Musthafa Husein al-Mandili
Syekh Haji Musthafa Husein Nasution bin Husein Nasution bin Umar Nasution al-Mandaili (lahir di Tano Bato, Mandailing Natal, Sumatera Utara, 1886 – meninggal di Padang Sidempuan, Sumatera Utara, 16 November 1955 pada umur 69 tahun) adalah seorang Ulama terkemuka di Sumatera Utara yang meninggalkan karya bangunan keislaman monumental Madrasah di Purba Baru Mandailing Tapanuli Selatan,[2] yaitu Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Saat ini nama Syekh Musthafa Husein diabadikan pada salah satu gedung utama di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan yang berembiro dari Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara.[3] Ponpes Musthafawiyah sebagai asal sejarah tumbuhnya Nahdlatul Ulama di Sumatera Utara yang dibawa oleh Syekh Musthafa Husein pada 1945 dan diresmikan pada Februari 1947 di Padangsidimpuan.[4] Tahun 1936 pemerintah Belanda memberikan bintang jasa padanya atas usahanya dalam bidang pendidikan.[3] Pada masa Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka ia bersama ulama seperti Syekh Ja’far Abdul Kadir al-Mandily dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan fatwa wajib (fardu’ain) bagi setiap Muslim yang mukalaf mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda.[3] Syekh Musthafa Husein tidak hanya seorang Ulama besar, tetapi dia juga adalah seorang wiraswasta dan sekaligus sebagai politikus dan cendekiawan yang ikut menghantarkan kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme Belanda dan Jepang.[5] Dia juga adalah seorang Tokoh Pergerakan,[5] seorang Ulama Mujahid, penggerak dan pelopor bagi persatuan dan kebangunan umat, sehingga Madrasah Musthafawiyah dapat dianggap sebagai pesantren pelopor dan perintis bagi perkembangan ilmu pengetahuan agama pada awal abad ke-20, khususnya di Tapanuli bagian Selatan, umumnya Sumatera Utara.[6] Madrasah yang pertama didirikan di Mandailing adalah Madrasah Islamiyah yang dibangun oleh Syekh Musthafa Husein di Tano Bato, Kayu Laut sekitar tahun 1912,[7] kemudian beliau pindah ke desa Purba Baru pada tahun 1915, di tempat inilah dilanjutkan pendidikan Islam yang kemudian bernama Madrasah / Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing. Setelah berdiri lembaga pendidikan Islam di Purba Baru, kemudian berdiri pula beberapa Madrasah Islamiyah di daerah lain antara tahun 1927 sampai 1935.[7] Lembaga pendidikan Islam ini cukup besar peranannya dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Mandailing.[7] Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, telah memiliki alumni terbesar di seluruh pelosok Nusantara, banyak alumni Musthafawiyah yang melanjutkan kuliah ke berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri dan telah berhasil di berbagai bidang.[8] Di Musthafawiyah, Syekh Musthafa Husain dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Tobang, dan seorang menantunya[9] yang bernama Syekh Abdul Halim Khatib sebagai Rais al-Mu‘allimin dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Poso.[10] Dalam bahasa Mandailing, poso artinya muda.[10] Karena itu, Tuan Guru na Poso berarti tuan guru yang muda.[10] Pada satu sisi, memang usia Syekh Abdul Halim Khatib jauh lebih muda dibanding Syekh Musthafa Husain.[10] Namun, sebutan na poso tersebut lebih dimaksudkan agar masyarakat dapat membedakan antara kedua kiai tersebut.[10] Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru adalah pondok klasik yang mempelajari kitab-kitab kuning, di antara kitab-kitab yang dipelajari di pesantren ini adalah Hasyiyah Al-Bajuri, Tafsir al-Jalalain, Hasyiyah Syarqawy ‘ala At-Tahrir, Bulughul Maram, Syarh Ibn A'qil, Kawakib Ad-Duriyyah, Matn Arba‘in Al-Nawawiyah, Hasyiyah Dusuki ‘ala Ummi al-Barahin dan lain-lain.[11] K.H. Sirajuddin Abbas telah memasukkan nama Syeikh Musthafa Husein di dalam bukunya “Keagungan Mazhab Syafii” sebagai penyebar Mazhab Syafiiyyah di Indonesia.[11] Pada awalnya, lembaga pendidikan Islam yang dibangun Syekh Musthafa Husain disebut sekolah Arab atau maktab, Kemudian, pada tahun 1950-an, atas usul Syekh Ja’far Abdul Wahab, sebutan maktab diganti dengan Madrasah Musthafawiyah, akhirnya, pada tahun 1990-an, sebutan madrasah diganti dengan Ma‘had atau Pondok Pesantren Musthafawiyah Purbabaru.