PurgatoriumPurgatorium atau api penyucian (bahasa Latin: purgatorium; bahasa Inggris: purgatory)[1] adalah istilah dalam teologi Kristen, dan khususnya dalam teologi Katolik, untuk suatu keadaan antara atau peralihan setelah kematian jasmani yang melaluinya mereka yang ditentukan ke Surga "menjalani pemurnian, sehingga mencapai kekudusan yang diperlukan untuk memasuki kegembiraan surga".[2] Hanya mereka yang meninggal dunia dalam keadaan rahmat, namun belum menjalani hukuman sementara akibat dosa-dosa mereka, yang dapat berada dalam Purgatorium, dan dengan demikian tidak ada seorang pun dalam Purgatorium yang akan berada selamanya dalam keadaan tersebut ataupun pergi ke neraka. Asal mula konsep ini memiliki akar-akar sejak dahulu. Gagasan mengenai Purgatorium terutama dikaitkan dengan Gereja Katolik Ritus Latin (dalam Gereja Katolik Timur, gagasan ini merupakan suatu doktrin, kendati biasanya tidak disebut "Purgatorium", tetapi disebut "pemurnian akhir" atau "theosis akhir"); kalangan Anglikan dengan tradisi Anglo-Katolik pada umumnya juga memegang keyakinan ini. Gereja Ortodoks Timur meyakini kemungkinan adanya suatu perubahan situasi bagi jiwa-jiwa dari mereka yang telah meninggal dunia melalui doa-doa yang didaraskan oleh mereka yang masih hidup di dunia ini dan kurban persembahan dalam Liturgi Ilahi, selain itu, banyak kalangan Ortodoks, khususnya kalangan asketik, berharap dan berdoa demi suatu apokatastasis umum.[3] Yudaisme juga percaya pada kemungkinan adanya pemurnian setelah kematian dan bahkan mungkin saja menggunakan kata "purgatorium" untuk merepresentasikan pemahaman mereka atas makna Gehenna.[4] Bagaimanapun, konsep tentang "pemurnian" jiwa kemungkinan ditolak secara eksplisit dalam tradisi-tradisi keimanan lainnya itu. Kata Purgatorium juga digunakan untuk mengacu pada berbagai konsepsi historis dan modern tentang penderitaan pasca kematian fisik menjelang hukuman kekal,[5] dan digunakan, dalam pengertian non-spesifik, dengan arti setiap tempat ataupun kondisi dalam penderitaan atau siksaan, terutama yang bersifat sementara.[6] SejarahPenggunaan kata "Purgatorium" (sebagaimana kata ini disebut dalam bahasa Latin) sebagai kata benda mungkin baru terlihat antara tahun 1160 dan 1180, yang menimbulkan gagasan bahwa purgatorium adalah suatu tempat[7] (yang Jacques Le Goff sebut "kelahiran" purgatorium).[8] Tradisi Purgatorium dalam Katolik Roma sebagai suatu kondisi transisi memiliki sejarah yang bersumber, bahkan sebelum Yesus Kristus, pada praktik di seluruh dunia dalam hal mengurus orang-orang yang telah wafat dan berdoa bagi mereka, serta pada keyakinan, yang juga ditemukan dalam Yudaisme,[9] yang dipandang sebagai cikal bakal Kekristenan, bahwa berdoa bagi orang yang telah meninggal dunia bermanfaat untuk pemurniannya dalam kehidupan setelah kematian. Praktik serupa tampak dalam tradisi-tradisi lainnya, misalnya praktik Buddhis Tiongkok abad pertengahan dalam hal mempersembahkan kurban demi kepentingan arwah, yang dikatakan menderita berbagai cobaan.[5] Keyakinan Katolik Roma akan pemurnian dalam kehidupan setelah kematian dari dunia ini didasarkan pada praktik berdoa untuk arwah, yang disebutkan dalam apa yang dinyatakan Gereja Katolik Roma sebagai bagian dari Kitab Suci,[10][11] dan diterapkan oleh umat Kristen sejak awal,[12] suatu praktik yang mengandaikan bahwa arwah karenanya dibantu dalam fase antara kematian jasmani dan masuknya mereka ke dalam kediaman akhir mereka.[5] Keyakinan akan adanya hukuman sementara yang sepadan dalam kehidupan setelah kematian, atas semua sikap dan perilaku masing-masing orang selama hidupnya di dunia ini, diungkapkan dalam karya tulis Kristen awal berbahasa Yunani yang dikenal sebagai Diskursus Yosefus untuk Orang Yunani mengenai Hades, yang pernah diatribusikan pada Yosefus (37 – ca 100) namun sekarang diyakini sebagai karya Hippolitus dari Roma (170–235).