Yoweri Museveni
Yoweri Kaguta Museveni Tibuhaburwa (lahir 15 September 1944) adalah Presiden Uganda sejak 29 Januari 1986. Museveni terlibat dalam perang yang menggulingkan pemerintahan Idi Amin (1971–79) dan pemberontakan yang kelak menyebabkan runtuhnya rezim Milton Obote (1980–1985).[1] Kecuali di wilayah utara negaranya, Museveni telah berhasil menciptakan stabilitas yang relatif dan pertumbuhan ekonomi di sebuah negara yang telah puluhan tahun dikelola dengan salah, dan dilanda oleh kegiatan kaum pemberontak dan perang saudara. Pada masa jabatannya juga telah dilakukan kegiatan nasional yang paling efektif untuk menghadapi HIV/AIDS di Afrika. Pada pertengahan hingga akhir 1990-an, Museveni dipuji oleh Barat sebagai bagian dari generasi baru pemimpin Afrika. Namun masa kepresidenannya dicemari oleh keterlibatan dalam perang saudara di Republik Demokratik Kongo dan konflik-konflik di wilayah Danau-danau Besar lainnya. Pemberontakan di utara terus menyebabkan salah satu keadaan darurat kemanusiaan yang terburuk di dunia. Perubahan-perubahan konstitusional terhadap batas masa jabatan presiden yang menyebabkan tertundanya pemilu 2006, dan ditangkapnya pemimpin oposisi utama, telah menimbulkan keprihatinan dari para komentator dalam negeri maupun masyarakat internasional. Masa muda dan awal karier (1944–1972)Museveni yang dilahirkan di Ntungamo di barat Uganda, adalah anggota kelompok etnis Nyankole. Ia diberi nama keluarga, Museveni, yang artinya "Anak orang dari [Pasukan] ke-Tujuh", untuk menghormati Batalyon ke-7 dari King's African Rifles, pasukan kolonial Britania yang banyak mempunyai anggota orang Uganda yang melayani dalam Perang Dunia II. Nama tengahnya diambil dari nama ayah tirinya, Amos Kaguta, seorang gembala ternak yang dinikahi ibunya, Esteri Kokundeka, di Ntungamo. Amos Kaguta juga adalah ayah dari saudara tiri Museveni, Caleb Akandwanaho, yang lebih dikenal di Uganda sebagai "Salim Saleh",[1] dan saudara perempuannya Violet Kajubiri.[2] Museveni belajar di SD Kyamate, SMA Mbarara, dan Sekolah Ntare. Sementara di SMU itulah ia menjadi seorang Kristen yang lahir baru. Pada 1967, ia belajar di Universitas Dar es Salaam di Tanzania dalam bidang ekonomi dan ilmu politik dan menjadi seorang Marxis tak terkonstruksi. Ia terlibat dalam politik pan-Afrika yang radikal. Sementara di universitas, ia membentuk Front Revolusioner Mahasiswa Afrika, sebuah kelompok aktivis, dan memimpin sebuah delegasi mahasiswa ke wilayah FRELIMO di Mozambik Portugis, dan di sana ia mendapatkan latihan gerilya. Museveni yang belajar antara lain di bawah bimbingan Walter Rodney, yang kiri, menulis tesis seniornya tentang penerapan kekerasan revolusioner Frantz Fanon di Afrika pasca-kolonial.[3] Pada 1970, Museveni bergabung dengan dinas intelijen militer Presiden Milton Obote. Ketika Mayjen Idi Amin merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta militer pada Januari 1971, Museveni melarikan diri ke Tanzania dengan para pengungsi lainnya, termasuk presiden yang tergulingkan. Basis kekuasaan Amin dan Obote sangat berbeda, hingga menyebabkan perbedaan etnis dan regional yang signifikan dan bahkan menimbulkan konflik. Obote berasal dari kelompok etnis Lango dari utara tengah, sementara Amin adalah seorang Kakwa dari sudut barat laut negara itu. Pemerintah kolonial Britania telah mengatur politik internal koloni itu sehingga Lango dan Acholi mendominasi militer nasional, sementara orang-orang dari bagian barat negara itu aktif dalam bisnis. Situasi ini bertahan hingga kudeta itu terjadi, ketika Amin mengisi posisi-posisi puncak di pemerintahan dengan orang-orang Kakwa dan Lugbara dan dengan kejam menindas sekutu-sekutu Lango dan Acholi mereka.[4] FRONASA dan penggulingan Amin (1972–1980)Pasukan-pasukan di pembuangan yang menentang Amin, dan yang umumnya terdiri dari suku Lango dan Acholi, menyerang Uganda dari Tanzania pada September 1972, namun dipukul balik dan mengalami kekalahan besar. Situasi para pemberontak dipersulit oleh perjanjian perdamaian yang kemudian ditandatangani oleh Tanzania dan Uganda, yang isinya melarang kaum pemberontak menggunakan wilayah Tanzania untuk melakukan agresi terhadap Uganda.[5] Museveni untuk waktu singkat bekerja sebagai dosen di sebuah sekolah tinggi di Moshi, di Tanzania utara, namun kemudian memisahkan diri dari oposisi arus utama dan membentuk Front untuk Keselamatan Nasional (FRONASA) pada 1973.[6] Pada bulan Agustus tahun yang sama, ia menikahi Janet Kataha, seorang bekas sekretaris dan pramugari udara dan mereka dikaruniai empat orang anak. Pada Oktober 1978, Presiden Idi Amin memerintahkan penyerangan ke Tanzania untuk mengklaim wilayah Kagera untuk Uganda. Sejak 24 hingga 26 Maret 1979, Museveni dan FRONASA menghadiri suatu pertemuan orang-orang yang hidup di pembuangan dan kelompok-kelompok pemberontak di kota Moshi, Tanzania utara. Dengan mengatasi perbedaan-perbedaan ideologi, setidak-tidaknya untuk sementara waktu, berbagai kelompok itu membentuk Front Pembebasan Nasional Uganda (UNLF). Museveni ditunjuk menjadi anggota Dewan Eksekutif yang terdiri dari 11 orang, dan diketuai oleh Yusuf Lule. Dewan ini didampingi oleh Dewan Konsultatif Nasional (NCC) dengan satu orang anggota untuk masing-masing dari ke-28 kelompok yang terwakili dalam pertemuan itu. UNLF menggabungkan pasukan-pasukannya dengan tentara Tanzania untuk melakukan suatu serangan balasan yang memuncak dengan penggulingan rezim Amin pada April 1979. Museveni ditunjuk menjadi Menteri Negara untuk Urusan Pertahanan dalam pemerintahan UNLF yang baru. Ia adalah menteri termuda dalam pemerintahan Yusuf Lule. Ribuan pasukan yang direkrut Museveni untuk bergabung ke dalam FRONASA selama perang dipersatukan ke dalam tentara nasional yang baru. Namun mereka tetap setia kepada Museveni, dan hal ini kelak sangat menentukan dalam pemberontakan-pemberontakan di kemudian hari terhadap rezim kedua Obote. NCC memilih Godfrey Binaisa sebagai ketua yang baru dari UNLF setelah pertikaian internal yang menyebabkan digulingkannya Yusuf Lule pada Juni 1979. Upaya-upaya Binaisa untuk mengonsolidasikan kekuasaan berlanjut