[12] Silsilah dan kelahiranMuhammad Yatim lahir pada pada tahu 1303 H / 1886 M di desa Tanobato,[13] Kayu Laut, Mandailing. Keadaan masyarakat di Tanobato saat itu sangat menyedihkan akibat perlakuan penjajah Belanda yang memberlakukan sistem tanam paksa bagi para petani.[14] Pemerintah kolonial Belanda pada masa sebelumnya membawa sistem paksa dalam penanaman kopi beserta pengangkutannya dari pedalaman ke pantai. Pada masa itu pemerintah kolonial membangun pergudangan kopi di Pekantan di daerah pedalaman Sumatra di dekat perbatasan dengan daerah Pasaman, Sumatera Barat, Muarasipongi, Kotanopan, Maga, Pasar Tanobato,Tapus dan Natal [butuh rujukan] . Muhammad Yatim lahir dari keluarga yang taat beragama, ayahnya bernama Haji Husein bin Umar Nasution.[15] Haji Husein adalah seorang saudagar shalih, menekuni bidang usaha dagang hasil pertanian seperti beras, karet, kopi dan cengkih.[16] Haji Husein berasal dari Huta (Desa) Purbabaru, namun kakek-kakeknya berasal dari Panyabungan Julu [butuh rujukan]. Ibu dari Muhammad Yatim adalah Hajjah Halimah, berasal dari Ampung Siala, Batang Natal [butuh rujukan] . Keluarga Haji Husein dan Hajjah Halimah dikarunianya sembilan (9) orang anak. Muhammad Yatim adalah anak ke 3, mereka adalah :
Sekolah di Kayu Laut & Sutan GuruDalam usia tujuh tahun, Muhammad Yatim disekolahkan oleh ayahnya di sekolah rakyat (Volk School) di Kayu Laut.[17] Pada masa ini, beliau belajar selama lima tahun, setelah menyelesaikan pendidikan di masa ini, seorang gurunya (Sutan Guru) meminta kepada orang tua Muhammad Yatim agar Muhammad Yatim melanjutkan ke jenjang Sekolah Raja di Bukittinggi,[18] karena gurunya tersebut menilai bahwa Muhammad Yatim adalah anak yang cerdas dan cukup mampu.[19] Akan tetapi, orang tua Muhammad Yatim lebih cenderung menginginkan anaknya untuk belajar agama Islam kepada Syekh Abdul Hamid di Huta Pungkut,[19] Kotanopan. Huta Pungkut & Syekh Abdul Hamid LubisHuta pungkut pada masa itu adalah termasuk ke dalam wilayah Ke-Kuriaan Tamiang, adalah desa yang dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh pejuang kebangsaan dan orang terpelajar.[20] Huta Pungkut adalah Desa kecil di wilayah Kotanopan, Mandailing, Sumatera Utara, disana lahir seorang Pahlawan Nasional Indonesia, Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution. Di Huta Pungkut, Muhammad Yatim belajar kepada Syekh Abdul Hamid Lubis. Syekh Abdul Hamid Lubis Huta Pungkut adalah seorang alumni Makkah,[6] yang merupakan kerabat dari keluarga Muhammad Yatim.[14] Ulama besar ini terkenal sebagai Ahli Fiqih.[21] Selama di Makkah, Syekh Abdul Hamid adalah sahabat seperguruan dari Haji Rasul (Ayah Buya HAMKA) dan juga sahabat dari K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).[22] Ketiga Tokoh ini dikenal sejarah memiliki persahabatan yang sangat erat, hingga melintasi organisasi yang mereka dirikan.[22] Setelah 10 tahun belajar di kota suci Makkah, Syekh Abdul Hamid kemudian kembali ke tanah air pada tahun 1895 dengan sambutan hangat dan meriah dari sanak saudara dikampung halamannya sebab mendengar seorang Abdul Hamid telah pulang dari berguru kepada Ulama Makkah yang namanya masyhur di Nusantara, seperti Syekh Abdul Kadir Mandily,[22] dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawy. Pada masa itu di Huta Pungkut telah ada seorang Ulama yang nantinya dikenal dekat dengan Syekh Abdul Hamid, adalah Syekh Sulaiman al-Khalidi (1841-1917), Syekh tarekat Naqsyabandi, merupakan salah seorang khalifah Abdul Wahab Rokan [23] Muhammad Yatim belajar kepada Syekh Abdul Hamid Lubis sekiar tiga tahun (1897 M - 1900 M) dengan sistem belajar yang bukan formal, yang mana beliau tinggal bersama dengan Syekh Abdul Hamid Lubis [24] Pengajiannya hanya sekali seminggu yaitu pada setiap hari Ahad [butuh rujukan]". Selain itu, Muhammad Yatim mengikuti Syekh Abdul Hamid berkebun kopi yang jaraknya 3 Kilometer dari desa Huta Pungkut [butuh rujukan]". Tidak jarang mereka bermalam di kebun dan baru kembali ke desa menjelang pengajian berlangsung [butuh rujukan]". Kedekatannya dengan guru telah menghasilkan perilaku Islami pada diri Muhammad Yatim dan pada dirinya semakin tumbuh suatu keyakinan dan kepercayaan yang kuat untuk lebih giat belajar ilmu pengetahuan Islam.