Pyotr Agung (kaisar)

Pyotr Agung
Пётр Вели́кий
Velikiy (yang Agung)
Dilukis oleh pelukis Prancis, Paul Delaroche, 1838
Kaisar dan Autokrat seluruh Rusia
Berkuasa2 November 1721 –
8 Februari 1725 (3 tahun, 98 hari)
PenerusYekaterina I
Tsar seluruh Rusia
Berkuasa7 Mei 1682 – 2 November 1721 (39 tahun, 179 hari)
Penobatan25 Juni 1682
PendahuluFyodor III
BersamaIvan V (hingga 1696)
Kelahiran(1672-06-09)9 Juni 1672
Moskow
Kematian8 Februari 1725(1725-02-08) (umur 52)
Permaisuri
Keturunan
Nama lengkap
Pyotr Alekseyevich Romanov
WangsaRomanov
AyahAleksey, Tsar Rusia
IbuNatalya Naryshkina, Permaisuri Rusia
AgamaOrtodoks Rusia
Tanda tanganPyotr Agung Пётр Вели́кий

Pyotr I (bahasa Rusia: Пётр I), juga dikenal sebagai Pyotr Agung (bahasa Rusia: Пётр Вели́кий, tr. Pyotr Velikiy) (9 Juni [K.J.: 30 Mei] 1672 – 8 Februari [K.J.: 28 Januari] 1725), adalah Tsar Rusia terakhir (berkuasa tahun 1682–1721) dan Kaisar Rusia pertama (berkuasa tahun 1721–1724). Melalui berbagai keberhasilannya dalam perang, ia menjadikan Ketsaran Rusia menjadi salah satu kekaisaran besar yang menjadi salah satu kekuatan penting di Eropa. Ia memimpin perubahan budaya yang menggantikan tatanan lama dan tradisional beserta sistem politiknya dengan tatanan baru yang lebih modern, ilmiah, dan ke-Barat-Baratan berdasarkan Zaman Pencerahan.[1]

Awal kehidupan

Pyotr Alekseyevich Romanov lahir pada 9 Juni 1672 di Moskow pada masa kekuasaan ayahnya. Namanya diambil dari nama Simon Petrus. Ayahnya adalah Aleksey, Tsar Rusia yang memerintah pada 1645 sampai 1676. Ibunya adalah Permaisuri Natalya Naryshkina, istri kedua Tsar Aleksey. Saat Aleksey mangkat pada 1676, takhta diwariskan kepada Fyodor III, putra Aleksey dengan istri pertamanya, Permaisuri Maria Miloslavskaya. Pada masa pemerintahan kakak tiri Pyotr yang sakit-sakitan ini, negara dipegang oleh Artamon Matveev.

Masa kekuasaan

Keadaan berubah saat Fyodor mangkat pada 1682. Dikarenakan Fyodor tidak meninggalkan anak, terjadi perselisihan antara keluarga Miloslavsky (keluarga dari Maria Miloslavskaya) dan keluarga Naryshkin (keluarga dari Natalya Naryshkina) terkait pihak yang harusnya mewarisi takhta. Secara urutan, harusnya Pangeran Ivan, putra Aleksis dan Maria, yang harusnya menjadi tsar, tetapi dia memiliki penyakit parah dan lemah pikiran. Pada akhirnya, Dewan Bangsawan Rusia menetapkan Pyotr yang baru berusia sepuluh tahun menjadi tsar.

Sofya Alekseyevna Romanova

Namun kemudian, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Putri Sofya Romanova, saudari kandung Ivan pada April-Mei 1682. Pemberontakan ini menjadikan sebagian kerabat dan sahabat Pyotr terbunuh dan Pyotr menyaksikan tindakan kekerasan politik ini.[2] Sofya dan para pendukungnya berhasil mendesak untuk menjadikan Pyotr dan Ivan sebagai penguasa dwitunggal dengan Ivan berperan sebagai tsar senior. Sofya sendiri berperan sebagai wali bagi dua tsar. Di ruang takhta, sebuah lubang dibuat di belakang dua singgasana tsar dan menjadi tempat Sofya duduk dan mendengarkan saat Pyotr berbicara dengan para bangsawan.

