Tambarana, Poso Pesisir Utara, Poso
DemografiPenduduk asli Tambarana yaitu dari Suku Bare'e To Lage berkehidupan dengan berpenghasilan mayoritas cokelat dan kelapa. Dimana sebagian besar penduduknya beragama Kristen, Hindu dan Islam. Sejak tahun 2022, Desa Tambarana telah terbagi menjadi dua yaitu Desa Tambarana dan Desa Persiapan Tambarana Utara. SejarahPada awal bulan Desember 1904, Engelenberg memerintahkan untuk memulai pembangunan jalan di Tambarana, Poso Pesisir Utara, dengan sistem Kerja Paksa Heerendiensten. Para pekerja di sini beristirahat ketika siang hari, sementara Engelenberg memerintahkan mereka untuk terus bekerja, dan permintaan ini ditolak oleh para pekerja dari Suku Bare'e. Engelenberg kemudian memerintahkan aparat pribumi untuk bertindak tegas, akibatnya rakyat menjadi marah dan menyerang aparat pemerintah Hindia Belanda dan pertikaian tidak dapat dihindarkan. Beberapa orang aparat pemerintah terluka, tetapi Engelenberg berhasil menyelamatkan diri.[1] Engelenberg segera meminta kepada komandan pasukan Hindia Belanda di Donggala, Kapten G.W. Mazee, untuk mengirim pasukan ke Tambarana. Korban terus berjatuhan dan yang lainnya lari dan menyerahkan diri kepada Engelenberg serta bersedia melanjutkan untuk mengerjakan jalan sesuai dengan instruksi yang diberikannya.[2] Pada akhirnya, Engelenberg tidak menaati janji yang diberikan bahwa mereka yang menyerah dan telah membayar pajak akan dibebaskan dan dikembalikan pada posisinya. Rakyat Suku Bare'e yang tidak terima dengan perlakuan Hindia Belanda melaporkan ke Kerajaan Tojo dan laporan diterima oleh Raja Tojo Lariu bahwa telah terjadi pemungutan Asele (Asele dari Bahasa Bare'e; artinya pajak) dan Kerja Paksa Heerendiensten kepada rakyat Suku Bare'e di Tambarana. Setelah beberapa lama di Poso, Pemerintah Hindia Belanda bertemu dengan penguasa wilayah Poso yaitu Kerajaan Tojo, dan melakukan provokasi kepada Raja Tojo Lariu, dan juga Papa i Lila (Kolomboy) penerus Lariu, supaya mau bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda, tetapi ditolak. Setelah itu pemerintah Hindia Belanda menduduki Buyumboyo atau yang sekarang dinamakan Kelurahan Bukit Bambu, dengan mengangkat Budak dari Kerajaan Tojo yaitu Tadjongga atau biasa dipanggil dengan nama Papa i Melempo dari pihak To Kadombuku.[3] Dan akhirnya pemerintah Hindia Belanda berhasil mengatasi pihak Kerajaan Tojo, dan melepaskan wilayah Poso dari cengkeraman Kedatuan Luwu dengan mengadakan suatu gerakan yang disebut Monangu Buaja[4] (krokodilzwemmen), dan melenyapkan pengaruh Kerajaan Sigi di wilayah Napu.[5] Referensi
Sumber
|