Abdul Karim Tebuwung
KH. Abdul Karim Tebuwung (lahir di Babat, Lamongan, Senin Wage 11 Syawal 1245 H (5 April 1830), meninggal di Dukun, Gresik, Selasa Legi, 28 Dzulhijah 1313 H (9 Juni 1896) pada umur 66 tahun, dimakamkan di Tebuwung, Dukun, Gresik) adalah salah seorang ulama kharismatik keturunan Sunan Drajat yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tebuwung Dukun Gresik yang sekarang dikenal Pondok Pesantren Al-Karimi. Masa kecilnya bernama Raden Karmadin.[1] SilsilahAyahnya bernama Kyai Abdul Qohar (Raden Kair) merupakan anggota Laskar Pangeran Diponegoro yang ditugaskan di Sumenep pada masa pemerintahan Sultan Abdur Rahman Pakunatadiningrat I . KH. Abdul Karim adalah putra kedua dari 2 bersaudara. Ibunya bernama Sawilah. Kakaknya bernama: Raden Ayu Muqiroh. Berdasarkan silsilah KH. Abdul Karim adalah keturunan Sunan Drajat dengan Ratna Ayu Condrosekar, puteri kediri. Sunan Drajat dengan Ratna Ayu Condrosekar memilki tiga anak, yaitu : Raden Arif, Raden Ishaq, dan Raden Sidiq. Dari Raden Sidiq menunkan KH. Abdul Karim.[2] Silsilah: Abdul Karim bin Abdul Qoh-har bin Darus bin Qinan (sayyid Kuning/Ali Murtadho/Abdullah) bin Ali Mas’udi bin Ahmad Rifa’i bin Bisyri bin Ahmad Dahlan bin Muhammad Ali bin Abdul Hamid bin Shiddiq/Ja'far Shodiq/Sunan Sepat Madu bin Sunan Drajat, R.Qosim (nama Istri: Ratna Ayu Condrosekar) bin Sunan Ampel, R. Rahmatullah (nama istri Ratna Ayu Manila) bin Ibrahim Asmoroqondi (nama istri: Ratna Ayu Asmarowati) bin Jumadil Kubro (nama Istri: Fathimah binti Sultan Muhammad I Dinasti Utsmaniyyah, Turki)[3] PendidikanDalam usia 2 tahun ayahanda ia tercinta wafat. Nyai Syawilah kemudian dinikahi Kiai Asnawi, adik dari Kiai Abdul Qahar dan hijrah ke Kauman Sidayu. Kiai Asnawi mendidik anak tirinya dan sekaligus keponakan ini penuh dengan kesabaran dan penuh cinta kasih. Apalagi ia tidak dianugerahi anak. Dilihat dari nur yang ada di dahi Karmadin ada tanda-tanda untuk menjadi waliyullah seperti datuknya , Sunan Drajat dan Sunan Ampel. Kiai Asnawi mengajari mulai dari kecil untuk salat berjemaah dan memperbanyak puasa. Kiai Asnawi memegang ilmu kesunandrajatan dari ayahnya dan kakek belia, Qinan (Sunan Kuning) . Karmadin pun disiapkan mulai sejak dini untuk menjadi waliyullah dan ulama. Dikenalkan bagaima riyadhah nyirih, mutih, ngebeleng, pati geni, polopendem dan lain-lain.[1] Agar Karmadin tidak terlalu manja dan bisa bergaul, Kiai Asnawi menyuruh mengaji ke Kiai Mustahal Sidayu, yang masih keturunan Jaka Tingkir. Di sini ia konon bertemu dengan Abdul Jabar Maskumambang. Setelah dikira cukup, kiai Asnawi menganjurkan belajar ilmu kewalian kepada Mbah Suto (kiai Maulani) di Sendang Duwur Paciran. Mulai dari pesantren inilah Karmadin riyadhah puasa makan Karak (nasih basi yang dikeringkan). Karak dimasukkan ketupat lalu digantung, dibuka sedikit, ditarik ketika buka puasa sehingga hanya makan sesuai dengan keluarnya. Keluar 3 dimakan 3, keluar 4 dimakan 4 dan seterusnya Mbah Suto yang makrifatullah, melihat potensi batin yang ada dalam diri Karmadin. Ia pun mengetes kehebatan Karmadin. Semua santri dikumpulkan. “ Wahai para santriku semua berendamlah di dalam sendang (sungai) ini. Barangsiapa yang kuat berendam paling lama, akan saya doakan agar dia dan keturunannya memjadi ulama yang agung dan memiliki keturunan yang banyak, “ kata Mbah Suto di malam hari. Para santri berendam semua. Ada yang bertahan 5 menit. Ada yang bertahan 10 menit . Sambil berzikir, berdoa dan memandang ke sungai, Mbah Suto melihat satu persatu santrinya. Setelah sekian lama dan dicek, Karmadin belum keluar dari air. Mbah Suto dengan karomahnya mengangkat Karmadin dari dalam air dan dalam keadaan sehat wal afiat. Ia kemudian mendoakannya dan menurunkan ilmu kewalian kepada Karmadin. Setelah dirasakan cukup khidmah di pesantren Mbah Suto, Karmadin berkelana belajar ilmu