LaskarLaskar adalah kelasi atau milisi dari Asia Selatan, Asia Tenggara, dunia Arab, dan negeri-negeri lain di sebelah timur Tanjung Harapan, yang dipekerjakan di atas kapal-kapal Eropa sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-20. Istilah laskar (dilafalkan pula sebagai lasykar dan alaskar) berasal dari kata al-askar, kata Arab untuk pengawal atau prajurit. Kata ini diserap dan diadaptasi oleh Portugis menjadi istilah lascarim, yang berarti milisi atau pelaut Asia, khususnya yang berasal dari negeri-negeri di sebelah timur Tanjung Harapan. Definisi istilah Portugis ini mencakup semua awak kapal yang berkebangsaan India, Melayu, Tionghoa, dan Jepang. Orang-orang Inggris yang bekerja pada Kompeni Inggris mula-mula menyebut para laskar India dengan sebutan Portugis Hitam atau Topaze, tetapi kelak mengadopsi istilah Portugis dan menyebut mereka sebagai laskar.[1] Para laskar bekerja di atas kapal-kapal Inggris berdasarkan "lascar agreement" (surat perjanjian kerja laskar). Surat perjanjian kerja ini jauh lebih menguntungkan pihak pemilik kapal jika dibandingkan dengan surat-surat perjanjian kerja biasa. Para laskar dapat saja dipindahkan dari satu kapal ke kapal lain, dan terikat masa kerja sampai dengan tiga tahun untuk sekali kontrak. Sebutan laskar juga digunakan untuk menyebut para pelayan India, yang biasanya dipekerjakan oleh perwira-perwira militer Inggris.[2] SejarahAbad keenam belasKelasi-kelasi India sudah dipekerjakan di atas kapal-kapal Eropa sejak pelayaran pertama orang Eropa ke India. Vasco da Gama, orang Eropa pertama yang sampai ke India melalui laut (pada 1498), mempekerjakan seorang pandu India di Malindi (sebuah pemukiman pesisir di Kenya sekarang) untuk mengemudikan kapal Portugis menyeberangi Samudra Hindia menuju Pesisir Malabar di barat daya India. Kapal-kapal Portugis terus-menerus mempekerjakan laskar-laskar dari Asia Selatan dalam jumlah besar sepanjang abad ke-16 dan ke-17, terutama laskar-laskar dari Goa dan daerah-daerah jajahan Portugis lainnya di India. Orang-orang Portugis menggunakan istilah laskar sebagai sebutan untuk semua kelasi di atas kapal-kapal mereka yang berasal dari Hindia, yang mereka definisikan sebagai negeri-negeri di sebelah timur Tanjung Harapan. Melalui kekaisaran-kekaisaran dunia bahari Portugis dan Spanyol, beberapa laskar Asia Selatan berhasil mendapatkan pekerjaan di atas kapal-kapal Inggris, dan berada di antara para kelasi di atas kapal-kapal pertama milik Kompeni Inggris yang berlayar ke India. Awak kapal laskar-laskar dari Asia Selatan diabadikan pula dalam lukisan sekat-sekat Namban buatan Jepang dari abad ke-16.[3] Orang-orang Luso-Asia tampaknya mengembangkan bahasa Portugis pijin mereka sendiri yang digunakan di seluruh Asia Selatan dan Asia Tenggara.[4] Abad ketujuh belasSewaktu mengadopsi istilah laskar, orang-orang Inggris mula-mula menggunakannya sebagai sebutan untuk semua awak kapal dari Asia, tetapi selepas 1661 dan penyerahan Bombay oleh Portugis kepada Inggris, istilah ini lebih sering digunakan sebagai sebutan untuk awak kapal dari Asia Selatan atau Asia Tenggara. Istilah lain adalah "Topaze" yang digunakan sebagai sebutan untuk milisi Angkatan Laut Indo-Portugis khususnya yang berasal dari Bombay, Thana, dan dari bekas-bekas wilayah kekuasaan Portugis seperti Diu, Damman, Kochi, dan