Elementis
Elementis plc adalah salah satu perusahaan bahan kimia khusus dan perawatan pribadi terbesar di Britania Raya, dengan bisnisnya tersebar di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. Perusahaan ini melantai di London Stock Exchange dan merupakan salah satu komponen dari Indeks FTSE 250. Perusahaan ini memulai sejarahnya pada tahun 1844 dengan nama Harrisons & Crosfield sebagai sebuah perusahaan perdagangan teh. Perusahaan ini kemudian menjadi salah satu perusahaan asal Britania Raya terkemuka di industri perkebunan Asia Tenggara, sebelum perusahaan ini perlahan-lahan mendivestasi bisnisnya pada periode pasca-kolonial. Diversifikasi perusahaan ini awalnya fokus pada bahan kimia, kayu, bahan bangunan, dan pakan. Pada akhirnya, perusahaan ini hanya fokus pada bahan kimia dan mengubah namanya menjadi Elementis. Sejarah awalKemitraan Harrisons & Crosfield dibentuk pada tahun 1844 oleh Daniel Harrison, Smith Harrison, dan Joseph Crosfield untuk memperdagangkan teh dan kopi, yang menjadi bisnis utama kemitraan ini hingga akhir abad ke-19. Daniel, lahir pada tahun 1795, telah berdagang di Liverpool sejak dekade 1820-an. Saudaranya, Smith Harrison, berusia lebih muda 23 tahun, sementara Joseph Crosfield sebelumnya adalah pegawai Daniel. Sebanyak 80% teh yang diperdagangkan oleh kemitraan ini saat itu berasal dari Tiongkok, sementara sisanya berasal dari Amerika Selatan. Kemitraan ini pindah ke London pada tahun 1854 dan pada dekade 1860-an, kemitraan ini telah menjadi pedagang teh terbesar ketiga di Britania Raya. Pada paruh kedua abad ke-19, kendali kemitraan ini diwariskan ke generasi selanjutnya, yang terdiri dari dua orang anggota keluarga Harrison dan tiga orang anggota keluarga Crosfield.[3][4] Masuknya Lampard dan ClarkHingga dekade 1890-an, Harrisons & Crosfield hanya sebuah kemitraan dagang yang dihormati di London. Arthur Lampard lalu masuk ke kemitraan ini pada tahun 1881, dan Heath Clark juga masuk ke kemitraan ini pada tahun 1885. Perubahan yang dibawa oleh keduanya adalah kemitraan ini mulai mencampur teh yang mereka perdagangkan dan menjualnya dengan merek "Nectar" (kini telah dijual ke Twinings). Kemitraan ini juga mengembangkan bisnis ekspor dari Ceylon Wharf di South Bank. Clark menangani pasar domestik, sementara Lampard membuka kantor di seluruh dunia untuk menangani bisnis ekspor dari kemitraan ini dan mengembangkan perdagangan lokal. Lampard mengunjungi Rusia pada tahun 1895 untuk mendirikan kantor di sana dan kemudian berlayar ke Ceylon untuk mengorganisasi ekspor teh ke Rusia. Lampard juga membuka sebuah cabang di Colombo dengan nama Crosfield Lampard[5] untuk berbisnis di bidang perkebunan teh. Bisnis perkebunan teh kemudian menjadi bisnis utama dari kemitraan ini selama hampir satu abad, lalu diikuti oleh perkebunan karet, kayu, dan kelapa sawit.[3] Agen perkebunanHarrison & Crosfield adalah salah satu dari beberapa kemitraan asal Britania Raya yang mengendalikan sejumlah perkebunan di Asia Tenggara dengan sistem keagenan. Pengembangan perkebunan membutuhkan modal yang cukup besar selama beberapa tahun sebelum hasilnya dapat mulai dipanen. Biasanya, agen akan menyediakan keahlian administrasi, teknis, keuangan, dan komersial, tetapi modal akan dikumpulkan dari pihak eksternal. Biasanya, modal berasal dari memperdagangkan saham perkebunan tersebut di London Stock Exchange, dengan agen bertindak sebagai sekretaris. Agen biasanya hanya memegang sedikit saham, tetapi menjadi pemegang saham pengendali.[3] Harrisons & Crosfield menagani banyak perkebunan. Perkebunan pertamanya adalah kebun teh Hopton di Ceylon.