Bulan
Bulan adalah satelit alami Bumi satu-satunya[d][12] dan merupakan satelit terbesar kelima dalam Tata Surya. Bulan juga merupakan satelit alami terbesar di Tata Surya menurut ukuran planet yang diorbitnya,[e] dengan diameter 27%, kepadatan 60%, dan massa 1⁄81 (1.23%) dari Bumi. Di antara satelit alami lainnya, Bulan adalah satelit terpadat kedua setelah Io, satelit Jupiter. Bulan berada pada rotasi sinkron dengan Bumi, yang selalu memperlihatkan sisi yang sama pada Bumi, dengan sisi dekat ditandai oleh mare vulkanik gelap yang terdapat di antara dataran tinggi kerak yang terang dan kawah tubrukan yang menonjol. Bulan adalah benda langit yang paling terang setelah Matahari. Meskipun Bulan tampak sangat putih dan terang, permukaan Bulan sebenarnya gelap, dengan tingkat kecerahan yang sedikit lebih tinggi dari aspal cair. Sejak zaman kuno, posisinya yang menonjol di langit dan fasenya yang teratur telah memengaruhi banyak budaya, termasuk bahasa, penanggalan, seni, dan mitologi. Pengaruh gravitasi Bulan menyebabkan terjadinya pasang surut di lautan dan pemanjangan waktu pada hari di Bumi. Jarak orbit Bulan dari Bumi saat ini adalah sekitar tiga puluh kali dari diameter Bumi, yang menyebabkan ukuran Bulan yang muncul di langit hampir sama besar dengan ukuran Matahari, sehingga memungkinkan Bulan untuk menutupi Matahari dan mengakibatkan terjadinya gerhana matahari total. Jarak linear Bulan dari Bumi saat ini meningkat dengan laju 3.82±0.07 cm per tahun, meskipun laju ini tidak konstan.[13] Bulan diperkirakan terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, tak lama setelah pembentukan Bumi. Meskipun terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal usul Bulan, hipotesis yang paling diterima saat ini menjelaskan bahwa Bulan terbentuk dari serpihan-serpihan yang terlepas setelah sebuah benda langit seukuran Mars bertubrukan dengan Bumi. Bulan adalah satu-satunya benda langit selain Bumi yang telah didarati oleh manusia. Program Luna Uni Soviet adalah wahana pertama yang mencapai Bulan dengan pesawat ruang angkasa nirawak pada tahun 1959; program Apollo NASA Amerika Serikat merupakan misi luar angkasa berawak satu-satunya yang telah mencapai Bulan hingga saat ini, dimulai dengan peluncuran misi berawak Apollo 8 yang mengorbit Bulan pada tahun 1968, dan diikuti oleh enam misi pendaratan berawak antara tahun 1969 dan 1972, yang pertama adalah Apollo 11. Misi ini kembali ke Bumi dengan membawa 380 kg batuan Bulan, yang digunakan untuk mengembangkan pemahaman geologi mengenai asal usul, pembentukan struktur dalam, dan sejarah geologi Bulan. Setelah misi Apollo 17 pada 1972, Bulan hanya disinggahi oleh pesawat ruang angkasa nirawak. Misi-misi tersebut pada umumnya merupakan misi orbit; sejak tahun 2004, Jepang, Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Badan Luar Angkasa Eropa telah meluncurkan wahana pengorbit Bulan, yang turut bersumbangsih terhadap penemuan es air di kawah kutub Bulan. Pasca Apollo, dua negara juga telah mengirimkan misi rover ke Bulan, yakni misi Lunokhod Soviet terakhir pada tahun 1973, dan misi berkelanjutan Chang'e 3 RRC, yang meluncurkan rover Yutu pada tanggal 14 Desember 2013. Misi berawak ke Bulan pada masa depan telah direncakan oleh berbagai negara, baik yang didanai oleh pemerintah atau swasta. Di bawah Perjanjian Luar Angkasa, Bulan tetap bebas dijelajahi oleh semua negara untuk tujuan damai. Nama dan etimologiDalam bahasa Inggris, nama untuk satelit alami Bumi adalah moon.[14][15] Kata benda moon berasal dari kata moone (sekitar 1380), yang juga berkembang dari kata mone (1135), berasal dari kata bahasa Inggris Kuno mōna (sebelum 725). Sama halnya dengan semua kata kerabat dalam bahasa Jermanik lainnya, kata ini berasal dari bahasa Proto-Jermanik *mǣnōn.[16] Sebutan lain untuk Bulan dalam bahasa Inggris modern adalah lunar, berasal dari bahasa Latin Luna. Sebutan lainnya yang kurang umum adalah selenic, dari bahasa Yunani Kuno Selene (Σελήνη), yang kemudian menjadi dasar penamaan selenografi.[17] PembentukanBeberapa mekanisme yang diajukan mengenai pembentukan bulan menyatakan bahwa bulan terbentuk pada 4,527 ± 0,010 miliar tahun yang lalu,[f] sekitar 30-50 juta tahun setelah pembentukan tata surya.[18] Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Rick Carlson menunjukkan bahwa bulan berusia sekurang-kurangnya 4,4 hingga 4,45 miliar tahun.[19] [20] Hipotesis ini antara lain menjelaskan bahwa fisi bulan berasal dari kerak bumi akibat gaya sentrifugal,[21][22] penangkapan gravitasi sebelum pembentukan bulan,[23] dan pembentukan bumi dan bulan secara bersama-sama di cakram akresi primordial.[22] Hipotesis ini tidak menjelaskan tinggi momentum sudut dari sistem bumi-bulan.[24] Hipotesis yang berlaku saat ini menjelaskan bahwa sistem Bumi-Bulan terbentuk akibat tubrukan besar, ketika benda langit seukuran Mars (bernama Theia) bertabrakan dengan proto-Bumi yang baru terbentuk, memuntahkan material ke orbit di sekitarnya yang kemudian berkumpul untuk membentuk Bulan.[25] Hipotesis ini mungkin merupakan hipotesis yang paling menjelaskan mengenai asal usul Bulan, meskipun penjelasannya tidak sempurna. Tubrukan besar diperkirakan umum terjadi pada awal pembentukan Tata Surya. Pemodelan simulasi komputer mengenai tubrukan besar sesuai dengan ukuran momentum sudut sistem Bumi-Bulan dan ukuran inti Bulan yang kecil. Simulasi ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar materi pada Bulan berasal dari planet penabrak, bukannya dari proto-Bumi.[26] Akan tetapi, pengujian terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar materi Bulan berasal dari Bumi, bukannya dari penabrak.[27][28][29] Bukti meteorit menunjukkan bahwa materi benda langit lainnya seperti Mars dan Vesta memiliki oksigen dan komposisi isotop yang sangat berbeda dengan Bumi, sedangkan Bulan dan Bumi memiliki komposisi isotop yang hampir identik. Pencampuran materi yang menguap pasca tubrukan antara benda langit pembentuk Bulan dengan Bumi diperkirakan menyamakan komposisi isotop mereka,[30] meskipun hal ini masih diperdebatkan.[31] Besarnya energi yang dilepaskan saat terjadinya tubrukan besar dan akresi materi di orbit Bumi yang terjadi setelahnya akan melelehkan kulit bagian luar Bumi, yang kemudian membentuk lautan magma.