Nemoe Karma
Nemoe Karma adalah novel karya I Wayan Gobiah tahun 1931. Ini adalah novel berbahasa Bali pertama. Novel ini awalnya diduga menjadi tonggak dimulainya dunia sastra Bali modern sampai dengan tahun 2010 yang kemudian terpatahkan ketika I Nyoman Darma Putra menemukan cerpen-cerpen dari dasawarsa 1910-an berjudul "Pamadat" miwah "Ajam Mepaloe" karya I Made Pasek.[1] AlurPan Soedana, seorang duda, sangat gemar berjudi dan terlilit utang. Setelah utang memaksanya bercerai dengan istri keduanya, Men Tirta, Pan Soedana menjual putranya, Soedana, kepada pan Soekreni di Ubud untuk melunasi utangnya. Novel ini kemudian mengisahkan kehidupan Soedana yang menghabiskan masa kecilnya untuk melunasi utang ayahnya sebelum kabur. Setelah ia diselamatkan keluarga Men Soekarsi, novel ini berfokus pada interaksi di dalam keluarga ini. Seorang tetangga, Pan Sangga, hendak menjodohkan putranya Sangga dan putri Soekarsi, Soekarsi. Keluarga Soekarsi menolak dan diketahui bahwa Soekarsi jatuh cinta dengan Soedana. Soekarsi pun menikahi adik adopsinya. Akan tetapi Soedana menerima pernikahannya hanya karena ia merasa berutang budi dengan keluarga Soekarsi. Sementara itu, Sangga menikah dengan sepupu jauhnya, Wiri, tetapi Sangga malah menjadi suami penyiksa sampai-sampai ayahnya meminta maaf kepada Wiri karena telah memaksanya menikah. Sangga kemudian diketahui jatuh cinta dengan adik tiri Soedana, Loeh Tirta (dikenal dengan nama Loeh Ratna). Saat ia meminta restu ayahnya untuk menikahi Loeh Tirta, Pan Sangga menolak karena silsilah keluarganya tidak jelas. Akhirnya Sangga menceraikan Wiri dan mencari Loeh Tirta. Ketika sedang mencari di hutan, ia bertemu Soedana. Keduanya pun bertemu Loeh Tirta, tetapi Loeh Tirta sudah menikah. Lantas Sangga pulang karena ia mengira Soedana juga ingin menikahi Loeh Tirta. Setelah itu, Soedana bertemu ibu angkatnya. PengaruhI Nyoman Darma Putra, kritikus sastra Bali, berpendapat bahwa penulis novel ini (I Wayan Gobiah) mungkin terinspirasi oleh novel-novel berbahasa Melayu dan sejumlah cerita pendek berbahasa Bali seperti "Pamadat" dan "Ajam Mepaloe" karya Made Pasek.[2] TemaNovel ini memiliki dua tema utama, yaitu pernikahan paksa dan pernikahan tulus. Sama halnya dengan novel berbahasa Melayu pada masa itu, seperti Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli dan Salah Asuhan (1927) karya Abdul Muis, Nemoe Karma menggambarkan pernikahan paksa berakhir buruk. Novel ini juga menunjukkan bahwa pernikahan tulus berakhir bahagia.[3] Namun tidak seperti novel-novel tadi, Nemoe Karma tidak mengandung pesan politik.[4] Putra menulis bahwa novel ini mewakili masyarakat Bali di kasta terbawah pada tahun 1920-an yang menggemari perjudian. Ia menulis bahwa novel ini juga menyertakan pesan tentang pentingnya keyakinan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pendidikan, dan diskursus soal pentingnya upacara tradisional yang mewah.[4] Rilis dan tanggapanNemoe Karma diterbitkan oleh Balai Pustaka, rumah penerbitan milik pemerintah Hindia Belanda, pada tahun 1931. Meski begitu, majalah budaya kontemporer seperti Bhawanegara dan Djatajoe tidak pernah menyebut judulnya sehingga diduga Nemoe Karma diterbitkan dalam jumlah terbatas.[5] Novel ini baru dijadikan topik penelitian akademik pada tahun 1969, ketika peneliti sastra Ngurah Bagus mengklaimnya sebagai novel berbahasa Bali pertama.[6] Klaim ini juga diamini oleh beberapa makalah yang diterbitkan pada dasawarsa sebelumnya oleh pakar-pakar lainnya.[5] Sejak itu, Nemoe Karma dianggap luas sebagai asal usul sastra Bali modern walaupun ada cerita-cerita pendek yang usianya lebih tua. Hal ini mungkin dikarenakan Nemoe Karma lebih mudah diketahui masyarakat.[7] Novel berbahasa Bali selanjutnya, Mlantjaran ka Sasak, diterbitkan dalam format serial di Djatajoe pada tahun 1935 sampai 1939.[8] Referensi
|