Transubstansiasi
Transubstansiasi atau alih zat (bahasa Latin: transsubstantiatio; bahasa Yunani: μετουσίωσις, metusiosis) menurut ajaran Gereja Katolik adalah "perubahan keseluruhan zat (bahasa Yunani: οὐσίᾱ, usia; bahasa Latin: substantia) roti menjadi zat tubuh Kristus dan keseluruhan zat anggur menjadi zat darah Kristus. Perubahan ini berlangsung pada saat pelisanan Doa Syukur Agung, berkat kemangkusan sabda Kristus, oleh karya Roh Kudus. Meskipun zatnya berubah, spesies Ekaristi, yakni sifat-sifat lahiriah dari roti dan anggur, tidak berubah.[1] Pengertian "zat" maupun "alih zat" dalam ajaran ini tidak berkaitan dengan teori metafisika mana pun.[2] Gereja Katolik mengajarkan bahwa, dalam pelaksanaan ibadat Ekaristi, persembahan roti dan anggur berubah menjadi tubuh dan darah Kristus.[3] Pengukuhan doktrin ini diungkapkan dengan menggunakan kata "transubstansi" oleh Konsili Lateran IV pada tahun 1215.[4][5] Pada abad ke-14, doktrin ini digugat para pegiat reforma Gereja, khususnya John Wycliffe.[6] Gereja Katolik juga mengajarkan bahwa cara berlangsungnya perubahan tersebut merupakan suatu misteri, karena "roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus dengan cara yang melampaui pemahaman."[7] Di kalangan Kristen Anglikan, perangkat istilah baku yang digunakan untuk menyifatkan hakikat Ekaristi maupun implikasi-implikasi teologisnya memiliki sejarah yang sarat dengan silang pendapat, misalnya istilah "roti dan cawan" yang dilawankan dengan istilah "tubuh dan darah", istilah "menyajikan" yang dilawankan dengan istilah "mempersembahkan", dan istilah "perubahan objektif" yang dilawankan dengan istilah "signifikansi baru".[8] Di Gereja Ortodoks Yunani, doktrin ini diwacanakan dengan istilah metosiosis, yang merupakan hasil terjemahan harfiah dari istilah transsubstantiatio pada abad ke-17. Di kalangan Kristen Ortodoks Timur pada umumnya, Misteri Suci (Sakramen) Ekaristi lebih jamak diwacanakan dengan istilah-istilah lain, misalnya "trans-elementasi" (bahasa Yunani: μεταστοιχείωσις, metastoikeiosis), "re-ordinasi" (bahasa Yunani: μεταρρύθμισις, metaritmisis), maupun hanya dengan istilah "perubahan" (bahasa Yunani: μεταβολή, metabole). SejarahZaman Bapa GerejaKeyakinan bahwa Ekaristi diterimakan oleh orang-orang beriman sebagai tubuh dan darah Kristus tampaknya telah tersebar luas sejak zaman para Bapa Gereja (Patristik). Hal ini dapat terlihat dari tulisan-tulisan beberapa Bapa Gereja pada zaman itu yang menggunakan istilah-istilah untuk menggambarkan tubuh dan darah Kristus dalam kaitannya dengan Ekaristi dan tubuh yang menderita dan mati di salib. Dalam sebuah surat dari Santo Ignatius dari Antiokhia kepada orang-orang Roma pada tahun 106 tertulis: "Saya menginginkan roti Tuhan, roti surgawi, roti kehidupan, yang mana adalah daging Yesus Kristus."[9] Dalam tulisannya kepada orang-orang Kristen di Smyrna, sekitar tahun 106 juga, St Ignatius memperingatkan mereka menjauhkan diri dari para bidaah (penganut ajaran sesat) karena, antara lain, "Mereka (para bidat) menjauhkan diri dari Ekaristi dan doa, karena mereka tidak mengakui Ekaristi menjadi daging Juru selamat kita Yesus Kristus, yang mana telah menderita bagi dosa-dosa kita ... ."