[13] Sesaat sebelum ia berpindah keyakinan menjadi Katolik Roma,[14] akademisi Inggris John Henry Newman berpendapat bahwa esensi doktrin ini terletak dalam tradisi kuno, dan bahwa konsistensi inti keyakinan-keyakinan semacam ini merupakan bukti kalau Kekristenan "pada dasarnya diberikan kepada kita dari surga".[15] Umat Katolik Roma tidak menganggap ajaran tentang Purgatorium sebagai penambahan-penambahan imajinatif, memandangnya sebagai bagian dari iman yang berasal dari penyataan Yesus Kristus yang diwartakan oleh Para Rasul. Dari antara para Bapa Gereja awal, Origenes mengatakan bahwa "ia yang diselamatkan, karena itu diselamatkan melalui api" yang membakar dosa-dosa dan keduniawian sama seperti proses pemurnian emas dalam api dari logam-logam lain seperti timah hitam.[16] St. Ambrosius dari Milan berbicara mengenai semacam "baptisan api" yang terletak di pintu masuk menuju Surga, dan semua orang musti melewatinya, pada akhir dunia ini.[17] St. Gregorius Agung mengatakan bahwa keyakinan akan Purgatorium adalah "jelas" (constat), dan "diyakini" (credendum), serta menegaskan bahwa 'api' Purgatorial hanya dapat memurnikan pelanggaran-pelanggaran kecil, bukan "besi, perunggu, atau timah hitam," ataupun dosa-dosa "keras" (duriora) lainnya.[18] Dengan ini ia menyampaikan bahwa keterikatan pada dosa, kebiasaan berdosa, dan bahkan dosa-dosa ringan dapat dilepaskan dalam Purgatorium, tetapi tidak dosa berat, yang menurut doktrin Katolik mengakibatkan hukuman kekal. Selama berabad-abad, para teolog dan kalangan Kristen lainnya mengembangkan doktrin mengenai Purgatorium, yang kemudian menyebabkan penetapan doktrin secara resmi (berbeda dari deskripsi-deskripsi legendaris yang ditemukan dalam literatur puitis) pada Konsili Lyon I (1245), Konsili Lyon II (1274), Konsili Florence (1438–1445), dan Konsili Trente (1545–63).[5][19] KekristenanSejumlah gereja, khususnya Katolik Roma, mengakui doktrin Purgatorium. Banyak gereja Protestan dan Ortodoks Timur tidak menggunakan terminologi yang sama, yang pertama disebutkan mendasari pada doktrin sola scriptura mereka, dikombinasikan dengan pengecualian mereka atas Kitab 2 Makabe dari Alkitab; sementara Gereja Ortodoks menganggap Purgatorium sebagai suatu doktrin yang non-esensial. Gereja Katolik RomaGereja Katolik memberi nama Purgatorium atas pemurnian akhir semua orang yang wafat dalam rahmat dan persahabatan dengan Allah, tetapi masih belum dimurnikan secara sempurna.[20] Purgatorium lebih sering digambarkan sebagai suatu tempat daripada suatu proses pemurnian, namun gagasan purgatorium sebagai suatu tempat secara fisik bukan merupakan bagian dari doktrin Gereja.[21] Surga dan NerakaMenurut keyakinan Katolik, seketika setelah kematian jasmaninya, seseorang menjalani penghakiman khusus yang menentukan nasib jiwanya dalam kekekalan.[22] Beberapa jiwa dapat langsung bersatu dengan Allah dalam Surga, dibayangkan sebagai suatu firdaus sukacita abadi, Theosis terselesaikan dan jiwa mengalami visiun beatifis Allah. Sebaliknya, sebagian jiwa lainnya (mereka yang mati dalam kebencian kepada Allah dan Kristus) mencapai suatu keadaan yang disebut Neraka, yaitu keterpisahan selamanya dari Allah yang sering dibayangkan sebagi suatu kediaman yang tanpa akhir dalam siksaan nyala api, suatu api yang terkadang dianggap metaforis.