makrifat ke Tayu Pati. Kendati ilmu syariat dan makrifatullah yang sudah dipelajari dan diamalkan sudah banyak, rasa haus dan hirah akan ilmu syariat dan makrifat mendorongnya untuk memuntut ilmu ke tanah Hijaz. Perjalanan dari Nusantara menuju Jedah berlangsung selama berbulan-bulan. Setelah menjalankan ibadah haji, Karmadin berganti nama Abdul Karim dan tidak langsung pulang ke tanah air. Abdul Karim tinggal di komunitas orang-orang Jawi (Jâwiyyîn) atau perkampungan yang dikenal dengan sebutan “Pemukim Jawah” (Bilâd al-Jâwah). Sebutan jawah atau jawi ini tidak selalu merujuk pada orang-orang dari pulau Jawa, namun juga pada orang-orang dari Nusantara bahkan Asia Tenggara. Dalam hal lain kita juga mengenal huruf jawi atau arab pegon, suatu modifikasi aksara Arab untuk menuliskan bahasa lokal yang dikembangkan komunitas ini. Koloni Jawi ini termasuk yang terbesar dari semua bangsa yang berada di Makkah. Setiap jemaah haji yang sudah sampai di sana berubah setelah berhaji, ingin menimba ilmu kepada syekh-syekh di Makkah.[4] Guru-guruGuru-guru KH. Abdul Karim Tebuwung antara lain:[1]
Sedangkan teman-teman ia semasa menimba ilmu di Makkah, antara lain:
PernikahanSetelah beberapa tahun lamanya di kota Makkah, KH. Abdul Karim pulang ke kota Sidayu. Tidak lama kemudian menikah dengan Nyai Mas Amirah binti Raden Cokromwnggolo/Raden Jamilun, putra Kanjeng sepuh sedayu dengan Dewi Wardah), dalam usia 25 tahun (+ 1855) . Dari pasangan ini lahirlah
Dari istri yang kedua, Khadijah, lahirlah:
PerjuanganDi Sidayu bersama istri tercinta, berdakwah sambil berdagang hingga dikenal sebagai pedagang sukses. Kedua pasangan ini dikarunia Allah SWT, putri cantik yang bernama Fathimah. Saking cintanya kepada putrinya, Fathimah diberi perhiasan emas yang banyak untuk dijadikan gelang, kalung dan cincin hingga kemudian musibah terjadi. Fathimah dimutilasi oleh pembantunya sendiri, dengan cara disembelih dan semua perhiasan diambil. Dari peristiwa ini Nyai Mas Amirah berwasiat agar keturunannya tidak memakai perhiasan yang berlebihan. Semakin lama KH. Abdul Karim dan Nyai Mas Amirah semakin dikenal orang. Kemasyurahannya bukan hanya lantaran guru agama dan pedagang yang berhasil, melainkan dikenal juga sebagai tokoh muda ahli agama yang arif dan bijaksana serta disegani, baik oleh penduduk maupun pemerintah belanda. Pemerintah Belanda bermaksud mengangkat menjadi qodhi di kadipaten Sidayu (Adanya yang mengatakan menjadi mufti Surabaya), namum ia menolak. Penolakan ini membuat Belanda marah dan menyandera salah satu putri beliau di Sidoresmo, Surabaya. KH. Abdul Karim mengobrak-abrik pasukan belanda, sehingga beliau tertangkap dan dipenjara di Surabaya bersama Istri dan anak-anak beliau, yang masih kecil-kecil.[6] Pada tahun 1863 Pak Utsman/ Warjo Kepala desa Tebuwung, Dukun Gresik tengah mencari seorang ulama’ yang sanggup membina masyarakatnya serta mau tinggal di desanya. Pak Utsman masih sepupu Nyai Mas Amirah, yang merupakan cucu KANJENG SEPUH SEDAYU (Wafat 1855).[1] Pak Utsman kemudian bermusyawarah dengan Nyai Mas Amirah dan KH. Abdul Karim. Mereka semua kemudian menghadap ke Adipati Sidayu (Kanjeng Pengeran). KH Abdul Karim diperintahkan untuk membina masyarakat Tebuwung dan sekitarnya yang pada saat itu mengikuti agama kapitayan, Hindu dan Budha. Dalam rangka melakukan puja bakti kepada sanghyang Tunggal, penganut kapitayan menyediakan sesaji berupa Tum-peng, Tu-mpi (kue dari tepung), Tu-mbu (keranjang persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (sejenis ayam) untuk dipersembahkan kepada sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, Tu-ngkup, Tu-nda, wa-tu, Tu-gu, Tu-nggak, Tu-k, Tu-ban, Tu-rumbukan[7] Pak Utsaman Sekeluarga kemudian sepakat memberi tanah (Wakaf?) di bagian Timur Desa Tebuwung kepada KH.Abdul Karim. Diantara mereka yang memberi adalah:
