Ceki (pelafalan dalam bahasa Indonesia:[tʃəki]) adalah sejenis kartu permainan dari masyarakat Tionghoa dan Peranakan yang dimainkan di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ceki merupakan turunan kartu permainan Tionghoa [en] bergambar uang serta tokoh novel Batas Air (水滸傳 Shuǐhǔ zhuàn) yang gambar-gambarnya mengalami penyederhanaan dan abstraksi. Kartu ceki dapat digunakan untuk berbagai permainan, dan pada masa kolonial umum dimainkan oleh berbagai kalangan masyarakat sebagai sarana rekreasi, pergaulan, dan juga perjudian. Memasuki abad ke-21, peminat ceki mengalami penurunan, namun kartu ini masih lazim dimainkan di sejumlah daerah seperti ranah Minang dan Bali.
Nama
Beberapa sumber menduga bahwa kata ceki (Jawi چکي, aksara Jawa ꦕꦼꦏꦶ, aksara Bali ᬘᭂᬓᬶ) berasal dari istilah Bahasa Hokkien seperti 一枝 chít ki “satu kartu” atau 二枝 jī ki "dua kartu". Istilah ini mungkin merujuk pada jenis permainan sebelum bergeser makna menjadi kartunya sendiri.[1][2] Di beberapa tempat, ceki masih dirujuk sebagai jenis permainan sementara kartunya dikenal dengan nama lain seperti daun ceki, ijo/iyu/yu,[3][a]kartu Cina, kertu cilik,[4]koa/kowa,[5][6][7] dan sikiah.[8]KBBI dan Kamus Bahasa Melayu Malaysia sama-sama menggunakan ejaan ceki untuk Bahasa Indonesia dan Melayu baku,[9][10] namun terdapat banyak variasi ejaan dalam rujukan eksiting, termasuk cuki,[11]cekian,[12]chĕki,[13]cherki, chaqui,[2]tjeki/tjĕki,[14] dan tyekén.[15]
Penggunaan populer
Sebuah sesi permainan (mungkin Pèi) di Yogyakarta, sekitar tahun 1880. Foto oleh Kassian Céphas
Iklan kartu ceki cap "Doea Matjan" di koran Sin Po, edisi 20 Maret 1922.
Ceki pada awalnya hanya dimainkan oleh masyarakat Tionghoa dan Peranakan. Berkat jalur dagang dan kegiatan komersial masyarakat Tionghoa-Peranakan, permainan ceki kemudian menyebar ke masyarakat lokal di berbagai pelabuhan Nusantara yang kembali menyebarkannya ke berbagai pelosok. Ceki juga pernah dimainkan di Suriname, dibawa oleh tenaga kerja Jawa yang didatangkan pemerintahan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.[15] Ceki digunakan sebagai sarana rekreasi dan pergaulan; sesi-sesi tertentu dapat berjalan semalam suntuk karena berbarengan dengan obrolan panjang antar pemain. Permainan ceki juga kerap dibarengi dengan taruhan kecil, yang tidak jarang bergeser menjadi perjudian dengan taruhan besar.[16][17] Asal-usul gambar abstrak pada ceki tidak selalu dipahami oleh khalayak umum dan ini mengantarkan pada sejumlah interpretasi dan penggunaan mistis ceki sebagai kartu peramal nasib (mirip dengan Tarot).[17]
Di Malaysia dan Singapura masa kolonial, ceki sempat menjadi permainan segala kalangan, dari jelata hingga bangsawan. Sebagai contoh, catatan keuangan Sultan Abdul Hamid Halim dari Kedah (1864–1943) menunjukkan bahwa sang sultan senang berjudi menggunakan ceki.[18] Pemain ceki di Malaysia-Singapura cenderung banyak menggunakan istilah Hokkien, dan gambar kartu yang digunakan lebih mendekati kartu Tionghoa asli dibanding kartu-kartu yang digunakan di Indonesia. Seiring waktu hanya wanita yang memainkan ceki, terutama dari kalangan peranakan, tapi dengan peminat yang terus berkurang hingga hampir punah di masa modern. Chia (1980) melaporkan bahwa memasuki 1980-an ceki hanya bisa dibeli di Malaka.[19]
Sama seperti di Malaysia dan Singapura, ceki juga sempat menjadi permainan segala kalangan di Indonesia masa kolonial. Di Minang sebagai contoh, permainan ceki merupakan sarana pergaulan antara pegawai negeri ambtenaar dengan tokoh adat dan rakyat.[20] Foto-foto lama (lihat Raap, 2013) dan tulisan seperti Siem (1941) menunjukkan bahwa pada abad ke-20 M, kartu ceki dapat ditemukan di berbagai kota besar dan daerah-daerah di antaranya, seperti Padang, Lembang, Pekalongan, Yogyakarta, Surakarta, Badung, Klungkung, Singaraja, Lombok, Banjarmasin, Manado, Ambon, dan Timor. Pada awal abad ke-20, perusahaan kartu besar seperti di Turnhout, Belgia mengekspor ceki ke Sumatra, sementara perusahaan lokal seperti Handelsvereeniging Harmsen Verweij & Dunlop N.V. memiliki percetakan ceki yang beroperasi di Padang, Jawa, dan Makassar. Hal ini mengindikasikan mangsa pasar yang cukup besar di masa itu.