[23] Peranan terkait dosaSelain menerima keadaan surga dan neraka, Katolisisme juga memandang adanya keadaan ketiga bagi jiwa sebelum diterima dalam surga. Menurut doktrin Katolik, sebagian jiwa belum bebas sepenuhnya dari efek temporal dosa dan konsekuensinya untuk dapat langsung memasuki keadaan surga, sementara sebagian lainnya sedemikian berdosa dan penuh kebencian kepada Kristus sehingga langsung memasuki keadaan neraka.[24] Jiwa-jiwa tersebut, yang ditentukan berakhir dalam persatuan dengan Allah dalam surga, pertama-tama perlu dibersihkan terlebih dahulu melalui purgatorium – suatu keadaan pemurnian atau penyucian.[24] Melalui purgatorium, jiwa-jiwa "meraih kekudusan yang diperlukan untuk memasuki kegembiraan surga".[25] Dosa berat mengakibatkan hukuman sementara sekaligus hukuman kekal, sementara dosa ringan hanya mengakibatkan hukuman sementara. Gereja Katolik membuat perbedaan antara kedua jenis dosa tersebut.[26] Dosa berat adalah "dosa yang objeknya adalah hal berat serta yang juga dilakukan dengan pengetahuan penuh dan persetujuan yang telah dipertimbangkan",[27] sehingga "kalau tidak ditebus melalui penyesalan dan pengampunan Allah mengakibatkan pengecualian dari kerajaan Kristus dan kematian abadi dalam neraka, sebab kebebasan kita mempunyai kuasa untuk membuat pilihan untuk selama-lamanya tanpa dapat ditarik kembali".[28] Sebaliknya, dosa ringan "tidak menjadikan kita bertentangan secara langsung terhadap kehendak dan persahabatan Allah"[29] dan, kendati masih "merupakan suatu gangguan moral",[30] tidak melepaskan persahabatan dengan Allah dalam diri orang yang berdosa, dan konsekuensinya kebahagiaan kekal dalam surga.[29] Namun, karena dosa ringan memperlemah kasih, memanifestasikan afeksi yang tidak semestinya pada barang-barang ciptaan, dan menghambat kemajuan jiwa dalam melakukan kebajikan-kebajikan serta kebaikan moral, maka dosa ringan mengakibatkan hukuman sementara (temporal).[29] Menurut Katolisisme, pemurnian dari kecenderungan berdosa dapat terjadi selama hidup di dunia ini. Situasi tersebut dapat dibandingkan dengan seseorang yang perlu dilepaskan dari kecanduan apapun. Sebagaimana rehabilitasi dari suatu kecanduan, rehabilitasi dari "afeksi yang tidak teratur pada barang-barang ciptaan" merupakan suatu proses bertahap dan mungkin menyakitkan. Kemajuan proses itu selama hidup di dunia ini dapat dilakukan melalui penitensi dan penyangkalan diri secara sukarela serta melalui tindakan-tindakan atas dasar kemurahan hati yang memperlihatkan kasih akan Allah, bukan kasih akan makhluk-makhluk ciptaan. Setelah kematian jasmaniah, suatu proses pembersihan dapat dipandang sebagai suatu persiapan yang masih diperlukan untuk memasuki hadirat ilahi.[31] Santa Katarina dari Genoa menuliskan: "Adapun surga, Allah tidak menempatkan pintu di sana. Siapapun yang ingin masuk, [dapat] melakukannya. Allah yang penuh belas kasih berdiri di sana dengan tangan-Nya terbuka, menanti untuk menerima kita ke dalam kemuliaan-Nya. Tetapi, saya juga melihat bahwa hadirat ilahi begitu murni dan penuh cahaya – jauh melebihi yang dapat kita bayangkan – bahwa jiwa yang pantas namun memiliki sedikit ketidaksempurnaan lebih memilih melemparkan dirinya ke dalam seribu neraka daripada tampil di hadapan hadirat ilahi. Lidah tidak dapat mengungkapkan dan hati juga tidak memahami sepenuhnya arti purgatorium, yang rela diterima jiwa sebagai suatu belas kasih atas kesadaran bahwa penderitaan itu tidak penting dibandingkan dengan pelepasan hambatan dosa."[32] Rasa sakit dan apiPurgatorium umumnya dipandang sebagai suatu penyucian dengan cara hukuman sementara yang menyakitkan, yang—sama seperti hukuman kekal neraka—dihubungkan dengan gagasan mengenai api.