Sasando

Sasandu (bahasa Rote) atau Sasando (bahasa Kupang) adalah alat musik berdawai yang dimainkan dengan cara dipetik menggunakan jari-jari tangan. Sasando merupakan alat musik tradisional dari kebudayaan Rote. Alat musik Sasando bentuknya sederhana bagian utamanya berbentuk tabung panjang dari bambu, bagian tengah melingkar dari atas ke bawah diberi penyangga (Bahasa Rote: senda) dimana dawai-dawai atau senar yang direntangkan ditabung bambu dari atas ke bawah bertumpu. Penyangga ini memberikan nada yang berbeda-beda pada setiap petikan dawai, lalu tabung sasando diberi sebuah wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar(haik). Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando. Bentuk sasando mirip dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.

Asal mula Sasando

Ada 2 macam versi cerita rakyat yang pertama, awal mulanya Sasando ditemukan oleh seorang anak muda bernama Sangguana, yang terdampar di Pulau Ndana. Kemudian ia di bawa ke hadapan raja Takalaa yang berdiam di istana Nusaklain. Kebiasaan di istana pada malam hari sering diadakan permainan kebak (kebalai) yaitu tarian masal muda-mudi dengan cara bergandengan tangan membetuk sebuah lingkaran dengan seorang yang berperan sebagai manahelo (pemimpin syair) yang berada di tengah lingkaran. Syair-syair ini menceritakan silsilah keturunan mereka. Dalam permainan ini Sangguana yang menjadi tumpuan perhatian karena ia mempunyai bakat seni, tanpa disadari putri raja jatuh hati pada Sangguana dan bertemu dengan putri raja, Sangguana diminta untuk menciptakan alat musik yang belum pernah ada. Apabila berhasil berhak mempersunting putri raja. Suatu malam Sangguana bermimpi sedang memainkan satu alat musik yang indah bentuk dan suaranya. Kemudian Sangguana berhasil menciptakan alat musik ini diberi nama Sandu (artinya yang berani bergetar). Putri raja menamai alat ini sesuai dengan bahasanya sya, yaitu hitu (tujuh), karena alat tersebut terdapat tujuh dawai dan lagu yang dimainkan dinamai depo hitu yang artinya sekali dimainkan ketujuh dawai bergetar. Dawai ini terbuat dari akar pohon beringin kemudian diganti dengan usus hewan yang telah dikeringkan.

Cerita rakyat versi kedua berawal dari kisah dua orang sahabat yaitu Lunggi Lain dan Balok Ama Sina. Kedua sahabat ini sehari-harinya bekerja sebagai gembala domba dan penyadap tuak. Ide membuat alat musik sasando ketika mereka sedang membuat haik (wadah penampung air tuak) yang terbuat dari daun lontar diantara jari-jari dari daun lontar terdapat semacam benang (bahasa rote fifik) tanpa disengaja fifik atau benang itu dikencangkan kemudian dipetik menimbulkan bunyi yang berbeda, namun benang atau fifik ini mudah putus. Awal kejadian ini mendorong Lunggi Lain dan Balok Ama Sina untuk mengembangkannya, mereka ingin adanya alat musik yang dapat menirukan nada-nada yang ada pada gong. Akhirnya berhasil menciptakan bunyi-bunyian atau nada-nada yang ada pada gong yaitu dengan mencungkil tulang-tulang dari lembaran daun lontar yang kemudian diganjal dengan batang kayu. Karena nada-nada yang dihasilkan selalu berubah-ubah dan suaranya sangat kecil kemudian lembaran daun lontar diganti dengan bambu yaitu dengan cara mencungkil kulit bambu sebanyak nada yang ada pada gong yang kemudian diganjal dengan batangan kayu. Ide ini berlanjut terus kemudian dawai-dawainya diganti dari dari serat pelepa daun lontar dan ruang resonansinya dari haik.

Bentuk Alat Musik Sasando

Bentuk sasando sangat unik dan berbeda dengan alat musik berdawai lainnya. Bagian utamanya berbentuk tabung bambu sepanjang 7 sampai 80 cm. Pada bagian bawah dan atas bambu terdapat tempat untuk memasang dan mengatur kencangnya dawai.

Pada bagian tengahnya melingkar dari atas ke bawah dan terdapat ganjalan-ganjalan atau senda. Di mana dawai senar yang direntangkan di tabung, bersusun dari atas ke bawah. Senda ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan dawai.

Tabung sasando ini berada dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar berbentuk seperti kipas atau haik dan menjadi tempat resonansi sasando. Sekilas wadah ini mirip seperti penampung air berlekuk-lekuk.