[24] Atas bimbingan Syekh Abdul Hamid inilah muncul semangat pada diri Muhammad Yatim untuk memperdalam ilmu agamanya di Makkah, demikian pula Haji Husein (orangtuanya) yang juga berharap dan bercita-cita agar anaknya dapat belajar di Makkah. Atas anjuran Syekh Abdul Hamid Lubis, maka kemudian diambil kesepakatan untuk memberangkatan Muhammad Yatim merantau ke Makkah bersama jama'ah haji dari Mandailing pada masa itu.[24] Merantau & nama Musthafa HuseinMuhammad Yatim berangkat ke Makkah pada bulan Rajab tahun 1319 H[24] (sekitar bulan oktober-november tahun 1901 M [25]). Bersamaan dengan Muhammad Nuh bin Syekh Sihabuddin dari Mompang Julu, Panyabungan.[24] Selama di Makkah, Muhammad Yatim tinggal dengan keluarga Syekh Sihabuddin, kemudian dengan keluarga Syekh Abdul Qadir al-Mandaili.[24] Pada waktu itu Syekh Ja'far dan Syekh Muhammad Ya'cub anak Syekh Abdul Qadir masih dibawah usia Muhammad Yatim.[26] Pada tahun 1319 H, setelah selesai wukuf di Arafah , Muhammad Yatim berganti nama Musthafa Husein, pergantian nama ini dilakukan di Mina.[27] Lima tahun pertama di MakkahDi Makkah, Musthafa Husein belajar agama Islam di Masjidil Haram dengan sistem Halaqah (duduk bersila mengelilingi guru) sampai dengan lima tahun.[26] Setelah lima tahun di MakkahSetelah masa lima tahun belajar dengan sistem Halaqah, Musthafa Husein merasa belum mendapat ilmu pengetahun Islam dengan sempurna, maka ia berencana untuk berangkat ke negeri Mesir untuk mendalami ajaran Islam.[26] Walaupun belum ada konsultasi dengan orang tuanya di kampung halaman, barang-barang telah dikemas dan hanya menunggu waktu keberangkatan.[26] Disaat menunggu keberangkatan (dengan kapal), Musthafa Husein bertemu dengan salah seorang pelajar yang berasal dari Palembang, yang juga sedang menuntut ilmu agama Islam di Masjidil al-Haram Makkah.[26] Kepada pelajar ini Muhammad Yatim menuturkan bahwa dia akan pindah belajar dari Masjidil Haram Makkah menuju Mesir.[butuh rujukan] Pelajar yang berasal dari Palembang tersebut mengajak Musthafa Husein berdiskusi serta membantu menjelaskan pelajaran yang ada selama ini di Masjid al-Haram Makkah.[butuh rujukan] Rencana keberangkatan ke Negeri Mesir dibatalkan setelah mendapat bimbingan dan pemikiran dari seorang yang berasal dari Palembang.[26] Setelah mendapat masukan tersebut, Musthafa Husein menjadi lebih konsentrasi dan percaya diri untuk belajar di Masjidil al-Haram Makkah.[26] Seterusnya Musthafa Husein kembali belajar di Masjid al-Haram dan para gurunya mulai mengenalnya lebih baik.[butuh rujukan] Guru-gurunyaBidang keilmuan islam yang dipelajari oleh Musthafa Husein dari para ulama yang spesialis dibidangnya adalah seperti : Ulumul Qur'an dan Ilmu Tafsir , Ulumul Hadist dan Mustholahul Hadist, Bahasa arab beserta tata bahasanya (Nahwu dan Shorof), Fikih dan Ushul Fiqh, Tauhid, Ilmu Falak, Balaghah, Ilmu 'Arud dan Barzanji, serta Ilmu Tasawwuf (bukan ilmu tarekatnya).[28].[29][30]
— H. M. Nasir, LC, MA; 2012 ; Wakil Sekretaris Dewan Fatwa Pengurus Besar Al Washliyah [31]
Mengajar di MakkahDalam kurun waktu yang relatif singkat, yakni tujuh tahun,[32] Musthafa Husein telah berhasil menamatkan pelajarannya di Madrasah Al-Shaulatiyah Al-Hindiyah [33][34] di Makkah. Kemudian diizinkan mengajar di sana,[35] dengan tanpa mengurangi waktu belajar, secara khusus kemahiran Musthafa Husein adalah pada bidang Ilmu Fikih.[32] Wafatnya Haji Husein & Panggilan IbundaSelama 13 tahun,[36][37] Musthafa Husein bermukim sekaligus mendalami ilmu agama di Makkah, yakni mulai tahun 1319 H hingga 1332 H. Musthafa Husein tidak pernah pulang ke tanah airnya selama di Makkah sehingga hubungan dengan keluarga di tanah air adalah melalui jama'ah haji ataupun keluarga yang datang dari Mandailing.