[33] Kendati "rasa sakit indra-indra" (berbeda dengan "rasa sakit kerinduan" akan Visiun Beatifis) secara doktrinal tidak didefinisikan sebagai bagian dari Purgatorium, para teolog memiliki konsensus yang sangat kuat bahwa kesakitan indrawi juga termasuk. Beberapa Bapa Gereja memandang 1 Korintus 3:10–15 sebagai bukti adanya suatu keadaan peralihan yang membakar habis sisa-sisa pelanggaran ringan, dan jiwa yang telah dimurnikan akan diselamatkan.[33] Api merupakan penggambaran yang diilhami Alkitab ("Kami telah menempuh api dan air")[34] yang digunakan umat Kristen untuk konsep pemurnian dalam kehidupan setelah kematian.[35] St. Agustinus mendeskripsikan api-api dalam penyucian sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dari apa pun yang dapat diderita seseorang dalam kehidupan ini,[33] dan Paus Gregorius I menuliskan bahwa harus ada suatu api penyucian untuk beberapa kesalahan kecil yang mungkin masih perlu disingkirkan.[36] Origenes menuliskan tentang api yang diperlukan untuk memurnikan jiwa,[37] dan St. Gregorius dari Nyssa juga menulis tentang api pembersihan.[38] Kebanyakan teolog dari masa lampau menyatakan bahwa api tersebut dalam arti tertentu adalah suatu api materiil, meski sifatnya berbeda dari api biasa, namun pendapat teolog-teolog lainnya yang menafsirkan istilah biblis "api" secara metaforis tidak dikecam oleh Gereja[39] dan mungkin sekarang menjadi pandangan yang lebih umum di antara para teolog. Katekismus Gereja Katolik (KGK) berbicara tentang suatu "api penyucian"[40] dan mengutip ungkapan "purgatorius ignis" (api pemurnian) yang digunakan Paus Gregorius Agung. KGK berbicara tentang hukuman sementara karena dosa, bahkan dalam kehidupan ini, sebagai salah satu dari "segala macam penderitaan dan cobaan".[41] KGK mendeskripsikan purgatorium sebagai pemurnian yang diperlukan karena "suatu keterikatan yang tidak sehat dengan makhluk-makhluk", suatu pemurnian yang "membebaskan seseorang dari apa yang dinamakan 'siksa dosa sementara'", suatu hukuman yang "tidak boleh dipandang sebagai semacam balas dendam yang ditimpakan Allah dari luar, tetapi sebagai sesuatu yang timbul dari hakikat dosa itu sendiri."[42] Doa untuk arwah dan indulgensiGereja Katolik mengajarkan bahwa nasib mereka yang berada dalam purgatorium dapat dipengaruhi oleh tindakan mereka yang masih hidup di dunia ini. Ajaran itu juga didasarkan pada praktik berdoa bagi arwah sejak zaman dahulu sebagaimana disebutkan pada 2 Makabe 12:42–46, yang dipandang oleh umat Katolik dan Ortodoks sebagai bagian dari Kitab Suci.[44] Dalam konteks yang sama ada disebutkan praktik indulgensi. Suatu indulgensi merupakan remisi di hadapan Allah, melalui perantaraan Gereja, atas hukuman sementara akibat dosa-dosa yang telah mendapat pengampunan.[45] Indulgensi dapat diperoleh bagi diri sendiri, ataupun dipersembahkan bagi orang yang telah meninggal dunia.[46] Terlepas dari persepsi populer di kalangan non-Katolik, Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan bahwa indulgensi memiliki kuasa pengampunan dosa karena hal itu dipandang sebagai yurisdiksi Allah saja. Siapa pun yang mengajarkan bahwa dengan melakukan tindakan-tindakan kasih seperti indulgensi saja dapat mengampuni dosa telah dikecam sebagai bidah (sesat) oleh Gereja Katolik. Mengatakan bahwa indulgensi dapat berlaku tanpa peduli seberapa besar kadar keimanan seseorang, tanpa memenuhi persyaratan yang ditetapkan, juga dipandang sesat. Suatu indulgensi bergantung (atau tindakan kasih apa pun untuk hal itu) pada kadar keimanan seorang individu Kristen pada saat tersebut (lihat kasus Johann Tetzel). Indulgensi dan doa untuk arwah telah secara umum dibayangkan sebagai pengurang "durasi" waktu yang dihabiskan oleh arwah dalam purgatorium. Gagasan itu terkait dengan kenyataan bahwa, pada masa lampau, indulgensi diterapkan dalam ukuran jumlah hari, periode 40 hari sebagaimana masa Prapaskah, ataupun tahun, yang sesungguhnya berarti bahwa bukan purgatorium yang dipersingkat dengan jumlah waktu tetapi indulgensi dilakukan sepanjang penitensi kanonik pada sisi orang Kristen yang masih hidup di dunia ini.