Sungai Hugli. Istilah Sepoy digunakan sebagai sebutan untuk para milisi dari Asia Selatan dalam dinas ketentaraan Inggris. Jumlah kelasi india di atas kapal-kapal Inggris telah mencapai angka yang begitu besar sampai-sampai Inggris berusaha membatasinya dengan mengeluarkan Akta Pelayaran yang diberlakukan mulai 1660. Akta Pelayaran mewajibkan jumlah awak Inggris di atas kapal beregistrasi Inggris yang mengangkut barang-barang impor dari Asia harus mencapai 75 persen. Mula-mula, kebutuhan akan tenaga laskar muncul karena tingginya angka pesakitan dan kematian pelaut Eropa di atas kapal-kapal yang berlayar ke India, dan seringnya mereka melakukan desersi di India, yang mengakibatkan berkurangnya jumlah awak kapal yang diperlukan untuk pelayaran balik. Alasan lain adalah perang, manakala Angkatan Laut Kerajaan mengikutsertakan semua pelaut Inggris dalam wajib militer, sehingga menghambat kegiatan pelayaran kapal-kapal Kompeni di India.[5] Abad kedelapan belasPada 1756, sebuah armada dipimpin Laksamana Pocock dan Laksamana Watson, bersama satu pasukan ekspedisi militer dipimpin Letnan Kolonel Robert Clive bertolak dari Bombay, membawa serta 1300 orang, termasuk 700 orang Eropa, 300 Sepoy dan 300 'Indo-Portugis Topaze'. Ekspedisi melawan Angria adalah salah satu referensi pertama tentang pengerahan milisi Indo-Portugis sekaligus salah satu aksi pertama para Marinir Bombay. Laskar-laskar juga diikutsertakan dalam dinas ketentaraan Inggris di bawah pimpinan Adipati Wellington dalam peperangan pada penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 di India.[6] Pada 1786, Committee for the Relief of the Black Poor (Komisi Bantuan bagi Fakir Miskin Hitam) mula-mula dibentuk berkat kepedulian atas nasib laskar-laskar telantar di London. Sekalipun demikian, dalam sebuah laporan yang disusun sebulan sesudah komisi ini dibentuk, diketahui bahwa hanya 35 dari 250 penerima bantuan yang adalah laskar. Dalam pelayaran kedua Kapten James Cook ke Pasifik yang berakhir nahas itu, HMS Resolution mengalami kehilangan begitu banyak awak kapal (termasuk Kapten Cook) sehingga harus merekrut awak kapal baru di Asia untuk berlayar kembali ke Inggris. Para laskar menerima upah sebanyak 5% dari jumlah upah rekan-rekan sekerja mereka yang berkulit putih, kerap disuruh bekerja lebih lama, serta diberi makanan yang lebih rendah mutunya dan lebih sedikit porsinya.[7] Kondisi hidup laskar-laskar tidak ubahnya perbudakan, karena para pemilik kapal dapat menahan mereka bekerja sampai dengan tiga tahun untuk sekali kontrak, dan dengan sekehendak hati dapat memindahkan mereka dari satu kapal ke kapal lain. Perlakuan buruk terhadap para laskar berkelanjutan sampai dengan abad ke-19.[7] Abad kesembilan belasKompeni Inggris merekrut kelasi-kelasi dari daerah-daerah sekitar pabrik-pabriknya di Benggala, Assam, Gujarat, juga dari Yaman, Somaliland Inggris, dan Goa Portugis. Mereka disebut sebagai laskar oleh orang-orang Inggris.[8] Kelasi-kelasi Asia Selatan ini kelak terus dipekerjakan di atas kapal-kapal Inggris (dan Eropa) sampai era 1960-an. Antara 1803 sampai 1813, ada lebih dari 10.000 laskar dari Anak Benua India yang pernah menjejakkan kakinya di bandar-bandar dan kota-kota Inggris.