[38] Sebagaimana layaknya perantau yang sedang menimba ilmu dan cinta akan tanah airnya, Musthafa Husein amat memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesempatan yang dimilikinya. Hingga pada tahun 1330 H (diantara desember 1991 M sd desember 1912 M [25]), beliau mendengar berita wafatnya Haji Husein (ayahnya), beberapa waktu kemudian[39] Sang ibu memanggil Musthafa Husein agar pulang ke Mandailing, panggilan ibunda itu dipenuhinya, tepat pada tanggal 1 Muharram beliau meninggalkan Makkah, setelah melaksanakan ibadah haji.[40] Pulang kampungMusthafa Husein tiba di Mandailing pada bulan Rabiul awal tahun 1332 H[41] (sekitar bulan Januari - Februari 1914 M. [25]), untuk menjawab panggilan sang ibu dan juga untuk berziarah ke makam ayahnya. Sesudah berziarah ia merencanakan akan kembali ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama Islam yang dirasanya belum memadai[41]. Namun, setelah kembali bersama keluarganya di Mandailing, beliau tidak lagi diperbolehkan untuk kembali ke Makkah. Hal itu dipenuhinya dengan ikhlas atas permintaan keluarga dan masyarakat yang membutuhkan guru agama Islam dan untuk mengembangkan syariat Islam di Mandailing.[41] PernikahanPada bulan syawal tahun 1332 H (sekitar bulan agustus - september 1914 M [25]), atas permintaan keluarganya, Musthafa Husein menikah dengan seorang gadis bernama Habibah, yang asalnya dari Huta Pungkut, Kotaponan,[41] seorang yang masih merupakan kerabat dekat dari Abdul Haris Nasution yang saat itu masih usia belia [42].[43] Peristiwa itu adalah masuk dalam bulan ke-7 (tujuh) setelah tiba pada bulan Rabiul awal di Mandailing. Nantinya, pasangan ini dikaruniai 10 (sepuluh) orang anak, yakni 2 (dua) orang anak laki-laki dan 8 (delapan) orang anak perempuan.[44] Anak perempuan yang pertama nantinya dinikahkan dengan Syekh Muhktar Siddik, anak perempuan yang kedua dinikahkan dengan Syekh Ja'far Abdul Wahab [45] Dakwah, ketokohan & pengaruhSurau di Tano BatoSetelah beliau tinggal di Mandailing, Musthafa Husein mulai mengajar di surau dan masjid yang ada di sekitar pasar Tanobato [32] atau dan rumah-rumah masyarakat yang dengan sengaja mengundang beliau untuk memberikan pengajaran dan ceramah agama [10] Melalui pengajian-pengajian inilah, Syekh Musthafa Husain banyak menerima saran dan masukan dari masyarakat agar beliau mendirikan madrasah.[10] Untuk maksud itu, masyarakat berjanji akan memberikan bantuan dan partisipasi aktif mereka.[10] Saran dan masukan masyarakat tersebut disahuti Syekh Musthafa Husain dengan mendirikan madrasah di desa kelahirannya, Tano Bato Kayulaut. Sekolah ArabSyekh Musthafa Husein pertama kali mendirikan Madrasah adalah di desa Tanobato Kayulaut.[46] Ketika pertama dibuka, santri madrasah yang didirikan Syekh Musthafa Husain ini hanya terdiri dari puluhan orang saja dan masih terbatas pada masyarakat di sekitar lingkungan madrasah.[10] Ketika itu, madrasah yang didirikan Syekh Musthafa Husain lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Sekolah Arab,[10] perguruan Islam ini mulanya bernama Madrasah Musthafawiyah dengan jenjang pendidikan tingkat Tsanawiyah ula dan tsanawiyah ulya.[47]
— Dr. H. Abbas Pulungan; 2017; Dosen dan Kepala Puslit IAIN Sumatera Utara [48]
Kehadiran lembaga pendidikan Islam dalam masyarakat mandailing dan sekitarnya telah memberikan peluang yang sangat besar bagi ummat Islam untuk mendapat pendidikan, karena pada masa itu lembaga pendidikan setingkat sekolah lanjutan belum ada kecuali sekolah keguruan (umum).[48] Dengan demikian, masyarakat yang mempunyai anak setelah tamat sekolah rendah/sekolah rakyat dapat melanjutkan lebih tinggi diatasnya di Madrasah Musthafawiyah [48] Tanobato sebagai lokasi Madrasah yang dibangun oleh Syekh Musthafa Husein cukup strategis, karena daerah ini menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan transportasi antara daerah Mandailing dengan daerah Natal sebagai pelabuhan laut pantai barat Sumatra.[49] Kepopuleran Syekh Musthafa Husein terus berkembang karena banyak memberikan pengajian dan ceramah agama di desa-desa Mandailing.[49] Bencana alam di TanobatoHari minggu pagi menjelang shubuh pada 28 November 1915 terjadi banjir dan bencana alam yang menghanyutkan rumah dan pemukiman penduduk desa termasuk gedung sekolah arab (madrasah).[49] Setelah bencana banjir berlalu, masyarakat ternyata mendesak Syekh Musthafa Husain untuk mendirikan kembali perguruan Islam yang telah dibangunnya.[50] Ketika itu, ada dua kelompok masyarakat yang menyampaikan tawaran kepada Syekh Musthafa Husain.[50] yaitu :