[47] Ketika pemberlakuan penitensi kanonik tersebut dalam suatu durasi tertentu keluar dari kebiasaan, ungkapan-ungkapan sedemikian terkadang disalahartikan sebagai pengurangan jumlah waktu yang dihabiskan jiwa dalam purgatorium.[47] Suatu naskah doa yang pernah dimiliki Henry VIII[48] mengklaim bahwa "berkas duka ini dengan setia mengatakan 5 Pater Noster, 5 Ave Maria dan 1 Kredo..." memberi suatu ampunan dan pengurangan waktu dalam purgatorium selama "52.712 tahun dan 40 hari ampunan".[49] Dalam revisi aturan tentang indulgensi oleh Paus Paulus VI, ungkapan-ungkapan semacam itu dihapuskan, dan digantikan dengan ungkapan "indulgensi sebagian", yang mengindikasikan bahwa orang yang memperoleh indulgensi tersebut karena suatu tindakan kesalehan dianugerahkan, "di samping penghapusan siksa dosa (hukuman) sementara yang diperoleh dari tindakan itu sendiri, suatu penghapusan siksa dosa yang sebanding melalui campur tangan Gereja".[50] Secara historis, praktik pemberian indulgensi, dan pelanggaran-pelanggaran terkait yang menyebar luas,[51] menyebabkan indulgensi dianggap semakin terkait erat dengan uang, dengan adanya kritik-kritik yang ditujukan terhadap "penjualan" indulgensi, salah satu sumber kontroversi yang merupakan penyebab langsung Reformasi Protestan di Jerman dan Swiss.[52] Sebagai tempat fisikAnggapan bahwa Surga, Neraka, dan Purgatorium sebagai tempat-tempat dalam alam semesta fisik bukan merupakan doktrin Gereja. Bagaimanapun, pada zaman antikuitas dan abad pertengahan, Surga dan Neraka secara luas dianggap sebagai tempat-tempat yang berada di dalam alam semesta fisik: Surga "di atas", di langit; Neraka "di bawah", di dalam atau di bawah permukaan bumi. Demikian pula, Purgatorium pada zaman tersebut dianggap sebagai suatu lokasi fisik. Pada tahun 1206, seorang petani bernama Thurkhill di Inggris mengklaim bahwa Santo Yulianus membawanya berkeliling Purgatorium. Ia memberikan detail terperinci, termasuk deskripsi-deskripsi dari apa yang ia sebut "kamar-kamar penyiksaan" Purgatorium, dan diyakini secara luas, termasuk oleh sejarawan Gereja Roger dari Wendover.[53] Dalam karya Dante pada abad ke-14 yang berjudul Divina Commedia (Komedi Ilahi), Purgatorium digambarkan sebagai sebuah gunung di belahan bumi bagian selatan dan tampaknya merupakan satu-satunya daratan di sana. Jiwa-jiwa yang mengasihi Allah dan manusia yang setengah hati mendapati diri mereka berada di Gunung Purgatorium, yang memiliki dua tingkatan, kemudian Tujuh Tingkat yang merepresentasikan Tujuh dosa pokok dengan hukuman-hukuman yang ironis. Sebagai contoh, pada tingkat pertama untuk Kesombongan, para penghuninya dibebani batuan-batuan besar yang memaksa mereka untuk melihat contoh Kesombongan seperti pada patung Arakhne di perjalanan mereka mendaki. Saat mencapai puncak gunung, mereka mendapati diri mereka berada di antipode Yerusalem, yaitu Taman Eden. Setelah dibersihkan dari segala dosa dan dijadikan sempurna, mereka menanti dalam firdaus Duniawi sebelum naik ke Surga. Pada tahun 1999, Paus Yohanes Paulus II menyebut Purgatorium sebagai "suatu kondisi keberadaan",[21] menyiratkan bahwa Purgatorium kemungkinan besar bukan suatu tempat atau lokasi fisik yang sebenarnya, tetapi suatu keadaan yang di dalamnya "mereka yang, setelah wafat, berada dalam suatu keadaan pemurnian, telah berada dalam kasih Kristus yang menghapus sisa-sisa ketidaksempurnaan dari diri mereka." Pada tahun 2011, Paus Benediktus XVI, berbicara tentang Santa Katarina dari Genoa (1447–1510), mengatakan