Erwin Arnada
Erwin Arnada (lahir 17 Oktober 1963) adalah seorang wartawan, sutradara, dan produser film Indonesia. Terlahir di Jakarta, Arnada mulai tertarik pada dunia jurnalistik pada tahun 1984, dan setelah bekerja sebentar sebagai fotografer, ia diterima magang di surat kabar mingguan Editor. Sejak tahun 1990, ia bekerja sebagai editor di berbagai media cetak, termasuk di tabloid kontroversial Monitor. Arnada memasuki dunia perfilman Indonesia pada tahun 2000, memproduseri sejumlah film yang diproduksi oleh Rexinema. Erwin menjadi pusat kontroversi setelah mendirikan Playboy Indonesia pada tahun 2006, sejumlah oknum Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) memprotes majalah tersebut karena dianggap tidak senonoh, meskipun majalah tersebut tidak menampilkan konten ketelanjangan dalam bentuk apapun. Setelah serangkaian persidangan, Arnada diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung Indonesia dan dijatuhi hukuman dua tahun penjara, yang mulai dijalaninya pada bulan Oktober 2010. Ia dibebaskan dari penjara pada Juni tahun berikutnya setelah pengadilan memutuskan untuk mencabut putusannya. Pada tahun 2012, Arnada dinominasikan sebagai Sutradara Terbaik FFI atas film Rumah di Seribu Ombak, yang diangkat dari novel yang ditulisnya ketika mendekam di penjara. Pada tahun 2023, Erwin kemudian memutuskan untuk menerbitkan kisah tentang sejarah penerbitan majalah Playboy Indonesia dalam sebuah buku berjudul “Rabbit In Prison” . Diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Okky Madasari (OM Institute) dan disunting Moch Aldy MA. Buku tersebut diluncurkan 21 Oktober 2023 dalam acara Ubud Writers & Readers Festival di Bali. Kehidupan awal dan karierErwin Arnada lahir di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1963, putra dari pasangan Amin Ismail, seorang saudagar Minangkabau yang bekerja sampingan sebagai wartawan, dan istrinya.[1][2][3] Keluarganya memiliki sejumlah toko di Jakarta, termasuk satu di Blok M dan satu lagi di Tanah Abang. Saat masih duduk di bangku SMP, Arnada mulai membantu mengelola toko milik keluarganya, dan memanfaatkan waktu luangnya dengan membaca.[2] Arnada dibesarkan dalam keluarga Muslim dan tumbuh menjadi seorang Muslim yang taat.[2] Setamat SMA, Arnada melanjutkan pendidikannya ke Universitas Indonesia dengan jurusan Sastra Rusia. Ia mulai tertarik pada jurnalisme, khususnya fotografi, setelah menonton film Roger Spottiswoode, Under Fire, yang mengisahkan tentang pengalaman seorang wartawan Amerika saat meliput Revolusi Nikaragua. Arnada kemudian melamar untuk menjadi fotografer di harian Kompas, tetapi ditolak. Pada tahun 1986, ia bekerja sebagai fotografer untuk tim sepak bola Persija Jakarta.[1][2] JurnalismePada tahun 1989, Arnada mulai magang di surat kabar mingguan Editor. Ia memanfaatkan pekerjaannya ini untuk mencari pengalaman.[1][2] Arnada kemudian menjabat sebagai editor di tabloid Monitor yang berlokasi di Jakarta antara tahun 1990 dan 1991. Tabloid ini sendiri akhirnya dibredel setelah menerbitkan sebuah jajak pendapat mengenai "tokoh paling dihormati pembaca" yang memicu kontroversi;[4] jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa nabi Muhammad berada di posisi 10, di bawah penyanyi dangdut Rhoma Irama.[1] Pada pertengahan 1990-an, Arnada bekerja di tabloid Bintang Indonesia yang dimiliki oleh keluarga Ciputra. Ia keluar dari Bintang Indonesia pada tahun 1999 karena menganggap bahwa tabloid tersebut memberikan ruang yang terlalu sedikit untuk segmen musik. Arnada kemudian mendirikan Bintang Milenia pada tahun yang sama, tetapi tabloid ini ditutup pada tahun 2002.[1] Pada masa ini, Arnada juga bekerja secara ekstensif di MTV Indonesia dan di berbagai perusahaan start-up.[2] Setelah penutupan Bintang Milenia, Arnada mulai bekerjasama dengan tokoh perfilman Indonesia seperti Rizal Mantovani, Jose Poernomo, dan Dimas Djayadiningrat, dan kemudian mendirikan rumah produksi Rexinema.[1] Film pertama yang diproduksi oleh Rexinema adalah Jelangkung pada tahun 2001;[5] Arnada sendiri pertama kali terlibat dalam produksi Tusuk Jelangkung pada tahun 2002 dengan bertindak sebagai produser dan penulis skenario.[6] Ia melanjutkan keterlibatannya pada enam film berikutnya antara tahun 2003 dan 2007.[5] Playboy IndonesiaArnada awalnya berencana untuk mendirikan Playboy Indonesia, versi bahasa Indonesia dari majalah Playboy Amerika, sebagai tantangan. Ia menilai bahwa majalah tersebut tidak hanya sebatas "pornografi", tetapi juga sebagai tempat bagi "karya-karya jurnalisme pemenang penghargaan" yang ingin ia persembahkan bagi Indonesia.