[9] Jelang 1842, ada 3.000 laskar yang berkunjung ke Inggris setiap tahun, dan jelang 1855, ada 12.000 laskar yang tiba di bandar-bandar Inggris setiap tahun. Pada 1873, ada 3.271 laskar yang tiba di Inggris.[10] Sepanjang permulaan abad ke-19 laskar-laskar yang berlayar sampai ke Britania telah mencecah angka 1.000 orang per tahun.[9] Jumlah ini meningkat menjadi 10.000 sampai 12.000 orang per tahun selama penghujung abad ke-19.[11][12] Para laskar biasanya menginap di bandar-bandar Inggris sebelum kembali berlayar.[13] Beberapa laskar menetap di bandar-bandar dan kota-kota Inggris, sering kali akibat pembatasan pemerintah semisal Akta Pelayaran, akibat diturunkan dari kapal, dan akibat menderita perlakuan buruk. Banyak telantar dan hidup terlunta-lunta akibat aturan kuota laskar yang diizinkan bekerja di atas satu kapal. Laskar-laskar terkadang menempati rumah-rumah, asrama-asrama, dan barak-barak yang disediakan oleh yayasan-yayasan amal Kristen.[8][14] Beberapa laskar beralih ke agama Kristen (sekurang-kurangnya sekadar nama saja) karena aturan hukum kala itu mewajibkan seseorang untuk beragama Kristen bilamana hendak menikah di Inggris.[15] Yang paling terkenal adalah kasus peralihan agama Sake Dean Mahomed yang disusul pernikahannya dengan Jane Daly.[16] Pernikahan para laskar dengan perempuan-perempuan Inggris mungkin pula disebabkan oleh langkanya perempuan Asia di Inggris kala itu.[9][17] Diperkirakan ada 8.000 orang India (beberapa di antaranya pernah menjadi laskar) yang menetap secara permanen di Inggris sebelum era 1950-an.[12][18] Hambatan-hambatan bahasa dalam komunikasi antara para perwira kapal dan laskar-laskar menyebabkan tenaga-tenaga penerjemah menjadi sangat penting. Sangat sedikit yang bekerja di geladak karena hambatan bahasa ini. Beberapa orang Eropa berhasil belajar hingga lancar bertutur dalam bahasa anak buah mereka. Nakhoda-nakhoda mahir seperti John Adolphus Pope menguasai bahasa anak buahnya sampai sedemikian mahirnya sehingga mampu memberikan perintah-perintah kerja yang rumit kepada para awak laskar. Seringkali pemuka-pemuka pribumi yang disebut Serang (yang mengepalai awak mesin dan awak geladak) dan Tindal (naib serang) menjadi satu-satunya pihak yang mampu berkomunikasi secara langsung dengan nakhoda dan bertindak selaku juru bicara mewakili para laskar.[19][20] Banyak laskar yang berusaha mempelajari bahasa Inggris tetapi hanya segelintir yang berhasil mencapai tahap kemampuan yang memungkinkan untuk bercakap-cakap secara panjang-lebar dengan nakhoda-nakhoda Eropa mereka.[21] Laskar-laskar turut mengawaki kapal-kapal yang dipergunakan dalam pelayaran-pelayaran Bantuan Perjalanan ke Australia, dan turut pula mengawaki kapal-kapal pengangkut tentara semasa perang kolonial Inggris, termasuk dalam Perang Boer dan Pemberontakan Boxer. Pada 1891, ada 24.037 laskar yang bekerja di atas kapal-kapal niaga Inggris. Sebagai contoh, lebih dari setengah awak kapal "Massilia", yang berlayar dari London menuju Sydney, Australia, pada 1891 adalah laskar-laskar India. Abad kedua puluhPara laskar telah bekerja di seluruh dunia pada kurun waktu menjelang Perang Dunia Pertama. Laskar dilarang mendarat di beberapa bandar, misalnya di British Columbia. Pada permulaan Perang Dunia I, ada 51.616 laskar yang bekerja di atas kapal-kapal niaga Inggris baik di dalam maupun di luar wilayah Imperium Britania.