Cara Memainkan Sasando

Untuk memainkan alat musik tradisional NTT ini menggunakan kedua tangan dari arah berlawanan, kiri ke kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sedangkan tangan kanan bertugas memainkan accord.

Susunan notasinya bukan beraturan seperti alat musik pada umumnya, melainkan sebaliknya. Alat musik ini mempunyai notasi tak beraturan, namun tetap menghasilkan lantunan nada merdu karena adanya resonator haik tadi.

Tak sekadar asal petik, perlu harmonisasi perasaan dan teknik untuk menaklukkan sasando agar senandung melodinya mampu memanjakan telinga pendengarnya. Keterampilan jari dalam memetik dawai-dawai sasando sangat penting.

Hampir sama dengan alat musik kecapi dan harpa, petikan jari pada dawai alat musik ini akan sangat mempengaruhi hasil suaranya. Makin cepat tempo nada, maka akan semakin lentur tangan menari memetik dawai-dawainya.

Jenis-jenis Sasando

Ada beberapa jenis sasando yaitu Sasando Gong, Sasando Biola dan Sasando Elektrik:

Sasando Gong

Sasando gong biasanya dimainkan dengan irama gong dan dinyanyikan dalam bentuk syair untuk mengiring tari, menghibur keluarga yang berduka dan yang sedang mengadakan pesta. Bunyi sasando gong nadanya pentatonik. Sasando gong berdawai tujuh kemudian berkembang menjadi sebelas dawai. Sasando gong lebih berkembang di Pulau Rote sejak abad ke 7.

Sasando Biola

Sasando ini memakai putaran dawai (senar) atau sekrup dawai yang terbuat dari kayu yang dibentuk seperti biola. Sasando diperkirakan mengalami perkembangan akhir abad ke-18 yang kemudian berkembangnya Sasando Biola. Sasando biola lebih berkembang di Kupang. Sasando biola nadanya diatonis dan bentuknya mirip dengan sasando gong tetapi bentuk bambu diameternya lebih besar dari sasando gong dan jumlah dawai pada sasando biola lebih banyak berjumlah 30, 32, dan 36 dawai. Sasando biola ada 2 bentuk yaitu sasando dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari daun lontar dan sasando biola dengan bentuk ruang resonansinnya terbuat dari (kotak atau peti dari papan). Sasando biola yang terbuat dari kotak kurang mengalami perkembangan karena dianggap kurang praktis. Pada saat pengeteman nada mengalami kesukaran, sekrup kayu harus diputar dan diketok untuk bisa mendapatkan nada-nada yang pas.

Terjadi perkembangan dengan masuknya sekrup besi maka putaran dawai di ganti dengan sekerup besi yang lebih mudah di putar dengan memakai kunci sasando pada saat pengeteman nada. Sasando biola memakai daun lontar lebih berkembang dari pada sasando biola memakai kotak / peti kayu. Karena sasando biola dengan memakai daun lontar terkesan lebih unik dan natural. Sehingga orang mengenal dengan nama sasando tradisional. Sasando biola yang terbuat dari daun lontar mempunyai ciri khas diatas kepala sasando ada hiasan mahkota daun lontar ada 7 mahkota, yang bermula dari sasando gong yang mempunyai 7 dawai. Sasando biola ini lebih berkembang di Kupang.

Sasando Elektrik (Electric Sasando)

Sasando Elektrik 1980
Sasando Elektrik 1980
Arnoldus Edon
Arnoldus Edon

Sasando biola mengalami perkembangan dari sasando tradisional menjadi sasando modern atau yang dikenal sasando listrik atau sasando elektrik. Sasando elektrik ini diciptakan oleh Arnoldus Edon, sasando elektrik termasuk dalam salah satu jenis Sasando biola yang mengalami perkembangan teknologi. Sasando tradisional mempunyai beberapa kekurangan dan kelemahan antara lain, daun lontar mudah pecah dan pada saat musim hujan sering timbul jamur di atas permukaan daun, dan daunnya juga mengalami kelembaban dan lembek sehingga dapat mempengaruhi perubahan suara dan ketika dipetik suaranya sangat kecil.

Sasando elektrik yang diciptakan ini tidak menggunakan wadah dari daun lontar peti kayu/kotak/dari papan/box, karena tidak membutuhkan ruang resonansi yang berfungsi sebagai wadah penampung suara. Bunyi langsung dapat di perbesar lewat alat pengeras suara (sound system/speaker aktif).