KH Abdul Karim meninggalkan kota Sidayu, tahun 1863 (dalam usia, 33) menuju Desa Tebuwung. Mengingat beratnya tantangan di desa Tebuwung, bersama istri dan putra-putri riyadhoh puasa mutih, patigeni, ngebeleng dan lain-lain-lain. Dan yang paling berat RIYADHOH TANPA MENCACI MAKANAN, puasa tarkur ruh (nyirih) 41 hingga tanggal 9 dzil hijjah setiap tahun. Dalam suatu malam KH. Abdul Karim melihat ada sinar di Pemakaman di Suban Tebuwung. Ia kemudian bermunajat dan berdoa. Ia diberi petunjuk Allah bahwa yang ada sinarnya itu adalah makam Nyai Syarifah (Nyai Ayu), adik Sunan Kalijaga.[1] Saat itu orang meninggal di Tebuwung tidak dikubur, tapi dibuang ke dalam gua. Di dekat Gua itu tempat penyembahan masyarakat Tebuwung, Sedangkan di Tengah-tengah desa menjadi tempat lokalisasi. KH. Abdul Karim sekelurga dan dibantu Pak Utsam sekeluarga kemudian mendirikan masjid di dekat Maqom Nyai Syarifah, + 1 km dari pesantren. Di masjid yang baru ini masyarakat Tebuwung yang sudah masuk Islam diajak oleh KH. Abdul Karim untuk membaca Maulid Nabi (asroqolan), menzikir Jailaniyyah ( Dulkadiran), dan lain-lain Pak Utsaman dan sekeluarga kemudian menyerahkan lahan untuk pendirian Pesantren Tebuwung. KH. Abdul Karim kemudian menikahkan Muhammad Zahid dengan Fathimah yang masih keturunan Sulthan Abdurrahman Pakunatadingrat dan Bindarasaod Sumenep Madura. Dakwahnya kemudian diterima masyarakat sekeling Tebuwung, dan kemudian berdatanganlah para santri dari Gresik, Surabaya, Madura, Banten, dan lain-lain. Diantaranya KH. Munawwar, Sidayu Setiap malam jumat wage, masyarakat Tebuwung diajak membikin apem, tumpeng dan sesudah maghrib diajak istighotsah yang berpindah-pindah, dari rumah ke rumah. Setiap tahun diadakan Haul Nyai Syarifah. Pernah di Tebuwung di landa Pacekelik yang memprihatinkan sehigga terjadi kelaparan, baik para santri atau masyarakat. Kondisi ini membuat prihatin Nyai Mas Amirah. Putri saudagar kain dan cucu KANJENG SEPUH Sidayu ini, memintak ridho suami untuk kembali berdagang garmen. Untuk itu, Nyai Mas Amirah menyuruh suaminya untuk menikahi temannya, Khodijah.Permintaannya pun dikabulkan. Pernikhan ini terjadi + 1880,usia KH. Abdul Karim, + 50 tahun. Waktu itu putra beliau, Kiai Zahid masih di Makkah, dalam usia 22 tahun. Begitu mulia wanita ini, merelakan suami untuk berpoligami demi perjuangan dan pesantren Tebuwung. Bisnis garmen Nyai Mas Amirah membuahkan hasil dan keuntungan yang luar biasa. Semua kebutuhan KH. Abdul Karim anak - anaknya, istri kedua dan anak tirinya, dan santri di penuhi dari bisnis Nyai Amirah. Nyai Amirah dikenal sebagai orang terkaya di kadipaten Sidayu. Hasil keuntungan digunakan untuk pesantren dan menopang Perjuangan melawan kolonial Belanda. Beliau tinggal di Pesantren Tebuwung dan di Sidayu. Wanita mulia ini, dikenal sebagai wanita dermawan. Setiap orang yang dikasih sedekah, beliau berkata, "Doakan semoga anak cucuku kelak menjadi ulama dimana saja mereka tinggal." Nyai Amirah meninggal lebih dahulu, tahun +1890. Dalam usia + 5O tahun. Dimakamkan di komplek keluarga Kanjeng sepuh Sidayu. KH. Abdul Karim dikenal sebagai ahli Hikmah yang kramat, kitab Syamsul Ma’arif dan kitab hikmah lain dikuasasi dengan baik. Sehingga Pesantren Tebuwung dikenal sebagai Pusat ilmu Hikmah. Pada hari Selasa legi 27 Dzul Hijjah 1313/ 9 Juni 1896,KH. Abdul Karim Wafat dalam usia 66 tahun dimakamkan di Tebuwung, berdampingan dengan Petinggi Utsman. KH. Abdul Karim digantikan putra beliau KH. Muhammad Zahid (1858-1913 M), yang waktu itu berusia 38. KH. Muhammad Zahid wafat pada hari senin pon, 13 Jumadil Akhir 1321/ 20 Mei 1913 dalam usia 55 tahun AmaliyahDi antara amaliyah yang dijalankan KH. Abdul Karim dalam membangun Pesantren dan Masyarakat, antara lain :[1]
Kiprah KeturunanKeturunan KH. Abdul Karim banyak berdakwah melalui pesantren, antara lain:
ReferensiCatatan Kaki
Pranala luar
|