Piondo, Toili, Banggai
SejarahDesa ini berawal dari lokasi transmigran dari Pulau Jawa dan Lombok pada tahun 1983.[1] Dalam bahasa masyarakat asli yang bukan transmigrasi menyebutkan bahwa nama desa ini berarti "Peristirahatan". Di sini, masyarakat sekitar mengambil hasil bumi untuk dijual, sebagai sumber pendapatan. Pada awal pembentukan unit transmigrasi di sini, ada 227 unit kepala keluarga dari sejumlah tempat dibJawa Tengah seperti Kabupaten Pemalang, Kudus, Kudus, Pekalongan, juga Blitar di Jama Timur, dan sejumlah kabupaten dari Nusa Tenggara Barat.[2][3] Masyarakat transmigran yang tiba di sana, memperoleh lahan seluas 2 Ha untuksetiap KK, yang terdiri atas lahan pekarangan (LP) seluas 1/4 Ha, lahan usaha satu (LU Satu) seluas 1 Ha, dan LU Dua seluas 3/4 Ha.[3] Masyarakat kemudian membuka dan mengolah lahan produktif untuk bercocok tanam padi dan tanaman pangan lain.[1] Ketika itu, kepala desanya bernama Rustam.[2] Pada tahun 1990, terjadi perubahan yang membawa masa-masa sulit bagi warga Piondo. Ketika itu, PT Berkat Hutan Pusaka (BHP) melakukan pengukuran terhadap areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikuasainya secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat desa Piondo.[4] PT itu akan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tentu saja, hal ini ditolak warga yang merada bahwa tanah mereka adalah jatah dari pemerintah untuk transmigran. Konflik tak terhindarkan.[1] Referensi
|