Yuan Shikai
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Yuan Shikai. Yuan Shikai (Hanzi tradisional: 袁世凱; Hanzi: 袁世凯; Pinyin: Yuán Shìkǎi; Wade-Giles: Yüan Shih-k'ai; Nama kehormatan Weiting 慰亭; Nama samaran: Rong'an 容庵) (16 September 1859[1] – 6 Juni 1916) adalah jenderal Tiongkok penting dan politikus yang terkenal selama era akhir Dinasti Qing. Kehidupan AwalYuan Shikai lahir di desa Zhangying (張營村), wilayah Xiangcheng, prefektur Chenzhou, Henan, klan Yuan kemudian pindah sekitar 16 kilometer sebelah tenggara Xiangcheng ke daerah berbukit supaya lebih mudah untuk bertahan melawan para bandit. Di sana keluarga Yuan membangun desa yang dibentengi dan diberi nama (Hanzi: 袁寨村).[butuh rujukan] Keluarga Yuan adalah keluarga kaya yang memberikan pendidikan Konfusianisme yang cukup bagi Yuan.[2] Ia bercita-cita untuk bisa meniti karier di bidang pelayanan publik, tetapi sayangnya ia dua kali gagal dalam ujian kenegaraan. Ia lalu memutuskan untuk memasuki ranah politik melalui Tentara Huai, di mana banyak saudaranya yang ternaung dalam lembaga militer tersebut. Kariernya dimulai dengan pelantikan gelar rendah resmi pada tahun 1880, di mana hal tersebut menjadi ciri khas sistem promosi pada masa akhir Dinasti Qing.[3] Dengan mengandalkan koneksi ayahnya, Yuan pergi ke Tengzhou, Shandong, dan mencari jabatan dalam Brigade Qing. Pernikahan pertama Yuan terjadi pada 1876 dengan wanita dari keluarga Yu. Pernikahan ini menghasilkan satu orang anak yakni, Yuan Keding yang lahir pada 1878. Yuan Shikai menikahi setidaknya sembilan wanita sepanjang hidupnya.[4] Tahun-tahun di Dinasti JoseonDinasti Joseon di Korea pada awal dekade 1870an berada dalam perselisihan antara pihak tertutup di bawah pimpinan ayah Raja Gojong, Heungseon Daewongun, dan pihak progresif pimpinan ratu, Permaisuri Myeongseong yang menginginkan keterbukaan perdagangan. Setelah Restorasi Meiji, Jepang mengadopsi kebijakan luar negeri yang bersifat agresif. Hal ini ditandai dengan program Jepang untuk mengurangi dominasi Tiongkok di Semenanjung Korea. Di bawah Perjanjian Ganghwa, yang disetujui Korea dengan setengah hati pada 1876, Jepang diperbolehkan untuk mengirim misi diplomatik ke Hanseong (Seoul), dan membuka pos perdagangan di Incheon dan Wonsan. Di tengah perselisihan internal yang terjadi tersebut yang akhirnya berakhir dengan pembuangan sang ratu. Raja Muda Zhili, Li Hongzhang, mengirim 3.000 Brigade Qing menuju ke Korea. Raja Korea berencana untuk melatih 500 pasukan dengan menggunakan persenjataan modern, dan Yuan Shikai ditunjuk untuk memimpin tugas ini di Korea. Li Hongzhang juga setuju dengan penunjukan ini dengan menaikan pangkat Yuan menjadi sub-prefek. Pada 1885, Yuan ditunjuk sebagai Residen Kekaisaran di Seoul.[5] Jabatan ini adalah jabatan yang disetarakan seperti duta besar, tetapi dalam kenyataanya, ia bertugas sebagai seorang suzerain (semacam Gubernur Jenderal), Yuan menjadi penasihat tertinggi di seluruh kebijakan pemerintah Korea. Melihat Tiongkok meningkatkan kendali atas pemerintah Korea, Jepang mencari pengaruh baru dengan menjadi ko-suzerain dengan Tiongkok. Beberapa dokumen diberikan pada Yuan Shikai, isinya mengklaim pemerintahan Korea telah mengubah sikap terhadap perlindungan Tiongkok dan tertarik kepada perlindungan Russia. Yuan merasa sakit hati dan meminta nasihat Li Hongzhang. Dalam perjanjian yang ditandatangani oleh Jepang dan Qing, dua pihak ini setuju bahwa masing-masing pihak hanya mengirim pasukan ke Korea setelah memberitahu terlebih dahulu pada pihak yang lain. Meskipun