Hasan Ma'shum
Al-Fadhil Al-Alim Syekh Haji Hasanuddin bin Muhammad Ma'shum bin Abi Bakar ad-Dali (Deli) dengan nama populer Syekh Hasan Ma'shum,[1] adalah seorang ulama[2] khususnya di bidang ilmu falak dan hisab, serta thariqah. Ia pernah mengajar di Masjidil Haram Makkahtul Musyarrafah.[3] Siradjuddin Abbas sebagai ulama terkemuka dari organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) telah menempatkan Syekh Hasan sebagai ulama mazhab Syafi'iyah abad ke-14 hijriah setara dengan Ulama-ulama seperti Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Khatib, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Hadratus Syekh K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari.[4] Syekh Hasan Ma'sum merupakan sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, meskipun ada klaim bahwa ia juga menganut Tarekat Khalwatiyah.[5] Sebagai sufi tidak membuat Syekh Hasan pasif terhadap kehidupan sosial, bahkan politik.[5] Dalam bidang sosial, ia mendedikasikan diri kepada organisasi Al Jam'iyatul Washliyah dan Al Ittihadiyah sebagai dua organisasi kaum tua yang sangat patuh terhadap fikih Syafi'iyah.[5] Syekh Hasan menilai bahwa Islam akan dapat dikembangkan oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga keagamaan secara kolektif.[6] Sebab itulah, ia ikut berpartisipasi melestarikan tradisi Islam melalui dua organisasi Islam asal Sumatra Timur, yakni Al Jam'iyatul Washliyah dan Al Ittihadiyah.[6] Dalam organisasi Al Jam'iyatul Washliyah, ia pernah menjadi Penasihat Al Jam'iyatul Washliyah (1932-1937) dan Ketua Majelis Fatawa Al Jam'iyatul Washliyah (1933-1937).[6] Ia juga menjadi Penasihat Badan Chazanatul Islahijah Al Jam'iyatul Washliyah.[6] Ketika Al-Ittihadiyah pertama kali didirikan, Syekh Hasan Ma'shum termasuk sebagai Penasihat dalam komposisi Pengurus Besar Al-Ittihadiyah.[7] Sedangkan dalam bidang politik, ia menerima tawaran Sultan Kesultanan Deli untuk menjabat sebagai mufti Kesultanan.[5] Sosoknya dikenal sebagai seorang yang berilmu pengetahuan luas, mengajar di madrasah kesultanan, karier dan reputasinya kian cemerlang, hingga akhirnya Sultan Deli saat itu, Sri Sultan Ma’moen al-Rasyid Perkasa Alamsyah (memerintah 1879-1924 M), melantiknya sebagai mufti dan qadhi Kesultanan Deli.[8] Pada awalnya, ia menolak dengan sejumlah alasan, namun akhirnya ia menerima amanah itu, sejak saat itulah ia mendapat gelar Imam Paduka Tuan.[9] Ia juga mengajar di Masjid Raya, Masjid Kesultanan Deli.[9] Syekh Hasan Ma'sum yang merupakan teman sejawat Syekh Muhammad Zain Nuruddin Batu Bara di Makkah,[10] Ulama besar Nusantara asal Batubara, Sumatera Utara, salah seorang murid Syekh Mukhtar ibn Atharid al-Bughuri.[11] Selain itu, adapula sahabatnya yang lain bernama Syekh Abdul Hamid bin Mahmud Asahan, Syekh Hasan Ma'sum dan Syekh Abdul Hamid Mahmud Asahan keduanya adalah murid dari Syekh Ahmad al-Fathani.[12] KelahiranSyekh Hasanuddin bin Syekh Muhammad Ma'shum lahir di Labuhan Deli, Sumatra, pada tahun 1884 M.[13][2] Ada perbedaan pendapat mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Syekh Hasanuddin bin Muhammad Ma'sum bin Abi Bakar al-Deli al-Sumatrawi dilahirkan di Labuhan Deli, Sumatra Timur, pada hari Sabtu pada tanggal 17 Muharram 1301 H, bertepatan dengan tahun 1884 M.[14] Dalam catatan anaknya yaitu tanggal 17 Muharram 1301 H/ 1882 M.[15] Namun ada juga riwayat yang menyatakan beliau lahir pada tahun 1302 H di Labuhan Deli.[16] Yang lainnya menyebutkan Hasanuddin lahir di Labuhan Deli, Sumatera Utara pada tahun 1300H/1882M.[1][8] Kawasan Labuan adalah salah satu wilayah Kesultanan Deli Darus Salam di Sumatra.[8] Pada masa itu, di daerah pesisir utara pulau Sumatra terdapat beberapa negara bersistem Kesultanan bercorak Melayu-Islam, seperti Kesultanan Deli, Kesultanan Riau-Lingga, Kesultanan Siak Inderapura, Kesultanan Asahan, Kesultanan Johor, Kesultanan Selangor, Kesultanan Jambi, dan lain-lain.[8] Medan ketika itu merupakan sebuah kampung biasa dan belum memiliki fasilitas transportasi yang memadai.[17] Hal ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan Labuhan Deli, merupakan pusat kota yang cukup maju dan telah ramai didatangi oleh para saudagar dari berbagai bangsa.[17] Sehingga di Labuhan Deli berdiri beberapa sekolah dan terdapat juga sekolah Inggris.[17] SilsilahAyah dan Datuk Syekh Hasan hingga beberapa lapis ke atas semuanya adalah Ulama.[1] Mereka berasal dari Pasai (Aceh) sebelum berpindah ke Deli.