Coca-Cola Europacific Partners Indonesia
Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEPI, sebelumnya bernama Coca-Cola Amatil Indonesia hingga 2021) adalah sebuah perusahaan minuman ringan di Indonesia. CCEPI sebenarnya merupakan nama dagang bagi dua perusahaan milik salah satu pembotol Coca-Cola terbesar di dunia, Coca-Cola Europacific Partners (berbasis di Uxbridge, London, Britania Raya) di Indonesia. Perusahaan tersebut yaitu PT Coca-Cola Bottling Indonesia (CCBI) yang bergerak bidang produksi dan PT Coca-Cola Distribution Indonesia (CCDI) untuk distribusi. CCEPI memiliki 8 pabrik pembotolan yang ada di Sumatra, Jawa dan Bali serta mempekerjakan 5.200 karyawan.[1] Sedangkan kantor pusatnya ada di Gedung South Quarter Tower C, Lt. 22, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. CCEPI memproduksi dan memasarkan minuman berkarbonasi dengan merek Coca-Cola, Fanta dan Sprite, minuman sari buah dengan merek Minute Maid, minuman susu dengan merek Nutriboost, minuman teh dengan merek Frestea, dan air mineral dengan merek Ades. Di samping dua perusahaan di bawah CCEPI, ada juga PT Coca-Cola Indonesia sebagai anak usaha langsung The Coca-Cola Company (berbasis di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat). Kantornya bertempat tidak jauh dari CCEPI, yaitu di Gedung South Quarter Tower B, Penthouse Floor, Cilandak Barat, Jakarta Selatan. SejarahMasa Kolonial Hindia Belanda hingga Perang Dunia IICoca-Cola pertama kali hadir di Hindia Belanda pada tahun 1927, masih diimpor utuh dalam kemasan botol oleh seorang insinyur Belanda bernama Bernie Konings.[2] Kemudian pada tahun 1932 mulai diproduksi massal oleh De Nederlands-Indische Mineral Water Fabriek (Pabrik Air Mineral Hindia Belanda) di Jl. Pos Utara,[3] Pasar Baru, Batavia, yang dimiliki seorang Belanda.[4] Selama Perang Dunia II, ketika Hindia Belanda diduduki Jepang, produksi Coca-Cola dalam negeri otomatis lumpuh total.[5] Pabrik tersebut diambilalih perusahaan Jepang bernama Kumesei Goshi Kaisha, namun kemudian direbut oleh pejuang kemerdekaan pada Oktober 1945.[6] Masa Kemerdekaan IndonesiaSesudah kemerdekaan Indonesia, didirikan perusahaan pembotol baru Coca-Cola di Indonesia dengan nama NV Indonesian Bottlers Ltd. (IBL) oleh Bernie Konings, M. Tabrani, Aminoedin Pohan, T.S.G. Mulia serta Gouw Hoan Giok dan istri pada 7 Maret 1953.[2] Menggunakan pabrik lama yang berlokasi di Pasar Baru, peresmiannya dilakukan pada pertengahan 1954[3] dan memproduksi 1.000-1.500 krat Coca-Cola setiap harinya, dengan mempekerjakan 25 orang yang dibantu oleh 3-7 truk untuk pendistribusian.[5] Adapun saham Konings dilepas di tahun 1957 sehingga kepemilikannya 100% dipegang WNI. Meskipun demikian, kondisi ekonomi-politik era Orde Lama membuat kinerja perusahaan ini tersendat-sendat,[2] terutama ketika pemerintah saat itu menggalakkan sikap anti-Barat di masyarakat yang membuat produksinya terhenti di tahun 1964-1965.[4] Belakangan IBL dimiliki oleh T.H. Ticoalu, Tatang Nana dan Harry Handojo.[5] Pada Mei 1970[7] NV IBL membentuk perusahaan patungan dengan tiga perusahaan Jepang, Mitsui Co. Ltd., Mikuni Coca-Cola Bottling Co. dan Mitsui Toatsu Chemicals Inc. (40%-60%) dengan nama PT Djaya Beverages Bottling Company[2] sebagai perusahaan pembotolan modern Coca-Cola pertama di Indonesia.[8] Perusahaan tersebut kemudian mendirikan pabrik baru yang berlokasi di Cempaka Putih, Jakarta Pusat dengan biaya US$ 1,8 juta,[9] dengan produksi pertamanya keluar pada 12 April 1971[10] dan diresmikan pada 11 September 1971.[11] Di tahun itu juga, merek Sprite mulai dipasarkan yang disusul Fanta di tahun 1973. Secara berturut-turut, kemudian sejumlah perusahaan memperoleh lisensi produksi Coca-Cola di beberapa daerah, meliputi:
