Tari Rudat Banten

Seni Rudat Banten

Rudat Banten merupakan gabungan antara seni gerak dan vokal yang diiringi oleh tabuhan ritmis dari waditra. Kesenian ini mendapat pengaruh yang kuat dari agama Islam. Syair-syair yang dinyanyikan ketika mengiringi Seni Rudat sendiri berisikan puji-pujian terhadap Allah dan shalawat pada Nabi Muhammad S.A.W. Kesenian yang dikategorikan sebagai seni tradisi ini, sejak 2018 telah dimasukkan ke dalam Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.[1] Seni Rudat berkembang luas hampir di seluruh wilayah Banten. Adapun wilayah persebarannya meliputi Kota Serang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang dan Kota Cilegon.[2] Sedangkan untuk wilayah Tangerang, tersebar di bagian Utara Kabupaten Tangerang, meliputi Kec. Kronjo dan sekitarnya.

Arti

Istilah rudat memiliki sejumlah arti yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil observasi dan kajian yang dilakukan oleh Forum Silaturahmi Seni Rudat Banten (FS2RB), istilah rudat memiliki tiga makna.[3] Pertama, kata rudat berasal dari istilah dalam bahasa Arab yakni "raudah" yang memiliki arti taman.[3] Istilah kedua yakni "radda", juga berasal dari istilah dalam bahasa Arab yang memiliki arti menangkis (seperti dalam gerakan bela diri).[3] Terakhir, asal kata rudat berasal dari nama alat musik itu sendiri yakni rudat. Hal tersebut didasarkan anggapan masyarakat yang melihat rudat sebagai alat musik.[3]

Sejarah

Kemunculan Seni Rudat Banten diperkirakan sudah ada sejak abad XVI yakni sejak zaman Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten.[2] Namun, sebenarnya Rudat Banten sudah ada sejak Kesultanan Banten belum berdiri, karena upaya penyebaran agama Islam telah dilakukan oleh salah satu Wali Songo yakni Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, erat hubungannya dengan perkembangan seni Rudat Banten.[2] Ketika menyebarkan agama Islam di wilayah Jawa Barat dan Banten, Sunan Gunung Jati dibantu oleh para murid-muridnya. Antara tahun 1450-1500, Sunan Gunung Jati mengutus lima orang dari Cirebon yakni Sacapati, Madapati, Jayapati, Margapati, dan Warga Kusumah untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat yang ketika itu masih banyak memeluk agama Hindu. Kelima utusan tersebut juga diperintahkan untuk mengembangkan pertunjukkan kesenian dalam menyebarkan agama Islam. Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk untuk meniru kesenian di Mekkah, yaitu Genjring yang terbuat dari potongan-potongan kayu.[2] Kesenian itulah yang kemudian menjadi awal kemunculan Rudat Banten.[3]

Perkembangan seni Rudat Banten mengalami pasang surut saat era kesultanan di Banten mengalami kemunduran.[3] Periode pasang surut tersebut terjadi hingga masa-masa penjajahan. Ketika Indonesia memasuki periode kemerdekaan, seni Rudat Banten kembali hidup di masyarakat. Kelompok-kelompok seni rudat banyak tersebar di kampung-kampung di Banten.[3]

Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa Seni Rudat Banten diperkirakan sudah ada sejak masa-masa awal sebelum Kesultanan Banten berdiri (sebelum tahun 1525 M), sedangkan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M) sebenarnya adalah masa pengembangan selanjutnya.

Pementasan

Berbeda dengan Seni Rudat yang berada di wilayah lain di Nusantara, Seni Rudat Banten tidak cenderung kepada seni tari. Seni tari bisa disertakan, bisa juga tidak. Seni Rudat Banten dipentaskan oleh sekitar 12 - 24 orang.[2] Dari jumlah tersebut pemain dibagi ke dalam beberapa peran yakni sebagai penabuh waditra/alat (jumlahnya relatif berbeda di setiap kelompok, ada yang mencukupkan 6, 7, 8, 9, 10,12 hingga 15 orang), penari dan sebagai penyanyi,[2] meski secara umum biasanya para pemain musik itu juga merangkap sebagai penyanyi atau pengucap zikir dan sholawat. Cara pementasannya pun berbeda-beda. Hal tersebut tergantung kelompok yang memainkannya.[3] Seni Rudat Banten umumnya dipentaskan secara penuh yakni mencakup seni musik, seni tari, dan seni sastra.[3] Selain itu, Rudat Banten juga dapat dipentaskan dengan hanya menampilkan musiknya saja tanpa diiringi tarian.[3] Pementasan Rudat Banten tanpa diiringi tarian biasanya dilakukan dalam rangka menyambut tamu.[3]

Selain untuk menyambut tamu, Rudat Banten secara tradisi dilakukan dalam acara mengarak panjang mulud di Bulan Maulid, mengarak pengantin sunat dan mengiring pengantin.

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi seni Rudat Banten juga memiliki sejumlah perbedaan penyebutan. Ada yang menyebutnya sebagai waditra ada juga yang menyebutkan sebagai Rebana. Waditra yang digunakan terdapat dua jenis yakni Ketimpring dan Tojo.[2] Nama lain untuk alat musik utama yang digunakan dalam seni Rudat di masyarakat Banten adalah Terebang, Rebana dan terkadang menyebutnya ketimpring.

Fungsi

Rudat Banten sebagai sebuah seni pertunjukkan memiliki sejumlah fungsi. Fungsi tersebut adalah fungsi religius, peneguhan integrasi sosial, fungsi edukasi, fungsi hiburan, dan media dakwah melalui kesenian.[2]

Rujukan

  1. ^ Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Rudat Banten. Diakses melalui https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=2691 pada 21 Maret 2019.
  2. ^ a b c d e f g h Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penetapan Warisan Tak Benda Indonesia 2018. Diakses melalui https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/dashboard/media/Buku%20Penetapan%20WBTb%202018.pdf?utm_source=Misi+2&utm_campaign=a4046c7ff8-EMAIL_CAMPAIGN_2019_03_08_06_34&utm_medium=email&utm_term=0_919abbfea5-a4046c7ff8-303464597 pada 21 Maret 2019.
  3. ^ a b c d e f g h i j k Rosadi, Muhamad (2016-12-31). "SENI RUDAT SURUROL FAQIR: SEJARAH DAN FUNGSINYA PADA MASYARAKAT DESA KILASAH, KECAMATAN KASEMEN, KOTA SERANG, BANTEN". Penamas (dalam bahasa Inggris). 29 (3): 465–474. ISSN 2502-7891. 
Kembali kehalaman sebelumnya