pemerintah Korea kini telah stabil, statusnya masih merupakan protektorat dari Qing. Korea sendiri menginginkan penganjuran modernisasi di segala aspek kehidupan bangsa termasuk menginginkan ideologi yang lebih modern. Namun, di pihak lain, Komunitas Donghak, menginginkan agar doktrin lama nasional yang berdasar pada ajaran dan prinsip-prinsip Konfusius, memberontak kepada pemerintah. Yuan dan Li Hongzhang mengirim pasukan ke Korea untuk melindungi Seoul dan kepentingan Qing. Jepang juga melakukan hal yang sama dalam rangka melindungi pos-pos dagang milik mereka. Ketegangan semakin meningkat antara Jepang dan Tiongkok saat Jepang menolak untuk menarik mundur pasukannya dan malah memasang blokade di Paralel ke-38. Li Hongzhang berusaha menghindari perang dengan Jepang untuk menjaga agar ketersediaan dana bagi Tiongkok tidak terbuang untuk perang. Li malah mencoba untuk meminta bantuan internasional untuk mempengaruhi Jepang agar mau menarik pasukannya. Jepang menolak, dan kemudian perang pecah. Yuan, yang berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, dipanggil kembali ke Tianjin pada Juli 1894, sebelum Perang Tiongkok-Jepang Pertama (甲午戰爭). Yuan Shikai memiliki tiga selir Korea, salah satunya adalah selir Kim yang merupakan kerabat dari Putri Li Korea. 15 anak Yuan dilahirkan dari tiga wanita Korea ini karena dia bergiliran tidur bersama mereka.[6][7][8] Akhir Dinasti QingPopularitas Yuan semakin naik, walaupun ia hanya berpartisipasi nominal saja dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama sebagai komandan garnisun Tiongkok di Korea. Tidak seperti komandan yang lain, ia ditarik kembali ke Beijing beberapa hari sebelum konflik pecah, hal ini sekaligus menutupi rasa malunya akibat kekalahan Tiongkok. Sebagai sekutu Li Hongzhang, Yuan ditunjuk sebagai komandan Pasukan Baru pertama pada tahun 1895. Sebagai komandan, ia sangat bertanggung jawab pada pelatihan terhadap pasukan modern pertama Tiongkok ini, Yuan memperoleh pengaruh politik yang besar dan kesetiaan dari para komandan muda pasukan barunya yang ditandai pada tahun 1901, lima dari tujuh komandan divisional Tiongkok dan sebagian besar komandan senior berada dalam kekuasaannya.[3] Majelis Qing mempercayai secara penuh pasukannya itu. Dan dalam Pasukan Baru yang tergabung dalam Gerakan Penguatan Diri ini, Yuan adalah individu yang dianggap paling terlatih. Majelis Qing saat itu terbagi dua yaitu pihak progresif yang dipimpin oleh Kaisar Guangxu, dan pihak konservatif yang dipimpin oleh Janda Permaisuri Cixi, yang sebelumnya mundur dan pindah ke Istana Musim Panas setelah kegagalan Reformasi Seratus Hari pada 1898. Namun, Janda Permaisuri Cixi menyatakan bahwa reformasi yang terjadi terlalu drastis, dan berencana untuk mengambil kembali kedudukannya melalui kudeta. Namun, rencana ini menyebar terlalu cepat, dan Kaisar menjadi lebih waspada terhadap rencana yang akan dijalankan ini. Ia memerintahkan para aktivis reformasi seperti Kang Youwei, Tan Sitong dan yang lain merancang rencana untuk menyelamatkannya. Keterlibatan Yuan dalam kudeta ini menjadi bahan perdebatan di antara para ahli sejarah. Tan Sitong dilaporkan berbicara dengan Yuan beberapa hari sebelum kudeta, meminta Yuan untuk membantu Kaisar melawan Janda Permaisuri Cixi. Yuan menolak untuk memberi jawaban langsung, tetapi ia mengisyaratkan bahwa kesetiannya adalah untuk Kaisar. Sementara itu Jendreal Manchu, Ronglu mengatur siasat bersama pasukannya untuk melakukan kudeta. Berdasarkan beberapa sumber, termasuk dari buku harian Liang Qichao