Ashin Wirathu
Ashin Wirathu (bahasa Burma: ဝီရသူ; lahir 10 Juli 1968), adalah seorang biksu Buddha nasionalis Myanmar, dan juga seorang pemimpin spiritual dari gerakan anti-Muslim di Myanmar.[1] Ia telah dituduh sebagai pemberi inspirasi terhadap penindasan Muslim melalui pidatonya, meskipun ia mengklaim dirinya sebagai seorang biksu yang damai dan tidak pernah menganjurkan kekerasan.[2] Kehidupan pribadiWirathu lahir pada tahun 1968 di dekat Mandalay. Ia berhenti sekolah pada usia 14 tahun untuk menjadi seorang biksu. Pada tahun 2001, ia terlibat dalam Gerakan 969.[3] Dua tahun kemudian, pada tahun 2003, ia dihukum 25 tahun penjara atas khotbah-khotbahnya,[4] tetapi dibebaskan pada tahun 2012 bersama dengan banyak tawanan politik lainnya.[5] Sejak reformasi pemerintahan pada tahun 2011, ia secara khusus aktif di YouTube dan segala jenis media sosial.[6] Keterlibatan politikWirathu mulai mendapat sorotan publik pada tahun 2001 saat ia meluncurkan Gerakan 969, sebuah gerakan keagamaan yang melawan apa yang mereka klaim sebagai “ekspansi Islam" di Myanmar dan bertujuan melindungi agama Buddha sebagai identitas nasional. Mereka mulai menebarkan kebencian terutama setelah adanya kejadian peristiwa Taliban menghancurkan situs Patung Buddha Bamiyan di Afghanistan pada tahun 2001. Wirathu kemudian mempunyai kecemasan berlebihan terhadap eksistensi kelompok minoritas muslim di negaranya. Dalam banyak sesi di biara Masoeyein, ia kerap mengungkapkan kegelisahannya bahwa agama Buddha sedang dalam bahaya. Dalam khotbahnya, Wirathu tak segan menyebut muslim sebagai ancaman nyata bagi eksistensi agama Buddha terutama di Myanmar. Sejak itu Wirathu menggalang kampanye nasional untuk memboikot usaha pertokoan dan produk-produk milik muslim di Myanmar. Ia kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 25 tahun pada tahun 2003 atas tuduhan menghasut penyebaran kebencian anti-muslim. Namun ia dibebaskan bersama beberapa tahanan lainnya pada Januari tahun 2010 karena mendapatkan amnesti.[7] Wirathu menyebarkan ajaran kebencian dalam setiap ceramahnya. Dia selalu menyasar komunitas Muslim Rohingya. Wirathu juga pernah menyelenggarakan konferensi mengenai perlindungan perempuan, dimana para biksu memenuhi biaranya di biara Mandalay. Wirathu mengklaim perempuan Buddhis sering kali dipaksa muslim pindah agama menjadi agama Islam. Dia memimpin kampanye yang mendesak Pemerintah Myanmar mengeluarkan peraturan yang melarang perempuan Buddhis menikah dengan pria beragama lain tanpa izin pemerintah. Dia juga mengkambinghitamkan kaum Muslim atas setiap bentrokan yang terjadi. Namun beberapa biksu juga melontarkan kritikan atas ucapannya. Wirathu memimpin sekelompok massa yang berani melakukan usaha dan aksi demi mempertahankan pandangannya.[8] Wirathu memimpin demonstrasi para biksu di Mandalay pada bulan September 2012 dalam rangka mempromosikan rencana kontroversial Presiden Thein Sein untuk mengirimkan penduduk Muslim Rohingya Myanmar ke negara dunia ketiga.[9] Satu bulan kemudian, lebih banyak kekerasan terjadi di negara bagian Rakhine.[9] Wirathu mengklaim bahwa kekerasan di Rakhine adalah hasil dari kekerasan terbaru di kota Meikhtila, yang terletak di tengah Myanmar, dimana sebuah perselisihan di sebuah toko emas dengan cepat berputar ke dalam sebuah penjarahan dan pembakaran. Lebih dari 14 orang terbunuh, setelah vihara, pertokoan dan rumah terbakar di seluruh kota.[10][11] Sedikitnya dua orang, termasuk seorang biksu Buddha Myanmar, Shin Thawbita, dan seorang pria Muslim dilaporkan diserang dan disiksa oleh massa di Meikhtila pada tanggal 5 Maret.[12][13] Wirathu muncul di sampul depan majalah Time sebagai "Wajah Teror Buddhist" pada tanggal 20 Juni 2013.[14] "Anda bisa dipenuhi dengan kebaikan dan cinta, tetapi Anda tidak bisa tidur di samping anjing gila," katanya, merujuk kepada Muslim. "Jika kami lemah," lanjutnya, "tanah kami akan menjadi tanah Muslim."