[22] Pada 1932, survei Kongres Nasional India atas 'semua orang India di luar India' memperkirakan bahwa ada 7.128 orang India di negara Inggris, sudah termasuk para pelajar, para laskar, dan para profesional semisal dokter-dokter.[23] Pada Perang Dunia II, ribuan laskar ikut terlibat dalam peperangan dan gugur dalam tugas di seluruh dunia, khususnya laskar-laskar yang bekerja di British India Steam Navigation Company, P&O, dan maskapai-maskapai pelayaran Inggris lainnya. Keterbatasan jumlah tenaga pelaut Kanada menyebabkan dipekerjakannya 121 orang Goa Katolik dan 530 orang India Britania Muslim di atas kapal-kapal Empress milik Canadian Pacific Railway, misalnya RMS Empress of Asia dan RMS Empress of Japan. Kapal-kapal ini beroperasi di Samudra Hindia baik sebagai kapal-kapal konvoi ANZAC maupun sebagai kapal-kapal tempur dalam aksi-aksi militer di Aden. Kapal-kapal ini berada di bawah koordinasi Admiralitas Britania sebagai bagian dari kontribusi Kanada dalam perang, dan seluruh awaknya yang berasal dari Asia Selatan dianugerahi medali-medali tanda jasa oleh Admiralitas, meskipun tak sekeping pun yang sampai ke tangan mereka.[24] Laskar di Kepulauan MascarenhasDiduga karena laskar-laskar Muslim mengawaki "kapal-kapal kuli" yang mengangkut kuli-kuli kontrak India dan Tionghoa menuju ladang-ladang tebu di Kepulauan Mascarenhas, sehingga istilah laskar juga dikenal dan digunakan di Mauritius, Réunion, dan Seychelles sebagai sebutan untuk orang-orang Muslim, baik oleh orang-orang Muslim itu sendiri maupun oleh orang-orang Non-Muslim. Ejaan modern kata ini adalah "lashkar" (lasykar). Laskar di InggrisLaskar-laskar mulai menetap di Inggris dalam jumlah kecil semenjak pertengahan abad ke-17, bekerja sebagai pelayan ataupun kelasi di atas kapal-kapal Inggris. Catatan pembaptisan menunjukkan bahwa ada sejumlah pemuda dari daerah pesisir Malabar yang dibawa ke Inggris sebagai pelayan.[25] Para laskar tiba dalam jumlah besar pada abad ke-18 dan ke-19, tatkala Kompeni Inggris mulai merekrut ribuan laskar (sebagian besar adalah Muslim Benggali, tetapi ada pula orang-orang Kristen penutur bahasa Konkani dari bagian utara wilayah Goa Portugis dan orang-orang Muslim dari Distrik Ratnagiri di daerah Maharashtra yang bersebelahan) untuk bekerja di atas kapal-kapal Inggris dan kadang-kala juga di pelabuhan-pelabuhan di seluruh dunia. Sekalipun ada prasangka dan hambatan bahasa, sejumlah laskar menetap di kota-kota pelabuhan Inggris, sering kali karena terpaksa akibat perlakuan buruk yang mereka terima di atas kapal-kapal Inggris, atau karena tidak dapat meninggalkan Inggris akibat pembatasan-pembatasan semisal Akta Pelayaran, dan karena ditelantarkan oleh majikannya.[25][26][27] Para pemilik kapal diancam dengan hukuman berat karena meninggalkan para laskar.[28] Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah kelasi Asia di Inggris yang memutuskan untuk menetap.[28] Laskar-laskar sering kali hidup di rumah-rumah amal Kristen, rumah-rumah penginapan, dan barak-barak, serta terkadang hidup bersama dengan perempuan-perempuan Inggris setempat. Musafir-musafir Asia Selatan yang paling pertama dan paling sering berkunjung ke Inggris adalah orang-orang India Kristen dan kaum peranakan Eropa. Bagi orang-orang India Muslim, pertimbangan pola makan dan praktik-praktik keagamaan mereka tentu akan membuat mereka terasing dari masyarakat Inggris, tetapi pertimbangan-pertimbangan ini kerap dikorbankan demi meraih peluang-peluang ekonomi. Laskar-laskar yang menetap sering kali mengganti nama, pakaian, dan pola makan mereka dengan nama, pakaian, dan pola makan khas Inggris.