Eqbal Ahmad
Eqbal Ahmad (1933 – 11 Mei 1999) adalah seorang ilmuwan politik, penulis, dan akademisi Pakistan yang terkenal karena aktivisme anti-perang, dukungannya terhadap gerakan perlawanan secara global, dan kontribusi akademiknya pada studi Asia Barat.[1] Saat masih kecil, ia bermigrasi ke Pakistan dan melanjutkan studi ilmu ekonomi di Forman Christian College. Setelah lulus, ia bekerja sebentar sebagai seorang perwira militer dan sempat terluka dalam Perang Kashmir Pertama pada tahun 1948.[2] Ia juga turut berpartisipasi dalam Revolusi Aljazair.[3] Setelah mempelajari Perang Vietnam dan imperialisme Amerika Serikat (AS), ia menjadi penentang pertama perang tersebut ketika ia kembali ke AS pada pertengahan 1960an.[4] Meskipun sangat dihormati di kalangan sayap kiri di Asia Selatan, Ahmad juga dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Menurut Pervez Hoodbhoy, surat perintah penangkapan dan hukuman mati pernah dijatuhkan padanya selama pemerintahan darurat militer di Pakistan. Ia juga pernah didakwa atas tuduhan berkonspirasi untuk menculik Henry Kissinger pada tahun 1971 (yang saat itu menjabat sebagai Penasihat Keamanan Nasional Presiden Nixon). Namun kasus tersebut pada akhirnya dihentikan. Kabir Babar menyebut Ahmad sebagai "salah satu pemikir paling terkemuka yang berasal dari benua [Asia Selatan]. Analisisnya terhadap peristiwa dan tren politik besar di abad ke-20 menjadi terkenal karena kecerdasan dan kekuatan prediktifnya." Edward Said menyebut Ahmad sebagai salah satu dari dua orang yang mempunyai pengaruh paling penting dalam perkembangan intelektualnya;[5] ia memuji tulisan Ahmad terutama mengenai Asia Selatan karena bersifat informatif. Ahmad adalah salah satu akademisi sayap kiri paling terkemuka di Pakistan dan Amerika Serikat. Peninggalannya meliputi sikapnya yang sangat menentang militerisme, birokrasi, senjata nuklir, dan kekakuan ideologi, yang ia sebut sebagai patologi kekuasaan.[6] Ia juga merupakan pendukung kuat demokrasi dan hak atas penentuan nasib sendiri.[7] Meskipun sosoknya kurang dikenal di Pakistan, Ahmad memberikan peninggalan yang besar di kalangan intelektual baik di dalam maupun di luar Pakistan.[8][9][10][11][12] Kehidupan awal dan pendidikanEqbal Ahmad lahir di desa Irki, distrik Gaya (sekarang Divisi Magadh) di negara bagian Bihar, India. Ketika ia masih kecil, ayahnya dibunuh di hadapannya oleh sebuah kelompok hindu karena sengketa tanah. Selama pemisahan India pada tahun 1947, ia dan kakak laki-lakinya bermigrasi ke Pakistan dengan berjalan kaki.[13][14][15] Ahmad lulus dari Forman Christian College di Lahore, Pakistan, pada tahun 1951 dengan gelar sarjana ekonomi. Setelah bertugas sebentar sebagai perwira militer, ia mendaftar di Occidental College di California pada tahun 1957, sebagai Rotary Fellow. Pada tahun 1958, ia kuliah di Universitas Princeton, tempat ia mempelajari ilmu politik dan sejarah Timur Tengah hingga ia mendapatkan gelar PhD pada tahun 1965.[16][17] KarierDari tahun 1960 hingga 1963, Ahmad tinggal di Afrika Utara dan bekerja di Aljazair, negara tempat ia bergabung dengan Front Pembebasan Nasional dan bekerja bersama Frantz Fanon dan beberapa nasionalis Aljazair yang berperang dalam perang kemerdekaan Aljazair melawan Prancis.