bahwa pada zamannya pemurnian jiwa-jiwa (Purgatorium) digambarkan sebagai suatu lokasi dalam ruang fisik, namun santa tersebut memandang Purgatorium sebagai suatu api batin yang memurnikan, sebagaimana yang ia alami dalam kesedihan mendalam akibat dosa-dosa yang dilakukan bila dibandingkan dengan kasih Allah yang tanpa batas. St Katarina mengatakan bahwa masih adanya keterikatan pada keinginan dan penderitaan akibat dosa yang diperbuat menjadikan jiwa tidak mungkin dapat menikmati visiun beatifis ("pandangan yang membahagiakan") Allah. Sang Paus berkomentar: "Kita juga merasakan betapa jauhnya kita, betapa kita dipenuhi sedemikian banyak hal sehingga kita tidak dapat melihat Allah. Jiwa menyadari akan dalamnya kasih serta keadilan sempurna Allah, dan konsekuensinya mengalami penderitaan karena gagal menanggapi kasih itu dengan cara yang benar dan sempurna; dan kasih akan Allah itu sendiri menjadi suatu nyala api, kasih itu sendiri membersihkannya dari residu dosa."[54] Pernyataan KatolikKompendium Katekismus Gereja Katolik, pertama kali diterbitkan pada tahun 2005, memuat ringkasan Katekismus Gereja Katolik (KGK) dalam bentuk dialog. Kompendium KGK membahas tentang purgatorium[a] dalam rupa tanya jawab berikut:[56]
Kedua tanya jawab di atas merangkum penjelasan yang terdapat dalam KGK 1020–1032[57] dan 1054,[58] yang dipublikasikan pada tahun 1992, yang juga berbicara tentang purgatorium pada bagian 1472 dan 1473.[59] Pernyataan-pernyataan otoritatif lainnya ditemukan dalam dokumen-dokumen Konsili Trente tahun 1563[60] dan Konsili Florence tahun 1439.[61] Katolisisme TimurGereja Katolik Timur mencakup gereja-gereja Katolik sui iuris dengan tradisi Timur, dalam persekutuan penuh dengan Sri Paus. Terdapat beberapa perbedaan antara teologi Gereja Latin dan sejumlah Gereja Katolik Timur dalam hal purgatorium, kebanyakan berhubungan dengan terminologi dan spekulasi. Gereja Katolik Timur dengan tradisi Yunani umumnya tidak menggunakan kata "purgatorium", tetapi sependapat bahwa terdapat suatu "pemurnian akhir" bagi jiwa-jiwa yang ditentukan memasuki surga, dan bahwa doa-doa dapat membantu arwah yang berada dalam keadaan "pemurnian akhir". Secara umum, baik jemaat Gereja Latin maupun jemaat Gereja Katolik Timur menganggap perbedaan-perbedaan tersebut sebagai poin-poin perbantahan, tetapi melihatnya sebagai perbedaan-perbedaan kecil dan perbedaan tradisi masing-masing. Sebuah traktat yang mengesahkan penerimaan Gereja Katolik Yunani Ukraina ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik Roma menyatakan: "Kita tidak seharusnya berdebat tentang purgatorium, tetapi kita mempercayakan diri kita pada ajaran Gereja Kudus",[62] mengimplikasikan bahwa, menurut pendapat seorang teolog Gereja tersebut, kedua belah pihak dapat saja bersepakat untuk tidak sepakat pada opini-opini dan spekulasi-spekulasi teologis mengenai apa yang disebut Purgatorium, namun terdapat kesepakatan penuh pada dogma esensial.[63] Antara Gereja Latin dan sejumlah Gereja Katolik Timur lainnya, seperti Gereja Katolik Siro-Malabar, tidak terdapat perbedaan seputar opini-opini teologis tentang Purgatorium.[64][65] Gereja Katolik Timur yang tergabung dalam Tradisi Siria (seperti Katolik Kaldea, Maronit, dan Siria), pada dasarnya percaya pada konsep Purgatorium namun menggunakan istilah yang berbeda, misalnya 'Sheol'. Mereka menyatakan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan doktrin Katolik-Latin.[66] Gereja Ortodoks TimurGereja Ortodoks Timur menolak istilah "purgatorium", namun mengakui adanya suatu keadaan peralihan setelah kematian jasmani. Mereka meyakini adanya penentuan Surga dan Neraka seperti yang dinyatakan dalam Alkitab, dan bahwa doa bagi orang yang telah meninggal dunia adalah perlu. Menurut Keuskupan Agung Ortodoks Yunani Amerika:
