Pendidikan Moral PancasilaPendidikan Moral Pancasila adalah sebuah mata pelajaran wajib dan salah satu dasar pembentukan landasan ideologis dan moral rakyat Indonesia pada masa Orde Baru.[1] Secara umum, Pendidikan Moral Pancasila berisi materi pembelajaran tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, serta sedikit tentang sejarah bangsa Indonesia.[2] Pada awal Reformasi Indonesia, Pendidikan Moral Pancasila diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan kemudian menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.[1] Pendidikan Moral dan Pancasila merupakan salah satu bahan belajar ilmu sosial.[3] Pendidikan Moral Pancasila bertujuan untuk indoktrinasi Pancasila terhadap masyarakat dan bagi birokrasi di Indonesia. Indoktrinasi ini dilakukan dengan membentuk program-program nasional seperti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Pendidikan Moral Pancasila menjadi salah satu agendanya. Dalam mencapai tujuan indoktrinasi ini, Pendidikan Moral Pancasila diberlakukan sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan di Indonesia.[4] Awal penetapanPendidikan Moral dan Pancasila ditetapkan setelah Indonesia melakukan pergantian kurikulum pada tahun 1975. Nama kurikulum yang baru ialah kurikulum 1975 dan menggantikan Kurikulum 1968. Dalam kurikulum 1968, Pendidikan Moral dan Pancasila dinamai Pendidikan Kewarganegaraan Negara. Pada Kurikulum 1968, Pendidikan Kewarganegaraan masih disatukan dengan mata pelajaran lain yaitu sejarah Indonesia, ilmu bumi Indonesia, hak asasi manusia, dan ekonomi. Setelah diadakan perubahan nama, Pendidikan Moral Pancasila menjadi mata pelajaran tersendiri. Isi pelajarannya khusus membahas tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mata pelajaran lain yang awalnya terpisah kemudian juga disatukan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Landasan pemikiran dan tujuan perubahan nama yaitu pembentukan manusia Indonesia yang memiliki ideologi Pancasila. Penyusunan materi pembelajaran Pendidikan Moral dan Pancasila kemudian disesuaikan dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Penetapan sebagai mata pelajaran disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Pedoman pelaksanaan mata pelajaran Pendidikan Moral dan Pancasila kemudian diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nama bukunya ialah Penjelasan Ringkas tentang Pendidikan Moral Pancasila.[5] Landasan PemikiranPemikiran dan penetapan Pendidikan Moral Pancasila sebagai salah satu mata pelajaran dalam kurikulum 1975 berasal dari surat keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1973. Dalam keputusan ini, pendidikan nasional di Indonesia harus dilaksanakan berdasarkan atas ideologi Pancasila. Dalam pelaksanaannya, pendidikan harus mampu meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, peserta didik harus mengalami peningkatan dalam hal kecerdasan, keterampilan, budi pekerti, kepribadian dan paham kebangsaan. Arah pendidikan Indonesia beralih kepada pembangunan sosial secara bertanggung jawab terhadap pembangunan nasional Indonesia. Perhatian utama di dalam Kurikulum 1975 adalah menghasilkan pendidikan yang lebih efektif dan efisien melalui manajemen yang bersifat objektif. Metode pembelajaran, materi pembelajaran, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional yang dikenal sebagai "satuan pelajaran”. Tiap mata pelajaran hanya mencakup satu jenis bahasan yang sistematis. Mata pelajaran harus tersusun rinci meliputi tujuan instruksional umum, tujuan instruksional khusus, materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi pembelajaran. Tiap pelajaran harus berada di dalam satu kelompok bahasan yang sama, sedangkan tiap mata pelajaran harus berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Akhirnya, salah satu mata pelajaran yang terbentuk melalui sistem ini ialah Pendidikan Moral dan Pancasila. Mata pelajaran ini dianggap berbeda dengan mata pelajaran lain dalam Kurikulum 1975 yang meliputi mata pelajaran agama, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, kesenian, olahraga, kesehatan dan keterampilan.[6] PertentanganPartai politik Islam di Indonesia menentang keputusan pemerintah Orde Baru untuk mengesahkan Pendidikan Moral Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang pendidikan sekolah umum di Indonesia. Adanya perbedaan pandangan tentang Pendidikan Moral Pancasila disebabkan oleh rancangan rencana Garis-garis Besar Haluan Negara yang diterbitkan oleh Komite Sidang Umum MPR 1973 yang diketuai Daryatmo. Dalam rancangan ini, mata pelajaran Pendidikan Moral dan Pancasila dibuat untuk menggantikan mata pelajaran agama. Pengusungnya adalah Fraksi Karya Pembangunan. Di sisi lain, Fraksi fraksi Partai Persatuan Pembangunan juga mengusulkan agar mata pelajaran agama dijadikan sebagai mata pelajaran wajib di seluruh jenjang sekolah. Kedua usulan ini akhirnya tidak disetujui karena ideologi pancasila tidak termasuk bagian dari agama yang kedudukannya setingkat dengan agama negara Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Usulan pertama dan kedua juga ditolak oleh beberapa anggota Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan pernyataan secara terbuka. Alasan penolakannya adalah membahayakan kesatuan negara Indonesia. Sebagai penyelesaian dari pertentangan ini, fraksi Partai Persatuan Pembangunan yang terdiri dari Partai Muslimin Indonesia, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah membatalkan pengusulannya pada tanggal 5 Januari 1973.[7] DampakDampak politik yang ditimbulkan oleh penggantian mata pelajaran kewarganegaraan menjadi Pendidikan Moral Pancasila adalah munculnya sikap kritis warga negara Indonesia terhadap pemerintah negara. Masyarakat mulai kritis terhadap hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sebaliknya, masyarakat juga mulai kritis terhadap kewajiban negara terhadap rakyatnya. Penerapan mata pelajaran Pendidikan Moral dan Pancasila secara bertahap membentuk kepribadian bangsa Indonesia dengan menghasilkan lulusan pendidikan formal. Para alumnus mulai memberikan apresiasi terhadap peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam mengatasi permasalahan politik di Indonesia. Para alumnus juga mulai melandaskan pemikiran politik kepada Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.[8] Lihat pulaReferensi
|