Akhirnya, dengan pertimbangan yang matang dan atas saran keluarga, Syekh Musthafa Husain memutuskan untuk menerima tawaran kedua, yaitu pindah ke Purbabaru.[50] Keputusan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa Purbabaru memiliki letak atau lokasi yang sangat strategis, yaitu tepat di jalur lintas Sumatra dan merupakan wilayah yang dapat menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.[50] Hijrah ke Purba BaruPada tahun 1915, Syekh Musthafa Husein dan keluarganya hijrah ke Purba Baru.[50] Awalnya, murid-murid yang turut menyertai Syekh Musthafa Husein dari Tanobato hanya berjumlah 20 orang.[32] Diantara muridnya yang ikut serta adalah Abdul Halim Khatib (Tuan Na Poso),[50] yang nantinya setelah dari Musthafawiyah melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Al-Shaulatiyah Makkah selama 7 tahun.[32] Tuan Na Poso telah turut belajar sejak tahun 1915 bersama murid-murid tersebut.[51] Sejak saat itu, Syekh Musthafa Husein mengajar di sana dengan dibantu oleh seorang muridnya semasa di Makkah yang bernama Muhammad Nasir.[32] Desa Purba Baru saat ini masuk dalam kecamatan Lembah Sorik Marapi dengan ibukota Pasar Maga, kabupaten Mandailing Natal, provinsi Sumatera Utara.[12] Desa Purba Baru berjarak 17 kilometer dari kota Panyabungan sebagai ibu kota kabupaten Mandailing Natal, berjarak 90 kilometer dari kota Padangsidempuan, berjarak 500 kilometer dari kota Medan, ibu kota Sumatera Utara, dan berjarak 247 kilometer dari kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat.[12] Desa ini diapit oleh dua bukit yang dalam bahasa Mandailing disebut tor, yaitu Tor Roburan di sebelah barat dan Tor Aek Tapus di sebelah timur.[12] Sepanjang desa ini mengalir sungai yang dalam bahasa Mandailing disebut aek, yaitu Aek Singolot yang mengandung zat belerang karena berasal dari Gunung Sorik Marapi yang masih aktif, dan bermuara ke Sungai Batang Gadis, atau dalam bahasa Mandailing Aek Godang di desa Aek Godang yang bertetangga dengan desa Purba Baru.[12] Sungai lain yang mengalir di desa Purba Baru, tepatnya di sebelah timur adalah Aek Tapus yang daerah alirannya menyusuri Tor Aek Tapus.[12] Pada awalnya di Purba Baru, Syekh Musthafa Husein tinggal pada satu rumah, lokasi rumah itu nantinya berdekatan dengan masjid yang baru, di masjid itulah beliau mengadakan pengajian dengan masyarakat yang berdatangan dari desa atau kampung sekitar Purba Baru.[50] Di sana, murid-murid belajar dengan cara ber-halaqah, duduk bersila.[32] Sejak tahun 1916, murid semakin bertambah, sehingga mencapai kurang lebih 60 orang.[51] Para murid yang datang dari luar mulai mendirikan pondok-pondok atau gubuk-gubuk kecil untuk tempat tinggal karena asrama tidak lagi dapat menampung murid yang setiap tahun meningkat tajam.[52] Mereka bertempat tinggal di rumah-rumah kecil dengan ukuran rumah/gubuk berukuran sekitar 2 m x 2,5 m yang terbuat dari dinding tepas bambu dan atapnya dari daun nipah/rumbia ataupun ilalang.[53] Pada tanggal 1 Ramadhan 1339 H (9 Mei 1921 M [25]), Syekh Musthafa Husein secara resmi menempati rumah baru, lokasinya adalah berada pada sebidang tanah di pinggir jalan raya yang disediakan oleh masyarakat Purba Baru untuk beliau membangun rumah permanen.[50] Syekh Musthafa Husein mendirikan satu unit gedung di samping rumahnya Pada tahun 1927.[51] Ruangan kelas permanenPada tanggal 10 Rajab 1350 H atau 21 November 1931 M tempat belajar berupa bangunan permanen telah selesai dibangun dan mulai dipergunakan.[50] Ruangan untuk belajar yang dibangun oleh Syekh Musthafa Husein adalah 1 (satu) unit dengan luas ukuran 8 m x 6 m, bangunan ini praktis dipergunakan untuk belajar pada tahun 1931 M, yang mana sebelumnya masih bersifat darurat dengan jumlah 3 (tiga) ruangan.[54] Setelah sarana belajar tersedia secara permanen, murid-murid mulai berdatangan dan terus meningkat tidak hanya masyarakat Mandaiing, tetapi meluas sampai Angkola, Padang Lawas, Sipirok, Barumun dan Tapanuli Tengah.