Pada musim panas 1689, Pyotr yang berusia 17 tahun berencana mengambil kendali pemerintahan sepenuhnya dari Sofya, terutama setelah kedudukannya melemah lantaran dua kali kegagalannya dalam kampanye melawan Krimea. Sofya yang mengetahui rencana itu merencanakan makar dengan pasukan penjaga, tetapi mereka justru memperingatkan Pyotr akan rencana kakak tirinya itu. Pyotr melarikan diri pada tengah malam dan mengumpulkan kekuatan dan berhasil menggulingkan Sofya. Sofya dipaksa menjadi biarawati dan menyerahkan gelar dan kedudukan istananya, sementara Pyotr dan Ivan melanjutkan peran mereka sebagai tsar.

Meski Sofya telah digulingkan, Pyotr masih belum bisa memegang kendali penuh negara karena poros kekuatan beralih ke Ibu Suri Natalya. Setelah Natalya mangkat pada tahun 1694, barulah Pyotr yang telah berusia 22 tahun menjadi penguasa yang benar-benar berdaulat.[3] Meski begitu, Ivan masih berkuasa bersama Pyotr secara resmi, meski sebenarnya Ivan hanya berperan sebagai simbol belaka. Barulah saat Tsar Ivan V mangkat pada 1696, Pyotr sepenuhnya menjadi penguasa berdaulat tunggal Rusia.

Pyotr segera melakukan reformasi untuk memodernisasi Rusia.[4] Sangat dipengaruhi penasihatnya dari Eropa Barat, Pyotr menata ulang angkatan bersenjata Rusia agar memiliki kekuatan kelautan yang hebat. Dia mendapat penentangan atas kebijakannya, tetapi secara tegas memberantas segala pemberontakan yang berusaha menggoyangkan kewenangannya.

Untuk meningkatkan peran Rusia dalam masalah kelautan, Pyotr berusaha menguasai daerah pesisir. Wilayah pesisir yang dikuasai Rusia saat itu hanyalah kawasan Laut Putih. Laut Baltik saat itu dikuasai Swedia, Laut Hitam dikuasai oleh Kekaisaran Utsmaniyah, dan Laut Kaspia sebelah selatan dikuasai oleh Kekaisaran Safawiyah.

Untuk menguasai Laut Hitam, Pyotr berusaha menyingkirkan Kekhanan Krimea, negara bawahan Utsmani yang berkuasa di kawasan tersebut. Tujuan Pyotr adalah menguasai benteng Utsmani di Azov. Perang dilangsungkan pada musim panas pada 1695, tetapi usaha ini menuai kegagalan. Namun pada Juli setahun setelahnya, Azov berhasil dikuasai Rusia setelah Pyotr membentuk angkatan laut yang besar.

Kunjungan ke luar negeri

Monogram istana

Mengetahui bahwa dia tidak dapat mengalahkan Utsmaniyah sendirian yang merupakan negara adidaya saat itu, Pyotr mulai melakukan perjalanan ke luar negeri pada 1697. Hal ini dilakukan untuk mencari sekutu dari negara-negara di Eropa Barat demi membentuk persekutuan anti-Utsmaniyah. Pyotr sendiri melakukan penyamaran sepanjang perjalanan agar tidak dikenali. Namun tingginya yang mencapai 203 cm[3] membuat pemimpin Eropa lain dapat mengetahui jati dirinya yang sesungguhnya.

Usahanya untuk membentuk persekutuan anti-Utsmaniyah nyatanya tidak berhasil. Prancis tidak bersedia lantaran biasanya mereka sendiri menjalin persekutuan dengan Utsmaniyah. Austria lebih cenderung mengadakan perdamaian dengan Utsmaniyah lantaran sedang berperang di barat. Pyotr sendiri mengambil waktu yang tidak tepat karena saat itu bangsa Eropa lebih menaruh perhatian kepada pihak yang sekiranya akan menjadi penerus dari Carlos II, Raja Spanyol daripada harus sibuk bertarung dengan Sultan Utsmaniyah.[5]

Meski demikian, Pyotr tetap melanjutkan kunjungannya, kali ini ke Republik Belanda. Dia mempelajari pembuatan kapal di Zaandam dan Amsterdam. Mempelajari teknologi kelautan menjadi suatu hal yang penting demi mengembangkan armada laut Rusia.[6] Kunjungan Pyotr ke Belanda dianggap merupakan kunjungannya yang paling berpengaruh dibandingkan ke negara lainnya. Tidak hanya dapat mempelajari berbagai masalah teknis, Pyotr juga mempelajari cara hidup masyarakat Eropa Barat.