[10] Sekitar tahun 150, Santo Yustinus Martir menulis tentang Ekaristi: "Bukanlah roti biasa dan minuman biasa yang kita terima ini; tetapi sedemikian seperti Yesus Kristus Juru selamat kita, telah menjadi daging oleh Firman Allah, memiliki baik daging maupun darah demi keselamatan kita, demikian juga kita telah diajarkan bahwa makanan yang diberkati oleh doa dari firman-Nya, dan yang darinya darah dan daging kita dipelihara karena transmutasi (perubahan wujud), adalah daging dan darah dari Yesus yang telah menjadi manusia."[11] Santo Ambrosius pada tahun 387, dalam On the Mysteries Ch.9, menuliskan:[12]
Penulis Kristen lainnya dari abad ke-4 mengatakan bahwa dalam Ekaristi terjadi suatu "perubahan" (menurut St. Sirilus dari Yerusalem),[13] "transelementasi" (menurut St. Gregorius dari Nyssa),[14] "transformasi" (menurut St. Yohanes Krisostomus),[15] "transposisi" (menurut St. Sirilus dari Aleksandria),[16] dari roti menjadi tubuh Kristus. Pada tahun 400, Santo Agustinus dalam tulisannya — On Christian Doctrine — mengutip kata-kata Santo Siprianus: "Sebagaimana Kristus katakan 'Akulah pokok anggur yang benar,' berarti bahwa Darah Kristus adalah anggur, bukan air; dan cawan itu tidaklah dapat mengandung Darah-Nya, yang dengannya kita ditebus dan dihidupkan, seandainya anggur tersebut tidak ada; karena dengan anggur itulah Darah Kristus ditandakan ... ."[17] Pada abad ke-7, St Yohanes dari Damaskus dalam Holy and Immaculate Mysteries of the Lord menuliskan: "Tubuh tersebut, yang mana dilahirkan oleh Sang Perawan Suci, sesunguhnya bersatu dengan keilahian; bukan berarti bahwa Tubuh yang telah terangkat itu turun dari surga, tetapi roti dan anggur itu sendiri yang diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan."[18] St. Yohanes menggunakan istilah "alterasi" (μεταποίησις) atas perubahan tersebut (dalam An Exposition of the Orthodox Faith (Book IV) Ch.4 & Ch.13).[18] Abad pertengahanPenggunaan awal, yang diketahui pertama kali, atas istilah "transubstansiasi" untuk menggambarkan perubahan dari roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi adalah oleh Uskup Agung Tours Hildebert de Lavardin pada abad ke-11.[19][20] Dan pada akhir abad ke-12 istilah tersebut telah digunakan secara luas.[21] Konsili Lateran IV (tahun 1215) berbicara bahwa roti dan anggur "ter-transubstansiasi" menjadi tubuh dan darah Kristus: "Tubuh dan darah-Nya adalah benar-benar terkandung dalam sakramen di atas altar dalam bentuk roti dan anggur; roti dan anggur tersebut telah di-transubstansiasikan, oleh kuasa Allah, menjadi tubuh dan darah-Nya".[22] Lalu selama Reformasi Protestan, doktrin transubstansiasi sangat dikecam karena dianggap sebagai "pseudophilosophy"-nya Aristoteles yang diimpor ke ajaran Kristiani.[23] Martin Luther menyatakan bahwa: "Bukan doktrin transubstansiasi-nya yang perlu diyakini, tetapi, cukuplah bahwa Kristus benar-benar hadir dalam Ekaristi itu".[23] Lalu Luther mengajarkan doktrin persatuan sakramental (sacramental union): persatuan roti dengan Tubuh Kristus dan persatuan anggur dengan Darah Kristus (maknanya mirip dengan persatuan hipostatik yang digunakan untuk menjelaskan 2 kodrat dalam 1 pribadi Yesus); sementara Ulrich Zwingli memandang Ekaristi hanya sebagai peringatan (memorial) saja.