[52] Syarikat Islam (SI)Pada tahun 1915, Syekh Musthafa Husein berkiprah dalam bidang pergerakan politik, dan sebagai Ketua Syarikat Islam Cabang Tano Bato.[5] Namun pada saat itu baru beberapa tahun berjalan, telah terjadi perpecahan di kalangan masyarakat, terutama berkaitan dengan masalah khilafiyah.[5] Selanjutnya dia berusaha ke arah Persatuan Islam, khususnya di Tapanuli. Persatuan Muslim Tapanuli (PMT)Pada tahun 1930, atas anjuran Syekh Musthafa Husein berdirilah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT) yang berdomisili di Padangsidimpuan, di mana beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Syar’iy.[5] Selanjutnya pada tahun 1933, Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi penasehat PMT.[55] Organisasi ini didirikan dengan berupa penolakan terhadap pemakaian madzhab dalam Thawalib pada tahun 1930.[56] Syekh Musthafa Husein Purbabaru adalah pendirinya dan setelah kemerdekaan, organisasi ini bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang menebar di Sumatera Utara [56] Amanah untuk Tuan Na PosoSekitar tahun 1935, setelah tenaga pengajar atau tuan guru di Madrasah Musthafawiyah dirasakan telah mencukupi dan mampu memenuhi kebutuhan, Syekh Musthafa Husein memberikan semacam kepercayaan kepada Syekh Abdul Halim Khatib mengajar di kelas 7 (tujuh) Madrasah Musthafawiyah dan juga kewenangan dalam pengembangan keilmuan Islam, termasuk mangatur dan menetapkan tenaga-tenaga pengajar disetiap kelas.[57] Bertani, wiraswasta, organisasi sosial dan IslamSekitar tahun 1935 sampai dengan kemerdekaan Republik Indonesia, Syekh Musthafa Husein merasakan bahwa sistem pendidikan di Madrasah Musthafawiyah telah dapat berlangsung dengan baik, beliau mulai mengembangkan usaha dagangnya yang dimulai dari hasil perkebunan karet kepunyaannya sendiri, perkebunan yang cukup luas dan dirintisnya bersama dengan para murid-murid dengan tujuan untuk mendapatkan modal dan pengembangan biaya Madrasah Musthafawiyah.[57] Perkebunan karet itu ada yang berlokasi di Purba Lama dan Jembatan Merah, dan adapula perkebunan buah rambutan yang cukup luas di sekitar daerah Aek Godang.[58] Syekh Musthafa Husein termasuk salah seorang yang pertama sekali melaksanakan praktek perkebunan secara modern di daerah Mandailing.[58] Selain itu untuk menyatukan ummat Islam dan merealisasikan perjuangannya, Syekh Musthafa Husein mulai aktif dalam gerakan dan membangun organisasi sosial serta keagamaan Islam [57] Al Jam'iyatul WashliyahPada tahun 1936, Syekh Musthafa Husein menghadiri kongres pertama Al Jam'iyatul Washliyah dan diangkat menjadi Penasehat Pengurus Besar Jam'iyatul Washliyah.[55][59] Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)Pada tahun 1939, atas inisiatif dan anjuran Syekh Musthafa Husein dibentuk suatu organisasi Islam dan bersifat sosial dengan nama "Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)",[55] yang merupakan perkumpulan bagi alumnus-alumnus pesantren Mushtafawiyah Purbabaru, dengan bertujuan untuk menyatukan pelajaran-pelajaran di semua sekolah agama dengan arti yang seluas-luasnya dan berpusat di Purba Baru Mandailing. Anggotanya terdiri dari murid-murid dan alumni Madrasah Musthafawiyah.[55] Organisasi ini sangat cepat berkembang di daerah Mandailing, Angkola, Sipirok, Padang Lawas, dan seluruh wilayah Tapanuli Selatan.[55] Pada tahun 1940, diadakan kongres pertama di Purba Baru yang di hadiri 62 Cabang, dan diambil keputusan Pengurus Besar dipindahdakan dari Purba baru ke Padangsidimpuan. Organisasi "Al-Ittihadidul al-Islamiyyah (AII)" inilah yang menjadi dasar berdirinya Nahdlatul Ulama Sumatera Utara di Padangsidimpuan pada tahun 1947.[60] Dalam perkembangannya ketika NU didirikan oleh tokoh-tokoh Musthafawiyah, al-Ittihadiyah digabungkan ke dalam NU.[61] Zaman JepangDalam rencana revolusi pada zaman Jepang, Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi anggota Tapanuli Syu Syangi Ko Kai dan Kookai.[5] Majelis Islam Tinggi (MIT)Pada tahun 1944, didirikan organisasi islam di Padangsidimpuan dengan nama Majelis Islam Tinggi (MIT) dan Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi ketua umum.[60] Setelah Majelis Islam Tinggi dilebur menjadi Masyarakat Umat Muslim Indonesia (Masyumi), Musthafa diangkat sebagai Penasehat Majelis Syuro Sumatra.