[2] Merujuk kepada kekerasan dan dominasi Muslim di negara-negara tetangga dan mengambil contoh penyebaran Islam di Indonesia,[15] Wirathu khawatir hal serupa akan terjadi kepada Myanmar.[16] Wirathu menyebut bahwa oposisi Muslim melabeli dirinya sebagai "Bin Laden dari Myanmar" setelah sebuah artikel Time secara keliru menggambarkan dirinya dengan cara ini.[17] Ia mengatakan bahwa dirinya "membenci kekerasan" dan "menentang terorisme".[17] Wirathu juga mengungkapkan kekaguman dan keinginannya untuk mencontoh Liga Pertahanan Inggris dengan cara "melindungi publik."[18] Thein Sein menuduh Time memfitnah agama Buddha dan melukai proses rekonsiliasi nasional, setelah mereka menulis bahwa Wirathu adalah pemicu kekerasan anti-Muslim di Myanmar. Menggambarkan dia sebagai "putra Sang Buddha", presiden membela Wirathu sebagai "orang mulia" yang berkomitmen pada perdamaian. "Artikel di Majalah Time dapat menyebabkan kesalahpahaman tentang agama Buddha, yang telah ada selama ribuan tahun dan diikuti oleh mayoritas warga Myanmar," kata Thein Sein.[19] Dalam sebuah wawancara dengan DVB, Wirathu menuduh Time melakukan "pelanggaran hak asasi manusia yang serius" dengan menolak mempresentasikan pandangannya dalam format tanya jawab secara verbal. "Sebelumnya saya telah mendengar [rumor] bahwa dunia Arab mendominasi media global," katanya, "tapi kali ini, saya telah melihatnya sendiri".[19] Wirathu secara terbuka menyalahkan Muslim karena telah terlibat dalam kekerasan akhir-akhir ini. Wirathu mengatakan bahwa Muslim Myanmar didanai oleh pasukan Timur Tengah, dengan mengatakan, "Muslim lokal di sini kasar dan buas karena para ekstremis menarik senar, memberi mereka kekuatan finansial, militer dan teknis".[20] Pemerintah Myanmar melarang majalah TIME edisi yang mengusung tajuk berita utama soal biksu Buddhist bernama Wirathu. Keputusan ini diambil untuk mencegah munculnya kembalinya kerusuhan SARA dan terjadinya gelombang protes di negara tersebut. Juru bicara pemerintah Myanmar, Ye Htut, mengatakan Myanmar telah melarang majalah TIME edisi Juli mendatang lantaran dianggap kontroversial sebab pada bagian sampulnya menceritakan tentang kekerasan sektarian antara umat Buddha dan warga muslim di Myanmar. Hal ini tidak lain untuk mencegah konflik lanjutan. "Artikel berjudul 'The Face of Buddhist Terror' di majalah TIME edisi 1 Juli dilarang diproduksi, dijual atau didistribusikan dalam salinan asli atau foto kopi untuk mencegah konflik antar ras dan agama," kata Htut.[21] Pada tanggal 21 Juli 2013, dia adalah sasaran ledakan bom, namun dia tetap bertahan tanpa cedera. Lima orang terluka dalam ledakan tersebut, termasuk seorang biksu pemula. Wirathu mengklaim bahwa pemboman tersebut merupakan upaya para ekstremis Muslim untuk membungkam suaranya.[22][23][24] Dia telah menyerukan pembatasan perkawinan antara umat Buddha dan Muslim,[25] dan untuk memboikot bisnis milik Muslim.[6] Namun, tidak semua orang dari agamanya sendiri setuju dengan ajarannya. Banyak umat Buddha yang menganggapnya telah menyimpang dari nilai-nilai ajaran Buddha dan dianggap telah melanggar aturan, serta menganggapnya bukan bagian dari representasi umat Buddha.[26] Abbot Arriya Wuttha Bewuntha dari vihara Mandalay Myawaddy Sayadaw mencela dia, mengatakan, "Dia sedikit berpihak kepada kebencian [dan ini bukan] cara yang diajarkan Buddha. Apa yang diajarkan Buddha adalah bahwa kebencian itu tidak baik, karena Buddha melihat semua orang sebagai orang yang sama. Sang Buddha tidak melihat orang-orang melalui agama".[9] Para kritikus juga menjelaskan apa yang mereka lihat sebagai ekstremismenya sedikit lebih banyak daripada karena ketidaktahuan, meskipun pandangannya memiliki pengaruh di Myanmar di mana banyak bisnis yang "dikelola dengan baik oleh umat Islam".[9] Aktivis pro-demokrasi Myanmar Maung Zarni juga mengecam gerakan '969' Wirathu karena menyebarkan propaganda dan ujaran kebencian[9] dan berpendapat bahwa negara-negara Uni Eropa harus menganggapnya serius karena Myanmar adalah "negara penerima bantuan Uni Eropa".