Pyotr kemudian mengunjungi Inggris Raya dan bertemu Raja William III. Di sana Pyotr belajar mengenai tata kota yang kemudian diterapkannya di Sankt-Peterburg. Setelah itu dia juga mengunjungi, August II, Raja Polandia, dan Leopold I, Kaisar Romawi Suci.[7]

Kunjungannya ke Eropa Barat saat mempengaruhi Pyotr. Pyotr merasa bahwa budaya Eropa Barat lebih beradab dari Rusia, sehingga dia mulai melakukan berbagai perubahan di negaranya. Pyotr menerapkan pembaharuan sosial secara mutlak dengan memperkenalkan pakaian gaya Prancis dan Eropa Barat ke istana. Para pejabat istana, pejabat negara, dan anggota angkatan bersenjata untuk mencukur janggut mereka dan menerapkan gaya pakaian yang baru.[8] Salah satu cara untuk menyukseskan program ini adalah dengan pengadaan pajak janggut dan jubah panjang pada bulan September 1698.[9]

Dalam urusan keluarga, Pyotr berusaha untuk menghapus praktik pernikahan yang diatur sebagaimana norma para bangsawan Rusia. Hal itu dipandang sebagai sesuatu yang barbar dan dapat menyebabkan rasa benci di antara pasangan.[10]

Pada tahun 1699, Pyotr juga mengubah perayaan tahun baru dari 1 September menjadi 1 Januari. Lebih lanjut, pada tahun 7207 penanggalan Rusia kuno, Pyotr mengumumkan pemberlakuan penanggalan Julian dan tahunnya adalah 1700.[11] Hal ini dilakukan agar sistem penanggalan Rusia dapat lebih sejalan dengan yang diberlakukan di Eropa Barat.

Perang Utara Raya

Pyotr menandatangani perjanjian damai sementara dengan Ahmed III, Sultan Utsmaniyah, yang memungkinkannya untuk tetap mempertahankan benteng Azov dan memusatkan perhatian untuk meningkatkan pengaruh maritim Rusia. Dia berusaha menguasai Laut Baltik yang telah dikuasai Swedia setengah abad sebelumnya. Pyotr menyatakan perang dengan Swedia yang saat itu dipimpin oleh Raja Karl XII yang masih belia. Swedia saat itu juga berhadapan dengan Denmark-Norwegia, Elektorat Sachsen, dan Persemakmuran Polandia-Lituania. Namun persiapan Rusia yang buruk menjadikan mereka kalah dalam pertempuran melawan Swedia dalam Perang Narva (1700). Daripada melakukan pengepungan yang dinilai lambat, Karl XII segera melakukan penyerangan dengan memanfaatkan badai salju yang membutakan sebagai peluang mereka. Karl XII kemudian mengarahkan pasukannya untuk menyerang Polandia-Lituania setelah itu, membuat Rusia memiliki kesempatan untuk menata ulang angkatan bersenjata mereka.

Peta kuno Sankt-Peterburg dan Kronstadt; kota-kota yang dibangun Kaisar Pyotr.

Saat pertempuran antara Swedia dan Polandia berlangsung, Pyotr membangun sebuah kota baru pada tahun 1703 di Ingriya (nama kawasan yang terletak di sebelah selatan Teluk Finlandia). Kota itu dinamai Sankt-Peterburg, dinamai mengikuti nama santo pelindung Pyotr, Santo Petrus. Kota ini kemudian menjadi ibu kota Rusia pada tahun 1713–1728 dan 1732–1918.

Setelah mengalami beberapa kekalahan, August II, Raja Polandia dan Adipati Agung Lituania, turun takhta pada 1706. Raja Karl segera kembali mengalihkan perhatiannya kepada Rusia dan melakukan penyerangan pada 1708. Karl berhasil mengalahkan Pyotr dalam Perang Golovchin pada bulan Juli. Dikabarkan bahwa ini adalah kemenangan yang paling disukai Karl.[12] Pada Perang Lesnaya pada Oktober (K.J. September) 1708, Karl mengalami kekalahan pertamanya setelah Pyotr menghancurkan pasukan bala bantuan Swedia yang berada di Riga. Ketiadaan bantuan ini membuat Karl terpaksa mengurungkan niatnya untuk menyerang Moskow.[13]