[18][19] Dia sempat ditawari untuk bergabung dengan pemerintahan independen pertama Aljazair, namun ia menolaknya dan memilih hidup sebagai seorang intelektual independen dengan kembali ke Amerika. Eqbal Ahmad fasih berbahasa Urdu, Inggris, Persia dan Arab.[20][18] Sekembalinya ke Amerika Serikat, Eqbal Ahmad mengajar di Universitas Illinois di Chicago (1964–65) dan Universitas Cornell (1965–68). Advokasinya terhadap hak orang-orang Palestina untuk kembali ke Palestina selama perang Arab-Israel 1967 menyebabkan ia dikucilkan dalam komunitas akademik, sehingga ia meninggalkan Cornell. Dari tahun 1968 hingga 1972, ia bekerja sebagai fellow di Universitas Chicago. Dalam masa ini, Ahmad menjadi aktivis yang secara kuat menentang Perang Vietnam, yang menyebabkan ia didakwa sebagai bagian dari Harrisburg Seven pada bulan Januari atas tuduhan konspirasi untuk menculik Henry Kissinger.[21][22][23][24] Dalam persidangan, Ahmad dibebaskan dari semua tuduhan pada tahun 1972. Selain itu, ia dikenal sebagai salah satu penentang kebijakan Amerika yang paling awal dan paling vokal di Vietnam dan Kamboja.[22] Dari tahun 1968 hingga 1972, ia menjadi peneliti di Institut Adlai Stevenson di Chicago.[25] Teman Eqbal Ahmad, penulis Stuart Schaar menyatakan dalam sebuah buku bahwa dia telah memperingatkan AS agar tidak menyerang Irak pada tahun 1990. Dia telah memperkirakan dengan tepat bahwa jatuhnya Saddam akan menimbulkan kekerasan sektarian dan kekacauan di wilayah tersebut. [26] Eqbal Ahmad juga pernah mewawancarai Osama bin Laden di Peshawar pada tahun 1986. Pada awal tahun 1990-an, ia memperkirakan bahwa dengan mempertimbangkan ideologi Osama Bin Laden, Osama akan melakukan pemberontakan melawan AS dan Pakistan.[26] Dari tahun 1972 hingga 1982, Ahmad menjadi Senior Fellow di Institute for Policy Studies, sebuah think-tank progresif di AS. Dari tahun 1973 hingga 1975, ia menjabat sebagai direktur pertama afiliasi Institut Transnasional di Amsterdam. Pada tahun 1982, Ahmad bergabung dengan sebagai akademisi di Hampshire College, di Amherst, Massachusetts, sebuah sekolah progresif yang merupakan perguruan tinggi pertama di negara tersebut yang melakukan divestasi dari Afrika Selatan. Di sana, ia mengajar politik global dan ilmu politik hingga menjadi Profesor Emeritus pada tahun 1997.[27] Pada awal tahun 1990-an, Ahmad diberikan sebidang tanah di Pakistan oleh pemerintahan Perdana Menteri Nawaz Sharif, untuk membangun sebuah universitas alternatif independen.[28] Namun, usahanya untuk mendirikan perguruan tinggi yang diberi nama Ibnu Khaldun di Islamabad mengalami kegagalan.[29][7] Setelah pensiun dari Hampshire pada tahun 1997, ia menetap secara permanen di Pakistan, tempat ia terus menulis kolom mingguan, untuk Dawn, surat kabar berbahasa Inggris tertua di Pakistan.[30][31] Ia terus mempromosikan sosial demokrasi di negara-negara Muslim seperti halnya di negara-negara Skandinavia untuk mencegah ekstremisme, kemiskinan dan ketidakadilan di negara-negara tersebut.[30] Kematian dan peninggalanEqbal Ahmad meninggal akibat penyakit gagal jantung pada 11 Mei 1999 di rumah sakit Islamabad di Pakistan. Sebelum meninggal, ia juga dirawat di rumah sakit yang sama karena menderita kanker usus besar.[32] Dia menikah dengan Julie Diamond pada tahun 1969, seorang guru dan penulis dari New York dan mereka memiliki seorang putri yang bernama Dohra.