Arian13
Arian Arifin Wardiman[1] (lahir 01 Agustus 1974)[2] adalah seorang musisi dan ilustrator berkebangsaan Indonesia. Ia dikenal sebagai pendiri dan vokalis grup hard rock Seringai. Masa KecilKakek Arian dari sisi ibunya adalah Sindoedarsono Soedjojono, pelukis dan kritikus seni rupa pertama di Indonesia, dan neneknya adalah Mia Bustam, istri pertama Sudjojono dan salah satu pengurus organisasi Seniman Indonesia Muda yang didirikan Sudjojono bersama rekan-rekannya.[1] Di usia 3 sampai hampir 7 tahun, Arian bermukim di Boston, Amerika Serikat karena ikut ayahnya yang sedang menempuh pendidikan di Massachusetts Institute of Technology. Setelah pindah ke Bandung lagi, minat Arian terhadap musik berawal sejak dibelikan kaset The Beach Boys oleh ayahnya, karena band tersebut adalah salah satu yang piringan hitamnya sering diputar ayahnya di rumah.[3] Setelah itu Arian gemar membeli kaset dengan uang tabungannya[1] atau meminta ayah atau pamannya kalau sedang ke luar negeri untuk mencarikan kaset-kaset yang tidak dapat ditemukan di Indonesia.[3] Dari hobi beli kaset ini, Arian menjadi tertarik dengan band-band metal seperti Iron Maiden dan Judas Priest karena ilustrasi sampulnya memikat.[3] Karier MusikPuppenSaat SMA, Arian mendirikan band bernama Maximum Deaf Impact, di mana ia berperan sebagai vokalis sekaligus gitaris. Di waktu bersamaan, Arian menyalurkan minatnya terhadap musik dan seni rupa dengan menggambar logo Ratos de Parao, band hardcore asal Brazil, di tas seorang teman sekolahnya. Sehari kemudian, muncul gambar logo band lain oleh orang yang berbeda di tas tersebut. Itu membawa Arian berkenalan dengan sang penggambar, Robin Malau.[1] Ketika Arian menjadi panitia pentas seni yang diadakan sekolahnya, Robin daftar untuk tampil bersama bandnya, Succubus, dan Arian pun tampil dengan Maximum Deaf Impact. Usai acara itu, Robin menelepon Arian dan mengajaknya bergabung di Puppen.[4] Pada awalnya, Puppen masih membawakan lagu band-band thrash metal dan hardcore favorit mereka seperti Prong, Sacred Reich dan Biohazard, lalu mulai menulis lagu-lagu sendiri. Dalam proses pembuatan musik Puppen, biasanya Arian punya ide drum atau kord gitar, lalu Robin mengembangkannya. Lagu pertama yang mereka buat adalah “This is Not a Puppen Song”[3] dan “Freedom to Defecate”.[5] Saat bergabung dengan Puppen, Arian sudah banyak menulis lirik bertema fantasi yang terinspirasi Iron Maiden. Namun setelah mendengar Sepultura, Arian menjadi tergerak untuk menulis lirik bertema politik yang dinilai lebih cocok untuknya.[4] Kesuksesan Sepultura sebagai band yang berasal dari Brazil yang sesama negara Dunia Ketiga juga menjadi inspirasi bagi Arian untuk bisa bermain musik.[5] Alhasil, beberapa lirik lagu ciptaan Arian untuk Puppen berisi sikap kritis terhadap otoritas dengan gaya yang puitis sekaligus lugas, seperti “Hijau” yang mempertanyakan kekerasan militer.[6] Karena di Bandung belum ada studio rekaman yang bisa mengakomodasi band independen, akhirnya Arian dan Puppen rekaman di Jakarta, di mana mereka memanfaatkan sif sisa dari PAS Band yang sedang merekam album In (No) Sensation. Ketika itu Arian adalah mahasiswa semester pertama yang juga sedang ujian, jadi tiap hari rekaman harus menempuh perjalanan Bandung-Jakarta yang bisa makan waktu lima jam, rekaman sampai pukul 2 atau 3 pagi, lalu langsung pulang ke Bandung untuk ujian.[5] Lalu Puppen menjadi salah satu band perintis jalur independen di Indonesia, dengan membiayai, memproduksi dan mengedarkan sendiri karya-karya mereka.[7] Puppen menempuh jalur mandiri bukan karena pantang terhadap perusahaan rekaman besar, namun karena merasa tidak perlu selama masih bisa bergerak sendiri.[8] Pada tahun 2002, Arian dan Robin merasa sudah jenuh dengan Puppen dan tidak bisa membawa band itu lebih jauh lagi. Di samping itu, Arian punya rencana untuk pindah ke Jakarta, sedangkan Robin berniat bermukim di Bali.[7] Bersama Puppen, Arian menghasilkan mini-album This Is Not a Pup (1994), serta album MK II (1998) dan Puppen (2000).[9] Mereka menandakan pembubarannya dengan dua konser perpisahan di Jakarta dan Bandung.[10] Selain reuni untuk satu kali tampil, yakni di acara PL Fair 2004,[11] Puppen tidak pernah aktif lagi sebagai band. SeringaiSetelah Puppen bubar pada tahun 2002, Arian pindah ke Jakarta untuk bermukim dan bekerja. Bersama Ricky Siahaan, gitaris grup hardcore Stepforward, Arian memiliki ide untuk membuat band baru yang musiknya berbeda dengan apa yang pernah mereka buat sebelumnya. Bersama gitaris Adhitya Ardinugraha dari Pure Saturday, bassis Regina Citra Arini dari Traxap dan drumer Edy Khemod, mereka membentuk Derai yang musiknya terinspirasi oleh At the Drive-In, Texas is the Reason dan Kiss It Goodbye.