[9] Meskipun kehadiran orang-orang Asia Selatan di London pada abad ke-19 didominasi oleh para laskar dan kelasi pria, kadang-kadang ada pula beberapa perempuan. Para prajurit Inggris terkadang menikahi perempuan-perempuan India di tempat tugasnya dan mengirim anak-anak mereka yang berdarah campuran kembali ke Inggris meskipun tanpa ditemani isteri mereka. Istri-istri India para prajurit Inggris kadang-kadang minta diberangkatkan kembali ke kampung halamannya setelah ditelantarkan atau menjanda jika tidak menemani anak-anak mereka. Pada 1835, Bridget Peter, seorang pribumi daerah Madras di India, kehilangan suaminya, seorang prajurit Inggris yang bertugas dalam Resimen Pejalan Kaki Pertama Kerajaan Inggris. Ia mengajukan petisi kepada Dewan Direktur Kompeni Inggris dari Rumah Sakit Chelsea 'dalam keadaan serba kekurangan'. Mereka mengongkosi pemberangkatannya bersama ketiga anaknya ke India.[9] Perihal perempuan-perempuan Inggris yang hidup bersama dengan laskar-laskar telah menjadi sebuah bahan pergunjingan. Seorang magistrat dari kawasan Borough London Tower Hamlets pada 1817 menyatakan "rasa jijiknya" atas perihal perempuan-perempuan Inggris warga area itu yang menikah dan hidup bersama dengan pelaut-pelaut asing para laskar India. Meskipun demikian, tidak ada aturan hukum yang melarang perkawinan 'campur' di Inggris.[9][10][29] Para pelaut laskar India membentuk beberapa keluarga antarras Asia-Inggris pertama yang menetap di daerah sekitar galangan kapal di bandar-bandar besar.[30] Perkawinan campur ini menghasilkan sejumlah kecil anak-anak "ras campuran" yang terlahir di Inggris. Jumlah perempuan dari etnis minoritas di Inggris sering dilampaui oleh jumlah putri-putri "peranakan India" yang terlahir dari ibu kulit putih dan ayah India,[31] yang paling terkenal dari anak-anak berdarah campuran ini adalah Albert Mahomet, ayahnya seorang laskar dan ibunya pribumi Inggris. Ia kelak menulis sebuah buku berisi kisah hidupnya dengan judul From Street Arab to Pastor (Dari Arab Jalanan Menjadi Pastor). Para laskar pada umumnya menderita kemiskinan di Inggris. Pada 1782, catatan-catatan Kompeni Inggris mendeskripsikan laskar-laskar yang datang ke kantor-kantor mereka di Leadenhall Street ‘terpuruk dalam kesusahan besar dan mengajukan permohonan kepada kami untuk dibantu’.[32] Pada 1785 seorang pembaca yang suratnya dimuat dalam surat khabar Public Advertiser menulis tentang ‘hal-hal menyedihkan, laskar-laskar, yang saya lihat menggigil dan kelaparan di jalan-jalan.’ Selama era 1780-an tidak jarang terlihat laskar-laskar yang kelaparan di jalan-jalan London. Kompeni Inggris menanggapi kritik atas perlakuan terhadap laskar-laskar dengan menyediakan penginapan-penginapan bagi mereka, tetapi tidak ada perhatian yang diberikan secara teratur pada asrama-asrama dam barak-barak yang mereka sediakan. Para laskar dibiarkan hidup dalam kondisi berdesak-desakan dan penuh kesusahan sehingga banyak yang meninggal dunia setiap tahun, masih ditambah pula dengan laporan-laporan tentang laskar-laskar yang dikurung dalam lemari dan dicambuk karena bertindak kurang ajar oleh para induk semang mereka. Perlakuan buruk yang mereka terima dilaporkan oleh Society for the Protection of Asiatic Sailors (Paguyuban Bagi Perlindungan Para Pelaut Asia) (yang terbentuk pada 1814).