Karl menolak untuk menyerah kepada Polandia atau kembali ke Swedia, sehingga dia kemudian menyerang Ukraina. Pyotr menarik pasukannya ke selatan dan melakukan taktik bumi hangus untuk menghancurkan segala sesuatu yang mungkin dapat digunakan pihak Swedia untuk memperkuat mereka. Ketidakmampuannya untuk mengambil perbekalan dari kawasan setempat membuat Swedia harus menahan serangan mereka pada musim dingin 1708–1709. Pada musim panas 1709, Swedia kembali berusaha untuk menduduki Ukraina yang berpuncak pada Pertempuran Poltava pada 27 Juni. Perang ini merupakan kekalahan telak bagi Swedia, mengakhiri usaha Karl untuk menduduki Ukraina dan memaksanya untuk mencari perlindungan di Kekaisaran Utsmaniyah. Kemenangan ini mengubah pandangan orang-orang yang mulanya menganggap angkatan bersenjata Rusia tidak kompeten. Di Polandia, August II diangkat kembali menjadi raja.

Pyotr I dalam Pertempuran Poltava. Mosaik oleh Mikhail Lomonosov.

Pyotr yang sangat percaya diri dengan dukungan yang didapat dari sekutu Balkannya mulai melancarkan serangan kepada Kekaisaran Utsmaniyah pada 1710.[14] Namun perang ini justru menjadi bencana bagi pihak Rusia dan berakhir dengan Perjanjian Prut. Dalam perjanjian ini, Tsar Pyotr harus menyerahkan pelabuhan di Laut Hitam yang dia kuasai sejak tahun 1697.[14] Sebagai gantinya, Sultan Ahmed III akan mengusir Raja Karl XII dari negaranya.

Normalnya, Boyar Duma (Dewan Bangsawan Rusia) yang memegang kendali negara saat tsar tidak berada di tempat. Namun Pyotr tidak memercayai para bangsawannya yang membuatnya membubarkan Duma, membentuk senat yang terdiri atas sepuluh anggota. Meski awalnya dibentuk untuk mengurus negara saat ketiadaan tsar, badan ini menjadi permanen setelah kembalinya Pyotr dari perang. Senat ini kemudian menjadi salah satu lembaga terpenting di Rusia.[15]

Pasukan utara Pyotr menduduki Livonia (kawasan yang pada masa modern berada di Latvia bagian utara dan Estonia bagian selatan), membuat pasukan Swedia menuju Finlandia. Pada tahun 1714, Rusia menang dalam Perang Gangut dan menduduki sebagian besar kawasan Finlandia.

Meski begitu, Karl XII tetap menolak untuk menyerah dan baru setelah gugurnya dalam perang, perjanjian damai dapat terlaksana. Perjanjian Nystad ditandatangani pada 1721, mengakhiri apa yang disebut dengan Perang Utara Raya. Dalam perjanjian itu, Rusia mendapatkan Ingriya, Estonia, dan Livonia, juga sebagian besar Karelia. Sebagai ganti, Rusia membayar ganti rugi sejumlah dua juta riksdaler dan menyerahkan sebagian besar Finlandia. Tsar tetap mempertahankan sebagian wilayah Finlandia yang berada dekat dengan Sankt-Peterburg.[16]

Masa-masa akhir kekuasaan

Pada 28 Februari 1714, Pyotr mengeluarkan maklumat untuk mewajibkan mereka yang berusia sepuluh sampai lima belas tahun dari putra-putra bangsawan, pegawai pemerintah, dan pejabat tingkat bawah untuk mempelajari matematika dasar dan geometri, dan harus dilakukan pengujian di akhir masa belajar mereka.[17]

Di sisi selatan, Kekaisaran Safawiyah mengalami kemunduran besar-besaran. Kesempatan ini digunakan Pyotr untuk melancarkan perang dengan Safawiyah pada tahun 1722–1723, yang meningkatkan dominasi Rusia secara pesat untuk pertama kali di wilayah Kaukasus dan Laut Kaspia, juga guna membendung agar Utsmaniyah tidak meluaskan wilayahnya ke daerah ini setelah kemunduran Safawiyah. Derbent, Shirvan, Mazandaran, Baku, dan Astrabad jatuh ke tangan Rusia. Setelah itu, Safawiyah dan Rusia membentuk persekutuan melawan Utsmaniyah yang dipandang sebagai musuh bersama.[18]

