Ume Le'uUme Le'u (dibaca: Ume Leu) atau disebut juga dengan Ume Alat atau Lopo Nak Ume adalah sebutan untuk rumah adat tradisional suku "Atoni Pah Meto", yang umumnya terdapat di daerah Kabupaten Timor Tengah Utara, tetapi juga ada di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Belu, provinsi Nusa Tenggara Timur. Rumah Ume Le'u terdiri dari dua bentuk bangunan, dimana keduanya merupakan tempat khusus dengan simbol berbeda. Satu disimbolkan untuk kaum laki-laki dan satu lagi disimbolkan untuk kaum perempuan.[1] Rumah adat ini sangat penting, sehingga akan ada di setiap rumah warga di Pulau Timor. Dalam perkembangannya, konsep Lopo digunakan untuk membantu anak didik di pedalaman dalam meningkatkan kualitas membaca yang masih tergolong rendah.[2] PengertianUme Le'u adalah sebutan untuk rumah adat tradisional dari sebuah kelompok suku bernama "Atoni Pah Meto", masih merupakan sub etnik dari suku Timor (selanjutkan akan tetap disebut "Suku Timor") di Pulau Timor, provinsi Nusa Tenggara Timur. Kata Ume Le'u atau disebut juga dengan Ume Alat jika diartikan secara harafiah maka artinya ialah rumah adat. Rumah adat ini memiliki 2 bangunan yang memiliki bentuk bangunan yang mirip, tetapi memiliki fungsi dan simbol berbeda, dimana satu disimbolkan sebagai perkumpuluan kaum laki-laki dan satu lagi disbolkan sebagai tempat perkempuluan untuk kaum perempuan. Bangunan ini sendiri memiliki fungsi lain yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.[3] Jenis Ume Le'uRumah Ume Le'u terdiri dari dua bentuk bangunan yang terpisah. Kedua bangunan rumah adat yang dimaksudkan ialah "Lopo" dan "Ume Kbubu". Dengan kata lain, rumah adat Ume Le'u terdiri dari dua bangunan kembar, dimana masing-masing rumah memiliki makna dan fungsi tersendiri yang disimbolkan berdasarkan jenis kelamin.[3] Pada umumnya, masyarakat suku Atoni memiliki Lopo di depan rumahnya.[4] Sementara itu, Ume Kbubu hany dimiliki masyarakat pedalaman. LopoLopo merupakan rumah yang pertama yang terletak di paling depan. Rumah ini melambangkan kaum laki-laki atau juga sebagai simbol seorang Bapak atau kejantanan (Pater). Kebanyakan masyarakat lebih sering menyebut nama Ume Le'u sendiri dengan sebutan "Lopo".[5] Bagi orang Timor, dilambangkan sebagai laki-laki, karena bentuknya yang terbuka tanpa dinding, kokoh, dan juga menjadi tempat pertemuan keluarga, dimana pertemuan akan selalu dipimpin oleh bapak selaku kepala keluarga. Ume KbubuUme Kbubu merupakan rumah yang terletak di belakang Lopo. Rumah ini melambangkan kaum perempuan ini merupakan simbol seorang Mama atau simbol betina (Mater). Rumah ini disebut juga dengan "Rumah Bulat", karena bentuknya yang memang bulat.[5] Dalam filosofi orang Timor, rumah adat Ume Kbubu melambangkan sebagai wanita orang Timor yang punya santun, merenda, bersahaja, dan auratnya tertutup sebagaimana lambang dari Ume kbubu, dimana bagian atap dari bubungan sampai ke tanah, dan hanya memiliki satu pintu saja, sehingga setiap orang yang akan masuk dan keluar haruslah menunduk.[5] Ciri KhasTata LetakPembangunan atau pembuatan Ume Le'u selalu memperhatikan tata letak. Pada umumnya, suku-suku di Indonesia bagian Timur, memakai paham garis keturunan Patrilineal dimana garis keturunan yang diikuti adalah laki-laki. Demikian juga dengan suku Timor, yang menjadikan laki-laki sebagai garis keturunan suku. Dengan demikian, dalam berbagai hal berhubungan dengan suku, laki-laki akan menjadi yang diutamakan.