[27][33] Sepucuk surat yang dimuat dalam surat khabar The Times mengungkapkan bahwa ''Laskar-laskar telah diturunkan dari kapal ... Seorang dari mereka telah meninggal dunia...peti matinya diisi dengan makanan dan uang, dengan maksud agar makanan itu menjadi bekalnya sampai tiba di dunia lain yang baru... Beberapa orang-orang miskin itu sampai dengan saat ini masih menggigil di jalan-jalan, basah kuyup dan setengah telanjang, mempertontonkan sebuah gambar penderitaan tetapi hanya sedikit bantuan yang diulurkan bangsa Inggris''.[34] Pada 1842, Church Missionary Society (Paguyuban Misioner Gereja) melaporkan tentang parahnya ″keadaan para laskar di London″.[35] Pada 1850, 40 laskar yang juga dikenal dengan julukan ″Putra-Putra India″ dilaporkan mati kelaparan di jalan-jalan.[36] Tak lama setelah terbitnya laporan-laporan ini, orang-orang Kristen Injili mengusulkan pembangunan sebuah rumah amal dan menghimpun dana sebesar 15.000 Pound untuk membantu laskar-laskar. Pada 1856, The Strangers' Home for Asiatics, Africans and South Sea Islanders (Rumah Orang Asing Bagi Orang-Orang Asia, Afrika dan Pulau-Pulau Laut Selatan) dibuka di Commercial Road, Limehouse dipimpin manajer Letnan Kolonel R. Marsh Hughes. Rumah amal ini menolong dan memberi sokongan bagi para laskar dan pelaut-pelaut yang datang dari tempat-tempat yang jauh hingga Tiongkok. Rumah amal ini membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan untuk meninggalkan Inggris. Selain itu, rumah amal ini juga berperan sebagai sebuah pusat repatriasi, tempat bermacam-macam pelaut direkrut bagi kapal-kapal yang akan berlayar kembali ke Timur. Rumah amal ini digunakan pula sebagai sebuah pusat misi, dengan Joseph Salter dari London City Mission (Misi Kota London) sebagai misionarisnya. Di antara berbagai fasilitas yang disediakan rumah amal ini, terdapat sebuah perpustakaan yang menampung buku-buku Kristen dalam bahasa-bahasa Asia dan Afrika, sebuah ruang penyimpanan barang-barang berharga, dan sebuah tempat yang dapat digunakan oleh para laskar untuk mengirim penghasilan mereka ke India.[37] Laskar-laskar diizinkan masuk selama mereka berencana untuk mendapatkan pekerjaan di Inggris, atau sementara bekerja di atas kapal yang akan berlayar kembali ke Timur.[25] Penyebutan secara kolektif orang-orang ini sebagai orang asing mencerminkan sikap Inggris kala itu.[35] Para imigran laskar sering kali merupakan orang-orang asia pertama yang terlihat di kota-kota Inggris dan mula-mula disangka pemalas karena ketergantungan mereka pada karya-karya amal Kristen.[38] Pada 1925, akta Coloured Alien Seamen Order (Tata-Tertib Kelasi Asing Kulit Berwarna) 1925 dijadikan aturan hukum oleh Sekretaris Negara untuk Departemen Dalam Negeri. Aturan ini menyatakan bahwa ''semua kelasi asing kulit berwarna yang belum terdaftar harus mengambil langkah-langkah untuk mendapatkan Sertifikat Pendaftaran dengan segera.'' Any foreign seaman, regardless of whether they had been in Britain for several months had to register with the police. In 1931 383 Indians and Ceylonese were registered.