[32] Sejak kematiannya, serangkaian kuliah umum diadakan di Hampshire College untuk menghormatinya. Pembicaranya antara lain Kofi Annan, Edward Said, Noam Chomsky, dan Arundhati Roy. Ahmad dikagumi sebagai "seorang intelektual yang tidak terintimidasi oleh kekuasaan atau otoritas". Dia berkolaborasi dengan jurnalis, aktivis, dan intelektual kiri seperti Chomsky, Said, Howard Zinn, Ibrahim Abu-Lughod, Richard Falk, Fredric Jameson, Alexander Cockburn dan Daniel Berrigan. Ahmad dipuji atas wawasannya mengenai terorisme Islam; dia secara terbuka mengkritik dukungan global terhadap kelompok fundamentalis Islam di Afghanistan.[33] Setelah kematian Ahmad pada tahun 1999, Noam Chomsky menggambarkan Ahmad sebagai seorang "teman yang berharga, kawan terpercaya, penasihat dan guru". Chomsky menulis bahwa Ahmad sangat mengapresiasi kehangatan dan tradisi sufi Islam yang ia ingat dari masa kecilnya di sebuah desa di Bihar, tempat sufi Islam dihormati di kalangan masyarakat Hindu dan Muslim yang bersatu. Para sufi itu dikatakan 'berkhotbah dengan menjadi teladan', hidup 'dengan kepedulian sosial dan memperlakukan orang secara setara tanpa diskriminasi'. Eqbal Ahmad mendeskripsikan dirinya sebagai orang yang 'sangat sekuler' dan 'internasionalis' tetapi dia juga sering memuji unsur-unsur pemikiran dan praktik keagamaan yang menurutnya mengagumkan di kalangan Sufi Islam.[34] Meskipun seorang sekuler, Eqbal Ahmad melihat semua agama, terutama Islam, sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat umum.[35] Ahmad dianggap turut memberikan kebijaksanaan dan membangun integritas bagi perjuangan masyarakat tertindas di seluruh dunia.[36] Seperti yang ditulis oleh Edward Said:
Dalam review The Selected Writings of Eqbal Ahmad, Keally McBride memuji Ahmad atas "pemahamannya yang luar biasa tentang sifat manusia, dan pengetahuan ensiklopedisnya tentang sejarah dunia".[37] Kabir Babar menulis bahwa "mempelajarinya berarti dihadapkan pada fenomena langka yaitu ketelitian akademis yang dipadukan dengan keinginan untuk bertindak." Shahid Alam dari Monthly Review menulis bahwa "Ahmad memberikan suara yang paling artikulatif, analitis, dan bersemangat dari dunia ketiga sejak Frantz Fanon. Ia juga sebagai salah satu pemikir politik paling cerdik yang dihasilkan dunia Islam pada abad ke-20."[38] Ahmad adalah seorang sekularis kiri yang dikenal karena kecaman dan kritiknya terhadap imperialisme Barat. Amitava Kumar berpendapat, "Seperti halnya Said, dia adalah mentor bagi generasi pemikir, sebagian besar dari Asia Selatan [...] yang terkenal karena "tidak hanya kekuatannya tetapi juga besarnya simpati yang dimilikinya [...] Ia adalah seorang insinyur yang berkomitmen terhadap emansipasi, membangun jalan imajinatif, menghubungkan persoalan lintas benua. Kumar menganggap beberapa aspek analisis Ahmad kurang relevan di abad ke-21 namun tetap memuji komitmennya untuk menyelesaikan masalah politik melalui diplomasi, bukan perang. Tulisannya tentang dunia Muslim khususnya terkenal karena kekuatan kritik dan integritasnya, serta penolakannya terhadap norma-norma yang diterima umum."[39][40] Muhammad Idrees Ahmad menulis pada tahun 2016, "Dia secara akurat meramalkan konsekuensi kecerobohan Barat di Afghanistan, dan peringatannya mengenai intervensi AS di Irak terbukti bersifat profetik."[41] Karya kesarjanaan (pilihan)
Referensi
|