[1] Itu berdampak pada pembuatan Ume Le'u. Untuk membanguan Ume Le'u, orang Timor akan mengutamakan atau mengedepankan unsur Bapa atau laki-laki. Maka secara faktual tata letaknya, Lopo selalu didirikan di depan Ume Kbubu. Kedua bangunan kembar ini akan dibangun seperti berbaris, Lopo didepan dan Ume Kbubu dibelakangnya.[1] Inilah bukti secara implisit bahwa mereka sangat menjaga identitas suku mereka yang memegang paham patrilineal. Sebagai tempat hunian penting bagi orang Atoni Pah Meto, ketika orang berkunjung ke rumah Ume Le'u, maka tamu akan miliki ucapan atau sapaan yang berbeda.[1] Jika sapaan yang digunakan adalah:" lopo bapa Kolo ? " itu berarti si tamu sedang menyapa rumah Lopo, rumah simbol kaum laki-laki yang terbuka. Lalu sebaliknya, jika ada tamu yang datang dan bertanya " Ume Taufina es kin ka " ? (yang artinya di dalam bahasa setempat adalah tuan rumah ada ka??"), maka itu berarti si tamu sedang bertamu untuk rumah Ume Kbubu, yang tertutup, simbol dari kaum perempuan. Jika sapaan sudah diucapakan, maka jawaban pemilik rumah akan dijawab dengan kalimat ”Ain Kolo Esan” atau "abi Kolo adfa", yang menandakan pemilik rumah ada di dalam.[1] StrukturRumah Ume Le'u terbuat dari tiga bahan utama, yakni bambu, pohon besar dan alang- alang. Bambu dipakai sebagai bahan untuk lantai di rumah Lopo dan dipakai sebagai dinding untuk rumah Ume Kbubu. Bambu akan dibelah dan dibentuk memanjang yang digunakan untuk dinding di rumah Ume Kbubu. Sedangkan alang-alang dipakai untuk atap rumah. Rumah Lopo dan Ume Kbubu memiliki bentuk seperti piramida, yang mengerucut keatas.[5] Lopo ditopang oleh empat tiang kokoh dari kayu bulat dan atap kerucut dari daun alang-alang. Penyangga lopo berupa bulatan yang terbuat dari kayu berfungsi untuk menghalangi jalan atau masuknya kucing atau tikus yang ingin mengambil hasil panen yang disimpan di Lopo.[5] BentukLopo memiliki bentuk bulat dan tidak memiliki dinding. Sementara atap rumah Lopo berbentuk melonjong mengerucut keatas yang terbuat dari alang-alang. Namun seiring waktu, banyak atap rumah Lopo diganti dengan seng. Di dalam Lopo akan terdapat sebuah tempat penyimpanan bahan makanan hasil panen dari ladang, posisinya ada diatas sehingga tidak mudah dijangkau.[3] Rumah Lopo memang tidak memiliki dinding, tapi secara spesifik, di dalam rumah Lopo mempunyai tiga ruangan di tiga tingkat dan setiap tingkat memiliki fungsi berbeda. Tingkat dasar menjadi ruang istirahat, sementara tingkat kedua difungsikan sebagai tempat untuk menyimpan bahan-bahan makanan. Dan tingkat ketiga yang paling atas dijadikan sebagai gudang lain yang akan dipakai jika pasokan bahan makanan yang akan disimpan telah penuh di tingkat kedua. Ume Kbubu, tidak begitu berbeda dari Lopo. Hanya saja, Ume Kbubu atau rumah bulat memiliki dinding yang menutupi sekeliling rumah, itu yang membedakan Lopo dengan Ume Kbubu, yakni dinding rumah. Tapi, Ume Kbubu tanpa memiliki jendela sama sekali. Atapnya sama seperti Lopo, berbentuk kerucut memanjang keatas. Jika digunakan sebagai tempat tinggal, maka atapnya akan bersatu dengan dinding dan sampai ke tanah.[1] Untuk memasuki rumah Ume Kbubu, orang yang masuk harus menundukkan kepala. Pintunya sendiri memang pendek, tidak cukup bagi orang dewasa untuk masuk dengan tetap berdiri. Memasuki rumah Ume Kbubu dengan menundukkan kepala, hal ini dimaknai sebagai bentuk rasa hormat dan juga sikap opan kepada pemilik rumah bagi tamu yang datang.