[39] Sepucuk surat bertanggal 7 September 1925, dari istri seorang pria India kelahiran Peshawar yang berdomisili di Inggris dan bekerja sebagai pelaut, mendeskripsikan perlakuan yang diterima beberapa orang Asia Selatan yang merupakan warga negara Britania Raya menurut Coloured Alien Seamen Order 1925 dari Departemen Dalam Negeri: Suami saya mendarat di Cardiff, selepas berlayar di laut di atas SS Derville, sebagai seorang juru api dan dapat menunjukkan Mercantile Marine Book (Buku Marinir Niaga) miliknya, R.S 2 No. 436431, yang mencantumkan 'Sertifikat Kebangsaan', menyatakannya sebagai orang Inggris dan ditandatangani oleh seorang ''Mercantile Marine Superintendent'' (Penilik Marinir Niaga), tertanggal 18 Agustus 1919. Buku ini beserta sertifikatnya diabaikan, dan suami saya didaftarkan sebagai seorang Warga Asing. Mohon kiranya diberitahukan kepada saya apakah benar adanya bahwa Buku Marinir Niaga patut diabaikan sebagai bukti dokumenter?'' [40] Polisi gencar mendeportasi para kelasi''kulit berwarna'' dan sering kali (secara ilegal) mendaftarkan para kelasi ini sebagai orang-orang asing tanpa mempedulikan keterangan yang tertulis di dalam dokumen-dokumen mereka.[41] Persinggahan para laskar berlanjur sampai memasuki era 1930-an, dengan disebut-sebutnya laskar-laskar oleh Port of London Authority (Otoritas Pelabuhan London) dalam sebuah artikel pada Februari 1931 yang menyatakan bahwa: ''Kendati terlihat begitu tidak serasi dengan lingkungan East End, mereka sangat mampu mengurus diri sendiri, berkat pengalaman mereka sebagai kelasi reguler yang datang ke Docklands dari waktu ke waktu dan sudah sedikit menguasai bahasa Inggris dan tahu cara untuk membeli apa yang mereka kehendaki.''[42] Pada 1932, survei Kongres Nasional India atas 'semua orang India di luar India' memperkirakan bahwa ada 7.128 orang India di negara Inggris, sudah termasuk para pelajar, para laskar, dan para profesional semisal dokter-dokter. Warga India di Birmingham tercatat sebanyak 100 orang. Jelang 1945, jumlahnya telah mencecah angka 1.000 orang.[23] Selama era 1940-an, beribu-ribu laskar ikut serta bertempur dalam Perang Dunia II dan gugur dalam tugas di seluruh dunia. Pada era 1950-an, penggunaan istilah laskar menjadi berkurang seiring berakhirnya Imperium Britania dan “Akta Laskar” India 1832 dinyatakan tidak berlaku pada 1963[19] Akan tetapi, tenaga para awak geladak India dan awak mesin Pakistan ''tradisional'' masih terus dipekerjakan di Australia sampai 1986 tatkala rombongan awak terakhir dibebastugaskan dari P&O dan diganti dengan serombongan awak kapal Serba Guna berkebangsaan Pakistan.[19] Laskar di KanadaPada penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, para laskar bekerja di atas kapal-kapal yang berlayar sampai ke tepi Samudra Pasifik sepanjang pesisir barat laut Amerika Utara. Sebagian besar kapal-kapal itu berlayar dari Makau, tetapi beberapa di antaranya berlayar dari India. Ketika kapal Gustavus III mencapai Clayoquot Sound di pesisir Pulau Vancouver, di antara awak kapalnya terdapat tiga orang Tionghoa, satu orang Goa, dan satu orang Filipina.[43] Para laskar dilarang mendarat di British Columbia dan bandar-bandar lain di Kanada mulai Juni 1914 hingga akhir 1940-an; itulah sebabnya, nama-nama mereka jarang tercantum dalam catatan-caatatan pendaratan dan embarkasi, meskipun berkali-kali sampai ke bandar-bandar itu mereka tetap tinggal di atas kapal.