[2] Sang ayah, yaitu Syekh Ma’shum ibn Abi Bakar Deli, tercatat sebagai Ulama besar Kesultanan Deli pada masanya yang mengajar di madrasah kesultanan tersebut,[8] dan juga seorang guru yang terkenal ketika itu sebagai ahli tasawuf,[2] bahkan merupakan seorang hartawan yang berpangkat Syahbandar bergelar Datuk.[18] PendidikanDi Labuhan, DeliPendidikannya dimulai dari keluarganya sendiri.[19] Sejak kecil hingga umur 10 tahun, beliau tinggal bersama orangtuanya di Labuan dan pernah belajar sekolah inggris hingga kelas 3,[2] dengan seorang guru kebangsaan India dari Malaysia.[20] Orang tuanya memiliki peran penting dalam membentuk karakter Hasan Ma'shum.[19] Menilai bahwa pendidikan sekolah dan madrasah sangat penting, sejak berusia tujuh tahun Hasan dimasukkan ke sekolah Inggris pada pagi hari, dan madrasah pada sore hari.[21] Selain mendapatkan pendidikan formal di sekolah rendah berbahasa Inggris di Labuhan Deli,[19] Hasan Ma'shum, belajar mengaji dengan orang tuanya tentang Ushuluddin dan lain-lain.[22] Sebagai seorang pelajar, Hasan mengikuti kedua sistem pendidikan tersebut dengan baik dan meraih prestasi memukau, dan harta orang tuanya ia gunakan sebagai sarana belajar, bukan untuk meraih kesenangan duniawi.[21] Keseriusannya dalam pendidikan agama sudah menonjol ketika beliau masih berusia tujuh tahun,[19] setiap pelajaran dihafalnya sampai tengah malam apalagi segala sesuatu yang berkaitan dengan kisah Rasul ﷺ.[23] Ke Makkah, pertamaBerkat kesungguhan dan kecerdasan dalam menuntut ilmu sehingga beliau mendapat pengakuan dari gurunya, beliau direkomendasikan agar dimasukkan ke sekolah terbaik. Kecintaannya terhadap ilmu agama semakin tampak jelas ketika beliau mendapatkan pilihan dari orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke Singapura atau ke Makkah.[24][25] Mr. Henry sebagai guru sekolah menganjurkan Hasan melanjutkan studi ke Singapura, tetapi Hasan memutuskan untuk melanjutkan studi agama ke Makkah dengan pertimbangan bahwa Sumatra Timur masih membutuhkan ulama.[26] Sebagai pelajar, Hasan telah mampu menemukan bakatnya dan memberikan pilihan tepat tentang masa depannya.[21] Hasan benar-benar mewarisi bakat dari sang ayah yang bernama Syekh Muhammad Ma'sum [27] Sejak kecil Hasan telah menampakkan sifat zuhud dan ilmuwan, meskipun berasal dari keluarga hartawan.[21] Syekh Muhammad Ma'sum telah menunjukkan tanggungjawab sebagai orang tua dengan memberikan pendidikan terbaik bagi Hasan.[21] Pada tahun 1894,[28][29] dalam usia 10 tahun Hasan Ma'shum dibawa ke Makkah oleh orang tuanya,[13][2][29] pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji,[30] dengan mengikuti rombongan Jamaah Haji yang akan berangkat ke tanah suci.[24] dan tinggal menetap selama 9 tahun mempelajari ilmu agama.[13] Ketika sang ayah pulang kembali ke negaranya di Kesultanan Deli, sang anak tetap tinggal di Makkah untuk bermujawarah dan belajar di sana.[8] Karena berangkatnya bersamaan dengan rombongan jamaah haji sudah tentu ramai orang yang mengantarkan di pelabuhan Belawan, hingga sampai ke Titi Papan.[24] Riuh rendah suara tangis dan lantunan suara azan mengiringi kepergian Hasan Ma'shum dalam menuntut ilmu ke tanah suci.[24] Perjalanan yang begitu melelahkan itu dilalui walau harus mengorbankan nyawa sebagai taruhannya dalam mengarungi gelombang sebesar gunung di samudra yang luas.[24] Tentu saja disadari bahwa Makkah lebih jauh dari Singapura dan tantangan dari kedua negara sangat berbeda, tetapi Hasan tetap memiliki keteguhan diri,[31] dan minat untuk mendalami ilmu-ilmu agama sangat tinggi, padahal perjalanan dari Labuhan (Sumatra Timur) menuju Makkah via kapal laut saat itu membutuhkan waktu selama tiga bulan dan paling cepat 75 hari.[28] Hasan memiliki keyakinan tinggi terhadap kewajiban mengkaji agama Islam, dan meskipun kedua orang tuanya sangat kaya tidak membuatnya berubah pikiran, sebab Islam telah mengajarkan bahwa ilmu lebih mulia daripada harta.[31] Awalnya, Hasan Ma'shum belajar kepada guru agama yang bernama 'Abdus Salam yang berasal dari negeri Kampar.[2] Setelah mendapat bekal ilmu dan kepandaian dasar-dasar agama dari sini, seperti bahasa arab dan lain-lain, kemudian belajar lagi kepada Ulama-ulama yang terknal yaitu Tuan Syekh Ahmad Khayyat; dan kepada almarhum Tuan Ahmad Khatib seorang ulama yang masyhur dan menjadi imam dan khatib pada mazhab Syafii di Makkah. Syekh Hasan Ma'shum belajar fikih kepada kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syekh ‘Abdul Qadir al-Mandili yang merupakan murid Syekh Sayyid Bakri Syatha’, sedangkan Syekh Ahmad Khatib juga belajar kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân (w. 1886).