[32][33] Bulan yang baru terbentuk juga memiliki lautan magma sendiri; diperkirakan kedalamannya sekitar 500 km dari radius keseluruhan Bulan.[32] Meskipun akurasi dalam menjelaskan pembentukan Bulan didukung oleh banyak bukti, masih terdapat beberapa kesulitan yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh hipotesis tubrukan besar, terutama yang berkaitan dengan komposisi Bulan.[34] Pada tahun 2001, tim di Carnegie Institute of Washington melaporkan penelitian yang mereka lakukan terhadap isotop batuan Bulan.[35] Tim ini menemukan bahwa batuan Bulan yang dibawa ke Bumi melalui Program Apollo memiliki isotop yang identik dengan batuan Bumi, dan berbeda dengan batuan pada kebanyakan benda langit lainnya di Tata Surya. Karena sebagian besar materi yang lepas ke orbit dan membentuk Bulan diduga berasal dari Theia, penemuan ini sama sekali tak terduga. Pada tahun 2007, para peneliti dari California Institute of Technology mengumumkan bahwa kesamaan isotop antara Bumi dengan Theia kurang dari 1%.[36] Pada tahun 2012, analisis yang dilakukan terhadap sampel isotop Bulan menunjukkan bahwa Bulan memiliki komposisi isotop yang sama dengan Bumi,[37] bertentangan dengan hipotesis yang menjelaskan bahwa Bulan terbentuk jauh dari orbit Bumi atau dari Theia. Karakteristik fisikStruktur dalam
Bulan tergolong benda langit diferensiasi, yang secara geokimia memiliki komposisi kerak, mantel, dan inti yang berbeda dengan benda langit lainnya. Bulan kaya akan besi padat di bagian inti dalam, dengan radius sekitar 240 km, dan fluida di bagian inti luar, terutama yang terbuat dari besi cair, dengan radius sekitar 300 km. Di sekitar bagian inti Bulan terdapat lapisan pembatas berbentuk cair dengan radius sekitar 500 km.[39] Struktur ini diperkirakan terbentuk akibat kristalisasi fraksional pada lautan magma sesaat setelah pembentukan Bulan 4,5 miliar tahun yang lalu.[40] Kristalisasi lautan magma ini akan membentuk mantel mafik, yang juga disebabkan oleh curah hujan dan peluruhan mineral olivin, klinopiroksen, dan ortopiroksen; setelah tiga perempat lautan magma terkristalisasi, mineral plagioklas berkepadatan rendah akan terbentuk dan mengapung ke bagian atas lapisan kerak.[41] Cairan terakhir yang mengalami proses kristalisasi akan terjebak di antara kerak dan mantel, dengan inkompabilitas dan unsur penghasil panas yang berlimpah.[6] Sesuai dengan proses ini, pemetaan geokimia dari orbit menunjukkan bahwa sebagian besar kerak Bulan bersifat anortosit,[11] dan pengujian yang dilakukan terhadap sampel batuan Bulan yang berasal dari banjir lava di permukaan juga menjelaskan bahwa komposisi mantel mafik Bulan lebih kaya akan besi jika dibandingkan dengan Bumi.[6] Teknik geofisika menjelaskan bahwa ketebalan rata-rata kerak Bulan adalah ~50 km.[6] Bulan adalah satelit terpadat kedua di Tata Surya setelah Io.[42] Akan tetapi, inti dalam Bulan tergolong kecil, dengan radius sekitar 350 km atau kurang;[6] ukuran ini hanya ~20% dari ukuran Bulan secara keseluruhan, berbeda dengan benda langit kebumian lainnya, yang ukuran inti dalamnya hampir 50% dari ukuran keseluruhan. Komposisi Bulan belum diketahui secara pasti, namun diduga perpaduan dari besi metalik dengan sejumlah kecil sulfur dan nikel; analisis mengenai waktu rotasi variabel Bulan menunjukkan bahwa sebagian inti Bulan berbentuk cair.[43] Geologi permukaanTopografi Bulan telah diukur dengan menggunakan metode altimetri laser dan analisis gambar stereo.[45] Bentuk topografi yang paling jelas terlihat adalah basin Kutub Selatan Aitken di sisi jauh, dengan diameter sekitar sekitar 2.240 km, yang merupakan kawah terbesar di Bulan serta kawah terbesar yang pernah ditemukan di Tata Surya.[46][47] Titik terendah pada permukaan Bulan berada pada kedalaman 13 km.[46][48] Sedangkan titik tertinggi terdapat di bagian timur laut, yang diduga mengalami penebalan akibat pembentukan basin Kutub Selatan Aitken.[49] Basin raksasa lainnya, seperti Imbrium, Serenitatis, Crisium, Smythii, dan Orientale, memiliki lebar dan ketinggian yang lebih rendah.[46] Ketinggian rata-rata sisi jauh Bulan kira-kira 1,9 km lebih tinggi jika dibandingkan dengan sisi dekat.[6] Fitur vulkanisDataran Bulan yang berwarna gelap dan bisa diamati dengan mata telanjang disebut dengan maria (bahasa Latin untuk "laut"; atau mare dalam bentuk tunggal), karena dahulu kala para astronom mengira bahwa dataran ini dipenuhi oleh air.[50] Dataran ini berupa kolam besar yang terbentuk dari lava basal. Meskipun serupa dengan basal kebumian, basal mare memiliki kandungan besi yang lebih tinggi dan kandungan mineral yang kurang.[51][52] Sebagian besar lava ini meletus atau mengalir melalui proses yang bersamaan dengan pembentukan kawah tubrukan. Beberapa bentuk geologi permukaan Bulan seperti gunung berapi perisai dan kubah vulkanis bisa ditemukan di maria di sisi dekat Bulan.[53] Maria bisa ditemukan hampir di keseluruhan sisi dekat Bulan, mencakup 31% dari total permukaan di sisi dekat,[54] jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan maria pada sisi jauh, yang persentasenya hanya 2%.[55] Hal ini diperkirakan terjadi karena tingginya konsentrasi unsur penghasil panas di bawah kerak di sisi dekat, sebagaimana yang terlihat pada peta geokimia yang diperoleh dari spektrometer sinar gamma Lunar Prospector, yang menyebabkan mantel mengalami pemanasan, meleleh, kemudian naik ke permukaan dan meletus.[41][56][57] Sebagian besar basal mare Bulan meletus pada periode Imbrian, sekitar 3,0–3,5 miliar tahun yang lalu, meskipun hasil penanggalan radiometri menjelaskan waktunya lebih tua 4,2 miliar tahun yang lalu,[58] dan letusan terakhir, berdasarkan penanggalan hitungan kawah, terjadi sekitar 1,2 miliar tahun yang lalu.[59] Wilayah yang berwarna lebih terang pada Bulan disebut dengan terrae, atau dataran tinggi secara umum, karena wilayah ini lebih tinggi dari kebanyakan maria. Berdasarkan penanggalan radiometri, dataran tinggi Bulan terbentuk sekitar 4,4 miliar tahun yang lalu, dan diduga merupakan kumulasi plagioklas dari lautan magma Bulan.[58][59] Berbeda dengan Bumi, tak ada gunung di Bulan yang diyakini terbentuk akibat peristiwa tektonik.