dan beberapa sumber berita kontemporer Tiongkok, Yuan Shikai tiba di Tianjin pada 20 September 1898 dengan menggunakan kereta api. Hal ini menandakan bahwa pada malam harinya Yuan sempat berbicara dengan Ronglu, tetapi apa isi pembicaraannya masih simpang siur. Sebagian besar sejarawan meyakini bahwa Yuan menceritakan kepada Ronglu tentang semua rencana para reformis dan memerintahkannya untuk mengambil tindakan segera. Rencana ini kemudian terungkap, pasukan Ronglu merangsek ke Kota Terlarang saat fajar pada 21 September, memaksa Kaisar mengasingkan diri ke istana danau. Membuat aliansi politik dengan Janda Kaisar, dan menjadi seteru abadi Kaisar Guangxu, Yuan meninggalkan ibu kota pada tahun 1899 untuk menduduki jabatannya yang baru sebagai Gubernur Shandong. Selama tiga tahun masa kepemimpinannya, Pemberontakan Boxer pecah, ia memastikan akan menindak para pemberontak Boxer tersebut di provinsinya, meskipun pasukannya tidak berperan aktif di luar Shandong. Yuan berpihak kepada faksi pro-asing yang ada di Majelis kekaisaran, bersama dengan Pangeran Qing, Li Hongzhang dan Ronglu. Ia menolak untuk berpihak kepada pemberontak Boxer dan menyerang pasukan Aliansi Delapan Negara, bergabung bersama gubernur-gubernur Tiongkok lainnya yang menjadi komandan pasukan modern seperti Zhang Zhidong yang juga tidak memihak kepada para pemberontak Boxer. Ia dan Zhang membiarkan Janda Permaisuri Cixi mendeklarasikan perang melawan kekuatan asing dan melanjutkan penindasan terhadap para pemberontak. Dalam rangka untuk menghindari pertempuran dengan pasukan Aliansi Delapan Negara dan menekan Pemberontakan Boxer di Shandong, Yuan dan pasukannya (Divisi Kanan) juga membantu pasukan Aliansi Delapan Negara membantai puluhan ribuan orang dalam kampanye anti Pemberontakan Boxer di Zhili setelah pasukan Aliansi menguasai Beijing.[9] Yuan beroperasi di luar Baoding selama kampanye tersebut yang berakhir pada tahun 1902. Ia juga mendirikan sebuah sekolah Shandong College, sekarang menjadi Universitas Shandong di Jinan, yang dalam kurikulumnya mengadopsi pemikiran Barat. Pada Juni 1902 ia dipromosikan menjadi Raja Muda Zhili, dan Komisioner untuk Urusan Perdagangan Tiongkok Utara,[10] dan Menteri Beiyang (北洋通商大臣), kekuasaannya mencakup wilayah yang saat ini disebut sebagai Liaoning, Hebei, dan Shandong. Ia memperoleh penghargaan dari luar negeri karena membantu penumpasan Pemberontakan Boxer, ia dengan sukses memperoleh pinjaman besar untuk memperbesar Tentara Beiyang miliknya menjadi pasukan yang paling kuat di Tiongkok. Ia membentuk korps kepolisian yang terdiri dari 2.000 anggota polisi untuk menjaga keamanan di Tianjin, pembentukan kepolisian ini adalah yang pertama kalinya dalam sejarah Tiongkok, sebagai hasil dari Protokol Boxer yang melarang pasukan bersenjata berada di Tianjin. Yuan juga terlibat dalam pengambilalihan kendali jaringan rel kereta api dari Sheng Xuanhuai, seorang taipan pada masa itu. Ia lalu memimpin perusahaan perkeretaapian termasuk pembangunan konstruksi dan infrastrukturnya yang menjadi sumber pendapatan yang sangat besar baginya. Yuan berperan aktif di masa-masa akhir keruntuhan Dinasti Qing termasuk membentuk Kementerian Pendidikan (學部) dan Kementerian Kepolisian (巡警部). Ia juga menganjurkan persamaan derajat antara etnis Manchu dengan Han. Pada tahun 1905, atas nasihat Yuan, Janda Permaisuri Cixi mengeluarkan dekret yang berisi perintah untuk mengakhiri sistem ujian Konfusius pada tahun 1906 dan memerintahkan Kementerian Pendidikan untuk mengimplemetasikan sistem pendidikan sekolah menengah, tinggi dan universitas berdasarkan pada kurikulum yang ditetapkan pemerintah, sistem ini meniru Jepang pada Zaman Meiji. Pada 27 Agustus 1908, Lembaga Qing memberlakukan “Asas-Asas Konstitusi”, dan Yuan membantu membuat drafnya. Dokumen ini dikenal sebagai "pemerintahan konstitusional" dengan monarki yang kuat (mencontoh sistem Meiji di Jepang dan Bismarck Jerman). Sebuah konstitusi dikeluarkan pada 1916 dan pemilihan parlemen dilaksanakan tahun 1917.