Adapun The Coca-Cola Company, Amerika Serikat sendiri juga mendirikan cabangnya di Indonesia pada tahun 1972 dengan nama PT Coca-Cola Indonesia (CCI)[21] yang sampai saat ini masih berdiri. Perusahaan ini tidak memproduksi Coca-Cola secara langsung, melainkan mensupervisi produksi Coca-Cola di pabrik-pabrik pembotolnya dan menyuplai bahan baku Coca-Cola.[2] Di tahun 1977, PT CCI mendirikan sebuah pabrik Commercial Support Supply (CPS) yang berlokasi di Cilangkap, Depok[22] untuk memenuhi pasokan sirup konsentrat Coca-Cola untuk pabrik pembotolan di Indonesia. CPS kemudian juga mengekspor produknya ke negara-negara tetangga seperti Singapura, Australia, Selandia Baru, Kamboja, Vietnam, dan Thailand.[5] Namun belakangan konsentrat Coca-Cola untuk pabrik pembotolannya juga diimpor dari negara lain seperti Puerto Riko.[23] Akuisisi oleh Coca-Cola AmatilPada tahun 1991, Coca-Cola Amatil (CCA, perusahaan pembotol Coca-Cola yang berbasis di Sydney, Australia) mulai mengakuisisi pabrik pembotolan Coca-Cola di Indonesia. Dimulai dari perusahaan-perusahaan pembotol di bawah Partogius Hutabarat (Pan System) dan Edi Kowara (Teknik Umum) yang dikonsolidasikan menjadi dua perusahaan, yaitu PT Coca-Cola Pan Java Bottling Company dan PT Coca-Cola Tirtalina Bottling Company. Dalam masing-masing perusahaan ini CCA memiliki 49% saham dan sisanya pemilik lama.[14][13] Pada 6 Oktober 1993, menyusul 90% saham PT Djaya Beverages Bottling Company yang diakuisisi CCA,[24] dan dua tahun kemudian, CCA sudah memiliki 100% saham PT Djaya Beverages dan 90% saham di PT Coca-Cola Pan Java serta PT Coca-Cola Tirtalina.[25] Hal ini membuat CCA menguasai 10 dari 11 pabrik Coca-Cola di Indonesia, kecuali PT Bangun Wenang.[5] Pada 25 Juni 1997, PT Coca-Cola Amatil Indonesia Bottling didirikan dan meresmikan pabrik barunya yang didirikan di atas area seluas 22 hektar di Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang merupakan pabrik terbesar dan tercanggih di Indonesia. Pada 1 Januari 2000, tiga perusahaan pemegang lisensi produksi Coca-Cola milik CCA di Indonesia dikonsolidasikan menjadi PT Coca-Cola Amatil Indonesia Bottling, yang kemudian di tanggal 1 Juli 2002 berganti nama menjadi PT Coca-Cola Bottling Indonesia (CCBI).[18] Selain perusahaan ini, ada juga PT Coca-Cola Distribution Indonesia (CCDI, d/h PT Coca-Cola Amatil Indonesia) sebagai perusahaan distributor,[26] yang sebenarnya juga merupakan hasil konsolidasi dengan sejumlah distributor seperti PT Coca-Cola Banyu Argo,[27] PT Coca-Cola Kendali Sodo[28] dan PT Enam Sekawan. Kedua perusahaan ini (CCBI dan CCDI) dikenal dengan nama dagang Coca-Cola Amatil Indonesia. Pada tahun 2016, pemegang lisensi produsen Coca-Cola terakhir di Indonesia yang ada di luar CCA, PT Bangun Wenang dicabut oleh Coca-Cola di AS.[29] Selain dalam kemasan botol, sejak tahun 1986 Coca-Cola dipasarkan dalam kemasan kaleng dengan produk Diet Coke dan sejak tahun 1996 dalam kemasan botol plastik PET oleh Coca-Cola Amatil Indonesia. Pada tahun 2002, Frestea mulai diperkenalkan dan CCAI juga mengakuisisi merek air minum dalam kemasan, Ades. Merek Minute Maid dan Coke Zero mulai dipasarkan pada tahun 2008, Ades dijual dalam kemasan botol plastik ramah lingkungan pada tahun 2011, dan terakhir, merek Nutriboost dipasarkan tahun 2013.[5] Merek lain yang dipasarkan Coca-Cola di Indonesia adalah A&W Root Beer (root beer) dan Schweppes (air soda).[30] Coca-Cola juga pernah mengedarkan minuman Hi-C (teh botol), Krest (minuman ringan air soda), Bonaqa (air minum),[13] Sunfill (sirup),[31] Barq's (root beer),[32] Aquarius dan Powerade (minuman isotonik).[2] Pada tanggal 10 Mei 2021, Coca-Cola Amatil Indonesia berganti nama menjadi Coca-Cola Europacific Partners Indonesia seiring dengan penggabungan Coca-Cola Amatil dengan Coca-Cola European Partners[33] menjadi Coca-Cola Europacific Partners. Daftar produkMinuman berkarbonasi
Minuman sari buah
Minuman susu
Minuman teh
Air mineralKontroversiPada tahun 2014, PT Coca-Cola Bottling Indonesia sempat tersangkut kasus dugaan pencurian air. Hal ini karena sejak 2011, meskipun Surat Izin Penggunaan Air-nya ditolak, Coca-Cola tetap mengambil air dari sejumlah sumur mata air di Sumedang tanpa izin.[34] PT CCBI tercatat sempat ditetapkan menjadi tersangka korporasi dalam kasus ini,[35] meskipun pihak CCBI membantahnya[36] dan kasus ini kemudian tidak jelas akhirnya. Di tahun yang sama, PT Coca-Cola Indonesia (anak usaha The Coca-Cola Company, tidak berhubungan langsung dengan CCBI) dituduh tersangkut kasus pajak iklan dari tahun 2002-2006 senilai Rp 566 miliar.[37] Isu lain yang beberapa kali menjangkit operasi Coca-Cola di Indonesia adalah isu perburuhan.[38] Referensi
Pranala luar |