[60][61][62] Kawah tubrukanProses geologi lainnya yang memengaruhi bentuk permukaan Bulan adalah kawah tubrukan,[63] yaitu ketika kawah-kawah terbentuk akibat tubrukan antara asteroid dan komet dengan pemukaan Bulan. Diperkirakan terdapat sekitar 300.000 kawah dengan luas lebih dari 1 km di sisi dekat Bulan.[64] Beberapa kawah ini dinamakan menurut nama para pakar, ilmuwan, seniman, dan penjelajah.[65] Skala waktu geologi Bulan didasarkan pada peristiwa tubrukan yang paling hebat, termasuk Nectaris, Imbrium, dan Orientale, dengan struktur yang dicirikan oleh lingkaran yang terbentuk dari materi yang menguap, biasanya berdiamater ratusan hingga ribuan kilometer.[66] Kurangnya aktivitas atmosfer, cuaca, dan proses geologi terkini membuktikan bahwa kawah-kawah ini masih dalam kondisi baik. Meskipun hanya sedikit kawah yang diketahui asal usul pembentukannya, kawah-kawah ini tetap berguna untuk menentukan usia relatif Bulan. Karena kawah tubrukan menumpuk pada tingkat yang hampir konstan, menghitung jumlah kawah per satuan luas dapat digunakan untuk memperkirakan usia permukaan Bulan.[66] Usia radiometrik batuan kawah yang dibawa oleh misi Apollo berkisar dari 3,8 sampai 4,1 miliar tahun; ini digunakan untuk menjelaskan waktu terjadinya tubrukan Pengeboman Berat Akhir.[67] Dataran yang menyelimuti bagian atas kerak Bulan adalah permukaan yang sangat terkominusi (terpecah menjadi partikel yang lebih kecil) dan lapisan permukaan kebun kawah bernama regolith, yang terbentuk akibat proses tubrukan. Regolith yang paling halus, yakni tanah Bulan dari kaca silikon dioksida, memiliki tekstur seperti salju dan berbau seperti mesiu.[68] Regolith di permukaan yang lebih tua umumnya lebih tebal daripada permukaan yang lebih muda; ketebalannya bervariasi, dari 10–20 m di dataran tinggi dan 3–5 m di maria.[69] Di bawah lapisan regolith terdapat megaregolith, lapisan batuan fraktur dengan ketebalan berkilo-kilometer.[70] Ketersediaan airAir cair tidak bisa bertahan di permukaan Bulan. Saat terkena radiasi Matahari, air dengan cepat akan terurai melalui proses yang dikenal dengan fotodisosiasi dan lenyap ke luar angkasa. Namun, sejak tahun 1960-an, para ilmuwan memperkirakan bahwa air es yang diangkut oleh komet saat terjadinya tubrukan atau yang dihasilkan oleh reaksi batuan Bulan yang kaya oksigen, dan hidrogen dari angin surya, meninggalkan jejak air yang mungkin bisa bertahan di kawah kutub selatan Bulan yang dingin dan gelap secara permanen.[71][72] Simulasi komputer menunjukkan bahwa hampir 14.000 km2 permukaan Bulan berada pada bagian kutub yang gelap permanen.[73] Ketersediaan air di Bulan dalam jumlah yang cukup adalah faktor penting dalam merencanakan proses kolonisasi Bulan karena akan menghemat biaya; rencana altenatif untuk mengangkut air dari Bumi akan menghabiskan biaya yang sangat besar.[74] Bertahun-tahun yang lalu, jejak air telah ditemukan di permukaan Bulan.[75] Pada tahun 1994, eksperimen radar bistatik di wahana Clementine menunjukkan adanya kantong air beku di sekitar permukaan Bulan. Namun, pengamatan radar setelahnya oleh Arecibo menunjukkan bahwa penemuan tersebut mungkin adalah batuan yang terlontar dari kawah tubrukan muda.[76] Pada 1998, spektrometer neutron di wahana Lunar Prospector menemukan adanya konsentrasi hidrogen yang tinggi di lapisan regolith dengan kedalaman satu meter di wilayah kutub.[77] Pada 2008, analisis yang dilakukan terhadap batuan lava vulkanis yang dibawa ke Bumi oleh Apollo 15 menunjukkan adanya kandungan air dalam jumlah kecil pada interior batuan.[78] Pada tahun 2008, wahana Chandrayaan-1 mengonfirmasi keberadaan air es di permukaan Bulan dengan menggunakan Moon Mineralogy Mapper. Spektrometer mengamati adanya garis penyerapan hidroksil di bawah sinar Matahari, yang membuktikan bahwa permukaan Bulan mengandung air es dalam jumlah besar. Wahana tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi air es mungkin mencapai 1.000 ppm.[79] Pada tahun 2009, LCROSS mengirim 2.300 kg impaktor ke kawah kutub yang gelap permanen, dan mendeteksi sedikitnya terdapat 100 kg air dalam material ejektor.[80][81] Analisis data LCROSS lainnya menunjukkan bahwa jumlah air yang terdeteksi mencapai 155 kg.[82] Pada bulan Mei 2011, Erik Hauri melaporkan[83] adanya 615-1410 ppm inklusi leleh air pada sampel Bulan 74220, "tanah kaca jingga" dengan kandungan titanium tinggi yang berasal dari peristiwa vulkanis yang dikumpulkan dalam misi Apollo 17 pada tahun 1972. Inklusi ini tebentuk saat terjadinya letusan besar di Bulan sekitar 3,7 miliar tahun yang lalu. Konsentrasi ini setara dengan magma di mantel atas Bumi. Medan gravitasiMedan gravitasi Bulan telah diukur dengan menggunakan pelacakan pergeseran Doppler pada sinyal radio yang dipancarkan oleh pesawat ruang angkasa yang mengorbit Bulan. Bentuk gravitasi Bulan yang utama adalah konmas, anomali gravitasi positif yang terkait dengan beberapa basin tubrukan besar, sebagian disebabkan oleh aliran lava basaltik mare padat yang memenuhi basin tersebut.[84][85] Anomali ini sangat memengaruhi orbit pesawat luar angkasa di sekitar Bulan. Terdapat beberapa perdebatan mengenai gravitasi Bulan: lava yang mengalir dengan sendirinya tidak bisa menjelaskan bentuk gravitasi Bulan, dan beberapa konmas yang ada sama sekali tidak terkait dengan vulkanisme mare.[86] Medan magnetBulan memiliki medan magnet eksternal sekitar 1–100 nanotesla, kurang dari seperseratus medan magnet Bumi. Bulan tidak memiliki medan magnet dipolar global, melainkan dihasilkan oleh geodinamo inti logam cair, dan hanya memiliki magnetisasi kerak, yang mungkin sudah ada pada awal sejarah Bulan ketika geodinamo masih beroperasi.[87][88] Selain itu, beberapa sisa magnetisasi berasal dari medan magnet sementara yang dihasilkan ketika terjadinya peristiwa tubrukan hebat, dengan melalui perluasan plasma yang dihasilkan oleh tubrukan. Hipotesis ini didukung oleh magnetisasi kerak yang berlokasi di dekat antipode basin tubrukan besar.[89] AtmosferBulan memiliki atmosfer yang sangat renggang, bahkan hampir hampa, dengan massa total kurang dari 10 ton metrik.