[21] Memasuki abad ke-21, hanya beberapa daerah yang masih memainkan ceki. Di Jawa misal, ceki sudah jarang ditemukan. Sementara itu di ranah Minang serta Bali, ceki masih cukup banyak diminati dan kartunya relatif mudah didapat di berbagai toko.[22][23] Di Bali bahkan, terdapat pertemuan dan lomba ceki yang diselenggarakan berkala oleh berbagai banjar dengan dukungan pemerintahan daerah Bali. Pertemuan-pertemuan ini sekaligus menjadi ajang sosialisasi yang berupaya untuk menghapus kesan perjudian ceki dengan menunjukkan aspek positif seperti pengasahan strategi dan pemupuk pergaulan.[24][25]
Susunan dek
Sebuah dek ceki (disebut ꦏꦼꦥꦭ kepala di Jawa) terdiri dari 3 kelompok simbol, masing-masing terdiri dari kartu bernilai 1-9 dengan 3 kartu tambahan, sehingga total terdapat 30 jenis kartu. Tiap kartu memiliki kembar, sehingga total terdapat 60 kartu dalam satu dek.[26][27][b] Ke-30 jenis kartu ceki dapat dilihat pada tabel berikut:
Simbol/Nilai
Khusus
1/一
2/二
3/三
4/四
5/五
6/六
7/七
8/八
9/九
Koin
Tali
Muka
Nilai
Pada ceki, hanya kartu bersimbol muka yang nilainya ditulis secara eksplisit menggunakan angka Tionghoa. Indikasi nilai yang konsisten diterapkan pada semua kartu adalah bentuk pigura; kartu dengan nilai yang sama memiliki pigura yang sama. Sebagian besar permainan ceki berkutat pada pencarian pasangan pigura yang dapat dilakukan secara visual, sehingga pemain tidak selalu harus mengetahui nilai angka tiap pigura. Tiga kartu khusus memiliki nilai yang bergantung pada permainan.[28][26][29][30]
Simbol
Ketiga simbol ceki berasal satuan koin kepeng Tionghoa yang berkerabat dekat dengan simbol mahyong, namun ketiga simbol ceki tidak memiliki sebutan konsisten dan kerap dijuluki dengan berbagai nama di seantero Nusantara.[14][31] Hal ini berkaitan dengan gambar abstrak ceki yang rentan diinterpretasi ulang oleh pengamat tanpa pengetahuan konvensi desain kartu Tionghoa. Untuk konsistensi, artikel ini menggunakan istilah koin, tali, dan muka.
Simbol
Contoh pada kartu 8
Benda rujukan
Keterangan
Nama lain
Koin
Satuan koin kepeng
tong (Hokkien 筒 'tong'), piah (Hokkien 餅 ‘bulatan’), hitam, batik
Tali
Seratusan koin kepeng yang diikat dengan seutas tali
sok (Hokkien 索 ‘tali’), tiau (Hokkien 條 satuan untuk benda tipis/memanjang), lintrik (Jawa ꦭꦶꦤ꧀ꦠꦿꦶꦏ꧀ ‘barisan’), manik
Muka
Pada sistem dasarnya di Tiongkok, kartu ini merujuk pada 10,000 an koin kepeng yang diwakili oleh karakter Hanzi萬/万.[c] Namun bagi pemain ceki yang tidak mengenal Hanzi, kartu ini jadi lebih dikenal lewat figur muka manusia yang merupakan abstraksi tokoh novel Batas Air.[d]
ban (Hokkien 万 '10,000an'), wong (Jawa ꦮꦺꦴꦁ 'orang'), cina
Permainan
Kartu ceki dapat digunakan untuk berbagai jenis permainan.[33] Namun permainan paling mendasar, dikenal juga dengan nama ceki atau koa, tampaknya adalah permainan ambil-buang yang sedikit mirip dengan mahyong namun dengan aturan lebih sederhana. Bentuk dasar dari permainan tersebut dapat dipahami sebagai berikut:[34][28][26]
Permainan membutuhkan 2-3 dek ceki (120-180 kartu) dan dapat dimainkan 2-6 pemain. Tiap pemain dibagikan 8 atau 11 kartu di awal dan sisa kartu diletakkan menghadap bawah di tengah. Pemain tidak boleh melihat kartu milik pemain lain.
Dari kartu yang sudah dibagikan, pemain perlu mengumpulkan kartu-kartunya ke dalam kelompok triplet. Triplet sah terdiri dari 3 kartu yang jenis pigura dan gambar dalamnya sama persis. Pada beberapa variasi permainan, hanya piguranya yang diharuskan sama sementara salah satu atau ketiga gambar dalam triplet boleh berbeda. Poin dapat dihitung berdasarkan nilai jenis pigura, atau cara lain yang telah disetujui para pemain.
