Bedhaya SaptaBedhaya Sapta (dibaca: Bedhoyo Sapto) merupakan tari klasik Keraton Yogyakarta yasan dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988).[1] ‘Sapta’ berarti tujuh; hal ini merujuk pada jumlah penari Bedhaya Sapta yakni tujuh penari, tidak seperti lazimnya tari bedhaya yang dibawakan oleh sembilan penari. Semula bedhaya berjumlah tujuh penari pernah dibuat oleh KRT Mertanegara pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877). KRT Mertanegara membuat bedhaya berjumlah tujuh penari untuk membedakan dengan bedhaya yang ada di dalam tembok istana. Tarian ini juga disuguhkan saat Sri Sultan Hamengku Buwono VI berkunjung ke kediaman KRT Mertanegara. Bedhaya Sapta sudah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda Indonesia tahun 2022 asal Daerah Istimewa Yogyakarta usulan Keraton Yogyakarta.[2] Naskah TariCatatan mengenai Bedhaya Sapta termuat dalam manuskrip yang kini disimpan di perpustakaan KHP Kridhomardowo Keraton Yogyakarta. Naskah Kagungan Dalem Serat Bedhaya dengan kode BS (Bedhaya Srimpi) 27 halaman 5-7 mencatat sindhenan yang menceritakan Bedhaya Sapta di bawah judul Pasindhen Bedhaya Gendhing Ngambararum. Frasa ‘Bedhaya Sapta’ sendiri tak dituliskan. Yang disebut adalah nama gendhing-nya, Ngambararum. Pada awal penciptaannya, nama inilah yang dipakai untuk menyebut tari Bedhaya Sapta. Seiring waktu, nama Bedhaya Sapta lebih populer karena memudahkan penyebutan merujuk jumlah penarinya. Pola LantaiBedhaya Sapta dibawakan dalam ragam gerak antara lain gudhawa asta minggah, mlampah semang, impang encot, gajah ngoling, impang majeng, nggrudha, bangomate, dan puspita kamarutan. Bedhaya Sapta memiliki pola lantai yang berbeda dari bedhaya pada umumnya. Cerita Bedhaya Sapta langsung dipaparkan dalam pola lantai dan pesindhenan sejak awal gendhing. Peran-peran penari seperti endhel, batak dan sebagainya yang biasa terdapat dalam bedhaya tidak berlaku dalam Bedhaya Sapta. Penyebutannya diganti dengan penari 1, 2, 3, 4, 5 serta a dan b. Sementara, kemiripan Bedhaya Sapta dan bedhaya yang dibawakan sembilan penari terletak pada pola rakit lajur, rakit ajeng-ajengan atau rakit gelar. Namun, pola garis diagonal merupakan kekhasan yang hanya dimiliki Bedhaya Sapta. Musik IringanGendhing (musik iringan) yang biasa mengiringi tari Bedhaya Sapta antara lain: 1. Lagon Lasem jugag Laras Pelog Pathet Enem, 2. Ladrang Gati Mardika Laras Pelog Pathet Enem, 3. Lagon Ngelik Laras Pelog Pathet Enem, 4. Kandha, 5. Bawa Sekar Tengahan Tebu Kasol Laras Pelog Pathet Enem, 6. Gendhing Ngambar Arum Laras Pelog Pathet Enem, 7. Ladrang Sri Gadhing Laras Pelog Pathet Enem, 8. Bawa Swara Lagu Gendhing Tunjung Asmara Laras Pelog Pathet Enem, 9. Ketawang Tunjung Asmara Laras Pelog Pathet Enem, 10. Lagon Panunggul Laras Pelog Pathet Enem, 11. Ladrang Gati Hendra Kusuma Laras Pelog Pathet Enem, 12. Lagon Panunggul Laras Pelog Pathet Enem. Gendhing-gendhing tersebut dibawakan dengan seperangkat gamelan pelog. Instrumen musik diatonis juga digunakan dalam Gendhing Gati untuk mengiringi gerak kapang-kapang, saat penari berbaris masuk dan keluar dari ruang pementasan. Tata BusanaSemua penari Bedhaya Sapta mengenakan busana dan tata rias yang sama. Busana yang sering dikenakan antara lain adalah baju rompi bludiran, kain motif parang gurdha latar putih dengan pola seredan. Kepalanya dilengkapi aksesoris jamang dengan hiasan bulu burung kasuari, sanggul gelung sinyong, sumping ron, cundhuk mentul, jungkat, dan subang. Aksesoris lainnya berupa kelat bahu, sampur cindhe, kalung sungsun, slepe, dan gelang. Penari menggunakan rias jahitan, sementara cambang diberi hiasan tiruan godheg. Rujukan
|