AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain). Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV.[6] Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Gejala dan komplikasiBerbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[7] HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma. Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien. Penyakit paru-paru utamaPneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai pada orang sehat yang memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.[11] Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit ini. Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem saraf pusat.[12] Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner. Penyakit saluran pencernaan utamaEsofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.[13] Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis). Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.[14] Penyakit saraf dan kejiwaan utamaInfeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada saraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas sistem saraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru.[15] Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat mematikan. Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung saraf (mielin) yang menutupi serabut sel saraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls saraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.[16] Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.[17] Kerusakan saraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah sekitar 10-20%,[18] namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.[19][20] Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India. Kanker dan tumor ganas (malignan)Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).[21][22] Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru. Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem saraf pusat primer, lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini sering kali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi. Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS. Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia. Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.[23] Infeksi oportunistik lainnyaPasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.[24] PenyebabAIDS merupakan bentuk terparah dari infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu. Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lama perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.[25] Namun, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhinya, di antaranya kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.[26][27] Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini.[25][28][29] Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV.[30] HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.[31][32][33] Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup. Penularan seksualPenularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.[34] Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.[35] Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Risiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.[36] Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikrob vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan. Kontaminasi patogen melalui darahJalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Tiongkok, dan Eropa Timur. Risiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.[40] Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman.[41] Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.[42] Risiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".[43] Penularan masa perinatalTransmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.[45] DiagnosisSejak 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat. Sistem tahapan infeksi WHOPada1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.[46] Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.
Sistem klasifikasi CDCTerdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut.[47][48] CDC mulai menggunakan kata AIDS pada September 1982, dan mendefinisikan penyakit ini.[49] Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV.[50] Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh. Tes HIVBanyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV.[51] Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan.[51] Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya. Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju. Tes HIV AgresifHIV Agresif sebenarnya telah diketahui terjadi di Afrika sebelumnya, tetapi apa yang terjadi di Kuba bersifat masif. Biasanya dari HIV menjadi AIDS butuh waktu 5-10 tahun tanpa perwatan sama sekali, tetapi pada HIV Agresif hal itu terjadi hanya dalam waktu 3 tahun. Tes CD4 dan adanya infeksi oportunistik, biasanya dilakukan untuk mengetahui adanya HIV, tetapi tes CD4 2 tahun sekalipun mungkin bisa terlambat, oleh karena itu perlu diadakan tes CD4 yang lebih sering bagi orang-orang yang berisiko. HIV Agresif ini adalah kombinasi sub-tipe A, D dan G, dinamai CRF19 yang ternyata sampai saat ini masih mempan terhadap sebagian besar obat-obat antiretroviral, asal belum terlambat.[52][53] Pencegahan
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.[61] Hubungan seksualMayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV, serta ketidaksesuaian jenis kelamin hubungan seksual.[57][58] Hubungan heteroseksual adalah rute modus utama sebesar 80% infeksi HIV di Afrika pada penelitian tahun 1988, rentan pada kategori pelacur dan individu yang melakukan hubungan seksual bebas.[62] Hubungan homoseksual di Amerika, Gaëtan Dugas dijuluki ataupun dituding sebagai penderita pertama atau Patient Zero dengan gejala AIDS.[63] AIDS dikabarkan menginfeksi dan menewaskan 5 orang homoseksual dengan masalah paru-paru pada tahun 1981.[64][65] Kemudian pada abad 21, homoseksual merupakan modus utama dan mayoritas infeksi,[66][67] dengan penularan lebih tinggi 2 sampai 3 kali lipat angka penularan heteroseksual[66][67] atau 70%,[68] serta di Indonesia.[69] Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan.[70] Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.[71] Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.[72] Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun.[73] Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[74] Namun, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju. Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.[75] Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual.[76] Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:[77]
Kontaminasi cairan tubuh terinfeksiPekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV. Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok, air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan mengizinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep dokter. Penularan dari ibu ke anakPenelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT).[78] Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.[79] Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika.[80] Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.[5] PenangananSampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[40] PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.[81] Terapi antivirusPenanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART).[82] Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor.[6] Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.[83] Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.[84] Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan.[85][86] Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART.[87] Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.[88][89][90] Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan.[25] Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun.[91][92] Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.[93] Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin .[94][95][96] Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.[97][98] Virus HIV telah ditemukan dapat masih berada di dalam otak meskipun tidak terdeteksi di organ-organ tubuh lainnya.[99] Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.[100] Penanganan eksperimental dan saranTelah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemi global (pandemi) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian.[100] Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.[100] Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi.[101] Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.[102] Susu sapi adalah salah satu produk tepat yang bisa mencegah penularan penyakit yang belum ada obatnya ini. Awalnya ilmuwan melihat bahwa sapi ternyata tidak dapat terinfeksi HIV. Setelah melewati proses penelitian yang cukup lama, ternyata para peneliti tersebut menemukan fakta kalau sapi bisa menghasilkan antibodi yang bisa mencegah penularan HIV. Para peneliti tersebut kemudian menyuntikkan sapi betina dengan protein HIV. Setelah sapi melahirkan, para ilmuwan tersebut mengumpulkan kolostrum (susu pertama yang dihasilkan setelah melahirkan). Dan ternyata kolostrum tersebut mengandung antibodi HIV.[103] Pengobatan alternatifBerbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit.[104] Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan saraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.[105] Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.[106] Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik.[107] Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat.[107] Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.[108] Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.[109] Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormon tiroksin.[110] Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota[111] dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.[112] Epidemiologi
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemi paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemi AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000) merupakan anak-anak.[5] Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.[5] Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.[5] Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari mereka adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari semua orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per empat (76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6 juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara.[5] Asia Selatan dan Asia Tenggara adalah terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengan perkiraan 5.7 juta infeksi (perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari populasi), melewati perkiraan di Afrika Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta) (11.9% dari populasi) infeksi, membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia.[113] Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan menjadi tanpa penyakit.[114] SejarahAIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.[115] Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat.[116] Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan.[117] HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun. Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging.[118] Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemi AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio.[119][120] Namun, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.[121][122][123] Sosial dan budayaStigmaHukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.[124] Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV.[125] Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan. Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual.[128] Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi.[126] Dampak ekonomiHIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (human capital).[5] Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemi telah meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.[129] Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme produksi dan investasi sumberdaya manusia (human capital) pada masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS menyebabkan meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak, mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.[129] Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian di Pantai Gading menunjukkan bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.[130] Penyangkalan atas AIDSSekelompok kecil aktivis, di antaranya termasuk beberapa ilmuwan yang tidak meneliti AIDS, mempertanyakan tentang adanya hubungan antara HIV dan AIDS,[131] keberadaan HIV itu sendiri,[132] serta kebenaran atas percobaan dan metode perawatan yang digunakan untuk menanganinya. Klaim mereka telah diperiksa dan secara luas ditolak oleh komunitas ilmiah,[133] walaupun terus saja disebarkan melalui Internet dan sempat memiliki pengaruh politik di Afrika Selatan melalui mantan presiden Thabo Mbeki, yang menyebabkan pemerintahnya disalahkan atas respon yang tidak efektif terhadap epidemi AIDS di negara tersebut.[134][135][136] Lihat pulaReferensi
Bacaan lanjutan
Pranala luarLihat entri AIDS di kamus bebas Wiktionary. Wikimedia Commons memiliki media mengenai AIDS. Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|