dengan cara yang sama seperti pendahulunya. Pada November, Museveni dipindahkan dari Departemen Pertahanan ke Departemen Kerjasama Regional sementara Binaisa sendiri mengambil alih jabatan di Pertahanan. Pada Mei 1980, Binaisa sendiri dikenai tahanan rumah setelah upayanya untuk menyingkirkan Oyite Ojok, kepala staf angkatan darat – dalam apa yang merupakan kudeta de facto yang dipimpin oleh Paulo Muwanga, Yoweri Museveni, Oyite Ojok dan Tito Okello. Sebuah Komisi Kepresidenan, dengan Museveni sebagai Wakil Ketuanya, dibentuk dan dengan cepat mengumumkan rencana-rencana untuk mengadakan pemilihan umum pada Desember. Museveni yang kini menjadi tokoh yang cukup dikenal secara nasional, membentuk sebuah partai politik yang baru, Gerakan Patriotik Uganda (UPM), yang kemudian memenangkan pemilihan-pemilihan umum. Museveni kemudian bertarung melawan tiga kelompok politik lainnya: Kongres Rakyat Uganda (UPC), yang dipimpin oleh bekas Presiden Milton Obote; Partai Konservatif (CP); Partai Demokratik (DP). Dua petarung utamanya adalah UPC dan DP. Hasil-hasil resmi menyatakan bahwa UPC adalah pemenangnya, sementara partai Museveni, UPM, hanya memperoleh satu di antara 126 kursi yang tersedia. Sejumlah penyimpangan menyebabkan pemungutan suara tidak dapat dipercaya. Dalam perencanaan pemilu, pemimpin komisi yang berkuasa, Paulo Muwanga, mendukung pandangan UPC bahwa masing-masing kandidat harus mempunyai kotak suara yang terpisah. Hal ini ditentang keras oleh partai-partai yang lainnya, yang menyatakan bahwa hal itu akan membuat pemungutan suara mudah dimanipulasi. Konfigurasi batas-batas politik juga mungkin telah menolong UPC. Daerah-daerah pemilihan yang umumnya pro UPC di Uganda utara mempunyai suara yang secara proporsional lebih sedikit daripada Buganda yang anti-UPC, sehingga partai Obote mendapatkan lebih banyak kekuasaan. Kecurigaan-kecurigaan akan terjadinya kecurangan semakin diperkuat oleh pengumuman Muwanga pada hari pemilu bahwa semua hasilnya harus disahkan dulu olehnya sebelum diumumkan kepada masyarakat. Partai-partai yang kalah menolak mengakui keabsahan rezim yang baru, sambil menyebutkan penyimpangan-penyimpangan pemungutan suara yang terjadi di mana-mana. Perang di semak-semak (1981–1986)Obote II dan Pasukan Perlawanan NasionalMuseveni kembali dengan pendukung-pendukungnya ke pusat-pusat kekuatan mereka di pedesaan di daerah selatan dan barat daya yang didominasi suku Bantu untuk membentuk Tentara Perlawanan Rakyat (PRA). Di sana mereka merencanakan pemberontakan terhadap rezim kedua Obote, yang populer dikenal sebagai "Obote II", dan angkatan bersenjatanya, Pasukan Pembebasan Nasional Uganda (UNLA). Pemberontakan dimulai dengan serangan ke instalasi militer di distrik Mubende tengah pada 6 Februari 1981. PRA kemudian bergabung dengan kelompok perlawanan yang dipimpin bekas Presiden Yusufu Lule, Pejuang Kemerdekaan Uganda (UFF), untuk membentuk Tentara Perlawanan Nasional (NRA) dengan sayap politiknya, Gerakan Perlawanan Nasional (NRM). Dua kelompok pemberontak lainnya, Front Penyelamatan Nasional Uganda (UNRF) dan Bekas Tentara Nasional Uganda (FUNA), terbentuk di Nil Barat dari sisa-sisa pendukung Amin dan melibatkan pasukan-pasukan Obote.[7] NRM/A mengembangkan "Program Sepuluh Butir" untuk suatu pemerintahan yang baru, yang meliputi demokrasi, keamanan, konsolidasi persatuan nasional, membela kemerdekaan nasional, membangun ekonomi yang independen, terintegrasi dan swa-sembada, perbaikan pelayanan sosial, penghapusan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, perbaikan atas ketidakseimbangan, kerja sama dengan negara-negara Afrika lainnya dan ekonomi campuran.[8] Pada Juli 1985, Amnesti Internasional memperkirakan bahwa rezim Obote telah bertanggung jawab atas kematian lebih dari 300.000 warga sipil di seluruh Uganda. Organisasi hak-hak asasi manusia itu telah beberapa kali menghadap pemerintah untuk menuntut perbaikan catatan hak-hak asasi manusia nya yang mengerikan sejak 1982. Pelanggaran hak-hak asasi khususnya sangat jelas terjadi di daerah Uganda tengah yang dikenal sebagai Segi tiga Luwero. Laporan-laporan dari Uganda pada masa ini menimbulkan kecaman internasional terhadap rezim Obote dan meningkatnya dukungan internasional terhadap pasukan-pasukan pemberontak Museveni. Di dalam Uganda sendiri, penindasan yang brutal terhadap pemberontakan telah mempersatukan suku Buganda, kelompok etnis terbesar di Uganda, dengan NRA dalam menghadapi UNLA, yang dianggap didominiasi oleh orang-orang utara, khususnya suku Lango dan Acholi. Hingga kematiannya pada 2005, Milton Obote menuduh NRA bertanggung jawab atas pelanggaran hak-hak asasi di kalangan suku Luwero. Perjanjian Nairobi 1985Pada 27 Juli 1985, perpecahan di dalam pemerintahan UPC menyebabkan terjadinya sebuah kudeta militer yang berhasil terhadap Obote oleh bekas komandan Angkatan Daratnya, Letjen Tito Okello, seorang suku Acholi. Museveni dan NRM/A marah karena revolusi yang telah mereka perjuangkan selama empat tahun telah “dibajak” oleh UNLA, yang mereka anggap telah kehilangan nama karena pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia yang parah pada masa Obote II.[9] Namun, meskipun pihak Museveni bersikap hati-hati, NRM/A akhirnya setuju untuk menghadiri perundingan perdamaian yang diadakan oleh sebuah delegasi Kenya yang dipimpin oleh Presiden Daniel arap Moi. Perundingan ini, yang berlangsung dari 26 Agustus hingga 17 Desember, berlangsung dengan sangat tidak bersahabat, dan gencatan senjata yang dihasilkannya dibatalkan dalam waktu yang sangat singkat sesudah itu. Kesepakatan terakhir, yang ditandatangani di Nairobi, menyerukan gencatan senjata, demiliterisasi Kampala, integrasi pasukan-pasukan NRA dengan pasukan-pasukan pemerintah, dan digabungkannya pimpinan NRA ke dalam Dewan Militer.