[91] Tekanan permukaannya adalah sekitar 3 × 10−15 atm (0,3 nPa); ukurannya bervariasi menurut hari Bulan. Sumber atmosfer Bulan meliputi pelepasan gas dan pelepasan atom akibat bombardemen tanah Bulan oleh ion angin surya.[11][92] Unsur-unsur yang terkandung pada atmosfer Bulan adalah sodium dan potasium, yang dihasilkan oleh pelepasan atom; unsur ini juga ditemukan pada atmosfer Merkurius dan Io. Unsur lainnya termasuk helium-4 yang dihasilkan dari angin surya; serta argon-40, radon-222, dan polonium-210, yang dilepaskan ke angkasa setelah dihasilkan melalui proses peluruhan radioaktif di dalam kerak dan mantel.[93][94] Tidak adanya keberadaan spesies netral (atom atau molekul) di atmosfer seperti oksigen, nitrogen, karbon, hidrogen dan magnesium, yang terdapat pada regolith, masih belum terjelaskan.[93] Uap air terdeteksi oleh Chandrayaan-1 dan kandungannya bervariasi menurut garis lintang, dengan titik maksimum ~60–70 derajat; uap air ini diduga dihasilkan melalui proses sublimasi air es di regolith.[95] Gas-gas ini bisa kembali ke regolith akibat gravitasi Bulan atau lenyap ke luar angkasa, baik melalui tekanan radiasi surya atau, jika terionisasi, tersapu oleh medan magnet angin surya.[93] MusimKemiringan sumbu Bulan terhadap ekliptika hanya 1,5424°,[96] jauh lebih kecil dari Bumi (23,44°). Karena hal ini, variasi iluminasi surya pada Bulan memiliki musim yang jauh lebih sedikit, dan detail topografi memiliki peran penting dalam efek perubahan musim.[97] Berdasarkan foto yang diambil oleh wahana Clementine pada tahun 1994, terdapat empat wilayah pegunungan di pinggiran kawah Peary di kutub utara Bulan, yang diduga tetap disinari oleh Matahari di sepanjang hari Bulan, menciptakan puncak cahaya abadi. Tidak ada wilayah seperti itu yang terdapat di kutub selatan Bulan. Selain itu, juga terdapat wilayah yang tidak menerima cahaya secara permanen di bagian bawah kawah kutub,[73] dan kawah-kawah gelap ini suhunya sangat dingin; Lunar Reconnaissance Orbiter mencatat suhu musim panas terendah di kawah kutub selatan mencapai 35 K (−238 °C)[98] dan hampir 26 K saat terjadinya titik balik matahari musim dingin di kawah Hermite di kutub utara. Ini adalah suhu terdingin di Tata Surya yang pernah diukur oleh wahana antariksa, bahkan lebih dingin dari suhu permukaan Pluto.[97] Hubungan dengan BumiOrbitBulan menyelesaikan orbit lengkap mengelilingi Bumi setiap 27,3 hari sekali[g] (periode sideris). Akan tetapi, karena Bumi bergerak pada orbitnya mengelilingi Matahari pada waktu yang bersamaan, dibutuhkan waktu yang sedikit lebih lama bagi Bulan untuk memperlihatkan fase yang sama ke Bumi, yaitu sekitar 29,5 hari[h] (periode sinodik).[54] Tidak seperti kebanyakan satelit planet lainnya, orbit Bulan lebih dekat ke bidang ekliptika daripada ke bidang khatulistiwa planet. Orbit Bulan diperturbasi oleh Matahari dan Bumi dalam cara yang halus dan kompleks. Misalnya, bidang pergerakan orbit Bulan secara bertahap mengalami pergeseran, yang memengaruhi aspek pergerakan Bulan lainnya. Fenomena ini secara matematis dijelaskan oleh Hukum Cassini.[99] Ukuran relatifUkuran Bulan relatif besar jika dibandingkan dengan ukuran Bumi, yakni seperempat dari diameter dan 1/81 dari massa Bumi.[54] Bulan adalah satelit alami terbesar di Tata Surya menurut ukuran relatif planet yang diorbitnya, meskipun Charon lebih besar untuk ukuran planet katai Pluto, yakni sekitar 1/9 dari massa Pluto.[100] Meskipun demikian, Bumi dan Bulan masih dianggap sebagai sistem planet-satelit, bukannya sistem planet ganda, karena barisentrum kedua benda langit ini berlokasi 1.700 km (sekitar seperempat radius Bumi) di bawah permukaan Bumi.[101] Penampakan dari BumiBulan berada pada rotasi sinkron; waktu yang dibutuhkan oleh Bulan untuk berputar pada porosnya kira-kira sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengorbit Bumi. Oleh sebab itu, Bulan selalu memperlihatkan sisi yang sama pada Bumi. Pada awal sejarahnya, perputaran Bulan lebih lambat dan terjadi penguncian pasang surut pada orientasi ini, terutama karena efek friksional deformasi pasang surut yang dipicu oleh Bumi.[102] Sisi Bulan yang menghadap Bumi disebut dengan sisi dekat, sedangkan sisi yang membelakangi Bumi disebut dengan sisi jauh. Sisi jauh sering kali disalah artikan sebagai "sisi gelap", meskipun pada kenyataannya sisi ini diterangi oleh cahaya sebagaimana halnya sisi dekat. Sekali dalam sebulan, sisi dekat yang gelap bisa disaksikan dari Bumi ketika terjadinya fase bulan baru.[103] Bulan memiliki albedo yang sangat rendah, dengan tingkat kecerahan yang sedikit lebih terang dari aspal hitam. Meskipun demikian, Bulan adalah benda langit yang paling terang di langit setelah Matahari.[54][i] Hal ini antara lain disebabkan oleh peningkatan kecerahan akibat efek oposisi; pada fase bulan seperempat, hanya sepersepuluh bagian Bulan yang terang, bukannya seperempat.[104] Selain itu, konstansi warna pada sistem visual Bulan mengkalibrasi hubungan antara warna objek dan sekitarnya; karena langit di sekitar Bulan relatif gelap, Bulan yang diterangi Matahari tampak sebagai benda langit yang terang. Bagian pinggir bulan purnama tampak sama terang dengan bagian tengahnya, tanpa pengelaman tungkai, karena sifat reflektif dari tanah Bulan, yang merefleksikan lebih banyak cahaya ke arah Matahari daripada ke arah lainnya. Bulan terlihat lebih besar saat berada dekat dengan cakrawala, tetapi hal ini hanyalah efek psikologis semata, yang dikenal dengan ilusi Bulan (pertama kali dijelaskan pada abad ke-7 SM).[105] Besaran busur rata-rata bulan purnama adalah sekitar 0,52° di langit, kira-kira sama dengan ukuran Matahari yang terlihat dari Bumi (lihat gerhana). Ketinggian Bulan di langit bervariasi; meskipun memiliki batas yang hampir sama dengan Matahari, ketinggiannya berubah seiring dengan fase Bulan dan perubahan musim dalam setahun, dengan ketinggian tertinggi terjadi saat bulan purnama pada waktu musim dingin. Siklus simpul Bulan selama 18,6 tahun juga memiliki pengaruh; ketika simpul naik orbit Bulan berada pada ekuinoks vernal, deklinasi Bulan bisa bergerak sejauh 28° setiap bulannya. Ini berarti Bulan bisa bergerak melintasi garis lintang hingga 28° dari khatulistiwa, bukannya 18°. Orientasi bulan sabit juga bergantung pada garis lintang; di dekat khatulistiwa, bulan sabit bisa diamati dengan teropong bintang.[106] Jarak antara Bulan dengan Bumi bervariasi, berkisar dari 356.400 km hingga 406.700 km pada perige (titik terdekat) dan apoge (titik terjauh). Pada tanggal 19 Maret 2011, Bulan saat fase penuh berada pada jarak terdekat dengan Bumi, terdekat sejak tahun 1993, yakni 14% lebih dekat dari posisi terjauhnya di apoge.[107] Fenomena ini disebut dengan "bulan super", yang berlangsung selama satu jam pada saat bulan purnama, dan 30% lebih terang daripada biasanya akibat diameter sudutnya 14% lebih besar, karena .[108][109][110] Pada tingkat terendahnya, kecerahan Bulan dari Bumi akan berkurang jika dilihat dengan mata telanjang. Persentase tingkat kecerahan Bulan ditentukan oleh rumus berikut: [111][112]