[11] Pengunduran diri dan kembali lagiJanda Permaisuri Cixi dan Kaisar Guangxu meninggal dalam satu hari pada November 1908.[5] Dari berbagai sumber mengindikasikan bahwa keinginan terbesar Kaisar adalah Yuan segera dieksekusi. Meskipun demikian, untuk menghindari hukuman mati, pada Januari 1909 Yuan Shikai melepas semua jabatannya kepada Pangeran Chun. Yuan beralasan bahwa ia mengundurkan diri dan kembali ke rumahnya di desa Huanshang (洹上村), prefektur Anyang, Henan, karena ingin pensiun dan menyembuhkan penyakit kaki yang di deritanya. Selama tiga tahun ia mengasingkan diri, Yuan tetap berhubungan dengan sekutu-sekutu dekatnya, termasuk Duan Qirui, yang melapor kepadanya secara rutin tentang perkembangan pasukannya yaitu Tentara Beiyang yang masih setia kepadanya. Memiliki dukungan militer yang strategis, membuat Yuan memegang kekuatan yang seimbang terhadap pihak revolusioner (seperti Sun Yat-sen) dan pihak Majelis Qing. Kedua pihak tersebut menginginkan Yuan berada di pihak mereka. Pemberontakan Wuchang dan RepublikPemberontakan Wuchang dimulai pada 10 Oktober 1911 di Provinsi Hubei. Provinsi-provinsi selatan Tiongkok mendeklarasikan kemerdekaannya dari Majelis Qing, tetapi provinsi-provinsi di utara bersikap melawan pemberontakan itu. Majelis Qing dan Yuan sepakat bahwa Tentara Beiyang adalah satu-satunya pasukan yang mampu menumpas pemberontakan tersebut. Majelis Qing meminta Yuan untuk kembali pada 27 Oktober, tetapi ia berulang kali menolak tawaran Majelis Qing agar ia kembali. Tawaran itu di antaranya adalah menjadi Raja Muda Huguang (gubernur di dua provinsi "Hu" yaitu Hubei dan Hunan), dan Perdana Menteri Kabinet Kekaisaran. Waktu berpihak kepada Yuan, dan dia terus menunggu sampai tiba waktunya yang tepat untuk bergerak, menggunakan alasan "penyakit kakinya" dia terus menolak. Setelah beberapa tawaran selanjutnya dari Majelis Qing, Yuan akhirnya setuju dan segera meninggalkan desanya lalu menuju ke Beijing pada 30 Oktober. Ia lalu menjadi Perdana Menteri pada 1 November 1911. Setelah itu ia memerintahkan Pangeran Chun untuk mundur dari segala jabatan politiknya. Pengunduran diri Zaifeng ini memberi jalan pada Yuan untuk membuat kabinet yang didominasi oleh orang-orang dari etnis Han dan hanya terdiri dari satu orang Manchu yang memegang jabatan Menteri Penjajahan. Selain itu, karena kesetiannya kepada Majelis Qing, Janda Permaisuri Longyu memberi Yuan gelar kebangsawanan Adipati Peringkat Pertama (一等侯), sebuah gelar yang sebelumnya pernah diberikan kepada Jenderal Zeng Guofan bersama Tentara Xiang-nya dalam menumpas Pemberontakan Taiping. Sementara itu, dalam Pertempuran Yangxia, ia berhasil mengambil alih kembali kota Hankou dan Hanyang dari revolusioner. Yuan tahu bahwa penumpasan total terhadap revolusi akan mengakhiri kegunaannya dalam rezim Qing. Oleh karena itu, setelah menyerang distrik Wuchang, ia mulai bernegosiasi dengan pihak revolusioner. Penurunan takhta kaisar kecilKaum revolusioner telah memilih Sun Yat-Sen sebagai Presiden Sementara Republik Tiongkok, tetapi pemerintahan ini lemah dalam dukungan militernya, maka dari itu mereka mulai berunding dengan Qing, untuk menggunakan Yuan sebagai penengah. Yuan lalu menyusun draf untuk penurunan takhta Kaisar Kecil Puyi supaya ia bisa menduduki jabatan Presiden Sementara Republik Tiongkok.