Nathu La
Nathu La (ⓘ (Nepali: नाथू ला, Bahasa Tibet: རན ཐོས ལ, Wylie: Rna thos la; bahasa Mandarin: 乃堆拉山口, Pinyin: Nǎiduī Lā Shānkǒu), juga dibaca Ntula, Natu La, Nathula, atau Natula, adalah sebuah jalur gunung di perbatasan India-Tiongkok yang menghubungkan negara bagian India Sikkim dengan Kabupaten Yadong di perbatasan selatan Tibet. Jalur ini, terletak pada ketinggian 4.310 m di atas permukaan laut,[1] membentuk sebagian dari Jalur Sutra kuno. Nama Nathu secara literal berarti "telinga yang mendengar", dan La berarti "jalur" dalam bahasa Tibet.[2] Di sisi India, jalur tersebut berjarak 54 km (34 mi) dari timur Gangtok, ibu kota negara bagian India Sikkim. Hanya warga India yang dapat mengunjungi jalur tersebut, dan hanya dapat masuk setelah meminta izin di Gangtok. Nathu La adalah salah satu dari dua pos perbatasan dagang terbuka antara Tiongkok dan India; yang lainnya adalah Shipkila di Himachal Pradesh dan Lipulekh (atau Lipulech) di Nepal.[3] Disegel oleh India setelah Perang Tiongkok-India 1962, Nathu La kembali dibuka pada 2006 setelah sejumlah perjanjian dagang bilateral. Pembukaan jalur tersebut memajukan ekonomi di kawasan tersebut dan memainkan peran penting dalam pertumbuhan perdagangan Tiongkok-India. Namun, pembukaan tersebut tidak memuaskan. Saat ini, perjanjian antara dua negara tersebut membatasi perdagangan melintasi perbatasan tersebut untuk 29 jenis barang dari India dan 15 dari sisi Tiongkok. Pembukaan tersebut memperpendek jarak perjalanan menuju situs peziarahan Hindu dan Buddha di kawasan tersebut. Jalur tersebut juga merupakan empat titik Pertemuan Personil Perbatasan yang disetujui secara resmi antara Angkatan Darat India dan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok untuk konsultasi dan interaksi reguler antara dua kelompok tentara tersebut, yang membantu meredakan keadaan. Empat Pertemuan Personil Perbatasan tersebut adalah: Chushul di Ladakh, Nathu La di Sikkim, Jalur Bum La di distrik Tawang, Arunachal Pradesh, dan Jalur Lipulekh di Uttarakhand, yang berjarak 35 kilometer (22 mi) dari kota Tiongkok Burang.[4] SejarahNathu La terletak di Rute Sutra Lama yang memiliki panjang 563 km (350 mi), sebuah bagian dari Jalur Sutra yang bersejarah. Rute Sutra Lama menghubungkan Lhasa di Tibet dengan dataran Bengal di bagian selatan. Pada 1815, volume perdagangan meningkat setelah Inggris menganeksasi teritorial tersebut dengan memasukkannya dalam Sikkim, Nepal, dan Bhutan. Potensial Nathu La diwujudkan pada 1873, setelah Deputi Komisioner Darjeeling menerbitkan sebuah laporan tentang pengaruh strategis jalur-jalur gunung antara Sikkim dan Tibet. Pada Desember 1893, penguasa Sikkim dan Tibet menandatangani sebuah perjanjian untuk meningkatkan perdagangan antara dua negara tersebut.[2] Perjanjian tersebut diwujudkan pada 1894 ketika jalur dagang tersebut dibuka.[5] Nathu La memainkan peran vital pada ekspedisi Inggris ke Tibet 1903–1904, yang dilakukan untuk mencegah Kekaisaran Rusia ikut campur dalam urusan Tibet dan kemudian menjejakkan kaki di kawasan tersebut. Pada 1904, Mayor Francis Younghusband, yang menjabat sebagai Komisioner Inggris untuk Tibet, memimpin sebuah misi melalui Nathu La untuk meaklukan Lhasa. Misi tersebut berujung pada dibukanya pos-pos dagang di Gyantse dan Gartok, Tibet, dan memberikan kekuasaan terhadap wilayah sekitaran Lembah Chumbi kepada Inggris. Pada November berikutnya, Tiongkok dan Britania Raya meratifikasi sebuah perjanjian yang menyepakati perdagangan antara Sikkim dan Tibet.[6][7] Pada 1947 dan 1948, sebuah jajak pendapat pendapat populer bagi Sikkim untuk bergabung dengan India yang baru merdeka gagal dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru memutuskan untuk memberikan status protektorat istimewa kepada Sikkim. Sikkim sepakat untuk menjadi negara protektorat dan pasukan India mengijinkan orang untuk melintasi perbatasannya, termasuk Nathu La. Pada masa tersebut, lebih dari 1.000 bagal dan 700 orang terlibat dalam perdagangan lintas perbatasan melalui Nathu La.[5] Pada 1949, ketika pemerintah Tibet melarang kaum Tionghoa tinggal di sana, sebagian besar dari mereka diusir pulang ke kampung halaman melalui rute Nathu La–Sikkim–Kolkata.[8] Dalai Lama saat ini, Tenzin Gyatso, menggunakan jalur tersebut untuk menuju ke India pada hari raya kelahiran Buddha Gautama ke-2.500, yang berlangsung antara November 1956 dan Februari 1957.[9] Kemudian, pada 1 September 1958, Nehru, putrinya Indira Gandhi, dan Palden Thondup Namgyal (putra dari—dan penasehat urusan dalam negeri untuk—Tashi Namgyal, Chogyal Sikkim) menggunakan jalur tersebut untuk mengunjungi sekitaran Bhutan. Setelah Republik Rakyat Tiongkok menguasai Tibet pada 1950 dan timbulnya pemberontakan Tibet pada 1959, jalur-jalur di Sikkim menjadi tempat penampungan untuk para pengungsi dari Tibet. Pada masa Perang Tiongkok-India 1962, Nathu La menjadi saksi bisu pertikaian antara para prajurit dari dua negara tersebut. Tak lama setelah itu, jalur tersebut disegel dan masih ditutup selama lebih dari empat dekade. Antara 7 dan 13 September 1967, terjadi "pertikaian perbatasan" selama enam hari antara Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok dengan Angkatan Darat India, yang meliputi pelucutan senjata artileri berat.[10] Pada 1975, Sikkim diberikan kepada India dan Nathu La menjadi bagian dari teritorial India. Namun, pada waktu itu Tiongkok menolak untuk memberikan akses. Pada 2003, dengan meredanya hubungan Tiongkok-India, Perdana Menteri India Atal Bihari Vajpayee mengunjungi Tiongkok untuk mengadakan pembicaraan agar membuka perbatasan tersebut. Kemudian pada 2004, Menteri Pertahanan India mengunjungi Tiongkok untuk pembukaan resmi jalur tersebut. Pembukaan tersebut, yang awalnya dijadwalkan pada 2 Oktober 2005, tertunda karena masalah infrastruktur menit terakhir di sisi Tiongkok. Pada akhirnya, setelah pembicaraan selama puluhan tahun, Nathu La dibuka pada 6 Juli 2006.[11] Tanggal pembukaan kembali tersebut, yang juga secara resmi mengakui Tibet sebagai bagian dari Tibet sebagai bagian dari Tiongkok oleh India dan aksesi Sikkim ke India,[7] bertepatan dengan hari kelahiran Dalai Lama yang sedang menjabat.[7] Bertahun-tahun sebelum pembukaan kembali tersebut, satu-satunya orang yang diizinkan untuk melintasi perbatasan berkawat duri tersebut adalah seorang tukang pos Tionghoa dengan seorang anggota militer India, yang mengantarkan surat ke India di sebuah bangunan di perbatasan tersebut. Pembukaan jalur tersebut ditandai dengan sebuah upacara di sisi India yang dihadiri oleh para pejabat dari kedua negara tersebut. Sebuah delegasi yang terdiri dari pedagang asal India dan 100 orang Tibet melintasi perbatasan tersebut untuk mendatangi kota-kota perdagangan. Selain hujan deras dan udara dingin, acara tersebut ditandai oleh kehadiran beberapa penjabat, penduduk lokal, dan media lokal dan internasional.[11] Kawat berduri yang memisahkan antara India dan Tiongkok diganti dengan jalan berdinding batu sebesar 10 m (30 kaki).[12] Acara tersebut juga menandai tahun 2006 sebagai tahun persahabatan Tiongkok-India.[12][13] GeografiJalur tersebut berjarak 54 km (34 mi) dari timur Gangtok, ibu kota Sikkim dan 430 km (270 mi) dari Lhasa, ibu kota Tibet.[14][15] Pada musim dingin, jalur tersebut terblokir oleh hujan salju deras. Karena tidak ada pusat meteorologi di Nathu La, ukuran sistematis dari data metereologi (seperti suku dan curah hujan) tidak tersedia untuk kawasan tersebut.[16] Namun, jalur tersebut diketahui memiliki tinggi mencapai pegunungan Himalaya di sekitaran kawasan tersebut, suhu musim panas tidak pernah mencapai 15 °C (59 °F).[17] Nathu La memiliki tanah yang cukup dangkal, sebagian besar kering, kasar, dan liat di lereng curam (30-50%) dengan permukaan liat yang dipenuhi kerikil, erosi menengah, dan banyaknya bebatuan moderat.[14] Wilayah tersebut memiliki beberapa zona tenggelam dan sebagian rawan akan longsor.[18] Untuk menjaga kelestarian lingkungan Nathu La di sisi India, pemerintah India mengatur arus wisatawan. Pemeliharaan jalan dipercayakan kepada Organisasi Jalan Perbatasan, sebuah sayap dari Angkatan Darat India.[19] Di sisi Tiongkok, jalur tersebut mengarah ke Lembah Chumbi di Dataran tinggi Tibet.[20] Flora dan faunaKarena ketinggian tanah meningkat di sekitaran jalur tersebut, vegetasi tumbuh dari hutan sub-tropis di bagian dasarnya, kawasan bersuhu sedang, iklim alpen yang kering dan dingin, dan juga gurun tundra dingin. Di sekitaran Nathu La dan sisi Tibet, kawasan tersebut hanya memiliki sedikit vegetasi selain tumbuhan lumut. Spesies-spesies utama di kawasan tersebut meliputi Rhododendron kerdil (Rhododendron anthopogon, R. setosum) dan Juniperus. Padang rumputnya meliputi genera Poa, Meconopsis, Pedicularis, Primula, dan Aconitum. Kawasan tersebut memiliki musim tumbuh selama empat bulan dimana rumput, sedge, dan tanaman obat bertumbuh dan mendukung kedatangan serangga, herbivora liar dan domestik, lark, dan finch. Suaka Margasatwa Gunung Kyongnosla yang berdekatan dengan jalur tersebut, ditumbuhi oleh anggrek tanah dan rhododendrons bersama dengan juniper tinggi dan fir perak.[21] Tidak ada pemukiman manusia permanen di kawasan tersebut, meskipun tempat tersebut memiliki sejumlah besar personil pertahanan yang menjaga perbatasan pada kedua sisi. Sejumlah kecil grazier Tibet nomadik atau kawanan yak Dokpas, domba dan kambing jenis pashmina di kawasan tersebut. Terdapat tekanan penggembalaan intensif karena herbivora liar dan domestik di lahan tersebut. Yak ditemukan di bagian-bagian tersebut, dan di beberapa desa, hewan tersebut digunakan sebagai hewan pikul.[22] Kawasan di sekitar Nathu La berisi beberapa spesies terancam, yang meliputi gazelle Tibet, macan tutul salju, serigala Tibet, Tetraogallus tibetanus, hering berjanggut, raven, elang emas, dan Tadorna ferruginea. Anjing Feral dianggap sebagai pemangsa utama di kawasan tersebut. Keberadaan pertambangan di kawasan tersebut memberikan ancaman bagi yak, nayan, kiang, dan serigala Tibet.[23] Avifaunanya terdiri dari berbagai jenis laughing thrush, yang tinggal di perdu-perdu dan di wilayah hutan. Ciung-batu siul, redstart, dan Enicurus ditemukan di dekat aliran gunung dan air terjun. Spesies pemburuan campuran di wilayah tersebut meliputi warbler, Timaliidae, Certhiidae, burung kacamata, wren, dan Carpodacus. Burung pemangsa seperti elang hitam, elang tikus dan kestrel; dan pheasant seperti monal dan Ithaginis cruentus juga dapat ditemukan.[23] EkonomiSampai 1962, sebelum jalur tersebut disegel, barang-barang seperti pena, arloji, sereal, baju kapas, minyak pangan, sabun, bahan bangunan, dan skuter dan kendaraan roda empat diekspor ke Tibet melalui jalur tersebut menggunakan bagal. Dua ratus bagal, yang memiliki berat sekitar 80 kilogram (180 pon), digunakan untuk mengantar barang-barang dari Gangtok ke Lhasa, yang menempuh perjalanan selama 20–25 hari. Setelah kembali, sutra, wol mentah, musk pod, tanaman obat, minuman keras, batu indah, emas, dan peralatan perak diimpor ke India.