Ketika reduksi aktual adalah 1,00 / 1,30, atau sekitar 0,770, reduksi terasa kira-kira 0,877, atau 1,00 / 1,14. Hal ini menyebabkan meningkatnya reduksi terasa hingga 14% antara apoge dan perige Bulan pada fase yang sama.[113] Terdapat perdebatan mengenai apakah permukaan Bulan berubah dari waktu ke waktu. Saat ini, fenomena tersebut dianggap sebagai ilusi semata, yang diakibatkan oleh pengamatan Bulan dalam kondisi pencahayaan yang berbeda, penglihatan astronomi yang buruk, atau gambar yang tidak memadai. Akan tetapi, pelepasan gas kadang-kadang juga terjadi, dan diduga merupakan peristiwa yang menyebabkan fenomena Bulan sementara. Baru-baru ini, muncul pendapat yang menyatakan bahwa sekitar 3 km diameter permukaan Bulan dimodifikasi oleh peristiwa pelepasan gas, yang terjadi sekitar satu juta tahun yang lalu.[114][115] Penampakan Bulan, seperti halnya Matahari, dipengaruhi oleh atmosfer Bumi; efek umumnya adalah cincin halo 22° yang terbentuk saat cahaya Bulan dibiaskan oleh kristal es di awan cirrostratus, dan terbentuknya cincin korona yang lebih kecil saat Bulan ditutupi oleh awan tipis.[116] Efek pasang surutPasang surut di Bulan umumnya disebabkan oleh adanya kecepatan perubahan intensitas daya tarik gravitasi Bulan pada salah satu sisi Bumi terhadap sisi lainnya, atau disebut dengan gaya pasang surut. Fenomena ini membentuk dua tonjolan pasang surut di Bumi, yang akan terlihat jelas di permukaan laut setelah air surut.[117] Karena Bumi berputar 27 kali lebih cepat daripada Bulan, tonjolan ini bergerak bersama permukaan Bumi lebih cepat daripada pergerakan Bulan, yang berputar mengelilingi Bumi sekali sehari sebagaimana Bulan berputar pada sumbunya.[117] Pasang surut juga dipengaruhi oleh efek lainnya, di antaranya gaya gesek air terhadap sumbu rotasi Bumi melalui lantai samudra, inersia pergerakan air, basin samudra yang mengalami pendangkalan, dan osilasi antara basin samudra berbeda.[118] Daya tarik gravitasi Matahari terhadap samudra Bumi hampir setengah dari daya tarik gravitasi Bulan, dan gravitasi kedua benda langit ini berperan penting dalam menyebabkan pasang surut perbani dan musim semi.[117] Interaksi gravitasi antara Bulan dan tonjolan di sekitar Bulan berfungsi sebagai torsi pada rotasi Bumi, yang menguras momentum sudut dan energi kinetik rotasi dari perputaran Bumi.[117][119] Akibatnya, momentum sudut disertakan ke orbit Bulan, yang mempercepat rotasinya dan menyebabkan Bulan naik ke orbit yang lebih tinggi dan dengan periode yang lebih lama. Oleh sebab itu, jarak antara Bumi dengan Bulan juga akan meningkat, dan perputaran Bumi akan melambat.[119] Pengukuran dengan metode eksperimen rentang Bulan menggunakan reflektor laser yang dilakukan dalam misi Apollo menemukan bahwa jarak Bulan ke Bumi meningkat sekitar 38 mm per tahun[120] (meskipun angka ini hanya 0,10 ppb/tahun dari radius orbit Bulan). Jam atom juga menunjukkan bahwa lama hari di Bumi meningkat sekitar 15 mikrodetik per tahun,[121] yang secara perlahan-lahan memperpanjang waktu UTC yang disesuaikan oleh detik kabisat. Tarikan pasang surut Bulan akan terus berlanjut sampai perputaran Bumi dan periode orbit Bulan sesuai. Namun, Matahari akan berubah menjadi raksasa merah dan memusnahkan Bumi jauh sebelum hal tersebut terjadi.[122][123] Permukaan Bulan juga mengalami pasang surut dengan amplitudo ~10 cm, yang berlangsung selama 27 hari lebih. Fenomena ini disebabkan oleh dua hal, yakni karena Bulan dan Bumi berada pada rotasi sinkron, dan berbagai hal yang disebabkan oleh Matahari.[119] Komponen Bumi yang diinduksi terbentuk karena librasi, yang diakibatkan oleh eksentrisitas orbit Bulan; jika orbit Bulan bulat sempurna, maka yang akan muncul hanyalah pasang surut surya.[119] Librasi juga mengubah sudut penampakan Bulan, yang menyebabkan sekitar 59% permukaan Bulan terlihat dari Bumi.[54] Efek kumulatif dari fenomena pasang surut memicu terjadinya gempa bulan. Gempa bulan ini lebih jarang terjadi dan lebih lemah kekuatannya daripada gempa bumi, meskipun gempa ini dapat bertahan hingga satu jam karena ketiadaan air yang berfungsi sebagai peredam getaran seismik. Fenomena gempa bulan ini merupakan penemuan tak terduga dari seismometer yang diletakkan di Bulan oleh astronaut Apollo dari tahun 1969 hingga 1972.[124] GerhanaGerhana bisa terjadi saat Matahari, Bumi, dan Bulan berada pada satu garis lurus (disebut dengan "syzygy"). Gerhana matahari terjadi ketika bulan baru, saat Bulan berada di antara Matahari dan Bulan. Sebaliknya, gerhana bulan terjadi saat bulan purnama, ketika Bumi berada di antara Matahari dan Bulan. Ukuran Bulan yang terlihat dari Bumi kira-kira sama dengan ukuran Matahari. Akan tetapi, ukuran Matahari jauh lebih besar daripada ukuran Bulan; jarak antara Matahari dan Bulan yang sangat jauh menyebabkan ukuran kedua benda langit ini tampak sama dari Bumi. Variasi ukuran ini, yang disebabkan oleh orbit nonsirkuler, juga hampir sama, meskipun terjadi dalam siklus yang berbeda. Hal ini mengakibatkan terjadinya gerhana matahari total (saat Bulan tampak lebih besar daripada Matahari) dan cincin (saat Bulan tampak lebih kecil dari Matahari).[126] Saat gerhana total, Bulan sepenuhnya menutupi cakram Matahari dan korona surya, yang bisa diamati dengan mata telanjang dari Bumi. Karena jarak antara Matahari dan Bulan meningkat secara perlahan dari waktu ke waktu,[117] diameter sudut Bulan mengalami penurunan. Selain itu, karena Matahari berevolusi menjadi raksasa merah, ukuran Matahari dan diameter tampaknya di langit juga meningkat secara perlahan.