[10] Syarat-syarat ini tidak pernah dipenuhi. Prospek tentang suatu kesepakatan yang langgeng dihalangi oleh sejumlah faktor, termasuk, antara lain, kurangnya pengetahuan yang mendalam pada pihak Kenya mengenai situasi di Uganda dan tidak diundangnya sejumlah pelaku yang relevan di Uganda maupun dari tingkat internasional dalam pembicaraan itu. Akhirnya, Museveni dan sekutu-sekutunya menolak untuk berbagi kekuasaan dengan para jenderal yang tidak mereka hormati, apalagi sementara itu NRA mampu mencapai kemenangan militer secara mutlak. Dorongan untuk KampalaSementara mestinya terlibat dalam perundingan-perundingan perdamaian, Museveni mendekati Jenderal Mobutu dari Zaire dalam upaya menangkal keterlibatan pasukan-pasukan Zaire dalam mendukung junta militer Okello. Namun, pada 20 Januari 1986, beberapa ratus pasukan yang setia kepada Idi Amin disertai oleh militer Zaire memasuki wilayah Uganda. Pasukan-pasukan itu ikut campur di dalam konflik sipil setelah beralngsungnya latihan rahasia di Zaire dan imbauan dari Okello sepuluh hari sebelumnya.[11] Dukungan Mobutu terhadap Okello merupakan utang yang kelak diselesaikan oleh Museveni bertahun-tahun kemudian, ketika ia memerintahkan pasukan-pasukan Uganda terlibat dalam konflik yang akhirnya menggulingkan pemimpin Zaire itu. Namun, pada tahap ini, NRA telah mengembangkan momentum yang tidak dapat dihentikan. Pada 22 Januari, pasukan-pasukan pemerintah di Kampala telah mulai meninggalkan pos-pos mereka beramai-ramai sementara pasukan-pasukan pemerontak merebut wilayah di selatan dan barat daya Uganda.[12] Pada tanggal 25, faksi yang dipimpin oleh Museveni akhirnya merebut ibu kota. NRA menggulingkan pemerintahan Okello dan mengumumkan kemenangan esok harinya. Museveni diangkat sumpah sebagai Presiden tiga hari kemudian pada 29 Januari. "Ini bukanlah sekadar pergantian pengawal; ini adalah perubahan yang mendasar," ujar Museveni setelah upacara yang dipimpin oleh Hakim Agung kelahiran Britania, Peter Allen. Berbicara kepada kerumunan yang terdiri dari ribuan orang di luar parlemen Uganda, preisen yang baru menjanjikan pemulihan demokrasi dan mengatakan: "Rakyat Afrika, rakyat Uganda, berhak memiliki pemerintahan yang demokratis. Ini bukanlah hadiah dari rezim manapun. Rakyat yang berdaulat haruslah menjadi publik, bukan pemerintah."[13] Museveni berkuasa (1986–1996)Regenerasi politik dan ekonomiRezim-rezim sesudah Amin di Uganda dicirikan oleh korupsi, sektarianisme dan ketidakmampuan untuk memulihkan ketertiban dan mendapatkan legitimasi rakyat. Museveni harus menghindari pengulangan kesalahan-kesalahan ini apabila pemerintahannya tidak ingin mengalami nasib yang sama. NRM mengumumkan pemerintahan sementara selama empat tahun, yang terdiri dari basis etnis yang lebih luas daripada pendahulu-pendahulunya. Namun, wakil-wakil dari berbagai faksi ini dipilih langsung oleh Museveni. Kekerasan sektarian yang telah membayang-bayangi sejarah Uganda baru-baru ini diajukan sebagai pembenaran untuk membatasi kegiatan-kegiatan partai-partai politik dan basis-basis pendukung mereka yang khas etnis. Sistem non-partai tidak melarang partai-partai politik, namun mencegah mereka untuk mengajukan calon-calon mereka secara langsung dalam pemilu. Apa yang disebut sistem “Gerakan” ini, yang menurut Museveni mengklaim kesetiaan dari setiap warga Uganda, kelak menjadi batu penjuru dalam politik selama hampir 20 tahun. Sistem Dewan Perlawanan, yang dipilih secara langsung pada tingkat kelurahan, dibentuk untuk mengelola urusan-urusan lokal, termasuk distribusi komoditas-komoditas dengan harga pasti secara merata. Pemilihan anggota-anggota Dewan Perlawanan adalah pengalaman langsung pertama yang dirasakan oleh banyak warga Uganda dengan demokrasi setelah berpuluh-puluh tahun mengalami berbagai tingkat otoriterianisme. Peniruan strukturnya hingga ke tingkat distrik telah dipuji karena telah menolong rakyat pada tingkat lokal untuk memahami struktur-struktur politik pada tingkat yang lebih tinggi. Pemerintahan yang baru mendapatkan dukungan internasional yang luas, dan ekonomi yang telah dirusakkan oleh perang saudara telah mulai pulih setelah Museveni mulai merancang kebijakan-kebijakan ekonomi untuk melawan masalah-masalah penting seperti hiperinflasi dan neraca pembayaran. Dengan meninggalkan gagasan-gagasan Marxisnya, Museveni merangkul penyesuaian struktural neo-liberal yang dianjurkan oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Uganda mulai ikut serta dalam sebuah Program Pemulihan Ekonomi (ERP) IMF pada 1987. Tujuan-tujuannya mencakup pemulihan insentif untuk menggalakkan pertumbuhan, investasi, lapangan kerja, dan ekspor, promosi dan diversifikasi perdagangan dengan tekanan khusus pada promosi ekspor, penghapusan halangan-halangan birokratis dan pencabutan modal dari perusahaan-perusahaan publik yang sakit dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang dapat dipertahankan melalui sektor swasta, liberalisasi perdagangan pada segala tingkat.[14] Hubungan regional dan konflik
Setelah Januari 1986, Museveni melanjutkan peranannya sebagai Panglima Tertinggi NRA. Pemerintahan Kenya di bawah Daniel arap Moi mula-mula curiga terhadap apa yang dituduhkan sebagai dukungan pemerintahan NRM yang baru terhadap kelompok-kelompok pembangkang Kenya. Ketegangan memuncak dalam suatu pertikaian militer tanpa kekerasan di Busia di perbatasan Kenya-Uganda pada akhir 1987. Bila saja perbatasan dengan Kenya ditutup, hal itu akan sangat merusakkan ekonomi Uganda yang tidak memiliki akses ke laut, karena jalur ke Samudra Hindia melalui pelabuhan di Mombasa tergantung pada Kenya. Dalam perang gerilya mereka melawan pemerintahan Milton Obote, Tentara Perlawanan Nasional merekrut siapapun juga yang mau berperang, tak peduli kebangsaannya. Penganiayaan di tangan rezim Obote mendorong banyak orang Rwanda yang hdiup di pembuangan di Uganda untuk bergabung dengan NRA. Beberapa tahun setelah Museveni memerintah, tentara Uganda masih memiliki beberapa ribu orang Rwanda dalam daftar bayaran mereka. Pada malam 30 September 1990, 4.000 anggota NRA bangsa Rwanda secara rahasia meninggalkan barak mereka, dan bergabung dengan pasukan-pasukan lain untuk menyerang Rwanda dari wilayah Uganda. Belakangan diketahui bahwa Front Patriotik Rwanda (RPF) mengoperasikan suatu pasukan yang besar jumlahnya di dalam NRA dengan menggunakan struktur sel gelap. RPF adalah sebuah gerakan dari orang-orang Rwanda di