[5] Yuan tidak hadir dalam dekret penurunan takhta yang dikeluarkan oleh Janda Permaisuri Longyu pada 12 Februari 1912. Sun menyetujui kepresidenan Yuan setelah beberapa perselisihan berhasil diselesaikan, tetapi ia juga meminta bahwa ibu kota harus dipindahkan ke Nanjing. Yuan, di sisi lain, menginginkan keuntungan secara geografis dengan memiliki ibu kota yang tidak jauh dari basis kekuatan militernya. Cao Kun, salah satu komandan Tentara Beiyang kepercayaannya, melakukan kudeta di Beijing dan Tianjin, berdasarkan perintah Yuan, agar Yuan memiliki alasan untuk tidak meninggalkan lingkungan pengaruhnya di Zhili (sekarang Hebei). Kaum revolusioner akhirnya mengalah, dan ibu kota republik baru ini tetap berada di Beijing. Yuan Shikai dipilih sebagai Presiden Sementara Republik Tiongkok oleh Senat Sementara Nanjing pada 14 Februari 1912, dan diambil sumpahnya pada 10 Maret tahun yang sama.[12][13] Pemilihan umum demokratisPada Februari 1913, pemilihan umum demokratis diadakan untuk memilih anggota Majelis Nasional Republik Tiongkok di mana Partai Nasionalis Tiongkok (Kuomintang (KMT) menang telak. Song Jiaoren dari Partai KMT sangat giat mendukung sistem kabinet dan menjadi kandidat kuat untuk menjadi Perdana Menteri. Salah satu tujuan politik utama Song adalah memastikan bahwa independensi Parlemen Tiongkok bisa terlindungi dari pengaruh kepresidenan. Program Song untuk mengurangi kewenangan presiden bertentangan dengan sikap Yuan, yang pada pertengahan 1912, secara jelas mendominasi kabinet sementara dan mengisyaratkan adanya keinginan untuk memegang kekuasaan lebih. Song kemudian melakukan perjalanan ke seluruh Tiongkok pada 1912, ia amat bersemangat mengungkapkan keinginannya membatasi kekuasaan Presiden, ia senang mengambil contoh dengan mengkritik ambisi Yuan. Saat hasil pemilihan umum pada 1913 mengindikasikan kemenangan Partai KMT, hal ini otomatis akan membuat Song berada dalam posisi memainkan peranan penting dalam pemilihan perdana menteri dan kabinet, serta Partai KMT dapat mendesak untuk diadakannya pemilihan presiden demokratis dengan segera.[14] Pada 20 Maret 1913, saat bersama beberapa orang temannya menuju ke Peking, Song Jiaoren ditembak dua kali oleh seseorang sewaktu berada di Stasiun Kereta Api Shanghai. Ia meninggal dua hari kemudian di rumah sakit. Bukti-bukti dari penyelidikan mengarah ke Sekretaris Kabinet dan Perdana Menteri Sementara dalam pemerintahan Yuan Shikai. Meskipun Yuan dianggap sebagai orang yang kemungkinan besar berada di balik pembunuhan tersebut, tetapi para konspirator dan pihak-pihak penting yang berhubungan dan dicurigai dalam kasus ini terbunuh atau menghilang secara misterius. Karena kurangnya bukti, Yuan tidak pernah diusut.[14] Menjadi kaisarKetegangan antara Kuomintang dan Yuan semakin meruncing. Setelah tiba di Peking, Parlemen terpilih mencoba mengendalikan Yuan, mengembangkan konstitusi permanen, dan menggelar pemilihan umum presiden. Yuan menguasai dana pinjaman dari luar negeri sebesar 100 juta dolar, dan KMT kemudian terus mengkritik bahwa Yuan menguasai semua anggaran negara.[15] Yuan mulai mengambil tindakan keras terhadap KMT pada tahun 1913, dengan cara menekan dan menyogok anggota KMT yang ada di parlemen yang menganut sistem dua kamar itu. Revolusioner Anti-Yuan juga mengklaim Yuan merancang penghancuran KMT dari dalam dan melengserkan pemerintahan yang disebut sebagai pro-Kuomintang.