[j] Perpaduan kedua fenomena ini membuktikan bahwa ratusan juta tahun yang lalu, Bulan akan selalu menutupi Matahari ketika terjadinya gerhana matahari, dan mungkin tidak ada gerhana cincin yang terjadi pada saat itu. Demikian pula ratusan juta tahun yang akan datang, Bulan tak lagi menutupi Matahari sepenuhnya, dan gerhana matahari total tidak akan terjadi.[127] Orbit Bulan yang mengelilingi Bumi mengalami inklinasi sekitar 5° dari orbit Bumi mengelilingi Matahari, sehingga gerhana tidak terjadi pada setiap bulan baru dan bulan purnama. Gerhana akan terjadi jika Bulan berada di dekat persimpangan dua bidang orbit.[128] Periodisasi dan rekurs gerhana matahari oleh Bulan, serta gerhana bulan oleh Bumi, bisa dijelaskan melalui teori saros, yang memiliki jangka waktu sekitar 18 tahun.[129] Karena Bulan menghalangi pandangan manusia sekitar setengah derajat lingkaran pada area langit,[k][130] fenomena terkait seperti okultasi terjadi saat sebuah bintang atau planet terang melintas di bagian belakang Bulan dan mengalami okultasi, atau tersembunyi dari pandangan. Serupa dengan fenomena ini, gerhana matahari terjadi saat Matahari tersembunyi dari pandangan karena tertutup oleh Bulan. Karena jarak Bulan lebih dekat dengan Bumi, okultasi bintang tunggal tidak bisa terlihat dari tempat manapun di permukaan Bumi pada waktu yang bersamaan. Presesi pada orbit Bulan juga menyebabkan terjadinya okultasi yang berbeda setiap tahunnya.[131] Penelitian dan penjelajahanPenelitian awalPemahaman mengenai siklus Bulan menandai awal perkembangan ilmu astronomi; pada abad ke-5 SM, astronom Babilonia telah mencatat siklus Saros 18 tahunan pada gerhana bulan,[132] dan astronom India telah menjelaskan mengenai fenomena elongasi Bulan.[133] Astronom Tiongkok Shi Shen (abad ke-4 SM) memberi petunjuk yang terkait dengan cara memperkirakan gerhana matahari dan bulan.[134] Kemudian, bentuk fisik Bulan dan sumber cahaya bulan mulai diketahui. Filsuf Yunani kuno Anaxagoras (w. 428 SM) mengemukakan bahwa Matahari dan Bulan merupakan dua buah batu bulat raksasa yang menghasilkan cahaya.[135][136] Bangsa Tiongkok pada masa Dinasti Han percaya bahwa energi Bulan sama dengan qi, dan teori mereka mengenai pengaruh radiasi Bulan menjelaskan bahwa cahaya Bulan berasal dari Matahari. Jing Fang (78–37 SM) mencatat kebulatan Bulan untuk pertama kalinya.[137] Pada abad ke-2 M, Lucian menulis sebuah novel yang mengisahkan mengenai seorang pahlawan yang melakukan perjalanan ke Bulan yang berpenghuni. Pada tahun 499 M, astronom India Aryabhata menulis dalam bukunya Aryabhatiya bahwa cahaya Matahari menyebabkan Bulan tampak bersinar.[138] Astronom dan fisikawan Alhazen (965-1039) mengungkapkan bahwa cahaya matahari tidak dipancarkan dari Bulan seperti sebuah cermin, tetapi cahaya tersebut dipancarkan ke segala arah dari setiap bagian permukaan Bulan yang diterangi oleh cahaya matahari.[139] Shen Kuo (1031–1095) dari Dinasti Song mengemukakan sebuah alegori yang mengumpamakan fenomena bersinar dan memudarnya cahaya Bulan dengan sebuah bola yang berputar; saat dibubuhi dengan bubuk putih dan dilihat dari samping, maka akan terlihat bentuk sabit.[140] Dalam deskripsi alam semesta karya Aristoteles (384-322 SM), Bulan menandai batas antara unsur yang bisa berubah (bumi, air, udara, dan api) dengan bintang-bintang abadi aether, pemikiran filsafat berpengaruh yang mendominasi sains selama berabad-abad kemudian.[141] Pada abad ke-2 SM, Seleucus dari Seleucia mengemukakan teori bahwa pasang surut terjadi karena daya tarik Bulan, dan ketinggian air pasang ditentukan oleh posisi relatif Bulan terhadap Matahari.[142] Pada abad yang sama, Aristarchus menghitung ukuran dan jarak Bulan dari Bumi, dengan jarak sekitar dua puluh kali radius Bumi. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Ptolemy (90–168 M): ia berpendapat bahwa jarak rata-rata Bulan dari Bumi adalah 59 kali radius Bumi dan diameter 0,292 dari diameter Bumi. Angka ini hampir mendekati jarak dan diameter yang sebenarnya, yakni sekitar 60 untuk jarak dan 0,273 untuk diameter.[143] Archimedes (287–212 SM) merancang sebuah planetarium yang bisa menghitung laju pergerakan Bulan dan objek lainnya di Tata Surya.[144] Pada Abad Pertengahan, sebelum ditemukannya teleskop, Bulan diyakini sebagai sebuah bola batu, meskipun juga banyak yang percaya bahwa permukaan bulan "sangat halus".[145] Pada tahun 1609, Galileo Galilei untuk pertama kalinya membuat sebuah gambar teleskopis Bulan dalam bukunya yang berjudul Sidereus Nuncius dan menjelaskan bahwa permukaan Bulan tidak halus, tetapi memiliki pegunungan dan kawah. Pemetaan teleskopis Bulan terus berlanjut di sepanjang Abad Pertengahan; pada abad ke-17, Giovanni Battista Riccioli dan Francesco Maria Grimaldi berhasil menciptakan sebuah sistem penamaan geologi Bulan yang tetap digunakan hingga saat ini. Mappa Selenographica karya Wilhelm Beer dan Johann Heinrich Mädler (1834-1836), serta buku Der Mond (1837), merupakan buku pertama yang secara akurat menjelaskan penelitian mengenai Bulan dari sudut pandang trigonometri, termasuk ketinggian lebih dari seribu gunung di Bulan, dan memperkenalkan penelitian Bulan dengan tingkat akurasi yang bisa diukur oleh geografi Bumi.[146] Kawah Bulan pertama kali dicatat oleh Galileo, dan awalnya dianggap sebagai gunung berapi sampai tahun 1870-an, dan kemudian Richard Proctor menjelaskan bahwa kawah-kawah tersebut terbentuk akibat tubrukan.[54] Pendapatnya ini didukung oleh eksperimen yang dilakukan oleh geolog Grove Karl Gilbert pada tahun 1892, dan setelah perkembangan studi komparatif pada 1920-an hingga 1940-an,[147] stratigrafi Bulan menjadi cabang ilmu astrogeologi baru pada tahun 1950-an.