[5] Komite NasionalPada tahun 1945, Indonesia Merdeka, Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi anggota Komite Nasional yang berpusat di Kotanopan Mandailing, dan aktif mengikuti pertemuan-pertemuan komite nasional di tingkat Kaesidenan Tapanuli.[60] Tabligh Akbar KemerdekaanKetika Indonesia merdeka pada 1945, alumnus-alumnus Musthafawiyah atas prakarsa Ali Nuddin Lubis berencana mengadakan tabligh akbar di Panyabungan pada tahun 1946 sebagai bentuk rasa sukur atas tercapainya kemerdekaan.[62] Dengan legitimasi dari Syekh Mushtafa Husein dan beberapa ulama lainnya di Tapanuli, tabligh ini berhasil dilaksanakan pada 1946 di salah satu Madrasah Islamiyah Panyabungan.[62] Tabligh dihadiri oleh alumnus-alumnus pesantren Mustafawiyah dan ulama-ulama terkemuka di Tapanuli [62].Syekh Mushtafa Husein adalah seorang ulama unggul dan terkemuka pada saat itu, karena itu legitimasi dan dukungannya dapat diyakini menjadi daya tarik tersendiri bagi ulama lain dan menjadi faktor penentu suksesnya tabligh tersebut.[62] Dalam tabligh ini didapatkan satu kesepakatan baru para Ulama yang hadir di dalamnya untuk mengadakan Kongres Kaum Muslimin se-Tapanuli (Mandailing, Padang Lawas, Angkola, Sipirok Natal, Sibolga) yang akan diadakan tahun berikutnya di Padangsidimpuan.[62] Kongres kaum Muslimin se-TapanuliKongres ini berlangsung pada 7-9 Februari 1947 di Madrasah Islamiyah Kampung Bukit Padangsidimpuan. Kongres ini dihadiri oleh ulama dan tokoh pemuda dari Mandailing, Padang Lawas, Angkola Siprok, Natal dan Sibolga.[62] Dalam kongres tersebut didapatkan kesepakatan di antara ulama dan tokoh pemuda yang berfaham Aswaja untuk mendirikan Nahdlatul Ulama di Tapanuli sebagai cabang dari Nahdlatul Ulama yang berpusat di Jawa.[63] Nahdlatul Ulama (NU)Sejak saat itu NU pun berkembang di Sumatera Utara khususnya di Tapanuli Selatan.[14] Perkembangan NU ini membawa dampak positif bagi misi mempertahankan ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah di Tapanuli Selatan.[14] Syekh Musthafa Husein adalah simbol bagi Nahdlatul Ulama (NU) di Sumatera Utara.[14] Pesantren Musthafawiyah pun menancapkan namanya di bumi nusantara sebagai pusat perkembangan Nahdlatul Ulama di Sumatera Utara.[14] Untuk keanggotaanya sementara, al-Ittihadiyah Islamiyah Indonesia dileburkan kedalam NU sehingga seluruh anggota organisasi tersebut resmi menjadi anggota NU Tapanuli, selain al-Ittihadiyah Islamiyah Indonesia, terdapat empat cabang dari al-Washliyah di Tapanuli yang meminta untuk masuk ke dalam NU.[64] Kongres juga berhasil menetapkan tiga tokoh utama yang bertugas untuk menyusun kepengurusan NU selanjutnya. Mereka adalah H. Bahruddin Thalib Lubis, H. Dja’far Abdul Wahab dan Muhammad Amin Awwal. Ketiga tokoh tersebut berhasil menyusun kepengurusan, dan Syekh Musthafa Husein dipilih sebagai penasehat.[65] Konferensi Nahdlatul UlamaPada Tahun 1950, tiga tahun setelah berdiri di Tapanuli, NU mengadakan konferensi pertama pada 8-10 September 1950 di Padangsidimpuan diikuti oleh seluruh pengurus cabang NU Tapanuli dan perwakilan dari pengurus NU pusat dari Surabaya,[66] adalah Kiai haji Masykur dan K.H. Saifuddin Zuhri.[60] Dalam konferensi ini Syekh Musthafa Husein diangkat menjadi Ketua Majelis Syuriah NU Tapanuli.[60] Pada tahun 1952, Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi utusan Ulama Sumatera Utara menghadiri konferensi Ulama-ulama se-Indonesia yang disponsori Kementerian (Departemen) Agama bertempat di Bandung. Konferensi ini adalah untuk menetapkan awal bulan Ramadhan dan hari raya idul fithri.[60] Setelah Syekh Musthafa Husein kembali dari jawa (Jakarta) setelah mengamati situasi dan perkembangan agama selama melakukan perjalanan di Pulau Jawa, beliau melaksanakan konferensi seluruh muridnya di berbagai daerah.[60]
— Syekh Musthafa Husein; 1952; Konferensi Purbabaru.[67]
Konferensi besar murid dan lulusan Madrasah Musthafawiyah ini berlangsung pada bulan februari 1952 di Madrasah Musthafawiyah Purba Baru, Mandailing dan dihadiri lebih dari seribu orang, dan dihadiri oleh pejabat pemerintah, Raja Djundjungan Lubis, Bupati Tapanuli Selatan saat itu.[60]