[44] Laskar di Makau dan Hong KongSesudah kematian James Cook di Hawaii, kapal HMS Resolution berlayar ke Makau membawa muatan kulit binatang dari pesisir barat laut Amerika Utara. Kapal ini benar-benar kekurangan awak sehingga mengambil awak baru di Makau pada bulan Desember 1779 termasuk pula seorang laskar dari Kalkuta bernama Ibraham Mohammed.[45] Para laskar tiba di Hong Kong sebelum Perjanjian Nanking 1842. Karena Pulau Hong Kong pada awalnya merupakan sebuah pangkalan angkatan laut, maka ada pula laskar-laskar Asia Selatan dari Armada Hindia Timur yang tiba di Hong Kong pada hari-hari awal zaman kolonial di pulau itu. Para laskar diinapkan di beberapa jalan di kawasan Sheung Wan. Kawasan ini memiliki dua jalan yang masing-masing diberi nama Upper Lascar Row dan Lower Lascar Row.[46] Tempat ini tidak jauh dari barak-barak yang didirikan pada 1847 di Sai Ying Pun bagi para serdadu india atau para sepoy.[47] Laskar di Amerika SerikatPara laskar juga ikut serta dalam pelayaran-pelayaran Inggris yang pertama ke pesisir Amerika Utara. Para pelaut ini berada di antara awak kapal dari berbagai bangsa yang tiba dari Asia dalam rangka mencari kulit binatang. Satu dari antara kapal-kapal Inggris ini adalah Nootka yang pada 1786 menyinggahi pelabuhan Rusia di Unalaska dan kemudian berlayar ke Prince William Sound di Alaska. Ada sepuluh laskar Asia Selatan dan satu laskar Tionghoa di atas kapal ini. Tiga orang laskar meninggal dunia di Prince William Sound, Alaska. Nootka berlayar kembali ke Asia melalui Hawaii, dan para laskar pun tercatat sebagai orang-orang Asia Selatan pertama yang berlayar ke Alaska dan Hawaii.[48] Penggambaran laskar dalam sastra dan sinemaSir Arthur Conan Doyle menciptakan tokoh seorang laskar sebagai foil bagi Sherlock Holmes dalam kisah "The Man with the Twisted Lip". Para laskar di atas kapal Patna ditampilkan dengan baik pada bab-bab awal novel Lord Jim karya Joseph Conrad. Novel A Little Princess karya Frances Hodgson Burnett juga menampilkan seorang laskar bernama Ram Dass. Caleb Carr juga menampilkan dua orang laskar sebagai pengawal-pengawal pribadi seorang diplomat Spanyol di bagian akhir kisah The Angel of Darkness. Dalam Wuthering Heights, diduga Heathcliff, tokoh utama kisah ini, mungkin berasal-usul seorang laskar.[49][50] Buku karya Amitav Ghosh, Sea of Poppies, mengisahkan tentang Kompeni Inggris dan para laskar yang mereka pekerjakan sebagai awak kapal. Buku karya Shahida Rahman, Lascar (2012), mengisahkan tentang perjalanan seorang laskar Hindia Timur menuju Inggris pada era Victoria. Dalam cerita pendek karya H.P. Lovecraft berjudul The Call of Cthulhu, Gustaf Johansen, pelaut terakhir yang bertahan hidup dalam sebuah ekspedisi ke R'lyeh, kota Cthulhu yang tenggelam, dikisahkan dibunuh (kemungkinan besar dengan jarum beracun) oleh dua orang "kelasi laskar" yang merupakan anggota dari sekte pemuja iblis Cthulhu. Dalam film bisu 1919 karya D.W. Griffith berjudul Broken Blossoms, rumah candu di London yang dikunjungi sang protagonis diterangkan dengan telop sebagai "Tionghoa, Melayu, Laskar, tempat dunia Timur berjongkok di pintu-pintu gerbang dunia Barat." Lihat pula
Referensi
Pranala luarLihat entri laskar di kamus bebas Wiktionary. |