pembuangan yang menentang pemerintahan Juvénal Habyarimana yang terkait dengan Museveni dan NRM. Para pemimpin RPF termasuk Fred Rwigema dan Paul Kagame, keduanya orang Rwanda di pembuangan dan para anggota pendiri NRM. Pada tahap-tahap awal dari penyerangan itu, Museveni dan Habyarimana sama-sama sedang menghadiri pertemuan puncak PBB di AS. Konon tanggal mobilisasi RPF telah ditetapkan untuk memungkinkan Museveni menjauhkan dirinya dari tindakan-tindakan mereka, hingga kelak sudah terlalu terlambat untuk menghentikannya. Pasukan Rwanda berhasil mengusir penyerangan itu setelah tambahan pasukan-pasukan yang sangat besar dari Belgia, Prancis dan Zaire. Museveni dipersalahkan karena keterlibatannya dalam invasi September 1990 dan/atau tidak mengendalikan tentaranya. RPF menghilang di gunung-gunung Vumba yang merentang di perbatasan Rwanda-Uganda. Pemerintahan Habyarimana menuduh Uganda mengizinkan RPF menggunakan wilayahnya sebagai garis belakang, dan menjawab dengan menembaki desa-desa Uganda di perbatasan. Orang banyak percaya bahwa Uganda membalas dengan tembakan balik, yang mungkin telah melindungi posisi-posisi RPF. Tembak-menembak ini telah memaksa lebih dari 60.000 meninggalkan rumahnya. Meskipun dilakukan perundingan mengenai sebuah pakta keamanan, dimana kedua negara setuju untuk bekerja sama dalam menjaga keamanan di sepanjang garis perbatasan bersama mereka, pemberontak RPF telah menduduki sebagian besar wilayah utara Rwanda pada 1992. Pada April 1994, sebuah pesawat yang membawa Presiden Habyarimana dari Rwanda dan Presiden Cyprien Ntaryamira dari Burundi ditembak jatuh di atas bandara Kigali. Hal ini mendorong terjadinya genosida Rwanda yang menyebabkan sekitar 800.000 orang tewas. Front Patriotik Rwanda menyerbu ke Kigali dan mengambil alih kekuasaan dengan pertolongan tentara Uganda. Pada April 1995, Uganda memutuskan hubungan dengan Sudan sebagai protes atas dukungan Khartoum terhadap Pasukan Perlawanan Tuhan (LRA), sebuah kelompok pemberontak yang aktif di Uganda utara. Sebaliknya, Sudan mengklaim bahwa Uganda memberikan dukungan kepada Tentara Pembebasan Rakyat Sudan. Kedua kelompok ini dicurigai beroperasi di seberang perbatasan Uganda-Sudan yang renggang. Pertikaian antara Uganda dan Sudan berasal sekurang-kurangnya pada 1988. Para pengungsi Uganda mencari perlindungan di Sudan selatan pada masa rezim Amin dan Obote II. Namun, setelah NRM berkuasa pada 1986, banyak dari para pengungsi ini bergabung dengan kelompok-kelompok pemberontak Uganda, termasuk Front Tepi Nil Barat dan belakangan LRA. Dalam waktu yang cukup panjang, pemerintahan Museveni menganggap Sudan sebagai ancaman yang paling serius terhadap keamanan Uganda. Keamanan dalam negeri dan hak-hak asasi manusiaNRM naik ke kursi kekuasaan dengan menjanjikan pemulihan keamanan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Memang, ini adalah bagian dari program 10 butir NRM, seperti yang dicatat oleh Museveni dalam pidato pelantikannya:
Meskipun kini Museveni memimpin pemerintahan yang baru di Kampala, NRM tidak dapat memproyeksikan pengaruhnya sepenuhnya di seluruh wilayah Uganda, karena ia ternyata harus memerangi sejumlah pemberontakan. Sejak permulaan kepresidenan Museveni, ia mendapatkan dukungan kuat dari wilayah selatan yang berbahasa Bantu dan barat daya, basis Museveni. Ia behasil mendapatkan dukungan masyarakat Karamojong, sebuah kelompok setengah nomaden di daerah timur laut yang jarang penduduknya yang tidak pernah mempunyai suara politik yang berarti, untuk bersekutu dengannya dengan menawarkan peranan kepada mereka di dalam pemerintahan yang baru. Namun, wilayah utara di sepanjang perbatasan Sudan terbukti lebih bermasalah. Di sub wilayah Nil Barat yang dihuni oleh suku Kakwa dan Lugbara (yang sebelumnya mendukung Amin), kelompok-kelompok pemberontak UNRF dan FUNA berjuang selama bertahun-tahun hingga gabungan serangan militer dan diplomasi menenangkan wilayah itu; pemimpin UNRF, Moses Ali, menghentikan perjuangannya dan menjadi Wakil Perdana Menteri II. Rakyat dari wilayah utara negara itu memandang bangkitnya suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang dari selatan dengan rasa takut yang mendalam. Kelompok-kelompok pemberontak bermunculan di antara suku Lango, Acholi dan Teso, meskipun mereka kalah jauh dibandingkan dengan kekuatan NRA kecuali di ujung utara dimana perbatasan Sudan memberikan tempat perlindungan yang aman. Pemberontak Acholi Tentara Demokratik Rakyat Uganda (UPDA) gagal menggulingkan pendudukan NRA terhadap wilayah Acholiland, sehingga menyebabkan munculnya chiliasme dari Gerakan Roh Kudus (HSM) yang putus asa. Kekalahan UPDA dan HSM meninggalkan pemberontakan itu pada kelompok yang kelak dikenal sebagai Tentara Perlawanan Tuhan, yang berbalik melawan suku Acholi sendiri. NRA kemudian mendapatkan reputasi karena menghormati hak-hak warga sipil – meskipun belakangan Museveni dikritik kaerna menggunakan tentara anak-anak. Unsur-unsur yang tidak berdisiplin di dalam NRA segera merusakkan reputasi yang adil yang dengan susah payah dibangun “Ketika orang-orang Museveni pertama-tama dating, mereka bertindak dengan baik sekali – kami menyambut mereka,” kata seorang penduduk desa, “tetapi kemudian mereka mulai menangkapi orang dan membunuhnya.” [15][16] Dalam bulan Maret 1989, Amnesty Internasional menerbitkan sebuah laporan hak-hak asasi manusia tentang Uganda, yang berjudul Uganda, the Human Rights Record 1986–1989. Dokumen ini mencatat pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia yang luar biasa yang dilakukan oleh pasukan-pasukan NRA. Dalam salah satu tahap yang paling tegang dalam perang itu, antara Oktober dan Desember 1988, NRA dengan paksa menyingkirkan sekitar 100.000 people dari rumah-rumah mereka di dan di sekitar kota Gulu. Tentara melakukan ratusan hukuman mati tanpa proses pengadilan, sementara mereka memaksa orang-orang itu pindah, membakar habis rumah-rumah dan lumbung.[17] Namun, ada pula beberapa laporan tentang penyiksaan sistematis, yang serupa dengan apa yang dilakukan pada masa rezim Amin dan Obote. Dalam kesimpulannya, laporan itu memberikan sedikit harapan:
