian Penerangan.[2] Selain itu, dia juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Urusan Demobilisasi Departemen Transmigrasi, Veteran dan Demobilisasi pada Kabinet Ampera II tahun 1967. Namun berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 1968, jabatannya sebagai Direktur Jenderal Urusan Demobilisasi digantikan oleh Laksda (Purn.) Dr. Arifin Syukur karena keahliannya sebagai seorang diplomat dibutuhkan oleh pemerintah.[14] Sebagai seorang diplomat, Djajadiningrat pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Belgia di Brussel periode 1968–1970[15] dan Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet di Moskow periode 1976–1980.[16] Pada tahun 1971, berdasarkan surat ketetapan No. 20/LPU/1971 tanggal 8 Oktober 1971, Djajadiningrat diangkat oleh Soeharto menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Golongan Karya fraksi ABRI.[17] Pada tahun 1973, Djajadiningrat menjabat sebagai Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri pada Kabinet Pembangunan II.[18] KaryaBuku
Tanda KehormatanDalam Negeri
Luar Negeri
Catatan
ReferensiCatatan kaki
Bibliografi
|