[23] Kemudian Konsili Trente dalam sesi ke-13, yang berakhir pada 11 Oktober 1551, mendefinisikan transubstansiasi sebagai "perubahan yang indah dan tunggal dari keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh, dan keseluruhan substansi anggur menjadi Darah – penampilan luarnya hanyalah roti dan anggur yang tersisa – dimana memang atas perubahan ini Gereja Katolik paling tepat menyebutnya Transubstansiasi (perubahan hakiki)".[24] Perubahan tersebut tidak dianggap sebagai pemaksaan terhadap teori Aristoteles mengenai substansi dan 'aksiden' (accidere), karena hanya membicarakan penampilan luar (species) dan bukan istilah filsafat accidere. Kata "substansi" (dalam arti hakikat) sendiri telah digunakan dalam lingkup gerejani selama berabad-abad sebelum filsafat Aristoteles diterapkan di dunia Barat;[25] misalnya dalam Kredo Nicea dinyatakan bahwa Kristus mempunyai hakikat (bahasa Yunani: οὐσία, bahasa Latin: substantia) yang sama dengan Bapa. (lihat: Konsubstansial) Pandangan Katolik RomaPandangan Gereja Katolik bahwa roti dan anggur Ekaristi adalah Daging dan Darah Kristus dalam arti harafiah terutama didasarkan pada Injil Yohanes 6:51, seperti dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1406: "Akulah roti hidup yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya,[26] dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia." Dan ditegaskan dalam Yoh 6:55: "Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman." KGK 1384 dan 1406 juga mengutip kata-kata Yesus dalam Yoh 6:53-54,56 berupa desakan supaya daging dan darah-Nya menjadi makanan dan minuman agar seseorang memperoleh hidup abadi dan bersatu dengan-Nya.[26][27] Namun KGK 1336 juga menuliskan bahwa pernyataan pertama mengenai Ekaristi membuat sebagian murid-Nya mengundurkan diri (Yoh 6:66): "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" (Yoh 6:60), dan KGK pada bagian yang sama juga menyatakan bahwa Ekaristi memang adalah batu sandungan — sama seperti salib — yang membentuk misteri yang sama dengan salib dan tidak berhenti menjadi sebab perpecahan; namun siapa yang menerima perkataan-Nya (Yoh 6:68) dan menerima anugerah Ekaristi-Nya dengan penuh iman, menerima Tuhan sendiri.[28] Rupa dan aksidenIstilah "substansi" merujuk pada kenyataan yang mendasarinya, sementara istilah "aksiden" (accidere) adalah kualitas-kualitas yang dialami secara empiris. Substansi adalah hakikat atau esensi dasar dari suatu hal, yang mana sifatnya mempertahankan dan mengumpulkan satu kesatuan aksiden.[29] Substansi di sini berarti sesuatu di dalamnya sendiri, hakikatnya. Misalnya: bentuk sebuah topi bukanlah topi itu sendiri; bukan juga warna, ukuran, kelembutan atau hal apapun dari topi tersebut yang bisa dicerna oleh panca indra manusia. Topi itu sendiri (sang "substansi") memiliki bentuk, warna, ukuran, kelembutan dan ciri-ciri lainnya, tetapi topi itu sendiri berbeda dengan hal-hal tersebut.[30] Walau penampilannya — yang mana juga dirujuk oleh istilah 'aksiden' — dapat dicerna oleh indra manusia, tetapi substansinya tidak. Pembedaan "substansi" dengan "aksiden" sebenarnya berasal dari filsafat Aristoteles, yang meyakini bahwa setiap perubahan substansial melibatkan suatu perubahan penampilan —atau yang disebutnya "aksiden" (accidere).