[9] Pada bulan September 2014, Wirathu menghadiri "Konferensi Sangha Agung" di Kolombo yang diselenggarakan oleh Bodu Bala Sena. Wirathu mengatakan bahwa Gerakan 969-nya akan bekerja dengan Bodu Bala Sena.[27] Pada bulan Januari 2015, Wirathu secara terbuka menyebut utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Yanghee Lee sebagai "jalang" dan "pelacur"[28][29] dan mengundangnya untuk "menawarkan pantatnya kepada para kalar" (istilah yang merendahkan untuk Muslim di Myanmar).[30][31] Dijauhi pemerintahan baru dan hierarki Buddhis di Myanmar, seorang biksu nasionalis yang dipersalahkan atas semangat anti-Muslim mengatakan, ia merasa sikapnya divalidasi juga oleh warga AS yang memilih Donald Trump menjadi presiden. Wirathu menarik persamaan antara pandangannya mengenai Islam dengan pandangan Donald Trump, presiden terpilih Amerika Serikat dari Partai Republik. "Kita dipersalahkan oleh dunia, tapi kita hanya melindungi rakyat dan negara kita," ujar Wirathu. "...Dunia menyebut kita picik. Tapi karena orang-orang dari negara yang merupakan kakek demokrasi dan hak asasi manusia memilih Donald Trump, yang serupa dengan saya dalam memprioritaskan nasionalisme, komunitas internasional tidak akan begitu menyalahkan." Ia bahkan mengemukakan ide untuk dapat bekerjasama dengan kelompok-kelompok nasionalis di AS. "Di Amerika, akan ada organisasi-organisasi seperti kita yang melindungi diri dari bahaya Islamisasi. Organisasi-organisasi itu dapat mendatangi organisasi-organisasi di Myanmar untuk mendapatkan saran atau untuk berdiskusi," ujarnya dalam wawancara di biara di Mandalay pada 12 November 2016. "Myanmar tidak begitu perlu mendapat saran dari negara lain. Tapi mereka bisa mendapat ide dari Myanmar."[32] Wirathu memimpin sebuah doa dan demonstrasi di Kuil Buddha Mahamuni di Mandalay pada tanggal 23 Februari 2017, dalam rangka mengutuk serangan pemerintah Thailand terhadap Wat Phra Dhammakaya di Bangkok.[33] Pemerintah daerah Ayeyarwady telah melarang Wirathu, sebagai pemimpin tertinggi organisasi keagamaan yang dikenal sebagai Ma Ba Tha (Asosiasi Patriotik Myanmar), untuk berkhotbah di wilayah tersebut.[34] Sebuah pernyataan pemerintah daerah mengatakan Wirathu memberikan ceramah religius pada tanggal 9 Februari di kantor desa Kyoneku di Kotapraja Ngapudaw, Region Ayeyarwady, yang melanggar peraturan Komite Negara Sangha Maha Nayaka, sebuah badan yang ditunjuk pemerintah yang terdiri dari biksu tingkat tinggi yang mengawasi dan mengatur Sangha atau pendeta Buddha di Myanmar. Pemerintah Myanmar berusaha menghentikan kekerasan yang terkait dengan agama dengan melarang pembentukan organisasi anti-muslim di kalangan para biksu. Sebuah lembaga yang ditunjuk pemerintah Myanmar untuk mengawasi pengaruh gerakan biksu Buddha di negeri itu menyebut gerakan Wirathu selama ini memicu kekerasan terhadap warga muslim di Myanmar. Komite Buddha Sangha Maha Nayaka yang bertugas mengawasi dan mengatur biksu Buddha di Myanmar pada perintah tertanggal 2 September 2013 telah melarang organisasi yang didasari Gerakan 969 yang dimotori oknum biksu bernama Wirathu. "Mereka tidak mendapat izin tapi ingin mendirikan organisasi dan membuat undang-undang perlindungan negara," kata Ashin Baddanda Guna Linkara, wakil ketua komite di Kota Yangon.[35] Namun Wirathu menolak pelarangan dari komite itu dengan menyebut lembaga itu tidak demokratis. "Setiap prosedur dan aturan di Sangha Nayaka dibuat dalam tekanan todongan senjata," kata dia. Wirathu mengatakan lembaga itu dibentuk di bawah kepemimpinan rezim militer sebelumnya.