[54] Penjelajahan langsung pertama: 1959–1976Misi Uni SovietPerang Dingin mendorong terjadinya Perlombaan Angkasa antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, yang menyebabkan adanya akselerasi kepentingan dalam penjelajahan Bulan. Setelah peluncur memiliki kemampuan yang diperlukan, kedua negara ini mengirim wahana nirawak melalui misi orbit ataupun misi pendaratan di Bulan. Wahana buatan Soviet, Luna, adalah wahana pertama yang berhasil mencapai tujuan. Setelah meluncurkan tiga misi nirawak dan mengalami kegagalan pada tahun 1958,[148] benda buatan manusia pertama yang keluar dari gravitasi Bumi dan melintas di dekat Bulan adalah Luna 1; benda buatan manusia pertama yang menabrak permukaan Bulan adalah Luna 2, dan foto pertama sisi jauh Bulan dipotret oleh Luna 3, semuanya dilakukan pada tahun 1959.[148] Wahana antariksa pertama yang berhasil melakukan pendaratan lunak di permukaan Bulan adalah Luna 9, dan wahana nirawak pertama yang mengorbit Bulan adalah Luna 10, keduanya terjadi pada tahun 1966.[54] Sampel tanah dan batuan Bulan dibawa ke Bumi oleh tiga misi pengembalian sampel Luna, yakni Luna 16 pada 1970, Luna 20 pada 1972, dan Luna 24 pada 1976, yang berhasil membawa 0,3 kg batuan dan tanah Bulan.[149] Dua rover robotika perintis mendarat di Bulan pada tahun 1970 dan 1973 sebagai bagian dari program Lunokhod Soviet. Misi Amerika SerikatAmerika Serikat meluncurkan wahana nirawak untuk mengembangkan pemahaman mengenai permukaan Bulan demi kepentingan pendaratan berawak di kemudian hari; program Surveyor Jet Propulsion Laboratory mendaratkan wahana pertamanya empat bulan setelah peluncuran Luna 9. Program Apollo berawak NASA dikembangkan secara paralel; setelah serangkaian pengujian nirawak dan berawak pada wahana Apollo di orbit Bumi, dan didorong oleh rencana peluncuran penerbangan Bulan Soviet, Apollo 8 mengirimkan misi berawak pertama ke orbit Bulan pada tahun 1968. Misi berikutnya berhasil mendaratkan manusia untuk pertama kalinya di permukaan Bulan, yang dipandang oleh banyak pihak sebagai puncak Perlombaan Angkasa.[150] Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang berjalan di permukaan Bulan sebagai pemimpin misi Apollo 11 Amerika Serikat; ia menjejakkan langkah pertamanya di permukaan Bulan pada pukul 02:56 UTC tanggal 21 Juli 1969.[151] Misi Apollo 11 hingga 17 (kecuali Apollo 13, yang pendaratannya dibatalkan) berhasil kembali ke Bumi dengan membawa 382 kg tanah dan batuan Bulan dalam 2.196 sampel terpisah.[152] Pendaratan Bulan Amerika Serikat dipicu oleh kemajuan teknologi yang cukup pesat pada akhir 1960-an, misalnya kimia ablasi, rekayasa perangkat lunak, dan teknologi penetrasi atmosfer, serta manajemen yang sangat kompeten sehubungan dengan upaya teknis yang besar.[153][154] Sejumlah instrumen ilmiah dipasang di permukaan Bulan selama misi pendaratan Apollo. Stasiun instrumen berumur panjang, termasuk kapsul beraliran panas, seismometer, dan magnetometer, dipasang di lokasi pendaratan Apollo 12, 14, 15, 16, dan 17. Transmisi data langsung ke Bumi di akhiri pada tahun 1977 karena pertimbangan anggaran,[155][156] tetapi setelah stasiun rentang laser Bulan menjadi instrumen pasif, transmisi data masih terus dilakukan. Komunikasi jarak di stasiun secara rutin diterima oleh stasiun Bumi dengan akurasi beberapa sentimeter, dan data dari eksperimen ini digunakan untuk menentukan ukuran inti Bulan.[157] Misi saat ini: 1990–sekarangPasca-Apollo dan Luna, semakin banyak negara yang terlibat dalam penjelajahan Bulan secara langsung. Pada tahun 1990, Jepang menjadi negara ketiga yang mengirimkan pesawat luar angkasa ke orbit Bulan dengan meluncurkan wahana Hiten. Wahana ini diluncurkan dengan kapsul yang lebih kecil bernama Hagoromo di orbit Bulan, tetapi transmisi data gagal dilakukan, sehingga misi ini dihentikan.[158] Pada tahun 1994, Amerika Serikat meluncurkan wahana Clementine ke orbit Bulan, yang merupakan misi gabungan antara Departemen Pertahanan dan NASA. Misi ini berhasil memotret peta topografi Bulan dalam jarak dekat dan mengambil foto multispektral permukaan Bulan untuk pertama kalinya.[159] Misi ini diikuti oleh misi Lunar Prospector pada tahun 1998, yang berhasil menemukan adanya kelebihan hidrogen di kutub Bulan, yang diduga disebabkan oleh keberadaan air es beberapa meter di atas regolith di dalam kawah gelap permanen.[160] SMART-1, pesawat luar angkasa Eropa yang merupakan wahana bertenaga ion kedua, berada di orbit Bulan sejak tanggal 15 November 2004, dan dihentikan setelah pengendalinya menabrak Bulan pada tanggal 3 September 2006. Misi ini merupakan misi pertama yang berhasil menyurvei secara rinci unsur kimia di permukaan Bulan.[161] Tiongkok juga sangat berambisi untuk meluncurkan program penjelajahan Bulan, dimulai dengan Chang'e 1, yang berhasil mengorbit Bulan dari tanggal 5 November 2007 hingga akhirnya menabrak Bulan tanggal 1 Maret 2009.[162] Dalam misi selama enam belas bulan, wahana ini berhasil mengambil foto Bulan secara keseluruhan. Tiongkok melanjutkan keberhasilan ini dengan meluncurkan Chang'e 2 pada bulan Oktober 2010, yang mencapai Bulan dua kali lebih cepat daripada Chang'e 1. Misi ini berhasil memetakan Bulan dalam resolusi yang lebih tinggi dalam waktu sekitar delapan bulan, kemudian meninggalkan orbit Bulan untuk mengamati perluasan titik Lagrangian L2 Bumi-Matahari. Wahana ini terbang melintasi asteroid 4179 Toutatis pada 13 Desember 2012, dan kemudian lenyap ke angkasa luar. Pada tanggal 14 Desember 2013, Chang'e 3 melanjutkan misi pendahulunya dengan mengirimkan sebuah pendarat ke permukaan Bulan, yang pada akhirnya meluncurkan sebuah penjelajah Bulan bernama Yutu (Mandarin: 玉兔; secara harfiah "Kelinci"). Dengan demikian, Chang'e 3 merupakan wahana pertama yang melakukan pendaratan lunak di permukaan Bulan sejak Luna 24 pada tahun 1976, dan juga misi pertama yang meluncurkan penjelajah sejak Lunokhod 2 pada 1973. Tiongkok berencana untuk meluncurkan misi penjelajah lainnya (Chang'e 4) pada tahun 2015, serta misi pengambilan sampel (Chang'e 5) pada tahun 2017. Antara tanggal 4 Oktober 2007 dan 10 Juni 2009, Badan Penjelajahan Antariksa Jepang meluncurkan misi Kaguya (Selene), pengorbit Bulan yang dilengkapi dengan kamera video berdefinisi tinggi dan dua satelit pemancar radio kecil. Misi ini berhasil memperoleh data geofisika Bulan dan mengambil video berdefinisi tinggi dari luar orbit Bumi untuk pertama kalinya.[163][164] Misi penjelajahan Bulan pertama India, Chandrayaan I, mengorbit Bulan dari tanggal 8 November 2008 sampai kehilangan kontak pada 27 Agustus 2009, yang melakukan pemetaan fotogeologi dan mineralogi permukaan Bulan dalam resolusi tinggi. Misi ini juga menemukan keberadaan molekul-molekul air di dalam tanah Bulan.