[32] Dari keduanya, sanad keilmuan Syekh Hasan menyambung sampai kepada Imam al-Bukhârî yang menyusun kitab Shahih Bukhari, dan Abû al-Hasan al-Ash‘arî dan Abû al-Mansûr al-Mâturidî sebagai dua ulama pendiri teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah.[33][2] Kepada ulama lainpun Hasan Ma'shum sempat juga belajar, seperti kepada Tuan Syekh Amin Ridhwan di Madinah, seorang ulama asal negeri Makkah.[2] Sembilan tahun dalam menuntut ilmu bukan merupakan waktu yang sebentar, tidak hanya sekadar kenyang dengan ilmu pengetahuan beliau juga memiliki kenalan yang luas selama menuntut ilmu di Makkah.[34] Banyak pelajar-pelajar yang datang menuntut ilmu bersamanya baik dari Sumatra maupun Jawa, di antara mereka adalah ulama-ulama masyhur di tanah air, sebagian mereka adalah: (1) Abdul Karim; (2) Abdul Majid; (3) Musthafa Husein Purba Baru; (4) Abdul Qadir al-Mandili; dan (5) Muhammad Dahlan, yang ketika itu juga terhitung sebagai seorang ulama di Makkah.[34] Banyak perubahan yang terjadi baik di tanah suci maupun di tanah air dalam masa itu, beberapa kali keluarganya meminta agar Hasan Ma'shum kembali ke tanah air, apalagi setelah ibu kandungnya meninggal dunia tanpa kehadirannya.[34] Dengan berat hati akhirnya pada tahun 1903 Hasan Ma'shum terpaksa meninggalkan tanah suci untuk kembali ke tanah air.[34] Setelah sembilan tahun di Makkah, Hasan Ma'shum kembali pulang ke Sumatra, ke rumah orangtuanya di Labuhan Deli,[2] bersama rombongan jamaah haji melalui Singapura, lalu ke Labuhan (Medan).[9] Tetapi 6 bulan sesudahnya,[13] yakni setelah 6 bulan di Labuhan Deli,[2] kembali lagi ke Makkah karena belum merasa puas dengan ilmu yang didapatnya selama 9 tahun.[13] Ke Makkah, keduaKe Makkah kali yang kedua ini Hasan Ma'shum menetap tiga tahun dalam rangka menambah ilmu agama yang dirasanya masih belum mahir olehnya.[13] Hasan Ma'shum sempat belajar kepada Syekh Ahmad al-Fathani sekitar tiga tahun, mulai tahun 1320H/1902M hingga awal tahun 1325H/1907M.[1] Pada tahun 1907 M (1325 H), Syekh Hasan Ma’shum pun pulang ke Kesultanan Deli,[8] atau ke Labuhan dan tinggal disana 1 tahun.[2] Dalam usia 23 tahun beliau kembali ke Indonesia, terus mencari dan mempelajari ilmu agama yang tinggi-tinggi, khususnya ilmu fikih dalam Mazhab Syafi'i.[13] Pada saat inilah Hasan Ma'shum dinikahkan oleh orangtuanya dalam usia kurang lebih 23 tahun.[2] Setelah menikah, Hasan Ma'shum kembali lagi ke Makkah untuk melanjutkan pengetahuan, hingga tinggal disana selama delapan tahun lagi.[2] Ke Makkah, ketigaUntuk ketiga kalinya Hasan Ma'shum kembali lagi ke Makkah dan bermukim selama 8 tahun.[35] Tidak kurang dari 20 tahun, Hasan menimba ilmu-ilmu agama di Haramain (Makkah dan Madinah), dan tidak sedikit pun merasa menyesal dengan pilihan hidup tersebut.[31] Hasan mengkaji karya-karya akademik seperti ilmu tauhid dari mazhab Asy‘arîyah, ilmu fikih dari mazhab Syafi'iyah, dan ilmu tasawuf dari Tarekat Khalwatiyah dan Naqshabandîyah.[36] Sebagai pelajar agama selama 20 tahun, ia menyadari bahwa semua ilmu agama Islam seperti tauhid, fikih dan tasawuf sangat penting, sehingga ia harus menemui dan mengikuti pelajaran dari para ulama Haramain, dan akhirnya mengantarkannya menjadi seorang ulama dan benteng mazhab Sunni.[31] Sebagai pelajar agama, Hasan memiliki ketekunan tinggi sehingga mendapatkan legitimasi dari ulama dan pelajar di Haramain karena mampu menguasai materi-materi agama dengan maksimal.[31] Dalam pada itu, orangtuanya pun meninggal dunia di Labuhan, sedang Kesultanan Deli amat perlu mempunyai seorang alim yang agak cerdik didalam hukum-hukum yang bertali kepada keperluan umum atau watenschapplelijk.[2] Maka yang dirasa patut oleh Kesultanan Deli, terlebih almarhum Tuanku Sultan Ma'moen al-Rasyid, Sultan van deli yang sudah mangkat, hanya Tuan Syekh Hasan Ma'shumlah, maka Syekh Hasan Ma'shum dipanggil dari Makkah supaya kembali ke negeri.[37] Dalam keadaan terpaksa, Syekh Hasan Ma'shum berserta istri dan anak-anaknya yang lahir di sana kembalilah ke Labuhan pada tahun 1916, mereka tinggal di Labuhan selama 1 bulan, kemudian pindah ke Medan, dan menetap di Medan dan terkenal sebagai seorang ulama yang masyhur.[37] Dari hasil penuntutan ilmu di Makkah, Syekh Hasan Ma'shum mahir dalam ilmu tasawuf dan fikih, ilmu hisab dan falakiyah, ilmu bahasa arab dan syarat-syaratnya.[37] Guru-guru