[36] Wirathu juga dilarang memberikan khotbah ceramah di Myanmar selama setahun. Larangan itu diberlakukan terhadap U Wirathu setelah ia kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bernada kebencian. Jika Wirathu melanggar larangan ini, maka penegakan hukum akan diberlakukan terhadapnya. Menurut Direktur Jenderal Urusan Agama dan Budaya U Mynt Zaw Win, keputusan melarang Wirathu memberikan kotbah ceramah merupakan hasil pertemuan sekitar 47 biksu Buddha senior pada rapat khusus yang digelar para tetua biksu Myanmar yang tergabung dalam Komisi Negara Sangha Maha Nayaka di Naypyidaw, pada Kamis, 9 Maret 2017. "Karena dia berulang kali menyampaikan ceramah kebencian terhadap agama tertentu, hingga memicu perselisihan komunitas dan menghalangi upaya penegakan hukum," tegas komisi tersebut dalam pernyataannya. Jika Wirathu melanggar larangan yang diberlakukan Sangha Maha Nayaka itu, maka akan ada tindakan tegas terhadapnya. "Tindakan sesuai hukum yang berlaku," sebut komisi tersebut.[37] Wirathu dilarang memberi kotbah ceramah selama setahun terhitung mulai tanggal 9 Maret 2017 hingga 9 Maret 2018. Larangan Wirathu berkotbah berlaku di seluruh wilayah Myanmar.[38] Komisi tersebut juga memanggil Wirathu untuk menghadiri audiensi disiplin terkait 'keterlibatannya dalam urusan sosial saat rally'. Audiensi itu rencananya akan digelar Kamis 30 Mei, namun pada Rabu 29 Mei diumumkan ditunda karena 'situasi terkini'. Pada Januari 2018, Facebook menghapus akun Wirathu setelah serentetan postingan bernada menghasut pada provokasi ujaran kebencian yang menargetkan pada propaganda anti-Rohingya.[39] Pada sebuah demonstrasi, Wirathu menuduh pemerintah Myanmar melakukan korupsi dan mengkritiknya karena berusaha mengubah konstitusi dengan cara yang akan mengurangi kekuatan militer.[40] Pada April 2019, Wirathu melontarkan serangan verbal untuk pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi. "Dia berpakaian seperti fashionista, bersolek memakai makeup dan berjalan memakai sepatu hak tinggi yang bergaya, menggoyangkan bokongnya berlenggang-lenggok di hadapan orang-orang asing," ucap Wirathu merujuk pada Suu Kyi.[7] Dalam sebuah acara reli di Yangon, Wirathu diketahui memicu kritikan keras setelah menyatakan bahwa 'tentara-tentara militer yang melindungi negara seharusnya disembah seperti Buddha'. Wirathu menjadi buronan setelah pihak berwenang merilis daftar penangkapan terhadap oknum biksu radikal itu pada Maret tahun 2019. Pengadilan Myanmar menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Wirathu atas tuduhan penghasutan. Surat perintah penangkapan itu diterbitkan Pengadilan Distrik Barat di Pusat Kota Yangon pada Selasa, 28 Mei 2019.[41] Wirathu diduga telah melanggar aturan undang-undang yang melarang menyebarkan hasutan kebencian atau penghinaan atau ketidakpuasan terhadap pemerintah. Perintah penangkapan itu didasarkan pada pasal 124(a) yang menargetkan siapa saja 'yang berusaha membawa kebencian atau penghinaan atau upaya untuk membangkitkan ketidakpuasan terhadap pemerintah'. Wirathu kemudian memberikan tanggapan atas perintah penangkapan itu dalam wawancara via telepon dengan media lokal. Dalam wawancara itu, Wirathu mengakui dirinya berada di Yangon dan menyatakan polisi belum mendatanginya. "Jika mereka ingin menangkap saya, mereka bisa melakukannya," ucap Wirathu dalam wawancara via telepon dengan surat kabar Irrawaddy. "Saya tidak takut," tegas biksu kontroversial ini.[42] Setelah sekitar 18 bulan kabur dan menghilang, sebuah video memperlihatkan si biksu berbicara di depan pendukungnya di Yangon, di mana dia mengenakan masker. "Pemerintah sudah memaksa saya dalam situasi seperti ini," kata dia seraya meminta pendukungnya memilih partai yang bekerja untuk melindungi ras dan agama negara, dan tak memilih Liga Nasional Demokrasi (NLD) yang dia sebut "iblis". "Saya akan menyerahkan diri ke kantor polisi dan menuruti apa yang mereka perintahkan," kata dia saat berpamitan sebelum kemudian naik taksi menuju ke kantor polisi di daerah Dagon. Penyerahan diri Wirathu terjadi hanya beberapa hari sebelum pemilihan umum Myanmar pada Minggu mendatang. Analis menyatakan, keputusan si pemuka agama yang menyerah satu pekan jelang pemilu diduga merupakan manuver untuk "memengaruhi" pemilihan politik. Direktur Kementerian Agama Pemerintahan Regional Yangon Sein Maw membenarkan penangkapan itu.[43] Lihat pula
Referensi
Pranala luar |