Mandat demokrasi yang baru (1996–2001)Pemilu
Pemilu diadakan pada 9 Mei 1996. Museveni mengalahkan Paul Ssemogerere dari Partai Demokrat, yang ikut sebagai kandidat dari "Koalisi kekuatan antar partai", dan kandidat baru, Mohamed Mayanja. Museveni menang telak dengan 75,5% suara pemilih dari 72,6% pemilih yang berhak memilih. Meskipun para pengamat internasional maupun dalam negeri menyatakan bahwa pemilu itu sah, kedua kandidat yang kalah menolak hasilnya. Museveni dilantik sebagai Presiden untuk kedua kalinya pada 12 Mei 1996. Senjata utama dalam kampanye Museveni adalah pemulihan keamanan dan normalisasi ekonomi di sebagian besar wilayah negara. Sebuah gambar yang tidak terlupakan selama masa kampanye diproduksi oleh timnya yang melukiskan tumpukan tengkorak di Segi tiga Luwero. Simbolisme yang kuat ini tidak terlupakan oleh para penduduk wilayah ini, yang telah menderita hebat selama perang saudara. Para calon lainnya mengalami kesulitan dalam menandingi keampuhan Museveni dalam menyampaikan pesan-pesan kuncinya. Museveni tampaknya mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menyampaikan pesan-pesan politik dengan menggunakan bahasa-bahasa rakyat kecil, khususnya untuk rakyat di selatan. Metafora “memikul batu penggiling untuk kepemimpinan", yang mengacu kepada "pribadi yang berwibawa, yang memikul beban wewenang,” adalah salah satu dari gambaran imajinatif yang diciptakannya untuk kampanyenya. Ia sering menyampaikan hal ini dalam bahasa rakyat setempat di manapun ia berpidato, dan dengan demikian ia menunjukkan rasa hormat dan berusaha mengatasi politik kesukuan. Bahwa Museveni fasih berbahasa Inggris, Luganda, Runyankole dan Swahili sering kali menolongnya untuk menyampaikan pesan-pesannya. Hingga prospek pemilu presiden, Ssemogerere (saingan politik Museveni saat ini) adalah menteri dalam pemerintahan NRM. Keputusannya untuk menantang Museveni dan NRM, dan bukannya mengklaim saham dalam "gerakan" Museveni, dilihat sebagai oportunisme yang naif, dan dianggap sebagai kekeliruan politik. Aliansi Ssemogerere dengan UPC merupakan tabu bagi Baganda, yang mestinya dapat memberikan dukungan kepada Ssemogerere sebagai pemimpin Partai Demokrat. Ssemogerere juga menuduh Museveni orang Rwanda, sebuah pernyataan yang sering diulang-ulang oleh lawan-lawan Museveni karena tempat kelahirannya dekat perbatasan Uganda-Rwanda, dan konon asal-usulnya adalah orang Rwanda (Museveni berasal dari etnis Munyankole, yang masih kerabat dengan etnis Banyarwanda dari Rwanda), dan bahwa tentaranya didominasi oleh orang-orang Rwanda, termasuk Presiden Rwanda sekarang Paul Kagame. Pengakuan internasionalMuseveni memperoleh pujian dari pemerintah-pemerintah barat karena ia mengikuti program-program penyesuaian struktural IMF, yaitu. privatisasi perusahaan-perusahaan negara, mengurangi belanja pemerintah dan mendesak kemandirian Afrika. Museveni dipilih menjadi ketua Organisasi Kesatuan Afrika (OAU) pada 1991 dan 1992. Ia mengizinkan suasana bebas dan di situ media surat kabar dapat beroperasi dan stasiun-stasiun radio FF swasta menjamur pada akhir tahun 1990-an. Barangkali keberhasilan Museveni yang paling banyak dicatat adalah kampanye pemerintahannya yang sukses dalam menghadapi AIDS. Pada tahun 1980-an, Uganda mempunyai salah satu tingkat infeksi HIV tertinggi di dunia, namun kini relatif rendah, dan negara itu mewakili salah satu kisah sukses yang jarang ditemukan dalam perjuangan sedunia melawan virus tersebut (lihat AIDS di Afrika). Sejak dibentuknya Gugus Tugas AIDS Nasional Uganda pada 1990, kampanye besar-besaran dilakukan meliputi lagu, drama, konsultasi, opera sabun, poster, pendekatan seks sehat, mengurangi pasangan, dan penggunaan kondom. Persentase wanita hamil yang menderita HIV menurun sejak 1991. Persentase penggunaan kondom meningkat dari 20% pada 1989 menjadi 60% pada 1995. Pada April 1998, Uganda menjadi negara pertama yang dinyatakan berhak mendapatkan pembebasan utang di bawah inisiatif negara-negara miskin yang berhutang besar (HIPC), dan menerima bantuan sekitar 700 juta dolar AS.[18] Museveni dipuji karena programnya membantu kaum perempuan di negaranya. Selama hampir 10 tahun ia dibantu oleh wakil presidennya, seorang perempuan, Specioza Kazibwe. Ia pun telah banyak mendorong kaum perempuan untuk melanjutkan studi di sekolah tinggi. Di pihak lain, Museveni menolak seruan-seruan agar memberikan lebih banyak hak atas tanah keluarga kepada kaum perempuan.[19] Sejak pertengahan tahun 1990-an, Museveni dianggap merupakan teladan bagi suatu generasi baru pemimpin Afrika, antitesis dari sindrom "tokoh besar" yang telah mendominasi politik di benua itu sejak kemerdekaan. Potongan dari artikel New York Times pada 1997 menggambarkan rasa hormat yang mendalam yang diberikan kepada Museveni oleh media, pemerintah maupun akademikus barat:
Pernyataan-pernyataan yang penuh pujian ini kini telah dievaluasi kembali. Konflik regionalDi Uganda, ada banyak sekali imigran Rwanda dari etnis Tutsi – yang merupakan bagian yang cukup besar dari pejuang-pejuang NRA. Kelompok pemberontak Front Patriotik Rwanda yang didominasi suku Tutsi dan berbasis di Uganda adalah sekutu-seku erat NRA, dan telah begitu Museveni berhasil mengukuhkan genggamannya di pusat kekuasaan, ia membantu perjuangan mereka. Serangan-serangan yang gagal dilakukan oleh RPF terhadap pemerintahan Hutu di Rwanda pada paruhan pertama tahun 1990-an dari basis-basis di Uganda barat daya. Baru setelah terjadinya genosida Rwanda pada 1994 RPF mengambil alih kekuasaan dan pemimpinnya, Paul Kagame (seorang bekas tentara di pasukan Museveni), menjadi presiden. Setelah Genosida Rwanda, pemerintah Rwanda yang baru merasa terancam oleh kehadiran bekas tentara-tentara Rwanda dan anggota-anggota dari rezim sebelumnya (di seberang perbatasan Rwanda di Kongo – yang saat itu dikenal sebagai Zaïre) . Para serdadu ini dibantu oleh Mobutu Sese Seko – yang memimpin Rwanda (dengan bantuan Museveni) dan para pemberontak Laurent Kabila untuk menggulingkannya dan mengambil alih kekuasaan di Kongo. (lihat Artikel utama: Perang Kongo I).