Ide pembuatan sasando elektrik, berawal dari peristiwa kerusakan sasando biola yang terbuat dari peti kayu/kotak milik ibu mertua dari Arnoldus Edon pada tahun 1958, sasando yang rusak itu di perbaikinya dan menjadi baik. Dari situlah awal mulanya Arnoldus Edon mendapatkan ide dan mulai bereksperimen membuat sasando elektrik. Ia berpikir kalau memetik sasando yang posisi sasandonya tertutup dengan daun lontar yang lebar dan bunyinya hanya bisa di dengar oleh segelintir orang saja yang ada disekitarnya dan petikan serta kelentikan jari-jemari tidak dapat dinikmati atau dilihat oleh orang lain karena tertutup daun lontar. Alangkah indahnya apabila sasando itu dipetik dan di dengar dengan suara yang besar, dinikmati oleh banyak orang dari kejauhan dan petikan jari-jemari yang lemah gemulai dapat dilihat keindahannya, karena sasando dipetik dengan menggunakan 7 sampai 8 jari.

Pada tahun 1958 diciptakanlah Sasando listrik/elektrik, eksperimen demi eksperimen dilakukannya untuk mendapatkan bunyi yang sempurna yang sama dengan bunyi asli dari sasando. Tahun 1959 Arnoldus Edon hijrah ke Nusa Tenggara Barat (Mataram) sebagai seorang Kepala Sekolah di Mataram. Berbekal ilmu pengetahuan sebagai seorang guru IPA/Fisika, maka pada tahun 1960 Sasando Elektrik ini berhasil dirampungkan dan mendapatkan bunyi yang sempurna sama dengan suara aslinya. Bentuk sasando elektrik ini dibuat sebanyak 30 dawai. Inilah awalnya Arnoldus Edon membuat sasando listrik yang hasilnya pertamanya langsung di bawah ke Jakarta. Jadi Sasando elektrik di buat pertama kali pada waktu Arnoldus Edon masih berada di Mataram.[1] Pembuatan Sasando Elektrik dibuat lebih modern dari Sasando tradisional ada perbedaan dalam cara pembuatannya. Komponen sasando elektrik lebih ruwet, sebab banyak unsur yang menentukan kualitas suara yang dihasilkan pada alat musik tersebut. Selain badan sasando dan dawai. Alat yang paling penting pada sasando elektrik adalah spul yang merupakan sebuah transducer yang akan mengubah getar dawai menjadi energi listrik, lalu diteruskan melalui kabel dan masuk kedalam amplifier.

Perkembangan Sasando Elektrik

Tahun 1972 Arnoldus Edon bersama keluarga kembali ke Kupang dan di Kota Kupang Sasando elektrik mulai dikenal dan berkembang, dari berita ke berita tentang pembuatan sasando elektrik ini tersiar sehingga banyak teman terutama pemain sasando mulai berdatangan untuk meminta dibuatkan sasando elektrik bagi mereka, antara lain : Eduard Pah dengan ciri khas petikan sasando irama pop dan daerah, Ely Koamesah irama pop rohani dan pop, Pdt. Sam Koli dengan irama pop dan dangdutnya, Buang Bunda dengan irama keroncongnya, Keang Ndun dengan irama popnya, mereka inilah orang-orang yang sangat mahir dalam memainkan sasando yang sampai sekarang ini belum ada satu orang pemain yang mahir seperti mereka karena setiap pemain punya ciri khas tertentu. Berikut nama-nama pemain sasando pada waktu itu, antara lain : Ibu Nale, Ibu Thedens-Likadja (seorang guru sasando), Ir. Ekres Saudale, Chirst Ndaumanu, Iyam Pelokila, Fred E. Lango, Sam Mandala, Eben Hermanus.Sasando elektrik pada waktu itu dimainkan untuk mengiring penyanyi, penari dan menghibur tamu Gubernur. Eduard Pah adalah salah satu pemain sasando yang mendapat kehormatan dari Gubernur NTT (dr. Ben Mboi) untuk menghibur tamu gubernur yang datang mengunjungi NTT.

Satu demi satu pembeli mulai berdatangan dari Indonesia bahkan sampai ke luar negeri (Belanda, Australia, Amerika, Kanada dan Jepang). Sasando elektrik mulai mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah NTT, khususnya di masa kepemimpinan Gubernur NTT (dr. Ben Mboi) pada tahun 1978-1988. Setiap tamu atau pembesar yang datang ke Kupang – NTT, selalu membawa pulang oleh-oleh berupa cindera mata Sasando elektrik. Ada juga pembeli yang berasal dari kalangan musisi dan penyanyi ditanah air sendiri, antara lain Koes Plus, Obi Messakh dan Ingrid Fernandez.[2]

Seorang pemain sasando

Galeri

Referensi

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya