Matteo Ricci
Matteo Ricci (pelafalan dalam bahasa Italia: [matˈtɛːo ˈrittʃi]; 6 Oktober 1552 – 1 Mei 1610; Hanzi Tradisional: 利瑪竇; pinyin: Lì Mǎdòu; bahasa Latin: Mattheus Riccius Maceratensis) adalah seorang pastur dari Ordo Yesuit Italia yang melakukan aktivitas misionarisnya di Tiongkok selama masa Dinasti Ming.[1] Matteo Ricci masih dikenal sebagai salah seorang misionaris terhebat di Tiongkok.[1] Ricci adalah pioner yang memperkenalkan budaya Barat ke Tiongkok.[2] Gereja yang dia bangun masih menjadi Gereja Katolik terbesar yang selamat dari Revolusi Kebudayaan.[1] Ia yang memperkenalkan metode penginjilan akomodasi.[1] Awal hidupRicci lahir di Macareta, Negara Gereja pada tanggal 16 Oktober 1552.[1] Ia meninggal di Beijing, pada tanggal 11 Mei 1610.[1] Matteo Ricci adalah anak sulung dari keluarga Ser Giovanni Battista Ricci dengan Giovanna Angiolelli.[3] Atah Ricci adalah seorang ahli farmasi dan juga pernah menjadi camat.[3] Ayahnya berharap suatu saat Ricci akan menjadi ahli hukum atau pemerintahan.[3] Pada masa kecilnya, Ricci tinggal bersama neneknya yang bernama Laria.[3] PendidikanRicci belajar bahasa Latin di bawah bimbingan Nicolo Bencivegni, seorang imam Diosesan, hingga usia 7 tahun.[3] Ketika berusia 16 tahun, setelah lulus sekolah menengah, Ricci diutus ayahnya untuk menempuh pendidikan hukum di Roma.[1][2][3] Selama Ricci belajar ilmu hukum di Roma, Ricci bergabung dalam Konggregasi Maria.[1] Namun, ia tidak menjadi ahli hukum seperti yang diharapkan oleh ayahnya.[2][3] Ricci memilih untuk masuk ke Serikat Yesus pada tanggal 15 Agustus 1571.[3] Ricci mengikuti pelatihan bagi para calon biarawan di Sant' Andrea.[1][2] Pada tahun 1852, Ricci mempelajari peradaban skolastik di Universitas Roma (Roman College).[1] Tidak hanya itu, di sana, Ricci juga belajar matematika, ilmu pengetahuan alam, humaniora, dan etika[1] Guru matematika Ricci adalah Christopher Clavius.[2] Ricci yang memperkenalkan kepada penganut Stoa tentang filosofi moral.[1] Bagi Ricci dan rekan-rekan dari ordo Yesuitnya, sistem pembelajaran yang humanistik adalah fondasi bagi iman Kristen dan penyingkapan wahyu illahi.[1] Sejak Mei 1577, Ricci belajar bahasa Portugis di Universitas Coimbra selama sembilan bulan.[1] Ricci harus mempelajari pemikiran Aristoteles dan Thomas Aquinas selama belajar di sana.[1] Hal-hal yang dipelajari oleh Ricci selama ia menuntut ilmu ini, Ia perkenalkan kepada orang-orang Tiongkok saat ia menjalankan misi di Tiongkok.[1] Pada tanggal 24 Maret 1578, Ricci meninggalkan Lisbon dan tinggal di Goa selama empat tahun.[1] Di Goa, Ricci melanjutkan studi teologinya dan memulihkan kesehatannya yang terganggu.[1] Ia juga ditahbiskan menjadi uskup di Goa pada tanggal 26 Juli 1580.[1] Misi di TiongkokPada tahun 1580 Ricci tiba di Makau dan segera belajar bahasa dan tulisan Tionghoa.[1] Dalam waktu 3 bulan, Ricci sudah berhasil menguasai bahasa Tionghoa.[3] Pada tahun 1583, Ricci dan Michele Ruggeri memperoleh izin dari penguasa Cina untuk masuk ke Provinsi Guangdong dan Guangxi.[1] Ricci pun diberi izin tinggal di Kota Zhaoqing yang terletak hanya beberapa mil dari Guangdong.[1] Ricci dan Michele Ruggeri berpakaian abu-abu, sama seperti para biarawan Budhis.[1][4] Ricci mengubah namanya menjadi Li Ma Dou.[4] Tindakkan Ricci yang mau beradaptasi terhadap budaya setempat, membuat orang-orang Tiongkok bersimpati pada Ricci.[1] Ricci menemui Kaisar Wan Li.[4] Ia mengatakan kepada Kaisar Wan Li bahwa ia datang ke Tiongkok untuk mempelajari kekayaan dari peradaban Cina sambil membawa upeti.[4] Selama berada di sana, Ricci dan Ruggieri membuat Katekismus.[4] Selama membuat katekismus, Ricci juga mengalami kesulitan dalam mencari padanan kata dalam bahasa Tionghoa untuk terminologi Kristen, agar tidak disalah artikan. Misalnya, Ricci menerjemahkan Allah ke dalam bahasa Tionghoa dengan sebutan T’ien Chu.[4] Ia juga mengalami kesulitan sejauh mana adat istiadat Tiongkok kuno bisa didamaikan dengan prinsip-prinsip Kristen.[4] Hingga akhir hayat Ricci, sudah ada 2.500 orang Tiongkok dari berbagai golongan yang dibaptis.[3] Peta yang dibuat Ricci pun berhasil menyadarkan orang Tiongkok bahwa dunia ini bukanlah datar dan mereka bukanlah satu-satunya peradaban yang paling kuat di dunia ini. [5] Pendekatan Ricci terhadap budaya TionghoaMateo Ricci fasih menutur berbahasa Tionghoa sebaik membaca dan menulis Bahasa Tionghoa Klasik, bahasa literatur para cendekiawan dan pejabat. Dia dikenal sebagai pengagum budaya Tionghoa secara umum namun mengutuk praktik prostitusi yang populer di Peking pada saat itu.[6] Selama penelitiannya, dia menyadari bahwa kontras dengan Asia Selatan, budaya Tionghoa sangat terikat dengan nilai-nilai Konfusianisme dan oleh karena itu memutuskan untuk menggunakan konsep Tionghoa yang ada untuk menjelaskan agama Kristen.[7] Dengan persetujuan formal atasannya Valignano, ia menyejajarkan dirinya dengan sastrawan intelektual elit Konfusianisme,[8] dan bahkan mengadopsi mode pakaian mereka. Dia tidak menjelaskan bahwa iman Katolik sama sekali asing atau baru; sebaliknya, ia mengatakan bahwa budaya dan orang-orang Tionghoa selalu percaya pada Tuhan dan bahwa kekristenan hanyalah pelengkap dari iman mereka.[9] Dia malah meminjam istilah Tionghoa yang tidak lazim, Tiānzhǔ (天主, "Tuhan Surgawi") untuk menjelaskan Tuhan pada agama Abrahamik, meskipun istilah ini berasal dari pemujaan tradisional Surga di Tiongkok (Dia juga mengutip banyak sinonim dari kanon Konfusianisme). Dia mendukung tradisi Tionghoa dengan menyetujui pemujaan leluhur keluarga. Misionaris ordo Dominikan dan Fransiskan menganggap ini merupakan tradisi yang tidak dapat diterima, dan kemudian mengajukan banding ke Takhta Suci tentang masalah ini.[9] Pertikaian ritus terus berlanjut selama berabad-abad kemudian, dengan pernyataan Vatikan terbaru pada tahun 1939. Beberapa penulis kontemporer memuji Ricci sebagai contoh inkulturasi yang bermanfaat,[10][11] tetapi pada saat yang sama menghindari pemutarbalikkan pesan Injil atau mengabaikan media budaya asli.[12] Seperti perkembangan di India, identifikasi budaya Eropa dengan Kekristenan menyebabkan hampir berakhirnya misi Katolik di Tiongkok, tetapi Kekristenan terus tumbuh di Sichuan dan beberapa lokasi lainnya..[9] Xu Guangqi dan Ricci merupakan dua orang pertama yang menerjemahkan beberapa klasik Konfusianisme ke dalam bahasa-bahasa dunia barat yaitu bahasa Latin. Ricci juga bertemu dengan utusan Korea ke Tiongkok, Yi Sugwang. Dia mengajar prinsip dasar Katolik kepada Yi dan memberinya beberapa buku tentang Barat yang dimasukkan ke dalam Jibong Yuseol, ensiklopedia Korea pertama.[13] Bersamaan dengan pemberian João Rodrigues kepada duta besar Jeong Duwon pada tahun 1631, pemberian Ricci memengaruhi penciptaan gerakan Silhak Korea.[14] Pranala luar
Referensi
|