[31] Kardinal Avery Dulles memberikan contoh: saat seseorang memakan sebuah apel, apel tersebut kehilangan kualitas-kualitas yang kelihatan sebagaimana juga substansinya sebagai sebuah apel, karena apel yang telah dimakan itu menjadi bagian dari orang tersebut. Oleh sebab itu teologi Ekaristi Katolik Roma tidak berdasar pada filosofi dari Aristoteles tersebut, karena penampilan luar roti dan anggur tetap tidak berubah saat konsekrasi roti dan anggur dalam Misa.[31] Istilah "aksiden" tidak pernah digunakan dalam dogma atau penjelasan resmi Gereja Katolik mengenai doktrin transubstansiasi; misalnya dalam KGK atau Konsili Trente sesi ke-13 — ketika menegaskan definisi transubstansiasi — istilah aksiden tidak ditemukan, tetapi yang digunakan adalah istilah species (dalam bahasa Indonesia umumnya diterjemahkan menjadi "rupa").[24] Namun ada beberapa teolog yang menggunakan istilah aksiden dalam menjelaskan transubstansiasi, walau bukan dalam arti yang sama seperti filsafat Aristoteles. TransubstansiasiKetika berada di Perjamuan Terakhir-nya, Yesus berkata: "Inilah tubuh-Ku",[32] apa yang Ia pegang di tangan-Nya masih memiliki penampilan roti sepenuhnya: "species" roti tetap tidak berubah. Namun Gereja Katolik percaya bahwa, ketika Yesus menyatakan hal tersebut,[33] kenyataan mendasar ("hakikat") dari roti tersebut telah diubah menjadi Tubuh-Nya. Dengan kata lain, roti itu sesungguhnya adalah Tubuh-Nya, sedangkan seluruh penampilannya yang dapat dicerna oleh panca indra manusia ataupun penelitian ilmiah adalah tetap roti, sama seperti sebelumnya. Gereja Katolik percaya bahwa perubahan hakikat roti dan anggur terjadi pada saat konsekrasi Ekaristi,[31][33] saat kata-kata konsekrasi diucapkan oleh imam yang bertindak selaku Kristus (in persona Christi). Karena Kristus yang bangkit dari antara yang mati adalah Kristus yang hidup, Gereja Katolik percaya bahwa ketika roti berubah menjadi Tubuh-Nya, bukan hanya Tubuh-Nya saja yang hadir, tetapi Kristus hadir sepenuhnya (tubuh dan darah-Nya, bersama dengan jiwa dan keilahian-Nya). Hal yang sama juga berlaku bagi anggur yang berubah menjadi Darah-Nya.[33] Darah itu sendiri juga berada dalam rupa (species) roti, dan Tubuh-Nya juga berada dalam rupa anggur;[24] sehingga dengan menyambut Tubuh-Nya (Hosti Kudus) sama artinya dengan menyambut Tubuh dan Darah-Nya. KGK 1377 menyatakan bahwa kehadiran Kristus dalam rupa Ekaristi dimulai saat konsekrasi dan Ia tetap hadir selama rupa Ekaristi ada; Kristus hadir sepenuhnya dalam setiap rupa dan masing-masing bagiannya, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus.[33] Konsubstansiasi dan konsubstansialDoktrin "konsubstansiasi" berpendapat bahwa substansi dari roti dan anggur masih tetap ada, setelah konsekrasi dalam Ekaristi, bersamaan dengan substansi Tubuh Kristus dan Darah Kristus.[34] Gereja Katolik menolak doktrin konsubstansiasi karena, seperti ditegaskan dalam Konsili Trente dan tertulis dalam KGK 1376, konsekrasi mengubah seluruh substansi roti menjadi substasi Tubuh Kristus dan seluruh substansi anggur menjadi substansi Darah Kristus;[24][33] yang berarti bahwa substansi roti dan substansi anggur tidak ada lagi setelah konsekrasi. Istilah serupa lainnya adalah "konsubstansial" (sehakikat) yang digunakan untuk menjelaskan doktrin Tritunggal, seperti tertulis dalam KGK 467, bahwa Kristus sehakikat (konsubstansial) dengan Bapa dalam keilahian-Nya dan sehakikat (konsubstansial) dengan manusia dalam kemanusiaan-Nya.