— Syekh Musthafa Husein; 1955; Purbabaru.[68]
Konstituante & Pemilihan Umum 1955Pada 1953, Syekh Muthafa Husein menghadiri pertemuan ulama seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Medan, yang mana pertemuan ini membahas tentang hukum memilih anggota konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pemilihan umum tahun 1955 di kalangan ummat Islam [69] Pada tahun 1954, Syekh Musthafa Husein menghadiri rapat syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, yang mana pertemuan ini membahas tentang hukum Islam yang akan dijadikan pedoman bagi ummat Islam, khususnya warga NU pada Pemilihan Umum tahun 1955.[69] Pada 8 Juli 1955, Syeikh Musthafa Husein mengeluarkan seruan yang diterbitkan di media massa dan disebarkan secara massal di kalangan NU pada 22 September 1955 agar memilih tanda NU dalam Pemilu. Salah satu calon NU untuk konstituante adalah Syeikh H. Abdul Djabbar.[70][69] Pada tahun 1955, Syekh Musthafa Husein menjadi calon anggota konstituante / DPR Pusat mewakili Provinsi Sumatera Utara pada Pemilihan Umum 1955 dari Nahdlatul Ulama, namun, belum sempat dilantik, Syekh Musthafa Husein sudah terlebih dahulu berpulang kerahmatullah.[69] , dan kedudukannya digantikan oleh H. Muda Siregar.[5] WafatPada malam rabu 5 November 1955, Syekh Musthafa Husein terkena serangan penyakit, saat itu usianya mencapai 70 tahun, hingga kemudian dibawa ke Padangsidimpuan untuk dirujuk ke rumah sakit.[71] Di Padangsidimpuan, sebelum dibawa ke rumah sakit, beliau dibawa ke rumah menantunya, yakni Syekh Ja’far Abdul Wahhab yang dikenal sebagai "Ayah Mesir", dalam pengawasan dokter, darah tinggi dan diabetes adalah yang menjadi penyakitnya selama sekitar 1 (satu) minggu [71] Ulama bersahaja tersebut menghembuskan napas yang terakhir pada hari Rabu 16 November 1955 / 1 Rabiulawal 1375 H,[71] Pukul 16:15 WIB,[72] di Padangsidimpuan.[14] Jenazahnya dibawa kembali ke Purba Baru pada hari kamis esoknya, dengan iringan yang cukup ramai disertai sambutan penuh haru dan rasa pilu yang mendalam.[71] Desa Purba Baru penuh sesak oleh ribuan orang pelayat yang datang dari berbagai daerah sebagai tanda turut berduka dan untuk memberikan penghormatan terakhir.[71] Sepeninggal Syekh Musthafa, Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru dikelola dan dipimpin oleh putra tertuanya, Haji Abdullah Musthafa Nasution.[14] Sejak mendirikan Madrasah Musthafawiyah sampai wafatnya Syekh Musthafa Husein, kepemimpinan pesantren tetap berada di tangannya.[73] Pada periode tersebut Syekh Musthafa Husein memegang kepemimpinan tunggal (single leader). Ia hanya dibantu oleh seorang sekretaris dan bendahara dalam mengoperasikan pesantren, dan pada akhir jabatannya, ia mewariskan 9 ruang belajar dan 450 orang santri.[73] Aktivitas harianPagi hariSetelah selesai shalat shubuh berjamaah di masjid tetap berada di masjid hingga selesai shalat dhuha, kemudian kembali ke rumah untuk makan pagi bersama dengan keluarga. Setelah selesai makan pagi, beliau berangkat ke maktab/ madrasah sampai dengan menjelang waktu dzuhur.[74] Siang harisetelah selesai shalat zuhur berjamaah kembali ke rumah untuk makan siang bersama dengan keluarga, selanjutnya berangkat ke perkebunan bersama dengan murid-muridnya hingga menjelang waktu ashr. Setelah selesai shalat ashr, kembali lagi ke rumah berkumpul bersama dengan keluarga sembari duduk-duduk dan bermain bersama dengan anak-anak disekitar pekarangan rumahnya hingga menjelang waktu maghrib [74] Malam hariDisaat menjelang waktu magrib, beliau berangkat menuju masjid bersama dengan beberapa muridnya, sebahagian murid ada yang membawa lampu, dan adapula yang membawa kitab yang akan dikaji setelah selesai shalat maghrib, para murid duduk melingkar dan Syekh Mustafa Husein duduk ditengah diatas kursi.[74] Pengajian ini berlangsung hanya antara waktu magrhrib dan isya setiap harinya.[74] Setelah selesai shalat isya berjamaah beliau kembali ke rumah bersama dengan muridnya dan pada malam hari selalu membaca Alqur'an sampai larut malam, dan pada tengah malam beliau selalu melaksanakan shalat tahajjud.[74] Catatan akhir
Daftar Pustaka
Pranala luar
Lihat Pula
|