Dakwah, ketokohan & pengaruhPolemik antar sahabatDi sekitar tahun 1914 M (1332 H), Syekh Hasan Ma’shum terlibat polemik dengan salah satu sahabatnya ketika belajar di Makkah dulu dan saat itu telah menjadi ulama di Ranah Minang serta menjadi salah satu tokoh gerakan pembaharuan (Kaum Muda), yaitu Syekh Abdul Karim Amrullah (ayahanda HAMKA, w. 1945 M).[30] Saat itu, Syekh Abdul Karim Amrullah menulis risalah berjudul “al-Fawâid al-'Aliyyah fî Ikhtilâf al-'Ulamâ fî Hukm Talaffuzh al-Niyyah”.[30] Di sana beliau mengatakan bahwa mengucapkan “usholli” sebelum takbiratul ihram saat hendak melaksanakan shalat adalah perbuatan bid’ah dhalalah.[30] Syekh Hasan Ma’shum kemudian menulis risalah lain sebagai tanggapan (radd) atas risalah yang ditulis oleh kawannya itu dan membantah beberapa pendapat Syekh Abdul Karim Amrullah yang membid’ahkan pengucapan “ushalli” sebelum takbiratul ihram.[30] Risalah tersebut berjudul “al-Quthûfât al-Saniyyah fî Radd Ba’dh Kalâm al-Fawâid al-‘Aliyyah”.[30] Rupanya, polemik antardua sahabat yang berbeda haluan itu, yaitu antara Syekh Abdul Karim Amrullah yang berhaluan modernis (kaum muda) dengan Syekh Hasan Ma’shum Deli yang berhaluan tradisionalis (kaum tua), sampai juga pada guru keduanya di Makkah sana, yaitu pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916 M).[38] Sang guru pun pada akhirnya menulis sebuah risalah untuk menyudahi polemik kedua muridnya itu.[38] Risalah tersebut berjudul “al-Khuthath al-Mardhiyyah fî Hukm al-Talaffuzh bi al-Niyyah”. Dalam risalah tersebut, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau mendukung pendapat Syekh Hasan Ma’shum Deli sekaligus meluruskan pendapat Syekh Abdul Karim Amrullah.[38] Mengajar di Masjidil HaramHasan mendapatkan kepercayaan dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (mufti Mamlakat al-Ḥijāz dan Imam Mazhab Syafi'i di Masjidil Haram) sebagai pengajar di Masjidil Haram.[32] Banyak Ulama-ulama Nusantara pernah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, dan di antara mereka adalah Hadratus Syekh K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari yang mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama [39] dan Kyai Haji Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi Muhammadiyah.[40] Hasan mulai mengajar banyak murid di Masjidil Haram, Makkah,[41] dan mengajar di rumahnya sendiri di daerah Syamiyah.[42] Rapat Ulama di MakkahSebagai guru di Masjidil Haram, Hasan kerap berinteraksi dengan ulama-ulama Makkah dari berbagai bangsa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan yang terjadi di dunia Islam, khususnya Nusantara.[32] Sekadar contoh, ia pernah menghadiri rapat ulama-ulama Makkah yang dipimpin oleh Syekh Sayyid ‘Abd Allâh (mufti Mazhab Syafi'i di Makkah) dan Syekh ‘Abd Allâh Sarrâj (hakim agung dan pemimpin ulama Hijaz) dan dihadiri oleh ulama-ulama Sunni dari Mazhab Syafi'i, mazhab Mâlikî dan mazhab Hanbalî seperti Syekh ‘Abd Allâh bin Ahmad, Syekh Darwîsh Amîn, Syekh Muhammad ‘Alî Husayn, Syekh ‘Abd Allâh bin ‘Abbâs, Syekh ‘Abd al-Qâdir bin Sâbir Mandiling, Syekh Mahmûd Fatânî, dan Syekh Hasanuddin bin Muhammad Ma'sum Medan Deli Sumatra.[43] Di antara masalah yang dibahas dan diputuskan adalah larangan mengikuti pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan tidak boleh menjadi makmum bila imam salatnya adalah pengikut Ibn alQayyim al-Jawzîyah.[44] Ulama-ulama tersebut, termasuk Syekh Hasan, mendasari paham mereka dengan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah yang berhaluan Syafi'iyah, Mâlikîyah, dan Hanbalîyah.[45] Dapat disimpulkan bahwa Syekh Hasan memiliki keteguhan dalam Mazhab Syafi'i, dan menolak paham yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah yang memang dikenal sebagai pengritik tasawuf dan tarekat.[45] Dalam usia 32 tahun, kedudukan sebagai guru di Makkah menjadi indikasi bahwa Hasan diakui sebagai ulama berbakat, sedangkan keberadaan empat karya berbahasa Arab tersebut menjadi bukti kepakarannya dalam bidang tauhid, fikih dan tasawuf.[32] Pada periode ini, ia telah menjadi seorang Syekh, ulama terkenal di Makkah, dan memiliki sejumlah murid di Masjidil Haram.[32] Setelah menimba ilmu selama 20 tahun di Makkah, dan menjadi guru di Masjidil Haram, Syekh Hasan kembali pulang ke Sumatra Timur pada tahun 1916, dan memulai kehidupan baru di tanah kelahiran.[46] Pulang ke LabuhanSyekh Hasan Ma'shum berserta istri dan anak-anaknya kembali ke Labuhan dari Makkah pada tahun 1916, mereka tinggal di Labuhan selama 1 bulan.[37] Kembalinya Hasan Ma'shum dari Makkah setelah menimba ilmu selama 20 tahun dan menjadi guru di Masjidil Haram, tidak serta merta menjadikannya dikenal oleh masyarakat luas.