[15][16][17] Revolusi KeduaMelihat situasi dalam partainya yang semakin memburuk, Sun Yat-sen pergi ke Jepang pada November 1913. Hal ini disebut Revolusi Kedua, dalam rangka melawan Yuan Shikai. Di sisi lain, Yuan mengambil alih pemerintahan, menggunakan militer sebagai basis kekuatan. Ia membekukan Majelis Nasional dan Provinsi, sedangkan Dewan Perwakilan dan Senat diganti dengan "Dewan Negara" dan mengangkat Duan Qirui, letnan Beiyang kepercayaannya, sebagai Perdana Menteri. Ia mempercayakan sarjana dari Amerika Serikat, Tsai Ting Kan untuk menjadi penerjemahnya dalam berhubungan dengan masyarakat luar negeri. Akhirnya, Yuan merekayasa diri sebagai presiden terpilih untuk masa jabatan lima tahun. Selain itu ia menyatakan bahwa Kuomintang adalah organisasi terlarang dan mencopot semua anggotanya dari Parlemen. "Revolusi Kedua" Kuomintang ini berakhir dengan kegagalan setelah pasukan Yuan mendapat kemenangan atas gerakan revolusioner. Gubernur-gubernur dan beberapa loyalis KMT berbalik setia ke Yuan, beberapa komandan yang tidak memihak Yuan dicopot dari jabatannya, Revolusi Kedua ini resmi ditumpas oleh Yuan.[18] Pada Januari 1914, Parlemen Tiongkok resmi dibekukan. Untuk membuat pemerintahan Yuan terlihat sah, Yuan mengumpulkan 66 orang dari kabinetnya pada 1 Mei 1914, menghasilkan "konstitusi terpadu" yang digunakan untuk mengganti konstitusi sementara Tiongkok. Yuan, sebagai presiden, berhak atas kuasa tak terbatas pada militer, keuangan, kebijakan luar negeri, dan hak-hak dasar masyarakat Tiongkok. Yuan menyatakan bahwa revolusi yang menginginkan kehidupan berbangsa yang demokratis terbukti tidak efektif.[19] Setelah kemenangannya ini, Yuan kembali mengorganisasi pemerintahan provinsial. Masing-masing provinsi kini didukung oleh seorang Gubernur Militer (都督) yang memiliki kewenangan sipil dan memiliki kewenangan mandiri dalam mengelola pasukan di wilayah masing-masing. Meskipun kewenangan provinsial yang dicanangkan Yuan ini baik, tetapi hal ini ternyata menumbuhkan persaingan antar gubernur militer beserta pasukannya yang melumpuhkan Tiongkok selama dua dekade kedepan. Selama masa kepresidenan Yuan, koin perak dalam mata uang Yuan yang bergambar potret dirinya diperkenalkan. Ini adalah koin Yuan pertama dari otoritas pusat Republik Tiongkok yang dicetak dalam jumlah yang cukup banyak. Koin ini menjadi jenis koin perak utama selama paruh pertama abad ke-20 dan dicetak untuk terakhir kalinya tahun 1959. Koin ini juga banyak dipalsukan.[20] Dua Puluh Satu Tuntutan JepangPada Januari 1915, setelah merebut koloni Jerman di Qingdao, Jepang mengirim ultimatum rahasia yang dikenal sebagai Dua Puluh Satu Tuntutan ke Beijing. Dalam tuntutan ini, Jepang menawarkan perluasan wilayah menjadi sebuah bisnis untuk menyelesaikan hutang-hutang Tiongkok kepada Jepang, dan menjadikan Qingdao sebagai wilayah konsesi untuk Jepang. Ketika kabar mengenai tuntutan ini bocor ke khalayak umum, demonstrasi anti-Jepang meletus di mana-mana yang disertai dengan pemboikotan produk-produk Jepang secara nasional. Yuan yang menyetujui sebagian besar dari tuntutan tersebut membuat popularitas pemerintahannya menurun, meskipun banyak dari tuntutan tersebut berhubungan dengan beberapa perjanjian Qing.