AverroismeAverroisme atau averoisme[1] (bahasa Arab: رشدية, Rusydiyah) mengacu pada suatu mazhab dari filsafat abad pertengahan yang didasarkan pada penerapan karya-karya Ibnu Rusyd (bahasa Latin: Averroës), seorang filsuf Islam Andalusia yang adalah penafsir penting Muslim tentang Aristoteles, dalam skolastisisme Kristen Latin abad ke-13. Terjemahan-terjemahan karya Ibnu Rusyd ke dalam bahasa Latin mulai tersedia luas di universitas-universitas yang bermunculan di Eropa Barat pada abad ke-13, serta diterima oleh para tokoh skolastik seperti Sigerus dari Brabant dan Boetius dari Dacia yang menelaah ajaran-ajaran Kristen melalui analisis intelektual dan pengolahan daya pikir.[2][3] Istilah Averrois ditelurkan oleh Thomas Aquinas dengan pengertian yang terbatas pada monopsikisme dan panpsikisme dalam buku De unitate intellectus contra Averroistas karyanya.[4] Berdasarkan hal tersebut, Averroisme menjadi nyaris identik dengan ateisme dalam penggunaannya pada abad pertengahan akhir.[5] Sebagai suatu penggolongan historiografi, Averroisme pertama kali didefinisikan oleh Ernest Renan di dalam Averroès et l'averroïsme (1852), dalam pengertian Aristotelianisme heterodoks atau radikal.[6] Penerimaan pengaruh Ibnu Rusyd dalam pemikiran Yahudi disebut "Averroisme Yahudi". Pemikiran Averrois Yahudi berkembang pada abad ke-14, dan perlahan-lahan menurun pada abad ke-15. Representasi terakhir dari Averroisme Yahudi adalah Elia del Medigo, yang menulis pada tahun 1485. Averroisme dan skolastisismeSudut pandang yang dikemukakan di atas menghasilkan dua pengecaman pada tahun 1270 dan 1277 oleh Uskup Étienne Tempier dari Gereja Katolik Roma. Sang uskup menetapkan daftar 219 tesis Averrois yang tidak dapat diterima.[7] Telah dikemukakan[8] bahwa tuduhan-tuduhan utama Tempier hampir serupa dengan yang diajukan oleh Al-Ghazali terhadap para filsuf pada umumnya di dalam Inkoherensi Para Filsuf (Tahafut al-Falasifah) karyanya, yang Ibnu Rusyd coba buktikan ketidakbenarannya dalam Inkoherensinya Inkoherensi (Tahafut al-Tahafut). Untuk mengatasi persoalan tersebut, Sigerus dari Brabant menyatakan adanya "kebenaran ganda": satu kebenaran "keras" atau faktual yang diperoleh melalui sains dan filsafat, serta satu kebenaran "religius" yang diperoleh melalui agama. Gagasan ini berbeda dengan pandangan Ibnu Rusyd: ia mengajarkan bahwa hanya ada satu kebenaran, tetapi diperoleh dengan dua cara berbeda, bukan dua kebenaran. Bagaimanapun, ia percaya bahwa Kitab Suci terkadang menggunakan bahasa metaforis, namun mereka yang tidak memiliki pemahaman filosofis perlu meyakini makna harfiahnya untuk dapat mengapresiasi makna sebenarnya dari bagian-bagian yang dimaksud. Konsep filosofis Averroisme berikutnya—bersama dengan tesis yang dikemukakan oleh William dari Ockham—merupakan gagasan bahwa dunia religi dan dunia filsafat merupakan entitas-entitas yang terpisah. Bagaimanapun, jika mencermati 219 tesis yang dikecam oleh Tempier, dikatakan bahwa tidak banyak di antaranya yang berasal dari Ibnu Rusyd. Aristotelianisme radikal dan Aristotelianisme heterodoks adalah istilah-istilah yang lazim digunakan sementara waktu untuk menyebut gerakan filosofis aktual yang dimulai oleh Sigerus dan Boëthius serta membedakannya dari Averroisme; kendati kebanyakan akademisi masa kini juga menyebutnya Averroisme. Thomas Aquinas secara khusus menentang doktrin "kesatuan akal" yang diusung Averroisme dalam buku De unitate intellectus contra Averroistas karyanya. Terlepas dari pengecamannya pada tahun 1277, banyak tesis Averroistik yang terlestarikan sampai abad ke-16, khususnya di Universitas Padova, dan dapat ditemukan dalam filsafat-filsafat Giordano Bruno, Giovanni Pico della Mirandola, juga Cesare Cremonini. Tesis-tesis tersebut berbicara seputar superioritas para filsuf dibandingkan dengan kaum awam biasa dan hubungan antara intelek dengan martabat manusia. Averroisme YahudiSelama berabad-abad setelah wafatnya Ibnu Rusyd, terdapat banyak filsuf Averrois Yahudi, utamanya Elia del Medigo. Gersonides menulis penafsiran atas tafsir-tafsir Aristotelian dari Ibnu Rusyd. Beberapa pengaruh Averrois dapat ditelusuri dalam Dialoghi d'Amore karya Yehuda Leon Abravanel. Baruch Spinoza juga secara khusus dipengaruhi oleh Averroisme, panenteisme yang dianutnya mengalir dari monopsikisme Averroistik, sebagaimana keyakinan Spinoza akan keadaan yang lebih tinggi para filsuf dan kecenderungan-kecenderungan terhadap sekularisme. Dapat dikatakan bahwa Averroisme Spinoza mempengaruhi Yudaisme Konservatisme dan Rekonstruksionisme.[butuh rujukan]. Penerimaan Ibnu Rusyd dalam IslamDalam sejarahnya, tidak ada gerakan atau mazhab resmi Rusydiyah ("Averroisme") dalam tradisi filsafat Islam. Dikatakan bahwa kemunduran ilmu kalam atau "teologi skolastik Islam" dan Muktazilah atau "rasionalisme Islam" telah menghalangi penerimaan pemikiran Ibnu Rusyd dalam lingkup pemikiran Islam, yang berjalan secara paralel dengan yang terjadi dalam filsafat Yahudi ataupun Kristen. Akan tetapi, gerakan nasionalisme Arab modern menyerukan terhadap kebangkitan tradisi-tradisi rasionalis dalam filsafat Islam abad pertengahan.[9] dimana Ibnu Rusyd menjadi semacam figur simbolis dalam perdebatan seputar kemunduran itu maupun revitalisasi pemikiran Islam dan masyarakat Islam yang mengemuka pada abad ke-20 kelak. Salah seorang pendukung terkemuka untuk kebangkitan pemikiran Averroes dalam masyarakat Islam adalah Mohammed Abed al-Jabri, dengan karya buku Critique de la Raison Arabe (Kritik terhadap nalar bangsa Arab) pada tahun 1982.[10] Referensi
Pranala luar
|