[165] Indian Space Research Organisation berencana untuk meluncurkan Chandrayaan II pada tahun 2013, yang juga disertai dengan sebuah robot penjelajah Bulan milik Rusia.[166][167] Akan tetapi, kegagalan misi Fobos-Grunt Rusia menyebabkan proyek ini mengalami penundaan. Misi Bulan masa depan lainnya adalah Luna-Glob Rusia; yang meliputi sebuah pendarat nirawak, rangkaian seismometer, dan pengorbit yang serupa dengan misi Fobos-Grunt Mars yang gagal.[168][169] Penjelajahan Bulan yang didanai swasta dikembangkan oleh Google Lunar X Prize, diumumkan pada 13 September 2007, yang menawarkan uang senilai US$20 juta bagi siapa saja yang bisa mendaratkan sebuah robot penjelajah di Bulan dan yang memenuhi kriteria tertentu lainnya.[170] Shackleton Energy Company sedang mengembangkan sebuah program untuk melakukan operasi di kutub selatan Bulan dalam rangka mengumpulkan air untuk memasok Propellant Depot milik mereka.[171] NASA berencana untuk melanjutkan misi berawak setelah adanya seruan dari Presiden AS George W. Bush pada tanggal 14 Januari 2004 untuk meluncurkan misi berawak ke Bulan pada tahun 2019, serta membangun sebuah pangkalan di Bulan pada tahun 2024.[172][173] Akan tetapi, program tersebut dibatalkan demi rencana pendaratan berawak di sebuah asteroid pada tahun 2025 dan misi pengorbit Mars berawak yang rencananya akan diluncurkan pada tahun 2035.[174] India juga menyatakan niatnya untuk mengirimkan misi berawak ke Bulan pada tahun 2020.[175] Astronomi dari BulanSelama bertahun-tahun, Bulan diakui sebagai lokasi yang bagus bagi teleskop.[176] Lokasinya relatif dekat sehingga penglihatan astronomi tidak akan menjadi masalah; kawah tertentu di dekat kutub gelap dan dingin secara permanen, dan dengan demikian sangat bermanfaat bagi teleskop inframerah; dan teleskop radio di sisi jauh akan terlindung dari perbincangan radio di Bumi.[177] Tanah Bulan, meskipun menjadi kendala bagi bagian teleskop yang bergerak, bisa dicampur dengan karbon nanotube dan epoksi.[178] Sebuah teleskop zenith Bulan bisa dibuat dengan mudah menggunakan cairan ion.[179] Pada bulan April 1972, misi Apollo 16 mengambil berbagai foto astronomi dan spektrum ultraungu dengan menggunakan Far Ultraviolet Camera/Spectrograph.[180] Status hukumMeskipun panji-panji Luna Uni Soviet tersebar di Bulan, dan bendera Amerika Serikat secara simbolis ditancapkan di lokasi pendaratan oleh astronaut Apollo, tidak satupun negara yang mengklaim kepemilikan atas bagian permukaan Bulan hingga saat ini.[181] Rusia dan Amerika Serikat merupakan dua negara yang menandatangani Perjanjian Luar Angkasa pada tahun 1967,[182] yang menyatakan bahwa Bulan dan keseluruhan luar angkasa adalah "provinsi bagi seluruh umat manusia".[181] Perjanjian ini juga membatasi pemanfaatan Bulan untuk tujuan damai, secara eksplisit melarang instalasi sarana militer dan senjata pemusnah massal di Bulan.[183] Perjanjian Bulan 1979 bertujuan untuk membatasi eksploitasi sumber daya Bulan oleh satu negara, tetapi perjanjian ini belum ditandatangani oleh satupun negara penjelajah luar angkasa.[184] Meskipun beberapa individu telah menyatakan klaimnya atas keseluruhan atau sebagian permukaan Bulan, tidak satupun yang dianggap kredibel.[185][186][187] Dalam budayaFase Bulan yang teratur menjadikannya sebagai penunjuk waktu yang sangat akurat, dan periode muncul dan menghilangnya Bulan di langit membentuk dasar bagi sebagian besar penanggalan kuno. Tongkat hitungan, artefak tulang yang berusia sekitar 20-30.000 tahun, dipercaya oleh beberapa pihak sebagai penanda fase Bulan.[188][189][190] ~30 hari dalam sebulan merupakan waktu perkiraan siklus Bulan. Dalam bahasa Inggris, kata benda month dan kata kerabat dalam bahasa Jermanik lainnya berasal dari kata Proto-Jermanik *mǣnṓth-, yang menunjukkan adanya penggunaan kalender bulan oleh bangsa Jermanik (kalender Jermanik) sebelum pengadopsian kalender matahari.[191][192][193] Bulan telah menjadi subjek dari banyak karya seni dan sastra, serta inspirasi bagi bidang seni lainnya. Bulan dijadikan sebagai motif dalam seni visual, seni pertunjukan, syair, prosa, dan musik. Sebuah ukiran batu berusia 5.000 tahun di Knowth, Irlandia, diduga menggambarkan Bulan, yang merupakan penggambaran Bulan paling awal yang ditemukan.[194] Perbedaan visual antara dataran tinggi yang terang dan kawah maria yang gelap melahirkan pola yang dipandang oleh sejumlah budaya sebagai sosok Manusia di Bulan, kelinci, kerbau, dan lain sebagainya. Dalam sebagian besar budaya kuno dan prasejarah, Bulan diumpamakan sebagai seorang dewi atau fenomena supernatural lainnya, dan pandangan astrologi terhadap Bulan tetap tersebar hingga saat ini. Bulan memiliki peran penting dalam Islam; kalender Islam didasarkan pada periode Bulan, dan di sebagian besar negara Muslim, awal atau akhir bulan ditentukan oleh penampakan hilal, atau bulan sabit pertama, di atas cakrawala.[195] Bintang dan bulan sabit, yang awalnya merupakan simbol Kesultanan Utsmaniyah, saat ini digunakan sebagai simbol masyarakat Muslim. Membelah bulan (bahasa Arab: انشقاق القمر) dipercaya oleh umat Muslim sebagai mukjizat nabi Muhammad.[196] Bulan memiliki hubungan yang panjang dengan kegilaan dan irasionalitas; dalam bahasa Inggris, kata lunacy dan lunatic (secara populer disingkat loony, artinya gila) berasal dari kata bahasa Latin Luna, yang berarti Bulan. Filsuf Aristoteles dan Pliny the Elder berpendapat bahwa bulan purnama menularkan kegilaan pada orang-orang yang rentan. Mereka percaya bahwa otak manusia, yang sebagian besarnya terdiri dari air, dipengaruhi oleh Bulan yang menguasai pasang surut, tetapi gravitasi Bulan terlalu kecil untuk memengaruhi satu orang.[197] Bahkan saat ini, orang-orang percaya bahwa pasien rumah sakit jiwa, kecelakaan lalu lintas, kasus pembunuhan atau bunuh diri akan meningkat pada saat bulan purnama, meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung pernyataan tersebut.[197] Lihat jugaReferensiCatatan
Referensi
Bibliografi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
Sumber kartografi
Perangkat observasi
|