[6] Hopton kemudian menjadi salah satu dari empat kebun teh yang dikonsolidasi ke Lunuva Tea Company pada tahun 1907.[7] Di India, sebuah cabang dibuka di Calcutta pada tahun 1900 untuk mempromosikan ekspor ke Amerika Utara. Pembelian lahan yang cukup luas di India bagian selatan kemudian mengarah pada pembentukan East India Tea and Produce Company, Malayalam Rubber and Produce Company[8], dan Meppadi Wynaad Tea Company.[3] Pada awal abad ke-20, kemitraan ini mulai mengembangkan perkebunan karet, setelah sebelumnya karet alami disadap di pedalaman Amerika Selatan. Straits Plantations Ltd [9] (beroperasi di Straits Settlements) diserahkan ke Harrisons & Crosfield pada tahun 1902. Sejumlah perusahaan kemudian juga dibentuk untuk membeli kebun-kebun kecil. Pataling Rubber Estates Syndicate[10][11] dibentuk pada tahun 1903, Golden Hope Rubber Estate and Anglo-Malay Rubber dibentuk pada tahun 1905, dan London Asiatic Rubber and Produce dibentuk pada tahun 1907.[12] Pada tahun yang sama, Lampard mengunjungi Sumatra dan kembali melakukan konsolidasi seperti yang telah dilakukan di Malaya. Tandjong Rubber Company dan United Serdang (Sumatra) Rubber Plantations pun dibentuk dan sahamnya mulai diperdagangkan. Pada tahun 1909, kepemilikan saham atas sejumlah perusahaan teh dan karet diserahkan ke Rubber Plantations Investment Trust yang sahamnya juga diperdagangkan.[3] Menjadi sebuah perusahaanHarrisons & Crosfield kemudian direorganisasi, karena mitra yang pensiun dan menarik modalnya membuat perusahaan ini kesulitan untuk melakukan ekspansi. Pada tahun 1908, kemitraan ini diubah menjadi sebuah perusahaan dan sahamnya mulai diperdagangkan di bursa saham. Namun, saham yang diperdagangkan hanya berupa saham preferen, sementara saham biasa tetap dipegang oleh mitra dan pegawai seniornya. Periode antar-perangPeriode antar-perang merupakan periode yang sulit bagi sejumlah perusahaan perkebunan. Walaupun begitu, Harrisons tetap dapat tumbuh. Arthur Lampard meninggal pada tahun 1916, sementara Heath Clark pensiun pada tahun 1924, tetapi penggantinya telah siap. Salah satunya adalah Eric Macfadyen yang telah aktif di bidang perkebunan karet sebelum perang dan bergabung ke Harrisons & Crosfield pada tahun 1918. Bersama H. J. Welch dan Eric Miller, Eric Macfadyen menjalankan perusahaan ini selama periode antar-perang. Tantangan yang harus dihadapi oleh perusahaan ini adalah resesi parah pada tahun 1921 dan turunnya harga karet dari 2s-1d pada tahun 1919 menjadi 9d pada tahun 1922[13] Untuk teh, terhentinya ekspor ke Rusia pada tahun 1917 membuat ekspor teh dari Ceylon menurun drastis. Kemudian diakui bahwa Harrisons berekspansi berlebihan sebelum perang, yang mana pada tahun 1921, perusahaan ini bertindak sebagai agen untuk 52 perusahaan perkebunan di Malaya, Sumatra, Ceylon, India bagian selatan, Jawa, dan Borneo. Resesi pada tahun 1930 kemudian terbukti lebih parah dan perkebunan karet pun merugi mulai tahun 1930 hingga 1932.[3] Walaupun begitu, perusahaan ini masih dapat berekspansi ke bisnis lain, seperti kayu, kelapa sawit, dan bahan kimia. Salah satunya adalah pada akhir perang saat Harrisons membeli Darby & Co, sebuah perusahaan perdagangan yang cukup terkemuka di Borneo Utara. Pendiri perusahaan tersebut, Walter Darby, pun pernah menjadi gambar pada prangko lokal.[14] Darby juga merupakan chairman dari China Borneo Timber Company, dan berperan penting dalam pendirian British Borneo Timber Company (kemudian diubah namanya menjadi Sabah Timber)[15] pada tahun 1920, dengan Harrisons memegang sepertiga saham perusahaan tersebut. British Borneo Timber Company diberi hak untuk memonopoli produksi kayu setidaknya selama 25 tahun.