Ajaran Ortodoks Timur adalah bahwa, sementara semua orang menjalani Penghakiman Khusus seketika setelah meninggal dunia, baik orang yang dibenarkan maupun orang fasik tidak mencapai keadaan akhir kebahagiaan ataupun hukuman sebelum hari terakhir,[68] dengan beberapa pengecualian bagi jiwa-jiwa yang dibenarkan seperti Theotokos (Santa Perawan Maria), "yang diusung oleh para malaikat langsung menuju surga".[69] Gereja Ortodoks Timur berpegang pada keyakinan bahwa diperlukan adanya suatu keadaan peralihan setelah kematian yang di dalamnya orang percaya disempurnakan dan dibawa menuju pengilahian sepenuhnya, suatu proses pertumbuhan dan bukan hukuman, yang disebut purgatorium oleh sejumlah kalangan Ortodoks.[70] Teologi Ortodoks Timur umumnya tidak mendeskripsikan keadaan arwah sebagai situasi yang melibatkan penderitaan ataupun api, kendati mendeskripsikannya sebagai suatu "kondisi yang mengerikan".[71] Jiwa-jiwa dari arwah yang dibenarkan berada dalam keadaan terang dan istirahat, dengan suatu rasa pendahuluan kebahagiaan kekal; tetapi jiwa-jiwa dari orang fasik berada dalam suatu keadaan yang sebaliknya. Sementara jiwa-jiwa yang berpulang dengan iman, tetapi "tanpa sempat menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan..., dapat dibantu menuju tercapainya suatu kebangkitan yang diberkahi [pada akhir zaman] melalui doa-doa yang dipersembahkan demi kepentingan mereka, khususnya yang dipersembahkan dalam persatuan dengan persembahan kurban tak berdarah dari Tubuh dan Darah Kristus, serta melalui karya-karya belas kasih yang dilakukan dengan iman demi kenangan akan mereka."[72] Keadaan yang dialami jiwa-jiwa seperti demikian sering kali disebut sebagai "Hades".[73] Pengakuan Iman Ortodoks Peter Mogila (1596–1646), yang diadopsi, dalam sebuah terjemahan Yunani oleh Meletius Syrigos, melalui Konsili Jassy tahun 1642, di Rumania, mengakukan bahwa "banyak yang dibebaskan dari penjara neraka ... melalui karya-karya baik dari mereka yang masih hidup di dunia ini dan doa-doa Gereja bagi mereka, hampir semuanya melalui kurban tak berdarah, yang dipersembahkan pada hari-hari tertentu bagi semua yang masih hidup di bumi dan yang telah meninggal dunia" (pertanyaan 64); dan (di bawah judul "Bagaimana orang harus memandang api purgatorial?") "Gereja dengan tepat melakukan doa-doa dan kurban tak berdarah bagi mereka, namun mereka tidak membersihkan diri mereka sendiri dengan menderita sesuatu. Tetapi, Gereja tidak pernah berpegang pada hal-hal yang berkenaan dengan kisah-kisah fantastis dari beberapa kalangan mengenai jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia, yang tidak melakukan silih dan dihukum, seakan-akan, dalam aliran sungai, mata air, dan rawa-rawa" (pertanyaan 66)."[74] Sinode Yerusalem (1672) Ortodoks Timur menyatakan bahwa "jiwa-jiwa dari mereka yang telah tertidur tidak berada dalam istirahat ataupun dalam siksaan, menurut apa yang telah diperbuat masing-masing" (suatu kenikmatan ataupun hukuman yang hanya akan dituntaskan setelah kebangkitan orang mati); tetapi sebagian jiwa "pergi ke dalam Hades, dan di sana menanggung hukuman akibat dosa-dosa yang mereka lakukan. Tetapi mereka sadar akan pembebasan mereka dari sana pada masa mendatang, dan diberikan oleh Kebaikan Tertinggi, melalui doa-doa para Imam, dan karya-karya baik yang dilakukan bagi Yang Berpulang oleh kerabat mereka masing-masing; secara khusus Kurban tak berdarah memberikan manfaat yang paling besar; yang dipersembahkan masing-masing terutama bagi kerabatnya yang telah tertidur, dan yang dipersembahkan setiap hari oleh Gereja Katolik dan Apostolik bagi semua yang serupa keadaannya. Tentu saja dipahami bahwa kita tidak mengetahui waktu pembebasan mereka. Kita tahu dan percaya bahwa ada pembebasan sedemikian dari kondisi mengerikan mereka, serta sebelum penghakiman dan kebangkitan umum, tetapi kita tidak mengetahuinya kapan."