[6] FungsiRumah Ume Le'u yang terdiri dari dua bangunan ini, Lopo dan Ume Kbubu, diibaratkan oleh orang Timor sebagai "Lumbung" (untuk Ume Kbubu, identitas perempuan) dan "rumah" (untul Lopo, identitas laki-laki), satu kesatuan yang tak terpisahkan.[3] Di beberapa tempat, seperti di Kecamatan Bikomi Selatan, kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), masyarakat Timor menganggap bahwa di dalam Ume Le'u inilah setiap keluarga dan masyarakat memiliki komunikasi yang baik antara yang satu dengan yang lain untuk saling bertukar pikiran.[6] LopoLopo memiliki fungsi ganda, sebagai tempat penyimpanan hasil perkebunan dan barang-barang kebutuhan lainnya sekaligus tempat warga serta keluarga bertukar pikiran. Tempat Penyimpanan Hasil PanenPekerjaan utama kebanyakan warga di kabupaten Timor Tengah Utara, bahkan di provinsi Nusa Tenggara adalah bertani. Jika suku lain atau petani lain di Indonesia banyak yang menyimpan hasil panen di dalam rumah (tidak dipisahkan), maka warga di Nusa Tenggara Timur, menjadikan Lopo sebagai tempat penyimpanan hasil panen.[7] Di anjungan NTT di Taman Mini Indonesia Indah, ada terdapat Lopo, dan dijadikan sebagai tempat istirahat para pengunjung.[8] Makanan pokok warga Timor kebanyakan berbeda dengan masyarakat Indonesia di Bagian Barat, dan Indonesia bagian Tengah, dimana makanan pokoknya adalah jagung, sementara padi sebagai bahan makanan tambahan, ditambah kacang-kacangan, dan umbi-ubian. Kini ada yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok, tetapi jagung tetap yang utama. Maka, tidak heran jika setiap hasil panen jagung, padi, kacang-kacangan dan ubi, warga akan memasukkannya ke dalam rumah Lopo.[8] Seorang warga di dusun Nuut, kecamatan Amanuban Barat, kabupaten Timor Tengah Selatan, bernama Moses Baun mengatakan, hanya hasil panen yang tahan lama yang akan disimpan di lopo.[6] Penyimpanan itu dilakukan sebagai stok makanan yang prioritas guna mencukupi kebutuhan pangan dalam jangka waktu dan relatif lama, antara lima hingga lima bulan. Itulah yang dilakukan warga untuk menghadapi musim kemarau yang datang setiap tahunnya.[6] Makanan-makanan tersebut sangat diprioritaskan untuk disimpan di Lopo pada masa puncak musim kemarau, dan itu semua tidak boleh diambil jika waktu belum tiba.[6] Karena setiap tanaman dan berbagai sumber air, sering mengalami kekeringan pada masa musim kemarau, sehingga tidak memungkinkan untuk menghasilkan panen yang baik dan berkualitas dibanding musim penghujan. Namun ada satu hal yang harus diketahui bahwa meskipun rumah Lopo merupakan simbol laki-laki, nyatanya yang hanya bisa masuk ke atas atau ke tempat penyimpanan bahan makanan adalah hany istri (si ibu) saja, atau perempuan. Hal ini terjadi karena si ibu yang akan bertanggungjawab dan memeriksa atasnketersediaan makanan untuk keluarga, agar jangan sampai kehabisan sebelum waktunya. Sehingga, masuk ke tempat penyimpanan bahan makanan adalah haknya dan tidak boleh sembarang orang untuk masuk area tersebut.[7] Tempat BerkumpulLopo juga menjadi tempat berkumpul oleh setiap keluarga, maupun ruangan penerimaan jika ada tamu. Keluarga akan berkumpul di Lopo ketika mendiskusikan berbagai hal, dan juga sebagai tempat orang tua untuk mengajari anak-anaknya belajar. Berbagai keputusan adat juga disepakati di rumah Lopo, dan keputusan yang diambil akan disepakati dan dilakukan bersama-barsama. Lopo juga sangat efektif digunakan sebagai tempat untuk berteduh dari panasnya terik matahari, mengingat kawasan ini tergolong sebagai kawasan yang kering, sehingga teriknya matahari akan sangat terasa jika sedang berada di luar ruangan.