[3] Perusahaan ini kemudian mulai berbisnis di bidang perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 1926, Harrisons membeli kebun Rambong Sialing di Sumatra, dan kemudian membeli sejumlah kebun kecil, lalu mendirikan Allied Sumatra Plantations pada tahun yang sama.[16] Pada tahun 1928, perusahaan ini membeli sejumlah kebun besar, sehingga bisnis perkebunan kelapa sawitnya makin signifikan.[3] Untuk berekspansi ke proses industri, Wilkinson Process Rubber [17] juga dibentuk oleh perusahaan ini pada tahun 1926 untuk mengembangkan proses yang dipatenkan oleh Bernard Wilkinson pada tahun 1923. Proses vulkanisasi suhu rendah memungkinkan karet cair segar untuk diolah menjadi karet kompon di kebun dan dipasarkan dengan merek Linatex. Sebuah pabrik juga dibangun di Selangor, dengan sebagian sahamnya dipegang oleh Harrisons, yang juga bertindak sebagai sekretaris dan agen tunggal di Eropa. Mulai akhir dekade 1920-an, penyediaan pasokan industrial untuk perkebunan memperluas bisnis keagenan dan akhirnya membawa Harrisons berekspansi ke bisnis bahan kimia di Amerika Utara. Perusahaan ini pun melakukan sejumlah akuisisi pada akhir dekade 1930-an yang memuncak dengan pembelian Dillons Chemical Company asal Kanada[18] pada tahun 1938.[3] Walaupun begitu, perusahaan ini tetap mengembangkan bisnis perkebunannya. Pada tahun 1925, perusahaan ini membeli kebun karet Prang Besar di dekat Kuala Lumpur. Kebun tersebut pun memimpin riset untuk memperbaiki penanaman dan pembibitan. Hasil risetnya kemudian diterapkan di kebun milik Harrisons yang lain.[19] Dekolonisasi dan tantanganSebagian tantangannya adalah bahwa karet alami menghadapi kompetisi dari karet sintetis. Namun, tantangan terbesar berasal dari dekolonisasi pasca-perang dan meningkatnya keinginan negara yang baru merdeka untuk mengendalikan perkebunannya sendiri. Hal tersebut pun diperparah dengan adanya pemberontakan di Malaysia dan Indonesia. Walaupun begitu, karena sejak awal perusahaan ini bertekad untuk tidak tergantung pada satu wilayah saja, Harrisons pun terus mencari peluang untuk tumbuh di Asia Tenggara.[3] Salah satu yang sukses adalah North Borneo Timber, yang kemudian diubah namanya menjadi Sabah Timber. Walaupun tidak lagi memonopoli sejak tahun 1950, mekanisasi penebangan pohon kemudian memungkinkan peningkatan produksi kayu dari sekitar 2 juta kaki kubik menjadi 19 juta kaki kubik pada tahun 1969. Pada saat kegiatan penebangan tersebut berakhir pada tahun 1982, Sabah Timber pun telah memiliki bisnis kayu di Britania Raya. Bisnis lain yang dikembangkan oleh perusahaan ini pasca-perang adalah kelapa sawit, yang kerap ditanam di bekas kebun karet, tetapi Harrisons juga mengakuisisi lahan baru di Sabah dan membentuk sebuah perusahaan baru di Papua Nugini, yakni New Britain Palm Oil.[20] Hingga tahun 1960, Harrisons memiliki 32 kebun di India, terutama kebun teh, tetapi juga beberapa kebun karet. Sejak saat itu, walaupun tetap melakukan sejumlah akuisisi, perusahaan ini fokus menggabungkan kebunnnya untuk membentuk Malayalam Plantations yang lebih besar.[3] Walaupun ada gangguan yang disebabkan oleh Kedaruratan Malaya, Harrisons tetap mengakuisisi sejumlah kebun. Di India, perusahaan ini mengkonsolidasi kebunnya ke dalam tiga perusahaan, yakni Golden Hope, Pataling, dan London Asiatic. Pada tahun 1977, ketiga perusahaan tersebut digabung untuk membentuk Harrisons Malaysian Estates. Di Indonesia, Harrisons kehilangan kendali atas kebunnya. Sekitar tahun 1960, London Sumatra pun didirikan untuk menggabungkan 16 kebun milik perusahaan ini di Indonesia. Sejumlah kebun lain kemudian juga digabungkan ke dalamnya, sehingga London Sumatra menjadi salah satu perusahaan perkebunan terbesar di dunia. Pada tahun 1983, Harrisons telah memegang seluruh saham perusahaan tersebut.