[35] Secara prinsip istilah konsubstansiasi dan konsubstansial bermakna serupa, yaitu satu substansi (sehakikat), hanya secara teknis digunakan dalam konteks berbeda; sementara istilah transubstansiasi berarti perubahan substansi (hakikat). Pandangan Ortodoks TimurThe Confession of Dositheus yang dihasilkan dalam Sinode Yerusalem oleh Gereja Ortodoks Timur pada tahun 1672 berbicara tentang suatu "perubahan" (μεταβολή) atau "metousiosis" (μετουσίωσις) dari roti dan anggur. "Μετ-ουσί-ωσις" (met-ousi-osis) adalah kata Yunani yang digunakan untuk merepresentasikan kata Latin "trans-substanti-atio",[36][37] sebagaimana kata Yunani "μετα-μόρφ-ωσις" (meta-morph-osis) selaras dengan kata Latin "trans-figur-atio". The Longer Catechism of The Orthodox, Catholic, Eastern Church, atau dikenal sebagai Katekismus St. Philaret (Drozdov) dari Moskow, menggunakan kata "transubstansiasi" atau "μετουσίωσις" pada pertanyaan 339 dan 340.[38] Gereja Ortodoks Timur, seperti juga Gereja Timur lainnya, bersepakat bahwa roti dan anggur yang digunakan dalam Liturgi Suci benar-benar menjadi tubuh dan darah Kristus secara nyata. Namun, sebagaimana tertulis dalam Katekismus St. Philaret, dikatakan bahwa kata "transubstansiasi" tidak digunakan untuk menentukan bagaimana cara roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus.[38] Dan dikatakan bahwa hanya Tuhan saja yang mengerti akan hal itu; tetapi roti tersebut sungguh, benar-benar, dan secara substansial menjadi Tubuh Kristus yang sebenarnya, dan anggur tersebut adalah Darah Kristus yang sebenarnya.[18][38] Kehadiran Kristus secara nyata dalam Ekaristi merupakan suatu dogma dalam Gereja Ortodoks Timur, sebagaimana dituliskan St. Theodorus Studita dalam risalahnya On the Holy Icons: "sebab kita mengakui bahwa umat beriman menerima tubuh dan darah Kristus yang sesungguhnya, menurut suara Tuhan sendiri".[39] Dekret XVII dari The Confession of Dositheus menuliskan:[37]
Seni konseptualAn Oak Tree (Sebuah Pohon Ek) adalah sebuah seni konseptual karya Michael Craig-Martin, yang terdapat di Tate Modern, berupa segelas air dimana sang seniman menyatakannya telah berubah menjadi "sebuah pohon ek dewasa" tetapi "tanpa mengubah aksiden dari gelas air tersebut".[40] Craig-Martin mengklaim bahwa ia telah mengubah substansi (hakikat) nya, tetapi tidak penampilannya. Dalam naskah yang dijadikannya bagian dari karyanya itu disebutkan bahwa: "Ini bukanlah sebuah simbol. Saya telah mengubah hakikat fisik dari segelas air ini menjadi sebuah pohon ek. Saya tidak mengubah penampilannya. Pohon ek yang sebenarnya hadir secara fisik, tetapi dalam bentuk segelas air."[40] Dalam suatu Kuliah Richard Dimbleby, pada 23 November 2000, Sir Nicholas Serota mengatakan: "Kita mungkin tidak 'menyukai' karya Craig-Martin, tetapi yang pasti karya tersebut mengingatkan kita bahwa apresiasi terhadap semua seni melibatkan suatu tindakan iman yang dapat dibandingkan dengan kepercayaan bahwa, melalui transubstansiasi, roti dan anggur Komuni Suci menjadi Tubuh dan Darah Kristus."[41] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|