[12] Umur Derai tidak panjang, karena Arian dan Ricky merasa bahwa musik yang mereka ingin buat tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Lalu ketika memainkan lagu-lagu Black Sabbath dan Black Flag untuk bersenang-senang, barulah mereka menemukan konsep band yang cocok.[12] Maka lahirlah Seringai, dengan tetap melibatkan Edy Khemod pada drum, ditambah Toan Sirait pada bas yang kemudian digantikan oleh Sammy Bramantyo.[13] Seringai pun menjadi salah satu dari gelombang baru band kancah independen Jakarta yang turut meramaikan bar yang bernama BB’s[14] dan kemudian didokumentasikan melalui kompilasi JKT:SKRG yang dirilis pada Juni 2004.[15] Tak lama kemudian Seringai menjadi salah satu band yang sering diundang untuk tampil di berbagai pentas seni.[16] Dengan Arian sebagai vokalis dan penulis lirik, Seringai telah menghasilkan satu mini-album, High Octane Rock (2004), serta tiga album penuh, yakni Serigala Militia (2007),[17] Taring (2012)[18] dan Seperti Api (2018).[19] Selain tampil di berbagai kota dan pulau di Indonesia, Seringai juga pernah diundang untuk bermain di Malaysia, Singapura dan Jepang.[20] Seringai bahkan pernah menjadi band pembuka konser Metallica di Gelora Bung Karno, Jakarta pada tahun 2013.[21] Arian juga bertanggung jawab untuk sisi visual Seringai yang terdapat di sampul album dan merchandise mereka.[22] Karier Seni RupaSejak masih kecil, Arian sudah punya hobi menggambar.[1] Ia kemudian kuliah di jurusan Desain Produk di Fakultas Seni Rupa Desain Institut Teknologi Bandung. Dengan latar belakang seni rupa tersebut, maka Arian kerap bertanggung jawab atas aspek visual dari berbagai proyek kreatif yang melibatkannya.[9] Salah satu hal yang sering muncul di gambarnya adalah tengkorak. Ini berasal dari ketertarikannya terhadap kematian, dan juga estetika tengkorak itu sendiri saat melihatnya di komik dan kover album band rock dan metal.[23] Hal-hal lain yang identik dengan kematian dan kegelapan pun kerap muncul dalam karyanya, seperti serigala, gagak dan tombak.[9] Selain menampilkan karyanya di berbagai pameran seperti Semarak Tengkorak pada tahun 2008,[24] pada tahun 2017 Arian mendapat kesempatan untuk menjadi kurator untuk Toyota x The World of Ghibli, di mana lima seniman pilihan Arian menggunakan dua tipe mobil Toyota sebagai kanvas untuk lukisan mural yang terinspirasi film-film animasi karya Studio Ghibli.[25] Karier MediaTigabelas ZineSelain mengoleksi majalah-majalah musik, di awal ‘90-an Arian adalah pembaca setia fanzine seperti Maximumrocknroll dan Punk Planet dan gemar bertukar fanzine dengan sesama pembaca di luar Bandung dan bahkan negara lain seperti Malaysia dan Singapura. Karena tidak ada banyak majalah lokal yang membahas musik, dan merasa bisa membuat sesuatu yang lebih baik ketimbang kebanyakan fanzine yang beredar, maka sekitar tahun 1996-1997, Arian mulai menerbitkan Tigabelas Zine, sebuah publikasi independen yang membahas musik yang ia suka. Ia melakukan wawancara dengan berbagai band mancanegara dengan mengirim surat atau e-mail ke alamat yang terdapat di kaset, CD atau piringan hitam mereka. Salah satu kontributor Tigabelas Zine adalah Ucok dari grup rap Homicide, dan selain musik, Arian dan Ucok juga menulis artikel tentang berbagai topik seperti anarkisme dan filosofi hidup straight edge.[26] MTV TraxSetelah Puppen bubar pada tahun 2002, Arian pindah ke Jakarta untuk bermukim dan bekerja sebagai Managing Editor di majalah musik MTV Trax (kemudian ganti nama menjadi Trax). Selain memungkinkan meliput berbagai festival musik internasional, Arian juga memanfaatkan majalah tersebut untuk memperkenalkan musisi-musisi independen lokal serta band-band yang sudah besar secara internasional namun belum terlalu familier di Indonesia.[27] Playboy IndonesiaPada tahun 2006, Arian pindah kerja menjadi Deputy Editor di majalah Playboy Indonesia. Ketika Erwin Arnada, pimpinan redaksi majalah tersebut menjadi terdakwa dengan tuduhan melanggar norma kesopanan, Arian menjadi salah satu saksi di sidangnya.[28] Lawless JakartaPada tahun 2009, Arian dan Sammy Bramantyo mendirikan Howling Wolf, sebuah toko merchandise musik merangkap studio tato. Salah satu tujuan utama di balik membuka toko tersebut adalah untuk mempermudah distribusi produk-produk Seringai.[29] Pada tahun 2011, Howling Wolf melakukan merger dengan Pistone, toko dan bengkel modifikasi sepeda motor klasik yang salah satu pemiliknya adalah Gofar Hilman. Usaha baru ini diberi nama Lawless Jakarta,[30] yang kemudian berkembang untuk mencakupi bengkel motor custom, Lawless Garage; perusahaan rekaman independen, Lawless Jakarta Records; dan restoran burger, Lawless Burgerbar.[31] Referensi
Pranala luar |