[21] Pada Agustus 1998, Rwanda dan Uganda berusaha menyerang Kongo kembali, kali ini untuk menggulingkan bekas sekutu Museveni dan Kagame – Kabila (lihat Artikel utama: Perang Kongo II). Museveni dan segelintir penasihat militer dekatnya saja yang membuat keputusan untuk mengirim Tentara Pertahanan Rakyat Uganda (UPDF) ke Kongo. Sejumlah sumber di tingkat tinggi menunjukkan bahwa parlemen dan para penasihat sipil Uganda tidak dikonsultasikan tentang hal ini, seperti yang diwajibkan oleh konstitusi 1995.[22] Museveni tampaknya berhasil meyakinkan seorang panglima yang mulanya enggan untuk ikut serta dalam usaha ini. “Kami merasa bahwa orang-orang Rwanda yang memulai perang, dan sudah menjadi tugas mereka untuk melanjutkan dan menyeleasikan tugas ini, tetapi Presiden kita mengambil waktu yang lama dan meyakinkan kita bahwa kita mempunyai kepentingan dalam apa yang sedang terjadi di Kongo", demikian dilaporkan dikatakan oleh seorang pejabat senior.[23] Alasan-alasan resmi yang diberikan Uganda untuk intervensi ini adalah untuk menghentikan “genosida” terhadap orang-orang Banyamulenge di Republik Demokratis Kongo, bersamaan dengan pasukan-pasukan Rwanda [24], dan bahwa Kabila telah gagal memberikan jaminan keamanan di sepanjang perbatasan dan membiarkan Pasukan-pasukan Demokratis Sekutu (ADF) menyerang Uganda dari garis belakang di Kongo. Pada kenyataannya UPDF tidak dikerahkan di daerah perbatasan, melainkan lebih dari 1.000 km di sebelah barat perbatasan Uganda dengan Kongo [25] dan untuk mendukung para pemberontak Mouvement de Libération du Kongo (MLC) yang berusaha menggulingkan Kabila. Oleh karena itu, mereka tidak dapat mencegah ADF menyerang kota utama Fort Portal dan mengambil alih sebuah penjara di Uganda Barat. Pasukan-pasukan dari Rwanda dan Uganda menjarah cadangan-cadangan mineral dan kayu yang kaya di negara itu. Amerika Serikat menjawab invasi itu dengan menunda semua bantuan militer untuk Uganda. Hal ini mengecewakan pemerintahan Clinton, yang telah berharap bahwa Uganda akan menjadi pusat dari Inisiatif Tanggapan Krisis Afrika. Pada 2000, pasukan-pasukan Rwanda dan Uganda melakukan tembak-menembak pada tiga kesempatan di kota Kisangani di Kongo, sehingga menimbulkan ketegangan dan merosotnya hubungan antara Kagame dan Museveni. Pemerintah Uganda juga telah dikritik karena memperparah konflik Ituri, sebuah sub-konflik dari Perang Kongo II. Pada Desember 2005, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Uganda harus membayar ganti rugi kepada Republik Demokrasi Kongo atas pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia selama Perang Kongo II.[26] Di utara, Uganda telah mendukung Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA) dalam Perang Saudara Sudan Kedua melawan pemerintah Khartoum bahkan sebelum Museveni berkuasa. Dukungan yang berlanjut untuk SPLA, yang dipimpin oleh sahahat lama Museveni John Garang, memimpin Sudan untuk mendukung Tentara Perlawanan Tuhan (LRA) dan kelompok-kelompok pemberontak anti-Museveni lainnya pada pertengahan 1990-an. Ketidakamanan dan konflik-konflik yang muncul karena itu telah melahirkan sejumlah besar pengungsi, kematian dan kehancuran di Sudan selatan dan Uganda utara. Hubungan yang menghangat dengan Sudan sesudah itu melahirkan tekad untuk menghentikan dukungan kepada kekuatan-kekuatan yang memusuhi (dari kedua belah pihak) dan pemberian persetujuan kepada uPDF untuk menyerang LRA di Sudan sendiri. Masa jabatan kedua (2001-2006)Pemilu 2001Pada 2001 Museveni memenangkan pemilu presiden dengan jumlah suara mayoritas yang cukup besar. Lawannya yang benar-benar serius hanyalah sahabatnya dan dokter pribadinya, Kizza Besigye. Dalam sebuah acara publisitas yang merakyat, Museveni dalam usianya yang 50-an tahun, mengendarai sebuah ojek motor bodaboda untuk menyerahkan formulir nominasinya untuk pemilu itu. Bodaboda adalah sebuah sarana transportasi yang murah dan agak berbahaya untuk membawa penumpang keliling kota dan desa-desa di Afrika Timur.[27] Ada banyak tuduhan dan kegetiran dalam pemilu presiden 2001. Berbagai kekerasan terjadi setelah hasilnya diumumkan – yang dimenangi oleh Museveni. Besigye menantang hasil-hasil pemilu di Mahkamah Agung Uganda. Dua dari lima hakim agung menyimpulkan bahwa dalam pemilu itu terjadi begitu banyak penyimpangan dan hasilnya harus ditolak. Tiga hakim lainnya memutuskan bahwa penyimpangan-penyimpangan itu tidak memengaruhi hasil pemilu itu secara berarti, namun mereka menyatakan bahwa “ada cukup bukti bahwa di sejumlah tempat pemungutan suara terjadi kecurangan” dan bahwa di sejumlah daerah di negara itu, “prinsip pemilu yang adil dan bebas tidak sepenuhnya dilakukan.”[28] Besigye ditahan sebentar dan ditanyai oleh polisi, konon karena hubungannya dengan pengkhianatan. Pada bulan September ia terbang ke AS dan menyatakan bahwa nyawanya terancam. Pluralisme politik dan perubahan konstitusionalSetelah pemilu, kekuatan-kekuatan politik yang bersekutu dengan Museveni mulai mengadakan kampanye untuk mengendurkan batas-batas konstitusional tentang masa jabatan presiden untuk memunginkannya bertarung dalam pemilu kembali pada 2006. Konstitusi Uganda 1995 menyebutkan bahwa masa jabatan presiden dibatasi hingga dua kali saja. Dengan sejarah rezim dictator Uganda, pembatasan ini dimaksudkan untuk mencegah sentralisasi kekuasaan yang berbahaya pada seorang pemimpin yang berkuasa dalam jangka waktu yang panjang. Pada masa ini terjadilan penyingkiran pendukung-pendukung Museveni yang penting dan berpengaruh dari pemerintahannya, termasuk temannya sejak masa kecil, Eriya Kategaya dan menteri kabinet Jaberi Bidandi Ssali. Langkah-langkah untuk mengubah konstitusi dan upaya-upaya yang konon dimaksudkan untuk menekan kekuatan politik oposisi telah mengundang kritik dari para komentator dalam negeri dan komunitas internasional serta negara-negara pemberi bantuan untuk Uganda. Dalam sebuah siaran pers, partai oposisi utama, Forum untuk Perubahan Demokratis (FDC), menuduh Museveni terlibat dalam sebuah “proyek presiden seumur hidup”, dan menyogok para anggota parlemen untuk menolak amendemen konstitusi, demikian tuduhan para pemimpin FDC.
