Penggelembungan harga aset di Jepang
Penggelembungan harga aset di Jepang (バブル景気 , bubble keiki, arti harfiah: bubble economy, ekonomi gelembung) adalah gelembung ekonomi di Jepang dari tahun 1986 hingga 1990 ketika harga saham dan realestat menjadi kelewat mahal.[1] Jatuhnya gelembung ekonomi di Jepang berlangsung lebih dari satu dekade. Harga saham menurun hingga titik dasar pada tahun 2003, dan bahkan turun lebih rendah lagi akibat krisis finansial global 2007-2010. Penggelembungan harga aset pecah secara bertahap antara tahun 1991 dan 2001 yang disebut Dekade yang Hilang di Jepang.[2] Perjanjian Plaza 22 September 1985 mengawali terjadinya ekonomi gelembung.[3] Menteri-menteri keuangan dan gubernur bank sentral Prancis, Jerman Barat, Jepang, Amerika Serikat, dan Britania Raya sepakat untuk melakukan depresiasi dolar AS terhadap yen Jepang dan Deutsche Mark Jerman melalui intervensi di bursa valuta asing. Sebagai akibat Perjanjian Plaza, nilai yen menguat dengan cepat. Sebelum Perjanjian Plaza, yen diperdagangkan di bursa valas Tokyo pada 242 yen per dolar AS. Pada akhir 1985, yen telah menjadi begitu kuat hingga melewati 200 yen per dolar AS.[3] Nilai yen menguat hingga 128 yen per dolar AS pada awal tahun 1988.[4] Hingga Februari 1987, tingkat diskonto resmi diturunkan sebanyak 5 kali sebagai kebijakan mengatasi tingginya nilai yen, serta untuk membantu industri manufaktur dan industri ekspor dalam negeri Jepang yang telah mengalami penurunan daya saing akibat tingginya nilai yen. Pada waktu itu, tingkat diskonto resmi diturunkan hingga 2,5% yang sekaligus merupakan tingkat terendah sejak berakhirnya Perang Dunia II.[4] Akibat menguatnya nilai yen secara drastis, di pasar uang terjadi kerugian besar dalam aset denominasi dolar AS seperti obligasi pemerintah Amerika Serikat. Kerugian tersebut mendorong kembalinya dana-dana ke dalam negeri yang tidak memiliki risiko valuta asing. Sebagai akibatnya, harga saham di bursa saham dan harga tanah di pasar realestat meningkat. Indeks Nikkei mencatat rekor tertinggi pada 29 Desember 1989, ketika mencapai intraday tertinggi 38.957,44 poin sebelum ditutup pada 38.915,87 poin.[5] Kenaikan nilai aset dan laba di atas kertas yang disebabkannya membuat individu dan perusahaan makin memperbesar investasi. Tingginya nilai jaminan dan nilai aset membuat bank-bank makin memperbesar pinjaman hingga terjadi ekonomi gelembung.[3] Referensi
Pranala luar
|