Konkupisensi
Konkupisensi (bahasa Inggris: concupiscence, bahasa Latin: concupiscentia) adalah suatu hasrat atau nafsu yang biasanya dihubungkan dengan sensual, atau hasrat seksual; sering kali "hawa nafsu" (bahasa Inggris: lust) digunakan sebagai sinonim.[1] Namun dalam teologi Katolik, Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1264 menuliskan bahwa konkupisensi adalah suatu kecenderungan untuk berbuat dosa; kecondongan jahat ini juga dikiaskan sebagai fomes peccati (pemicu dosa).[2] Beberapa referensi menyatakannya sebagai nafsu atau keinginan yang tidak teratur, tetapi tidaklah sama dengan keinginan untuk berbuat dosa (Lihat: Kronologi berkembangnya dosa). Pandangan Gereja KatolikPada awal mula diciptakan, manusia bebas dari kecenderungan jahat yang membuatnya terikat pada kenikmatan inderawi (KGK 377); seluruh kodratnya utuh dan teratur.[3] Namun manusia pertama, Adam dan Hawa, oleh karena dosa mereka menurunkan kodrat manusiawi yang terluka—yang mengalami kekurangan keadilan dan kekudusan asal yang diterima dari Tuhan—kepada semua manusia keturunan mereka. Kekurangan tersebut dinamakan dosa asal (KGK 416-417).[4] Dosa asal tersebut mengakibatkan kodrat manusia menjadi lemah dan dilukai kekuatan alaminya, tetapi tidak sepenuhnya rusak; kodratnya menjadi takluk pada ketidaktahuan (pengetahuan) akan Tuhan, penderitaan, kuasa maut (kematian), dan kecenderungan berdosa. Kecondongan untuk berbuat dosa tersebut dinamakan "konkupisensi" (KGK 405,418),[4] membuat manusia harus berjuang terus menerus selama hidupnya di dunia untuk menundukkan kedagingannya. Santo Paulus mengatakan bahwa keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh (Galatia 5:16-17,24; Efesus 2:3). KGK 1264 menyebutkan bahwa konkupisensi bukanlah dosa, tetapi 'sengaja tertinggal' dalam diri manusia untuk perjuangan di dunia. Konkupisensi tidak merugikan manusia, yang tidak menyerah kepadanya dan yang memohon bantuan rahmat Yesus Kristus untuk menantangnya dengan sekuat tenaga. Sehingga manusia yang berjuang dengan benar akan memperoleh mahkota kemenangan (2 Timotius 2:5).[2] Konkupisensi berubah menjadi dosa jika sudah berbuah menjadi keinginan dalam hati (Lihat: Kronologi berkembangnya dosa). Lihat pulaReferensi
|