Agama

Pyotr merupakan sosok yang religius, dibesarkan dalam iman Ortodoks Rusia. Namun walaupun religius, dia tidak menghargai hierarki Gereja. Ia selalu menjaga agar Gereja berada di bawah kendali pemerintah. Secara adat, pemimpin gereja adalah Patriark Moskow. Namun saat posisi itu kosong pada 1700, Pyotr menolak untuk memilih pengganti. Pyotr tidak menerima bila kekuasaan patriark sampai membayang-bayangi tsar, sebagaimana yang terjadi pada masa Patriark Filaret (menjadi pemimpin Rusia de facto pada masa kekuasaan putranya, Tsar Mikhail I) dan Patriark Nikon. Pada akhirnya, dia membubarkan kepatriarkan dan membentuk Sinode Kudus yang berada di bawah kendali pemerintah, dengan tsar (kemudian kaisar) yang menetapkan semua uskup.

Untuk kepemimpinan gereja, Pyotr cenderung kepada Ukraina yang lebih terbuka terhadap pembaharuan, tetapi tidak disukai oleh para pastor Rusia. Pyotr juga mengeluarkan undang-undang yang melarang para laki-laki Rusia menjadi biarawan bila usianya belum mencapai lima puluh tahun. Dia memandang bahwa menjadi biarawan adalah suatu hal yang sia-sia, terlebih saat para pemuda dapat bergabung dengan angkatan bersenjatanya yang baru.[19][20]

Bergelut menjadi bagian dari pemuka agama bukanlah jalan yang dipilih oleh masyarakat kelas atas. Sebagian besar pastor paroki adalah anak-anak imam, umumnya berpendidikan rendah dan dibayar rendah. Para biarawan memiliki kedudukan yang sedikit lebih tinggi dan tidak diperkenankan untuk menikah. Semenjak masa Pyotr, gereja tidak memiliki kekuasaan di ranah politik.[21]

Gelar

Terjadi kebingungan terkait penerjemahan gelar tsar di Eropa Barat, apakah disepadankan dengan raja atau kaisar. Sebagai catatan, kedudukan kaisar berada di atas raja. Pada umumnya negara Eropa Barat tidak menerjemahkan gelar tsar, sebagaimana mereka tidak menerjemahkan gelar sultan atau syah. Demi memperjelas ambisinya untuk menjadikan Rusia sebagai salah satu kekuatan berpengaruh di Eropa, Pyotr mengubah gelarnya menjadi imperator (император, diterjemahkan menjadi kaisar dalam bahasa Indonesia) pada tahun 1721, yang diambil dari bahasa Latin. Kedudukan Pyotr sebagai kaisar diakui oleh August II, Raja Polandia; Friedrich Wilhelm I, Raja Prusia; dan Fredrik I, Raja Swedia, tetapi tidak diakui kepala monarki Eropa lain. Mereka memandang bahwa pengakuan mereka akan berdampak pada klaim Pyotr atas mereka, sebagaimana Kaisar Romawi Suci yang menyatakan kepemimpinannya atas semua negara-negara Kristen.

Meski kepala monarki Rusia secara resmi telah menggunakan imperator (imperatritsa untuk wanita) sejak tahun 1721 sampai jatuhnya monarki pada tahun 1917, banyak pihak di luar Rusia yang masih menyebut mereka dengan gelar tsar atau tsaritsa.

Pernikahan dan keluarga

Dua istri Pyotr. Kiri: Yevdokiya Fyodorovna Lopukhina sebagai biarawati. Kanan: Yekaterina Alekseyevna Dua istri Pyotr. Kiri: Yevdokiya Fyodorovna Lopukhina sebagai biarawati. Kanan: Yekaterina Alekseyevna
Dua istri Pyotr. Kiri: Yevdokiya Fyodorovna Lopukhina sebagai biarawati. Kanan: Yekaterina Alekseyevna

Pyotr memiliki dua orang permaisuri yang melahirkan empat belas anak, tiga di antaranya hidup sampai usia dewasa. Natalya memilihkan Yevdokiya Fyodorovna Lopukhina sebagai istri putranya atas nasihat para bangsawan.[22] Hal ini sejalan dengan adat Romanov yang memilih calon istri dari kalangan bangsawan rendah, untuk menghindarkan persaingan di antara bangsawan tinggi, juga untuk memperkaya garis keturunan dalam keluarga istana.[23] Di samping istrinya, Pyotr juga menjalin asmara dengan seorang wanita Jerman bernama Anna Mons.[22] Meski begitu, Pyotr tidak bahagia dengan pernikahannya dengan Yevdokiya, sehingga dia kemudian menceraikan sang permaisuri dan memaksanya menjadi biarawati.[22]