[47] Meskipun sudah menjadi ulama terkemuka di Masjidil Haram, Hasan Ma'shum tetap menjalani kehidupan zuhud dan tidak menyukai popularitas.[48] Pengaruh besarnya selama menjadi guru di Masjidil Haram tidak diketahui oleh masyarakat Labuhan Deli yang disibukkan dengan urusan duniawi.[47] Pindah ke MedanSetelah beliau mengajar di Titi Papan dan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat yang ingin menuntut ilmu, akhirnya beliau memutuskan untuk pindah ke Medan.[47] Pada tanggal 22 Jumadilawal 1335 H bertepatan dengan tanggal 15 Maret 1917 keluarga Syekh Hasan Ma'shum pindah dari Labuhan ke Medan.[49] Ia mulai mengajar beberapa orang murid, tetapi tidak menjadi figur terkenal dan masyarakat Muslim Sumatra Timur tidak mengenalnya sebagai ulama terkemuka.[46] Syekh Hasan tidak memanfaatkan keulamaannya sebagai alat untuk mencari dan mengejar jabatan publik.[46] Masyarakat tidak mengetahui capaian-capaian intelektual dan spiritualnya selama 20 tahun menimba ilmu di Haramain,[46] Setelah menetap di Sumatra Timur selama 9 tahun Syekh Hasan tidak memperdulikan popularitas.[46] Beliau mengajar di Medan pada beberapa tempat baik di rumah, madrasah, masjid, seperti Masjid Raya al-Mashun Medan, Masjid Gang Bengkok, Kampung Kesawan, Medan.[42] Masjid Kampung Percut, Masjid Kampung Bandar Setia, dan Masjid Bagan Deli.[42] Kehadiran Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandilî
— Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandilî; 1925; Ulama dari Makkah; Dalam sebuah pertemuan di Medan [50]
Sampai akhirnya pada tahun 1925, Sumatra Timur kedatangan seorang ulama dari Makkah yang bernama Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandilî dan hadir dalam sebuah pertemuan.[50] Syekh Muhammad Ya’kub sebagai tuan rumah pertemuan tersebut menanyakan makna kalimat yang disampaikan Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandilî dalam pertemuan tersebut kepada Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandilî, yang akhirnya menuturkan: “adalah ia itoe (Syekh Hasan Ma'sum ) seorang di antara ‘alim jang telah mentjapai makam jang tinggi...sebab itu kamoe sekalian akoe nasihatkan, apakala kelak ia telah mendjadi oelama besar di keradjaan Deli ini, djanganlah alpa dan lalai ontoek menoentoet ilmu padanja”. [50] Berkat testimoni dari Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Mandilî, akhirnya masyarakat Muslim Sumatra Timur menyadari kelalaian mereka selama ini, karena tidak sadar bahwa Sumatra Timur memiliki seorang ulama terkenal dari Makkah.[46] Di Medan beliau mulai dikenal dan memiliki banyak murid yang datang dari berbagai daerah.[51] Pendidikan agama Islam masih bersifat pengajian yang dilaksanakan di rumah-rumah tuan guru, langgar maupun masjid.[47] Dalam kondisi ini Hasan Ma'shum sudah memiliki ribuan murid yang berasal dari berbagai daerah di Sumatra Timur.[47] Bertahun-tahun beliau menjadi guru besar dan setiap harinya selalu diisi dengan pengajian.[47] Pengajian dipusatkan di langgar miliknya dan Masjid Raya al-Mahsun Medan, pengajian ini selalu menjadi pusat perhatian para penuntut ilmu yang terdiri dari orang tua maupun anak muda.[52] Kondisi Sumatra Timur waktu itu memang sangat membutuhkan seorang Ulama dan lembaga-lembaga pendidikan yang bisa memberikan pemahaman keagamaan terhadap masyarakat sekitarnya.[47] Hal ini dapat dilihat dari kesungguhan para murid yang datang belajar kepada Hasan Ma'shum, yang mana ketika itu pusat pengajiannya difokuskan di langgar miliknya yang sekarang dikenal dengan Mushalla Hasan Ma'shum di Jalan Puri dan Masjid Raya al-Mahsun Medan.[47] Tercatat ia pernah mengajar di Wilhelminastraat (di Jalan Japaris, tahun 1928 M ).[9] Menjadi Ulama Kesultanan DeliSejak pertemuan itu, pelajar-pelajar agama dari seantero Sumatra Timur mulai mendatangi dan menimba ilmu kepada Syekh Hasan, dan kondisi ini mendapatkan perhatian dari Sultan Kesultanan Deli yang bernama Sultan Makmun al-Rasyid yang meminta Syekh Hasan menjadi ulama Kesultanan Deli.[53] Pada awalnya tawaran dari Sultan Deli ini ditolaknya karena beranggapan bahwa dengan menerima gaji dari suatu jabatan maka akan berkurang kebebasannya dalam mengajarkan agama.[54] Dan setelah berpikir beberapa lama serta dengan alasan bahwa Sumatra Timur membutuhkan benteng agama, akhirnya ia menerima jabatan tersebut.[50] Seperti kebanyakan fukaha klasik, ia sempat menolak jabatan mufti karena takut kebebasan akademiknya semakin terbatas, meskipun belakangan ia menerima jabatan tersebut dengan alasan bahwa Kesultanan Deli membutuhkan seorang benteng agama.