[24] Sebagian besar perdagangan pada hari-hari tersebut dilakukan oleh komunitas Marwari, yang memiliki 95% dari 200 firma terotorisasi.[7] Sejak Juli 2006, perdagangan dibuka dari hari Senin sampai Kamis.[11] Ekspor dari India yang melewati jalur tersebut meliputi peralatan agribudaya, selimut, produk tani, pakaian, sepeda, kopi, teh, jelai, beras, gandum, tepung, buah-buahan kering, sayur-sayuran, minyak sayur, tembakau, snuff, rempah-rempah, sepatu, minyak kerosin, alat tulis, perkakas, produk olahan susu, makanan kaleng, bahan pewarna, dan herbal lokal. Ekspor Tiongkok ke India yang melewati jalur tersebut meliputi kulit kambing, kulit domba, wol, sutra mentah, buntut yak, rambut yak, tanah liat Tiongkok, boraks, mentega, garam, kuda, kambing, dan domba.[3][25] Perdagangan tersebut dilakukan oleh para pedaganh, dengan ijin hanya diberikan kepada warga Sikkim sebelum kerajaan tersebut digabung dengan India pada 1975. Terdapat ketakutan di antara beberapa pedagang di India yang menganggap barang-barang India hanya akan ditemukan pada sebuah otlet terbatas di Tibet, meskipun Tiongkok memberikan akses ke sebuah pasar siap sedia di Sikkim dan Bengal Barat.[26] Pembukaan kembali jalur tersebut diadakan demi menumbuhkan perekonomian di kawasan tersebut dan meningkatkan perdagangan India-Tiongkok, namun hal tersebut tidak terjadi. Angka yang dirilis oleh Biro Komersial Wilayah Otonomi Tibet menunjukan bahwa dalam 51 hari perdagangan pada 2006, keuntungan dagang yang didapat melalui Nathu La hanya sejumlah US$186,250.[27] Di sisi India, hanya warga negara India yang dapat mengunjungi jalur tersebut pada hari Rabu, Kamis, Sabtu, dan Minggu,[14] setelah menunggu pemberian ijin selama satu hari di Gangtok.[28] Jalur tersebut biasanya digunakan untuk para peziarah yang akan mengunjungi kuil-kuil di Sikkim seperti Rumtek, salah satu wihara tersuci bagi umat Buddha. Bagi umat Hindu, jalur tersebut merupakan tempat yang dilintasi pada waktu perjalanan menuju ke Danau Mansarovar dari liam belas sampai dua hari.[29] Sorotan utama dari pemerintah India adalah perdagangan produk-produk hewan liar seperti harimau dan kulit dan tulang macan tutul, empedu beruang, bulu berang-berang, dan wol shahtoosh ke India. Pemerintah India mengambil sebuah program untuk mengerahkan polisi dan agensi penegakan hukum di wilayah tersebut. Sebagian besar perdagangan semacam itu sekarang dilakukan melalui Nepal.[30] TransportasiDi sisi Tibet, dua jalan tol — dari Kangmar menuju Yadong dan dari Yadong menuju Nathu La — masuk dalam rencana pembangunan 2006. Rencana tersebut juga diikuti dengan pendirian Jalur Kereta Api Qinghai-Tibet menuju Yadong pada dekade berikutnya.[31] Stasiun kereta api terdekatnya adalah Jalpaiguri Baru (Siliguri) di India dan Xigazê di Tiongkok. Pemerintah Tiongkok berencana untuk menyediakan layanan kereta apinya menuju Yadong, yang berjarak beberapa kilometer (mil) dari Nathu La.[32] Selain itu, Pemerintah India merencanakan penyediaan layanan kereta api dari Sevoke di distrik Darjeeling menuju ibu kota to Sikkim Gangtok, yang berjarak 38 mil (61 km) dari Nathu La.[33][34] Lihat pulaReferensi
Bacaan tambahan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Nathu La. Definisi kamus Nathu La di Wikikamus Kutipan tentang Nathula di Wikikutip Media tentang Nathu La di Wikimedia Commons
|