Seperti yang diamati oleh sejumlah komentator politik (mis. Wafula Okumu), Museveni sebelumnya telah menyatakan bahwa ia menganggap ide bertahan dalam jabatan selama “15 tahun atau lebih” bukan sesuatu yang baik, dan mengumumkan bahwa ia adalah “anggota dari kelompok pemimpin Afrika yang mabuk kekuasaan” – sambil membandingkan dirinya dengan Robert Mugabe dan Charles Taylor[30] (yang oleh sebagian orang dianggap sebagai jagoan kepemimpinan Afrika). Komentar-komentar dari pencetus kampanye anti kemiskinan dari Britania, Bob Geldof memicu protes dari para pendukung Museveni di luar kantor Komisi Tinggi (Kedutaan Besar) Britania di Kampala. "Bangunlah Museveni. Waktumu sudah habis, pergilah," kata bekas bintang rock itu pada Maret 2005, sambil menjelaskan bahwa upaya-upaya untuk mengubah konstitusi akan merugikan rekor Museveni dalam memerangi kemiskinan dan HIV/AIDS.[31] Dalam sebuah artikel opini dalam Boston Globe dan dalam sebuah pidato yang disampaikan di Wilson Center, bekas dubes AS untuk Uganda Johnnie Carson melontarkan lebih banyak kritik terhadap Museveni. Meskipun ia mengakui Presiden sebagai "pembaharu yang tulen " yang kepemimpinannya "leadership [telah] menghasilkan kestabilan dan pertumbuhan ", Carson juga berkata, "kita mungkin sedang menyaksikan terciptanya seorang Mugabe dan Zimbabwe yang baru".[32] "Banyak pengamat melihat upaya-upaya Museveni untuk mengamendemen konstitusi sebagai pengulangan masalah umum yang melanda banyak pemimpin Afrika – ketidaksediaan untuk mengikuti norma-norma konstitusional dan menyerahkan kekuasaan".[33] Pada Juli 2005, Norwegia menjadi negara Eropa ketiga yang dalam beberapa bulan ini mengumumkan pemotongan simbolis terhadap bantuan asing untuk Uganda sebagai jawaban terhadap kepemimpinan politik di negara itu. Britania Raya dan Irlandia juga mengambil langkah-langkah serupa pada bulan Mei. "Departemen Luar Negeri ingin menyoroti dua masalah: perubahan konstitusi untuk menghapuskan batas masa jabatan, dan masalah-masalah dengan membuka ruang politik, hak-hak asasi manusia dan korupsi", ujar duta besar Norwegia Tore Gjos.[34] Yang sangat penting adalah penangkapan terhadap dua anggota parlemen oposisi dari Forum untuk Perubahan Demokratis. Para pejuang hak-hak asasi manusia menuduh bahwa penangkapan-penangkapan itu bermotivasi politik Human Rights Watch menyatakan bahwa "penangkapan para panggota parlemen oposisi ini berbau oportunisme politik ".[35] Sebuah laporan rahasia Bank Dunia yang bocor pada bulan Mei menyatakan bahwa para peminjam internasional mungkin akan mengurangi dukungannya terhadap program-program non-kemanusiaan di Uganda. "Kami menyesal karena kami tidak bias lebih positif mengenai situasi politik Uganda saat ini, khususnya mengingat catatan tentang negara ini yang sangat mengagumkan pada akhir tahun 1990-an", kata laporan itu. "Pemerintah pada umumnya telah gagal untuk mengintegrasikan rakyatnya yang majemuk ke dalam suatu proses politik yang tunggal yang bias bertahan untuk jangka waktu yang lama… Barangkali yang paling penting, kecenderungan-kecenderungan politiknya, sebagai akbiat dari tekad Presiden untuk tetap mencalonkan diri untuk ketiga kalinya, menunjukkan penurunan."[36] Museveni menjawab tekanan internasional yang meningkat itu dengan menuduh negara-negara donor ikut campur dengan politik dalam negeri, dan menggunakan bantuan untuk memanipulasi negara-negara miskin. “Biarkan negara-negara mitra memberikan nasihat dan serahkanlah kepada negara itu sendiri untuk memutuskan …negara-negara [maju] harus meninggalkan kebiasaan berusaha menggunakan bantuan untuk mendikte pengelolaan negara-negara kita."[37] "Masalah dengan orang-orang itu bukanlah masa jabatan ketiga atau melawan korupsi atau sistem multi-partai,” tambah Museveni dalam suatu pertemuan dengan para pemimpin Afrika lainnya, "masalahnya ialah bahwa mereka ingin membiarkan kita tidak bertumbuh."[38]. Pada Juli 2005, sebuah referendum konstitusional menghentikan pembatasan yang telah berlaku selama 19 tahun terhadap aktivitas-aktivitas partai-partai politik. Dalam " sistem Gerakan" yang non partai (karena itu disebut "gerakan") yang dilembagakan oleh Museveni pada 1986, partai-partai tetap ada, namun calon-calonnya diwajibkan ikut dalam pemilu sebagai pribadi-pribadi, bukan sebagai wakil-wakil kelompok politik manapun. Langkah ini jelas dimaksudkan untuk mengurangi pembagian etnis, meskipun banyak pengamat yang kemudian mengklaim bahwa sistem ini tidak lain merupakan cara untuk membatasi aktivitas oposisi. Sebelum pemungutan suara, juru bicara Forum untuk Perubahan Demokratis (FDC) menyatakan, “Sektor-sektor ekonomi penting dipimpin oleh orang-orang dari kampung halaman presiden … Kita mempunyai rezim yang paling sektarian di dalam sejarah negara kita meskipun pada kenyataannya tidak ada partai.” [39] Banyak orang Uganda yang melihat perubahan Museveni yang kini menganut pluralisme politik sebagai sebuah konsesi kepada para donor – yang dimaksudkan untuk melunakkan pukulan ketika ia mengumumkan bahwa ia ingin bertahan untuk masa jabatan ketiga [40] Anggota parlemen oposisi Omara Atubo mengatakan bahwa keinginan Museveni untuk melakukan perubahan hanyalah sekadar "sebuah benteng dan di balik itu ia berusaha menyembunyikan ambisi-ambisinya untuk berkuasa seumur hidup".