Kemudian Pyotr mengambil wanita dari kalangan jelata bernama Martha Skavronskaya sebagai kekasihnya. Martha berpindah agama menjadi Ortodoks dan mengambil nama baru, Yekaterina Alekseyevna.[24] Meski tidak ada catatan yang dapat dipertanggungjawabkan, Pyotr menyatakan telah menikahi Yekaterina dalam sebuah pernikahan rahasia di Sankt-Peterburg antara 23 Oktober sampai 1 Desember 1707.[25] Pyotr kemudian menikahi Yekaterina secara resmi pada 9 Februari 1712 sehingga Yekaterina dapat secara resmi dinobatkan sebagai permaisuri. Berbeda dengan pernikahan pertamanya, pernikahan Pyotr dan Yekaterina terbilang termasuk pernikahan yang bahagia.

Putra tertuanya, Putra Mahkota Aleksei, dicurigai melakukan pemberontakan melawan Pyotr sehingga dia ditangkap dan mengaku di bawah penyiksaan pengadilan sekuler. Sebelum Pyotr menandatangani izin hukuman mati untuk putranya itu, Aleksei meninggal terlebih dulu akibat penyiksaan yang diterimanya.[26] Ibu Aleksei, Yevdokiya, juga diseret dari rumahnya karena didakwa melakukan perzinaan.

Mangkat

Pyotr mangkat pada tanggal 8 Februari 1725 pada usia 52 tahun 7 bulan setelah memerintah Rusia selama 42 tahun. Sepeninggalnya, Permaisuri Yekaterina diangkat menjadi maharani, menjadikan dirinya sebagai wanita pertama yang secara resmi menjadi kepala monarki Rusia.

Lihat juga

Rujukan

  1. ^ Cracraft 2003.
  2. ^ Riasanovsky 2000, hlm. 214.
  3. ^ a b Riasanovsky 2000, hlm. 216.
  4. ^ Evgenii V. Anisimov, The Reforms of Peter the Great: Progress Through Violence in Russia (Routledge, 2015)
  5. ^ Riasanovsky 2000, hlm. 218.
  6. ^ Farquhar 2001, hlm. 176.
  7. ^ Massie 1980, hlm. 191.
  8. ^ Riasanovsky 2000, hlm. 221.
  9. ^ Abbott, Peter (1902). "Peter the Great". Project Gutenberg online edition. 
  10. ^ Dmytryshyn 1974, hlm. 21.
  11. ^ Oudard 1929, hlm. 197.
  12. ^ Ericson, Lars (ed) (2003). Svenska slagfält (dalam bahasa Swedish). Wahlström & Widstrand. hlm. 286. ISBN 91-46-21087-3. 
  13. ^ Massie 1980, hlm. 453.
  14. ^ a b Riasanovsky 2000, hlm. 224.
  15. ^ A History of the Modern World & R.R Palmer 1992, hlm. 242–243
  16. ^ Cracraft 2003, hlm. 37.
  17. ^ Dmytryshyn 1974, hlm. 10-11.
  18. ^ Lee 2013, hlm. 31.
  19. ^ Dmytryshyn 1974, hlm. 18.
  20. ^ James Cracraft, The church reform of Peter the Great (1971).
  21. ^ Lindsey Hughes, Russia in the Age of Peter the Great (1998) pp 332-56.
  22. ^ a b c Hughes 2004, hlm. 134.
  23. ^ Hughes 2004, hlm. 133.
  24. ^ Hughes 2004, hlm. 131.
  25. ^ Hughes 2004, hlm. 136.
  26. ^ Massie 1980, hlm. 76,377,707.

Daftar pustaka

Dalam bahasa Rusia

Pranala luar

Pyotr I
Lahir: 9 Juni 1672 Meninggal: 8 Februari 1725
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Fyodor III
Tsar seluruh Rusia
7 Mei 1682 – 2 November 1721
bersama dengan Ivan V (1682–1696)
Pyotr menyatakan diri sebagai kaisar
Jabatan baru Kaisar dan Autokrat seluruh Rusia
2 November 1721 – 8 Februari 1725
Diteruskan oleh:
Yekaterina I
Didahului oleh:
Fredrik I
Adipati Estonia dan Livonia
1721–1725
Kembali kehalaman sebelumnya