[3] Harrisons kemudian mendapat berbagai permintaan dari pemerintah setempat, seperti royalti yang lebih tinggi, pajak yang lebih tinggi, dan kepemilikan saham yang lebih tinggi. Kebun perusahaan ini di Sri Lanka akhirnya dinasionalisasi pada tahun 1975. Pada tahun 1982, Harrisons Malaysian Plantations Berhad dibentuk untuk mengakuisisi Harrisons Malaysian Estates. Harrisons tetap memegang 30% saham perusahaan tersebut dan mendapat uang sebesar £130 juta. Setelah hasil panen yang buruk dan adanya tekanan dari pemegang saham lain, Harrisons pun memutuskan untuk mengurangi ketergantungannya pada perkebunan dengan mendivestasi saham Harrisons Malayalam dan Harrisons Malaysian Plantations Berhad yang masih mereka pegang, tetapi tetap menguasai London Sumatra Plantations dan New Britain Palm Oil. Pada tahun 1983, sebanyak 34% saham Malayalam Plantations dijual, sehingga Harrisons hanya memegang 40% saham. Pada saat yang sama, Malayalam Plantations digabung dengan bisnis lain milik Harrison & Crossfield untuk membentuk Harrisons Malayalam.[21] London Sumatra akhirnya dijual pada tahun 1994 dan New Britain Palm Oil juga dijual pada tahun 1996.[22] DiversifikasiDiversifikasi pasca-perang dimulai dengan bahan kimia, dan kemudian meliputi kayu dan bahan bangunan, serta malting dan pakan. Pada akhirnya, bisnis kayu dan bahan bangunan, serta malting dan pakan dijual, sehingga hanya menyisakan bisnis bahan kimia.[3] Blok bangunan yang menjadi divisi bahan kimia dulu adalah Durham Chemicals. Pada tahun 1947, Harrisons membentuk sebuah joint venture dengan Durham di Kanada untuk membangun sebuah fasilitas produksi seng oksida. Seng oksida dapat digunakan untuk berbagai keperluan, tetapi yang paling penting bagi perusahaan ini adalah digunakan pada vulkanisasi karet. Joint venture lain adalah Durham Raw Materials, yang menjadi agen tunggal untuk produk Durham, termasuk keagenan Neoprene di Britania Raya. Walaupun joint venture di Kanada akhirnya gagal, hubungan dengan Durham tetap baik, dan pada tahun 1962, Harrisons resmi mengakuisisi mayoritas saham Durham. Durham kemudian difokuskan pada produksi garam seng dan sabun logam. Pada tahun 1973, perusahaan ini membeli bisnis krom dari Albright & Wilson dan mengubah namanya menjadi British Chrome & Chemicals.[23] Investasi kemudian dikucurkan agar Durham dapat memproduksi kromik oksida. Pada tahun 1979, Durham membeli bisnis serupa di Amerika Serikat dan mengubah namanya menjadi American Chrome & Chemicals, sehingga Durham menjadi produsen pigmen oksida besi dan krom terkemuka di dunia. Pada awal dekade 1980-an, Durham Chemicals membangun sebuah pabrik aluminium klorida, dan pada tahun 1984, Durham telah menguasai lebih dari 60% pangsa pasar di Britania Raya.[3] Divisi kayu dan bahan bangunan adalah pengembangan dari bisnis Sabah Timber di Britania Raya. Pada tahun 1969, Sabah Timber diberi tahu bahwa konsesi penebangan kayunya akan berakhir pada tahun 1982. Sejak saat itu, Sabah Timber mulai mengakuisisi sejumlah pedagang kayu di Britania Raya. Pada tahun 1985, perusahaan ini membeli Pauls, sebuah perusahaan malting dan pakan terkemuka. Bisnis tersebut kemudian diperkuat dengan akuisisi terhadap Associated British Maltsters dengan harga £14 juta pada tahun 1987.[3] Referensi
Pranala luar |