[41] Kematian seorang sekutuPada 30 Juli 2005, Wakil Presiden Sudan John Garang terbunuh ketika helikopter kepresidenan Uganda mengalami kecelakaan ketika ia kembali ke Sudan setelah menghadiri percakapan di Uganda. Insiden ini sangat memalukan bagi pemerintah Uganda dan merupakan terpaan pribadi terhadap Museveni – Garang adalah seorang sekutu politiknya sejak mereka bersama-sama di universitas. Garang baru saja diangkat menjadi Wakil Presiden Sudan selama beberapa minggu sebelum kematiannya, dan hal ini mematikan harapan-harapan untuk membentuk sebuah persekutuan regional berdasarkan aliansi Uganda-Sudan Selatan. Spekulasi luas tentang sebab-sebab kecelakaan itu menyebabkan Museveni, pada 10 Agustus, mengancam menutup perederan media yang menerbitkan “teori-teori persekongkolan” mengenai kematian Garang. Dalam sebuah pernyataan, Museveni mengklaim bahwa spekulasi seperti itu merupakan ancaman terhadap keamanan nasional. "Saya tidak akan lagi menoleransi suratkabar yang bertindak seperti burung kondor. Setiap surat kabar yang bermain-main dengan keamanan regional, tidak akan saya toleransi – saya akan menutupnya."[42] Pada hari berikutnya, stasiun radio populer, KFM dicabut izinnya untuk menyiarkan perdebatan tentang kematian Garang. Pembawa acara radio, Andrew Mwenda akhirnya ditangkap atas tuduhan menghasut, sehubungan dengan komentar-komentar yang dibuatnya dalam acara wacana KFM-nya.[43] Kerusuhan BesigyePada Oktober 2005, Kizza Besigye, penantang utama Museveni dalam pemilu 2001, kembali dari Afrika Selatan tempat ia tinggal selama ini. Besigye meninggalkan Uganda pada 2001, karena khawatir akan nyawanya. Sebagai ketua Forum untuk Perubahan Demokratis (FDC), banyak yang menduga bahwa ia akan menjadi kandidat presiden utama dari kelompok oposisi dalam pemilu yang direncanakan untuk Maret 2006. Tak lama sebelum kembalinya Dr. Besigye, Museveni menulis kepada kabinetnya, bahwa ia tidak menentang kembalinya Besigye, namun menambahkan bahwa Besigye dapat dikenai tuntutan-tuntutan kriminal. Pada 14 November, Besigye ditangkap dan dikenai tuduhan berkhianat, menutupi pengkhianatannya, dan pemerkosaan. Kasua pengkhianatan ini mencakup hubungan yang dituduhkan kepadanya dengan kelompok-kelompok pemberontak, Tentara Perlawanan Tuhan dan Tentara Penebusan Rakyat. Penangkapan Besigye membangkitkan demonstrasi dan kerusuhan di Kampala dan kota-kota lainnya. Para demonstran percaya bahwa tuduhan-tuduhan itu dirancang untuk mencegah Besigye menantang Museveni dalam pemilu 2006.[44][45] Besigye mendaftarkan diri sebagai salah seorang kandidat keprisedenan tahun 2006 meskipun ia berada di penjara. Dalam bulan Desember 2005, Swedia menahan dukungan sejumlah $8.25 juta karena prihatin tentang perkembangan demokratis negara itu.[46] Belanda juga memutuskan baru-baru ini untuk menahan bantuan untuk Uganda sejumlah 6 juta euro sambil menyebutkan alasan bahwa Uganda tidak cukup menghasilkan kemajuan dalam masalah-masalah pemerintahan (khususnya berkaitan dengan transisi politik) dan dalam masalah manajemen ekonomi makro [47] Kedua negara ini mengatakan bahwa uang itu akan dialihkan menjadi bantuan kemanusiaan. Pemilu 2006Pada 17 November 2005, Museveni terpilih sebagai kandidat presiden untuk pemilihan Presiden Uganda 2006. Kekandidatannya untuk masa jabatan ketiga menyebabkan kritik, karena ia telah berjanji pada tahun 2001 bahwa ia sedang melakukan masa jabatan terakhir. Penangkapan pemimpin oposisi utama, Kizza Besigye tanggal 14 November – diserang dengan pengkhianatan, penyembunyian pengkhianatan dan pemerkosaan – menyebabkan demonstrasi dan kerusuhan di Kampala dan kota lainnya. Penawaran Museveni untuk masa jabatan ketiga, penangkapan Besigye, dan penyerangan Pengadilan Tinggi selama pemeriksaan kasus Besigye (oleh grup intelejen militer bersenjata), dipimpin oleh Swedia, Belanda dan Britania Raya untuk mencegah bantuan ekonomi terhadap pemerintahan Museveni karena keprihatinan mengenai perkembangan demokrasi negara. Pada 2 Januari 2006, Besigye dilepaskan setelah Pengadilan Tinggi memerintahkan untuk segera melepaskannya.[2][3][4][5] Pemilihan 23 Februari 2006 merupakan pemilihan multi partai pertama di Uganda selama 25 tahun terakhir, dan dianggap sebagai ujian kredensial demokrasi. Meskipun Museveni melakukan hal yang kurang baik daripada pemilihan sebelumnya, ia terpilih untuk masa jabatan lima tahun berikutnya, memenangkan 59% suara terhadap 37% Besigye. Besigye, yang menduga hasil pemilihan ini merupakan penipuan, menolak hasil tersebut. Pengadilan Tertinggi Uganda menyatakan bahwa pemilihan ini dirusak oleh intimidasi, kekerasan, penarikan suara, dan ketidakberesan lainnya. Namun, hasil pemilihan pengadilan menunjukan 4 berbanding 3 untuk mendukung hasil pemilihan.[6] Masa Jabatan Ketiga (2006-2011)
Pada tahun 2007, Museveni mengirimkan tentara untuk operasi penjaga perdamaian Uni Afrika di Somalia. Karena proxy war di Somalia terjadi antara Ethiopia and Eritrea, tindakan ini menimbulkan reaksi permusuhan dari pemerintahan Eritrea. Isu penting lainnya dalam masa jabatan ketiga Museveni adalah keputusan untuk membuka lahan Hutan Mabira menjadi lahan penanaman tebu. Museveni menyatakan bahwa penanaman ini penting untuk perkembangan ekonomi Uganda. Namun, aktivis lingkungan khawatir mengenai hilangnya ekosistem dan biodiversitas yang disebabkan oleh penanaman tersebut. Catatan
Catatan kaki
Referensi
Pranala luarWikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Yoweri Museveni. Wikisumber memiliki karya asli dari atau mengenai:
|