Apabila kartu milik pemain sama sekali tidak memiliki triplet sah, pemain pertama mengambil 1 kartu dari tumpukan kartu baru dan membuang 1 kartu miliknya ke tumpukan buangan sebelum melanjutkan ke pemain kedua. Pemain perlu berstrategi dalam memilih kartu yang sebaiknya disimpan dan kartu yang sebaiknya dibuang.
Pemain kedua mempunyai pilihan untuk mengambil 1 kartu dari tumpukan kartu baru atau 1 kartu paling atas dari tumpukan buangan. Pemain kedua kemudian membuang 1 kartu miliknya.
Proses ambil-buang dilanjutkan oleh pemain-pemain berikutnya hingga para pemain berhasil menyusun triplet sah. Tergantung dari gaya permainan, triplet sah dapat dikeluarkan dari tangan dan ditunjukkan pada pemain lain di tengah permainan, atau disembunyikan hingga detik terakhir.
Pemain yang kartunya bersisa 2 di tangan mengumumkan "ceki!" untuk memberi tahu pemain lain bahwa ia hanya perlu menunggu 1 kartu lagi untuk melengkapi triplet terakhirnya.
Pemain yang pertama berhasil menghabiskan kartunya dinyatakan sebagai pemenang dan permainan selesai. Dalam beberapa variasi permainan, poin seluruh pemain dihitung terlebih dahulu. Terdapat kemungkinan pemain yang kartunya pertama habis tidak langsung menang karena triplet susunannya memiliki poin nilai rendah.
Berbagai daerah umum memiliki sedikit modifikasi pada salah satu atau beberapa aspek dari aturan dasar di atas, misal syarat triplet sah, atau metode perhitungan poin. Ini menghasilkan variasi permainan seperti balik satu,[35]balik lima belas,[36]chot,[37]gonggong,[38] dan tantanan.[39]
Permainan lain
Sejumlah permainan yang tercatat dimainkan menggunakan kartu ceki meliputi:
Colek Tiga, permainan Malaysia yang dimainkan oleh 2 hingga 3 orang.[40]
Pak Tui, permainan Malaysia/Singapura yang menyerupai soliter.[41]
Pèi, permainan Jawa untuk 3 orang yang bertujuan untuk mengumpulkan kombinasi kartu tertentu.[42]
Thothot, permainan Jawa untuk 3 orang yang bertujuan mengumpulkan pasangan kartu identik. [43]
Kesenian
Sebagai suatu produk budaya masyarakat, permainan ini juga terekam dalam bentuk kesenian lainnya. Salah satunya dalam bentuk lagu populer "Main Tjeki" karya Benny Walujo (1971), yang dinyanyikan oleh biduan terkenal Lilis Suryani dalam irama gambang kromong.[44] Batik bermotif ceki juga pernah dibuat misal di Pekalongan.[45]
Galeri
Sebuah dek ceki yang digunakan di Jawa sekitar 1897 (disusun acak), dalam dokumentasi Mayer (1897:plaat XVI)
Sebuah dek ceki yang digunakan di Jawa sekitar 1914, dalam dokumentasi Tauern (1914:46)
Sebuah dek kartu Tiongkok bergambar uang dan tokoh Batas Air dari Tianjin, sebagai perbandingan dengan ceki
Amaro, Ana Maria (1993). "'Chaqui and Partui: Two Popular Card Games of the 'Christãos' of Malacca', translated by A. G. Smith". Journal of the International Playing-Card Society. 22 (2): 34-40.
Jones, Russell (2008). Loan-words in Indonesian and Malay. Leiden: KITLV Press. ISBN978-90-6718-304-8.
Matthes, Benjamin Frederik (1859). Makassaarsch–Hollandsch woordenboek. Amsterdam: Frederik Muller.
Matthes, Benjamin Frederik (1874). Boegineesch–Hollandsch woordenboek. Amsterdam: C. A. Spin & Zoon.
Mayer, L. Th. (1897). Een blik in het Javaansche volksleven. 2. Leiden: Brill.
Muhammad, Ali Azhar (2021). "The Transitional Democracy Trap: Democracy, Complexity, and Local Oligarchy in Bali". Dalam Vandenberg, Andrew. Pages in Security, Democracy, and Society in Bali. Singapore: Palgrave Macmillan. hlm. 155–176. ISBN978-981-15-5848-1.
Musa, Mahani (2015). "The Memory of the World Register: The Sultan Abdul Hamid Correspondence and Kedah history". Kajian Malaysia vol. 33: 53–74.
Perdana, Aditya Bayu; Pollard, George (2024). "A Preliminary Visual Comparison of Ceki and Ujang Omi: Two Traditional Indonesian Cards and their Predecessors". Jurnal Rupa. 9 (1): 9-25. doi:10.25124/rupa.v9i1.7301.
Pollard, George (21 January 2024). "Ceki Cards". Ways to Play.
Pwee, Keng Ho (2003). "Chiki Cards and Three Chiki Games". Journal of the International Playing-Card Society. 32 (3): 119–128.
Raap, Olivier Johannes (2013). Soeka Doeka Di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: KPG. ISBN978-979-91-0649-0.