I Wayan Gobiah

I Wayan Gobiah (ca 1898 – ?) adalah guru dan penulis Bali. Ia dikenal karena Nemoe Karma, novel tahun 1931 karyanya yang diakui sebagai novel berbahasa Bali pertama dan dianggap sebagai pembuka era sastra Bali modern.

Biografi

Tidak banyak diketahui soal kehidupan Gobiah meski sudah banyak ahli yang menelitinya.[1] Gobiah diperkirakan lahir tahun 1898 dari sebuah keluarga miskin di desa Panjer, Kabupaten Badung, Bali (sekarang bagian dari Denpasar Selatan). Ayah Gobiah adalah pelayan Raja Tjokorda di Istana Denpasar. Keluarganya diberikan tanah oleh pihak istana untuk tempat tinggal sebagai balasan atas jasa ayahnya.[2]

Saat intervensi Belanda tahun 1906, Gobiah ditugaskan mengawal Pangeran Ida Tjokardo Alit Ngurah untuk mengungsi ke Lombok. Atas perintah pangeran, Gobiah disekolahkan sampai tahun ketiga di sekolah setempat. Setelah menghabiskan waktu di sana, ia dikirim ke Singaraja untuk melanjutkan studinya pada tahun 1910.[2] Di Singaraja, ia belajar menjadi seorang guru di bawah arahan Mas Nitisastro. Nitisastro, yang juga menyambi sebagai penulis, menggunakan beberapa cerita pendek berbahasa Bali untuk menarik perhatian murid-muridnya dan memperkenalkan dunia sastra kepada mereka.[3][4] Tahun 1912, Gobiah dikabarkan sudah bekerja sebagai guru di Denpasar pada usia 14 tahun.[3]

Saat menjadi guru, Gobiah mulai tertarik dengan dunia teater, termasuk tari dan nyanyian tradisional. Pada tahun 1919, ia menjadi kepala sekolah dasar di Mengwi, Badung.[3] Di Mengwi, ia menikahi Si Luh Rupek dan keduanya dikaruniai satu anak. Tidak lama setelah kelahiran anak mereka, Si Luh Rupek jatuh sakit dan meninggal dunia. Anaknya meninggal dunia beberapa tahun kemudian.[5]

Untuk menghabiskan waktu, Gobiah mulai rajin membaca. Melalui sekolah dan kontaknya dengan Mas Nitisastro, ia berlangganan periodik terbitan Balai Pustaka seperti Pandji Poestaka dan Seri Poestaka. Ia juga membaca beberapa novel seperti Sitti Nurbaya (1922) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.[5] Menurut pakar sastra Bali, I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa, bahan bacaan tersebut sangat memengaruhi karya sastra Gobiah.[6]

Pada tahun 1922, Gobiah menulis ulang sejumlah cerita tradisional supaya bisa dibaca murid-muridnya. Ia kemudian menerjemahkan karya lainnya ke bahasa Bali.[5] Tahun 1923, ia menerbitkan fabel bergambar berjudul Satua Lutung Mungil yang ditulis dalam aksara Bali. Fabel tersebut kelak diterbitkan ulang oleh Balai Pustaka.[7][8] Setelah Satua Lutung Mungil, ia menerbitkan kisah Rare Angon dalam bentuk geguritan pada tahun 1926. Meski Gobiah diketahui menerima bayaran dari Balai Pustaka atas karya-karyanya, belum jelas apakah karya tersebut diterbitkan atau tidak. Ia menikah lagi tidak lama kemudian.[7]

Karya terbesar Gobiah, Nemoe Karma, diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1931. Ini adalah novel berbahasa Bali pertama dan mengambil tema perjodohan dan asmara.[7]

Referensi

Catatan kaki
  1. ^ Putra 2010, hlm. 18.
  2. ^ a b Putra 2010, hlm. 19.
  3. ^ a b c Putra 2010, hlm. 20.
  4. ^ Suardiana 2012, hlm. 31.
  5. ^ a b c Putra 2010, hlm. 21.
  6. ^ Bagus & Ginarsa 1978, hlm. ii.
  7. ^ a b c Putra 2010, hlm. 22.
  8. ^ Marrison 1987, hlm. 21.
Daftar pustaka
  • Bagus, I Gusti Ngurah; Ginarsa, I Ketut (1978). Kembang Rampé Kasusastran Bali Purwa (dalam bahasa Balinese). Singaraja: Language Research Centre. OCLC 68577534. 
  • Marrison, G. (1987). "Modern Balinese — A regional literature of Indonesia". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Leiden. 143 (4): 468–498. [pranala nonaktif permanen]
  • Putra, I Nyoman Darma (2010). Tonggak Baru Sastra Bali Modern (dalam bahasa Indonesian) (edisi ke-2nd). Denpasar: Pustaka Larasan. ISBN 978-979-3790-51-0. 
  • Suardiana, I Wayan (2012). "Kesusastraan Bali dalam Menjawab Tantangan Global". Jurnal IKADBUDI (dalam bahasa Indonesian). Yogyakarta: IKADBUDI. 1 (1). 
Kembali kehalaman sebelumnya