[71] Beberapa kalangan Ortodoks percaya pada suatu ajaran tentang adanya "rumah tol aerial" bagi jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia. Menurut teori tersebut, yang ditolak oleh kalangan Ortodoks lainnya tetapi terdapat dalam himnologi Gereja Ortodoks,[75] "setelah kematian seseorang jiwanya meninggalkan tubuhnya dan dihantar kepada Allah oleh malaikat-malaikat. Selama perjalanan ini, jiwa melintasi suatu dunia aerial ("udara") yang dikuasai oleh roh-roh jahat. Jiwa menjumpai roh-roh jahat itu di berbagai titik yang disebut sebagai 'rumah-rumah tol' tempat roh-roh jahat kemudian berusaha untuk menuduhnya karena dosa dan, bila memungkinkan, menarik jiwa ke dalam neraka."[76] YudaismeDalam Yudaisme, Gehenna merupakan suatu tempat pemurnian yang, menurut sejumlah tradisi, kebanyakan orang berdosa menghabiskan waktu hingga satu tahun sebelum dibebaskan. Pandangan Yahudi tentang purgatorium dapat ditemukan dalam ajaran golongan Shamai: "Pada hari penghakiman terakhir akan ada tiga golongan jiwa: yang dibenarkan akan segera dituliskan untuk kehidupan abadi; yang fasik, untuk Gehenna; tetapi mereka yang kebajikan dan dosanya mengimbangi satu sama lain akan turun ke Gehenna serta melayang ke atas dan ke bawah sampai mereka naik dalam kemurnian; karena atas mereka dikatakan: 'Aku akan menaruh yang sepertiga itu dalam api dan akan memurnikan mereka seperti orang memurnikan perak. Aku akan menguji mereka, seperti orang menguji emas' [Zakaria 8:9]; juga, 'Ia [TUHAN] menurunkan ke dalam [Sheol] dan mengangkat dari sana'" (1 Samuel 2:6). Golongan Hilel tampaknya tidak memiliki purgatorium; karena mereka mengatakan: "Ia yang berlimpah kasih setia menghendaki keseimbangan ke arah belas kasih, dan konsekuensinya yang dalam peralihan tidak turun ke dalam Gehenna" (Tosef., Sanh. xiii. 3; R. H. 16b; Bacher, "Ag. Tan." i. 18). Mereka masih berbicara tentang suatu keadaan peralihan. Mengenai waktu berlangsungnya purgatorium, pendapat yang diterima dari Rabi Akiba adalah 12 bulan; menurut Rabi Yohanan bin Nuri hanya 49 hari. Kedua pendapat itu didasarkan pada Yesaya 66:23–24: "Bulan berganti bulan, dan Sabat berganti Sabat, maka seluruh umat manusia akan datang untuk sujud menyembah di hadapan-Ku, firman TUHAN. Mereka akan keluar dan akan memandangi bangkai orang-orang yang telah memberontak kepada-Ku. Di situ ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam"; Rabi Akiba menafsirkan kata-kata "bulan berganti bulan" untuk menandakan semua bulan dalam setahun; Rabi Yohanan menafsirkan kata-kata "Sabat berganti Sabat" sesuai dengan Imamat 23:15–16, untuk menandakan tujuh minggu. Selama dua belas bulan tersebut, dimaklumkan baraita (Tosef., Sanh. xiii. 4–5; R. H. 16b), jiwa-jiwa dari orang fasik dihakimi, dan setelah dua belas bulan berakhir mereka dibinasakan dan diubah menjadi abu di bawah kaki-kaki orang yang dibenarkan (menurut Maleakhi 4:3), sedangkan para penghujat dan penggoda ulung menjalani siksaan kekal di Gehenna tanpa akhir (menurut Yesaya 66:24). Namun, mereka yang dibenarkan dan—menurut beberapa kalangan—juga para pendosa di antara orang-orang Israel untuk siapa Abraham bersyafaat, karena mereka menyandang tanda perjanjian Abraham, tidak dirugikan oleh api Gehenna bahkan ketika mereka diharuskan melewati keadaan peralihan purgatorium ('Er. 19b; Ḥag. 27a).[77] Lihat pula
CatatanReferensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Purgatory.
|