[6] Fungsi Lopo tidak hanya itu. Lopo juga menjadi tempat bagi warga membahas setiap persoalan yang dihadapi. Termasuk perihal gotong-royong di desa. Biasanya warga akan berkumpul di Lopo untuk membahasnya. Atau saat ada upacara adat, segala persiapan dibahas bersama di dalam Lopo.[6] Ume KbubuRumah Ume Kbubu juga memiliki fungsi tersendiri terlebih yang berkenaan dengan simbol perempuan. Tempat MenenunJika rumah Lopo menjadi tempat penyimpanan hasil panen, maka Ume Kbubumenjadi tempat khusus bagi kaum ibu dan perempuan. Ume Kbubu dijadikan sebagai tempat untuk menenun. Bagi sebagian besar para perempuan suku Timor, bisa mengerjakan pekerjaan lain selain memasak, maka menenun adalah keahlian mereka. Adanya rumah Ume Kbubu ini, menjadikan kaum perempuan Timor lebih leluasa untuk menenun. Tangan-tangan kaum ibu dan perempuan, akan sangat lihai dalam merajut benang dan menjadikannya sebagai kain tenun ikat khas Timor.[5] Tempat MemasakBerbagai hasil panen dari ladang, secara khusus jagung, banyak diawetkan di rumah Ume Kbubu. Maka tidak heran, di rumah-rumah Ume Kbubu, akan terdapat banyak jagung yang digantung diatas perapian tempat memasak. SekaligusbUme Kbubu menjadi tempat kaum perempuan dan ibu untuk menyiapkan masakan bagi keluarga mereka.[7] Tempat Menerima TamuJika ada tamu yang datang, maka Ume Kbubu dijadikan sebagai tempat untuk menerima tamu tersebut sebelum tamu masuk ke dalam rumah. Hal ini dilakukan secara khusus disiang hari atau disaat warga sedang beraktivitas di luar rumah. Berdasarkan beberapa fungsi diatas, maka tepatlah dikatakan bahwa Ume Le'u sangat penting bagi penduduk Timor, sehingga rumah kembar ini ada disetiap rumah suku Timor yang ada di Nusa Tenggara Timur.[6] Sopi di Lopo, Lambang PersaudaraanMenyebut kata "Sopi" di Nusa Tenggara Timur, maka pandangan ini langsung mengarah pada minuman khas masyarakat Nusa Tenggara Timur. Minuman ini memiliki kandungan alkohol yang cukup tinggi, tetapi juga tetap memiliki sebuah makna tersendiri disebagian masyarakat Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), provinsi Nusa Tenggara Timur.[9] Antonius, seorang penduduk kota Kefamenanu, NTT, mengatakatan bahwa "Sopi" ini selalu hadir sebagai sebuah pelengkap dalam berbagai acara adat ataunritual adat-istiadat yang diadakan di Lopo. Karena alasan itu, minuman sopi tetap dilestarikan dan diabadikan sebagai satu bagian dari kearifan dan kekhasan lokal masyarakat setempat.[9] Lebih lanjut, Antonius menyebutkan bahwa hubungan sosial diantara warga kampung, sangat terjalin dengan erat berkat adanya dan kehadiran sopi. Hal ini dijadikan warga untuk memperkenalkan minuman sopi kepada para tamu dari luar daerah atau pengunjung yang datang dari luar Timor Tengah. Setiap tamu yang disuguhi minuman sopi, itu berarti mereka telah diterima dengan baik atas nama sebuah persahabatan.[9] Namun, meminum Sopi bukanlah sebuah paksaan, karena bukan satu keharusan untuk meminumnya. Akan tetapi, meminum Sopi, telah menciptakan sebuah persekutuan diantara masyarakat Timor. Secara khusus tamu yang baru datang, sekadar mencicipi saja sangat diperbolehkan, tetapi jika tidak menerima, pemilik Lopo akan menyediakan atau memberi minuman lainnya yang tidak mengandung alkohol.