[53] Syekh Hasan diangkat oleh Sultan Deli, Sultan Perkasa Alamsyah, menjadi Mufti Kesultanan Deli,[55] Penasihat (adviseur) di Mahkamah Kerapatan Sultan Deli dalam bidang Hukum Islam, dan Imam sekaligus Khatib Masjid Raya al-Mashun.[56] Sejak saat itulah ia mendapat gelar Imam Paduka Tuan.[9] Sultan Makmum al-Rasyid, memberikan gelar kehormatan ini karena mengangkat Syekh Hasan Ma'shum sebagai “Ulama Kesultanan Deli”.[54] Jabatan sebagai mufti Kesultanan Deli dan Penasihat di Mahkamah Kerapatan Sultan Deli merupakan jabatan politis yang dapat mempengaruhi kondisi sosial keagamaan di Sumatra Timur.[53] Meskipun mufti tidak bisa disebut sebagai jabatan politik, tetapi jabatan tersebut berkaitan erat dengan politik di Kesultanan Deli, sebab Sultan akan senantiasa meminta masukan darinya sebagai mufti Kesultanan mengenai persoalan-persoalan sosial keagamaan yang dihadapi oleh Kesultanan.[5] Artinya, jabatan tersebut dapat mempengaruhi keputusan politik Sultan.[5] Sebagai pejabat Kesultanan, ia memiliki tugas menguji guru-guru agama dan mengeluarkan surat izin mengajar kepada mereka yang lulus ujian.[57] Dalam kasus tertentu, ia menolak memberikan izin mengajar kepada guru-guru yang berasal dari organisasi Muhammadiyah akibat perbedaan paham antara Muhammadiyah yang tidak bermazhab dengan pihak Kesultanan yang menganut paham Syafi'iyah; atau guru yang dicurigai sebagai anggota organisasi PERMI yang merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang politik.[53] Meskipun menjadi pejabat Kesultanan Deli, kekuasaan keagamaan Syekh Hasan meliputi seluruh kekuasaan kesultanan di Sumatra Timur seperti Langkat, Deli (Medan), Serdang, Batu Bara, dan Asahan.[53] Sebagai mufti Syafi'iyah yang berhaluan Naqshabandîyah, tentu saja kekuasaannya melampaui kekuasaan Syekh Abdul Wahab Rokan yang dikenal sebagai Syekh Tarekat Naqsyabandiyah di Babussalam, Langkat, Sumatra Timur, atau sufi-sufi dari berbagai tarekat yang banyak berkembang di kawasan ini.[53] Al Jam'iyatul WashliyahHubungan Syekh Hasan Ma'shum, dengan Al Jam’iyatul Washliyah adalah ibarat hubungan guru dengan murid.[58] Syekh Hasan Ma'shum adalah Guru Besar sekaligus penasihat yang utama bagi Al Jam’iyatul Washliyah [3] Empat bulan setelah Al Jam’iyatul Washliyah berdiri, yang baru saja hendak membersarkan usahanya,kehilangan Al Ustadz M. Arsyad Thalib Lubis sebagai seketaris I perhimpunan ini, terpaksa berangkat ke Meulaboh (Aceh Barat) untuk memenuhi panggilan kaum muslimin menjadi guru disana.[59] Hingga pada awal Juli 1931 Al Jam’iyatul Washliyah memiliki susunan pengurus yang mana Syekh Hasan Ma'shum sebagai salah satu penasihatnya.[59] Pada akhir tanggal 10 Desember 1993, telah disahkan berdirinya Majelis Fatwa Al Jam'iyatul Washliyah, dan Syekh Hasan Ma'shum termasuk salah satu dalam susunan anggotanya.[60] Pada tanggal 24 Juli 1934, diadakan Rapat Besar yang dihadiri oleh segenap anggota dan guru-guru serta pimpinan Al Jam'iyatul Washliyah, hingga dengan hasil pemungutan suara Pemilihan Anggota Pengurus Besar Al Jam'iyatul Washliyah, Syekh Hasan Ma'shum terpilih menjadi salah seorang dari tiga Advisuur Pengurus Besar Al Jam'iyatul Washliyah (Syekh Hasan Ma'shum, Syekh Muhammad Yunus dan Sykeh Ilyas Kadhi).[61] Al Jam’iyatul Washliyah seakan mendapatkan udara baru, apalagi ketika penduduk Sumatra Timur mengetahui Hasan Ma'shum sebagai Adviseurnya, dalam waktu yang singkat Al Jam’iyatul Washliyah menjadi popular, berdirilah cabangnya di mana-mana dan madrasahnya tumbuh berkembang”.[62] Pada tanggal 8 Juli 1934, Al Jam'iyatul Washliyah cabang Pancur Batu (Arnhemia) melangsungkan perayaan maulid yang pertama sekali didaerah tersebut dengan penuh kegembiraan, Syekh Hasan Ma'shum turut hadir bersama Kadhi Haji Ilyas didalamnya.[63] Pada tanggal 17 Januari 1935, Pengurus Besar Al Jam'iyatul Washliyah menetapkan pemeriksa madrasah, Syekh Hasan Ma'shum sebagai penasihat turut menandatangani ketetapan itu menurut keputusan rapat pengurus besar.[64] Syekh Hasan Ma'shum pada tanggal 5 Maret 1934, di rumahnya yang berlokasi di jalan puri Medan, mengadakan ujian guru-guru Al Jam'iyatul Washliyah yang dihadiri oleh Pengurus Besar Al Jam'iyatul Washliyah, guru-guru peserta ujian kemudian diberikan surat izin mengajar atas tanda tangan Syekh Hasan Ma'shum dan Sultan Amaluddin Sani (Sultan Deli) [65] Salah satu usaha Al Jam’iyatul Washliyah dalam bidang ekonomi pada awal berdirinya adalah dengan dibentuknya Badan Chazanah al-Islahiyah Al Washliyah.