[7] Arnada mulai berunding dengan Christie Hefner, pimpinan Playboy Enterprises, pada bulan November 2005. Ia memperoleh izin untuk menerbitkan Playboy edisi Indonesia pada bulan Januari tahun berikutnya.[1] Edisi pertama diterbitkan pada April 2006 dan tidak menampilkan konten telanjang ataupun fokus pada seksualitas. Sebaliknya, para model tampil dengan pakaian lengkap. Edisi ini juga menampilkan wawancara dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer.[7] Artikel-artikel pada edisi berikutnya terus membahas mengenai sastra, serta hak asasi manusia dan politik.[2] Meskipun demikian, majalah tersebut sangat kontroversial. Sebelum diterbitkan, sejumlah oknum Muslim telah menyatakan penentangan.[1] Setelah edisi pertama diterbitkan, kantor Playboy Indonesia diserang. Dalam salah satu peristiwa, komplotan Front Pembela Islam menyerang kantor Playboy Indonesia di Jakarta Selatan, yang menyebabkan seluruh penghuni kantor dievakuasi. Pada bulan Mei 2006, aksi protes yang terus digelar menyebabkan majalah tersebut harus beroperasi tanpa kantor.[1] Publisitas yang buruk juga menyebabkan para pengiklan hengkang dari majalah tersebut, dan akhirnya Playboy Indonesia ditutup setelah menerbitkan sepuluh edisi,[7] meskipun telah memindahkan operasionalnya ke Pulau Bali yang mayoritas penduduknya adalah penganut Hindu sejak edisi kedua pada bulan Juni 2006.[8] Atas perannya dalam penerbitan Playboy Indonesia, Arnada berada di bawah penyelidikan. Penyelidikan menunjukan bahwa ia dengan sengaja telah menyebarkan materi "pornografi" secara ilegal di Indonesia, yang dianggap sebagai tindak kriminal. Dalam persidangan pada bulan April 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak putusan ini;[9] sedangkan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta malah menguatkan putusan ini.[3] Setelah proses banding selama dua tahun, kasus ini akhirnya sampai ke meja Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung memutuskan bahwa Arnada bersalah dan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara.[9] Pada Oktober 2010, Arnada ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta.[7] Selama berada di penjara, ia memanfaatkan waktunya untuk menulis tiga novel, yakni Rumah di Seribu Ombak, Midnite di Negeri Nonsense, dan Rabbit Versus Goliath.[2] Arnada dibebaskan pada bulan Juni 2007,[7] setelah Mahkamah Agung menyetujui pembelaannya bahwa tindakan profesional seorang jurnalis harus diadili sesuai Kode Pers, bukannya sesuai Kode Kriminal.[9] Sejumlah pakar, termasuk Arnada sendiri, menyatakan bahwa pembebasannya adalah bentuk kemenangan bagi kebebasan pers di Indonesia.[9] Namun, menanggapi anggapan yang menyatakan bahwa ia adalah seorang pahlawan, Arnada berkata: "Saya bukan pahlawan, saya hanya korban sejarah dalam versi lain"; ia menganggap kalau pengalamannya kurang drastis jika dibandingkan dengan jurnalis lainnya di Indonesia.[3] Dalam sebuah wawancara pada tahun 2013, Arnada mengatakan bahwa penahanannya telah "membungkam 'ambisi gilanya'".[7] PascapenahananArnada merilis novelnya yang berjudul Rumah di Seribu Ombak pada awal 2012;[7] novel tersebut ditulisnya saat berada di penjara.[2] Berlatarkan di Singaraja, Bali, novel tersebut mengisahkan mengenai persahabatan antara dua bocah lelaki yang berasal dari latar belakang berbeda.[7] Rumah di Seribu Ombak diadaptasi menjadi film layar lebar pada tahun yang sama, dengan Arnada bertindak sebagai sutradara dan produser.[6] Film tersebut sukses secara kritis dan dinominasikan untuk sembilan Piala Citra dalam ajang Festival Film Indonesia 2012, termasuk Piala Citra untuk Sutradara Terbaik. Film tersebut memenangkan empat kategori, termasuk Penyuntingan Terbaik dan Skenario Terbaik;[10] Arnada sendiri tidak memenangkan nominasi, penghargaan Sutradara Terbaik diraih oleh Herwin Novianto dengan film Tanah Surga... Katanya.[11] Saat ini, Arnada hidup bersama istrinya, Hevie Ursulla Arnada. Pasangan ini tinggal di Bali. Arnada menyatakan ketertarikannya untuk melanjutkan karier sebagai novelis dan mengabaikan jurnalisme karena dunia tersebut tidak menawarkan "sesuatu yang baru, tidak ada yang berbeda."[7] Sebuah film yang diangkat dari kisah hidupnya rencananya akan diproduksi oleh Alta Loma Entertainment Playboy Enterprises.[7] FilmografiHingga tahun 2018, Arnada telah terlibat dalam pengerjaan 12 film, sebagian besarnya sebagai produser.[1][6]
Referensi
Daftar pustaka
Pranala luar
|