[9] Di Timor Tengah Utara, menyebutkan minuman sopi sebagain 'air kata-kata'. Dikatakan demikian karena ada efek lain jika meminumnya, yaitu sebuah suasana hati yang lebih hidup. Misalkan, jika seseorang yang datang ke Lopo dalam acara adat atau sekadar berkunjung, tetapi tidak memiliki suasana hati yang bagus dan terkesan malu, maka setelah meminum Sopi, suasana akan lebih cair dan tidak sungkan untuk berbicara banyak. Maka, jika Sopi tidak ada di Lopo, maka akan ada yang kurang dalam pertemuan tersebut. Demikianlah orang Timor memandang bahwa Sopi sangat penting saat melakukan pertemuan di Lopo.[9] Meminum Sopi tentu memiliki batasan. Jika tidak dibatasi, akan menyebabkan kemabukan, dan jika tidak terkontrol, bisa menyebabkan keributan di Lopo. Kebanyakan minum sopi juga bisa menimbulkan sakit jantung, ketergantungan yang berlebihan dan beberapa hal negatif lainnya.[9] ProblematikaMeskipun telah dikenal sebagai rumah adat khas Timor dan secara fungsi hanya sebagai tempat menyimpa bahan makanan, tetapi tidak sedikit masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi menjadikannya sebagai tempat tinggal sehari-hari.[10] Seperti yang dialami oleh Obet Malafu dan Martha istrinya bersama seorang anaknya, tinggal di rumah bulat ini selama bertahun-tahun. Obet bekerja sebagai buruh pecah batu di desa Lelogoma, kecamatan Amfoang Selatan, Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur.[10] Problematika yang muncul adalah terjadinya kasus infeksi saluran pernafasan atau ISPA. Hal ini tejadi karena ruangan yang sempit, pengap dan gelap itu menjadi tempat tinggal sehari-hari dan semua hal kepentingan rumah tangga dilakukan di dalam.[10] Tempat memasak, tempat menyimpan bahan makanan, sehingga debu dan asap mengancam orang yang ada di dalam. Ditambah dengan tidak adanya jendela, memudahkan penghuninya mengidap sakit ISPA. Bahkan untuk anak-anak, penyakit diare akan menyerang kesehatan mereka.[10] Lopo Belajar sebagai Terobosan BaruMeskipun Lopo banyak dijadikan sebagai tempat tinggal utama penduduk kurang mampu, ada pula yang menjadi Lopo sebagai terobosan baru dalam mendidik anak-anak di daerah pedalaman. Simon Seffi, seorang alumnus Universitas Nusa Cendana Kupang, jurusan Pendidikan Matematika, membuat terobosan baru dengan mendirikan Lopo, dengan konsep "Lopo Belajar". Simon mendirikan sebuah ruang belajar dengan bentuk Lopo, sehingga disebut Lopo Belajar.[11] Simon berkeinginan untuk membantu anak-anak pedalaman dalam meningkatkan kualitas tingkat membaca dan juga kualitas belajar mereka, khususnya di kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang.[11] Dalam survei sampel sekolah yang dilakulan Simon dan timnya menemukan bahwa hanya 10% anak didik di 10 dengan tingkat membaca golongan baik hingga cukup (A, B dan C), selebihnya tidak bagus. Hal ini yang mendorong Simon untuk mendirikan Lopo Belajar. Belajar dengan konsep adat Timor dengan tujuan memajukan pendidikan kawasan Kabupaten Kupang.[2] Warisan BudayaDalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-73 tahun 2018, Kementerian Agama Kabupaten Belu mengadakan Karnaval dengan konsep Lopo Kerukunan, yang diadakan di Atambua, 14 Agustus 2018. Karnaval dengan konsep "Lopo Kerukunan" diambil, untuk menggambarkan bahwa Kabupaten Belu sangat beragam sehingga tidak akan muda terpicu oleh isu-isu perpecahan yang berkaitan SARA (Suki, Agama, Ras dan Adat istiadat). Para anggota ASN Kemenag Belu sangat bersemangat dan menghias mobil untuk pawai dan menyuarakan persaudaraan.[12] Referensi
|