[6] Pokok-pokok pikiran mendirikan badan ini adalah untuk memperhatikan usaha Al Jam’iyatul Washliyah yang akan membutuhkan finansial seperti pemeliharaan anak yatim dan miskin, dakwah Islam, penyantunan para mualaf dan pendirian masjid-masjid, madrasah-madrasah dan kursus-kursus untuk umat Islam.[6] Pendirian badan ini bertujuan untuk mencari dana demi terealisasinya usaha-usaha Al Jam’iyatul Washliyah tersebut. Ide ini dilontarkan oleh Syekh Hasan Ma'sum dan beliau juga merangkap sebagai penasihat di dalam mengawasi badan ini.[66] Rapat pendirian badan ini dilaksanakan di kediam Syekh Hasan Ma'shum yang berlokasi di jalan puri Medan, pada tanggal 31 Maret 1935.[67] Syekh Hasan Ma'shum kemudian juga menjadi bagian Majelis Mumtahin Al Jam'iyatul Washliyah, yang pada tanggal 16 sd 20 November 1935, bertempat di Padangbulanweg 190 diadadakan Imtihan Umumi Al Jam'iyatul Washliyah yang pertama.[68] Al IttihadiyahAl-Ittihadiyah didirikan tanggal 27 Januari 1935 atau bertepatan dengan 21 Syawwal 1353 H.[69] Organisasi ini dideklarasikan di gedung Zelfstandig Yong Islamiten Bond jalan Sisingamangaraja, belakang Masjid Raya Medan.[69] Pendiri Al-Ittihadiyah adalah Syekh Haji Ahmad Dahlan, seorang yang berasal dari Langkat, dan lulusan Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.[70] Ketika Al-Ittihadiyah pertama kali didirikan, Syekh Hasan Ma'shum termasuk sebagai Penasihat dalam komposisi Pengurus Besar Al-Ittihadiyah.[71] Sebelum Al-Ittihadiyah didirikan, telah eksis dua organisasi Islam di Sumatra Timur (yang nantinya bagian dari Sumatera Utara) saat itu, yakni Al Jam'iyatul Washliyah dan Muhammadiyah.[72] Al Jam'iyatul Washliyah sering disebut organisasi kaum tua, sedangkan Muhammadiyah sering disebut organisasi kaum muda.[73] Karya tulisMeskipun disibukkan oleh jabatan sebagai ulama Kesultanan Deli, Syekh Hasan tetap meluangkan waktu untuk menulis karya-karya akademik.[74] Syekh Hasan Maksum banyak menghasilkan karya tulisan,[75] diantaranya ditulis tatkala masih berada di Makkah (antara tahun 1912 M-1916 M).[9] Selama di Makkah maupun di tanah air beliau juga menyempatkan untuk menulis beberapa buah kitab.[76] Beliau banyak mengarang kitab-kitab tentang fikih Syafi'i.[35] Dari beberapa karangan Hasan Maksum, tampak dengan jelas bahwa beliau adalah ulama yang mengikuti mazhab Syafi‘i. Beliau mempelajari fikih mazhab Syafi‘i selama menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar yang mengajar di Makkah dan di Madinah.[77] Ilmu yang diperolehnya tersebut dikembangkan dengan menulis beberapa karangan yang membahas tentang berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Sumatera Utara ketika itu.[77] Beberapa karangannya tersebut juga mendapatkan respon yang baik oleh sebagian muridnya, sehingga ada permintaan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu agar lebih mudah untuk dipahami oleh lapisan masyarakat yang tidak bisa membaca tulis bahasa Arab.[77] Syekh Hasan menulis empat kitab berbahasa Arab selama belajar.[32] Belakangan keempat kitab berbahasa Arab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab-Melayu dan diterbitkan di Medan Deli.[41] Karya-karya berbahasa Arab dari Hasan sulit ditemukan, tetapi jelas bahwa semua karya berbahasa Arab Melayu tersebut menjadi bukti bahwa Syekh Hasan memberikan kontribusi bagi sastra Arab Melayu di Nusantara.[74] Setidaknya ada dua kontribusi Syekh Hasan Maksum di bidang ilmu falak, yaitu jadwal waktu salat dan akurasi arah kiblat.[78] Seperti dimaklumi, dua hal ini adalah kebutuhan harian umat Muslim dalam melaksanakan ibadah.[78] Syekh Hasan telah menulis dua karya tasawuf.[79] Kitab pertama berjudul Tadhkîr al-Murîdîn Sulûk Tarîqah al-Muhtadîn, kitab ini menggunakan bahasa Arab Melayu, terdiri atas 40 halaman, dan diterbitkan oleh penerbit Perca Timur Medan Deli pada tahun 1353 hijriah.[79] Kitab ini membicarakan masalah tasawuf, adab-adab bagi guru dan murid dalam bidang tasawuf, relasi Syariah, tarekat dan hakikat, serta zikir-zikir.[79] Kitab tasawuf ini belum pernah ditelaah dan dianalisis oleh para peneliti tasawuf modern.[79] Kitab kedua berjudul As‘âf al-Murîdîn yang ditulis di Makkah dalam bahasa Arab. Dalam versi Arabnya, kitab ini berjudul al-Nubdhah al-Lu’lu’iyah.[79] Atas permintaan murid dan kolega, akhirnya kitab tasawuf yang berbahasa Arab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab-Melayu.[79] Cukup disayangkan, keberadaan kitab dalam versi bahasa Arabnya masih misteri.[79] Kitab As‘âf al-Murîdîn membicarakan masalah al-râbitah dalam tradisi tasawuf yang diulas dalam 43 halaman.[79] Diterbitkan di Medan Deli atas bantuan ‘Abd alRauf bin Haji ‘Abd al-Rahman.[79] Dari segi konten, tidak ada pertentangan antara kedua kitab tersebut.[79] Keduanya menegaskan urgensi bagi seorang guru spiritual dan murid-muridnya untuk setia terhadap Syariah dalam menggapai mutiara hakikat.[79]
Murid-muridSebagai ulama, Syekh Hasan berhasil memainkan peran sebagai pelestari tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah, dan salah satu wujudnya adalah kesuksesannya menjadikan murid-muridnya sebagai ulama masa depan, bahkan menjadi Ulama terkemuka bagi tiga organisasi Islam seperti Al Jam’iyatul Washliyah, Al Ittihadiyah, dan Nahdlatul Ulama.[32] Ulama-ulama dari ketiga organisasi tersebut juga berhasil mendidik sejumlah murid menjadi Ulama Sumatera Utara era kontemporer yang banyak menghasilkan karya-karya dalam bidang ilmu-ilmu keIslaman yang berhasil memberikan pencerahan terhadap masyarakat Muslim Indonesia.[6] Di antara karya dimaksud adalah Tafsir Djuz Amma dan Tafsir Surah Yasin karya Ustaz Adnan Lubis; Debat Islam-Kristen tentang Kitab Suci, Ilmu fikih, Ilmu Pembagian Pusaka (al-Fara’idh), Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Kristen dan Islam, dan Perbandingan Agama Kristen dan Islam karya Ustaz Muhammad Arsyad Thalib Lubis; serta Penjelasan Kitab Suci al-Qur‘an tentang Yesus/Kristen/Pendeta2nya, Perselisihan Ayat-ayat Biyble, Tafsir Surah al-Fatihah, dan Tafsir Surah al-Nur karya Ustaz Muhammad Yusuf Ahmad Lubis. Berbagai karya tersebut menunjukkan bahwa Syekh Hasan berhasil memunculkan generasi penerus keulamaannya di bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Deli.[6] Ketiga penulis tersebut adalah ulama-ulama Al Jam’iyatul Washliyah.[6] Banyak murid-murid beliau yang menjadi penerus dan penyebar Mazhab Syafi'i di Sumatra, seperti yang kita kenal dalam organisasi Al Jam’iyatul Washliyah, suatu organisasi yang menjadi benteng pertahanan Mazhab Syafi'i, dimana pimpinan-pimpinannya adalah bekas murid-murid beliau.[35] Sanad intelektual Syekh Ahmad Khatib bersambung sampai kepada pendiri dan ulama-ulama mazhab Syafi'iyah dan Asy‘arîyah.[32] Sebab itulah, Hasan Ma'sum, dan murid-muridnya dari organisasi Al Jam’iyatul Washliyah juga memiliki hubungan intelektual dan spiritual dengan ulama-ulama mazhab Syafi'iyah dan Asy‘arîyah.[80] Fakta tersebut membuat Al Jam’iyatul Washliyah dapat dikatakan sebagai benteng mazhab Sunni di Indonesia.[32]
1917 1980 63 Ustadz Marsyumi Ulama Masyumi dan Alwasliyah b1 KewafatanKendati telah menjadi ulama terkemuka, Syekh Hasan tidak pernah menghentikan kegiatan akademik, mengajar dan belajar.[81] Dengan berbagai kesibukan, ia terus mengajar umat Islam secara formal maupun non-formal, terutama di Madrasah Hasaniyah dan Masjid Raya al-Mashun, terutama dalam bidang fikih dengan menggunakan kitab-kitab standar dalam Mazhab Syafi'i.[81] Ia juga tidak pernah puas mendalami ilmu-ilmu agama, meskipun telah menduduki jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan, selalu membaca kitab dan mendiskusikan masalah-masalah agama sampai menjelang subuh, dan akhirnya tradisi akademik tersebut membuatnya jatuh sakit selama enam bulan.[81] Syekh Hasan Ma’shum Deli terus berkhidmah sebagai pengajar sekaligus mufti Kesultanan Deli hingga wafat,[8] di Medan,[1][13] pada usia kurang lebih 53 tahun,[82][83][13] menurut perhitungan tahun masehi,[13] yakni pada hari Kamis,[83] 24 Syawal 1355 H/7 Januari 1937 M,[8][83] setelah berbulan-bulan menderita penyakit,[3] dan dimakamkan di perkuburan Masjid Raya al-Mashun, tidak jauh dari Istana Kesultanan Deli.[83] Menurut dokter, kebiasaan membaca sampai menjelang subuh membuat urat yang menghubungkan ke otaknya tertutup.[83] Wafatnya Syekh Hasan Ma'shum, bukan saja dirasakan pilu oleh keluarga, murid-muridnya. Begitu juga oleh Al Jamiyyatul Al Washliyah bahkan seluruh ummat Islam di Indonesia dan di luar Indonesia.[3] Meskipun telah menjadi ulama besar dan menduduki jabatan keagamaan terpenting, Syekh Hasan tetap terus menggali ilmu, menulis banyak karya akademik, serta menjadikan keheningan malam sebagai waktu terbaik untuk menelaah kitab-kitab agama dan menyelesaikan persoalan-persoalan akidah dan hukum Islam.[81] Usia tua, pangkat, dan jabatan tidak membuat Syekh Hasan menjadi lalai mengkaji ilmu dan menulis karya akademik bermutu.[81] Catatan akhir
Daftar Pustaka
|