[21] Tekanan dari pihak kekuatan Barat akhirnya membuat Jepang meniadakan beberapa poin dari tuntutan tersebut. Kembalinya monarkiGuna terus mengembangkan kekuasaannya, Yuan mulai membangun berdasarkan elemen-elemen yang ada dalam Konfusianisme. Sebagai pendukung utama untuk menghidupkan kembali perayaan keagamaan dinasti Qing, Yuan sering berpartisipasi sebagai kaisar dalam ritual yang diadakan di Kuil Surga. Di akhir 1915, banyak rumor beredar agar monarki seharusnya dikembalikan. Dengan kekuasaannya, banyak dari pendukung Yuan, seperti Yang Du, menganjurkan pengembalian monarki dan meminta Yuan menjadi Kaisar. Yang Du beralasan bahwa masyarakat Tiongkok telah lama dan terbiasa dengan sistem otokratis, Republik hanya sebagai cara yang efektif sebagai fase transisi untuk mengakhiri peraturan ala Manchu. Ia beralasan bahwa situasi politik Tiongkok dapat stabil jika dijalankan dengan sistem monarki. Ahli ilmu politik Amerika Serikat, Frank Johnson Goodnow juga mengungkapkan hal yang sama. Pihak Jepang juga berpendapat demikian dan mereka mendukung Yuan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas dukungan Yuan terhadap Dua Puluh Satu Tuntutan.[22] Pada 20 November 1915, Yuan mengadakan sebuah rapat untuk membentuk "Majelis Perwakilan" yang secara bulat mendukung Yuan menjadi kaisar. Pada 12 Desember 1915, Yuan setuju menjadi kaisar dan mendeklarasikan dirinya menjadi Kaisar Kekaisaran Tiongkok (Hanzi sederhana: 中华帝国大皇帝; Hanzi tradisional: 中華帝國大皇帝; Pinyin: Zhōnghuá Dìguó Dà Huángdì) dengan gelar Kaisar Hongxian (Hanzi sederhana: 洪宪; Hanzi tradisional: 洪憲; Pinyin: Hóngxiàn berarti Kelimpahan Konstitusi). Kaisar baru Tiongkok ini resmi naik takhta pada 1 Januari 1916, setelah Yuan menjalani sebuah ritual kenaikan takhta yang dihadari oleh kalangan terbatas. Segera setelah menjadi kaisar, Yuan atau sekarang adalah Kaisar Hongxian memesan kepada mantan ahli tembikar kekaisaran 40.000 porselen seharga 1,4 juta yuan, segel giok besar, dan dua jubah kekaisaran masing-masing seharga 400.000 yuan.[3][12] Reaksi publik dan international terhadap kembalinya monarkiYuan mengharapkan dukungan dari dalam dan luar negeri untuk takhtanya ini. Namun, ia dan pendukungnya telah salah mengkalkulasi. Setelah berkuasa, banyak pendukung Yuan yang meninggalkannya, begitu juga dengan jaringan Tentara Beiyang yang berada dalam perlindungannya. Selain itu banyak terjadi protes terbuka yang memojokkan Yuan. Pemerintah internasional termasuk Jepang, yang tadinya mendukung sekarang malah melakukan hal sebaliknya dengan tidak memberikan pengakuan terhadap kekaisaran Yuan.[23] Sun Yat-sen, yang telah hijrah ke Tokyo dan merancang gerakan di sana, secara aktif mengorganisasi kembali gerakan untuk mematikan kekuasaan Yuan. Orang-orang kepercayaannya seperti Duan Qirui dan Xu Shichang meninggalkannya untuk mendirikan faksi mereka masing-masing. Akhir monarki dan kematianDihadapkan dengan banyak pihak yang berusaha melawannya, Yuan menunda ritual kenaikan takhta secara formal untuk menenangkan keadaan, tetapi sebenarnya pada saat itu harga dirinya sudah benar-benar hancur dan satu demi satu provinsi menyuarakan penolakan terhadap Yuan. Pada 25 Desember 1915, Gubernur militer Yunnan, Cai E memberontak. Ia membentuk Perang Perlindungan Nasional. Gubernur Guizhou mengikuti langkah Cai pada Januari 1916, dan Guangxi menyatakan kemerdekaannya pada Maret. Pendanaan untuk upacara nasional naik takhta Yuan dihentikan pada 1 Maret, dan ia secara resmi meninggalkan kekaisaran pada 22 Maret, setelah 83 hari menjadi kaisar Hongxiang yang dibuatnya sendiri. Hal ini belum cukup bagi musuh-musuhnya, yang menginginkan pengunduran dirinya sebagai presiden. Banyak provinsi yang memberontak hingga akhirnya Yuan meninggal karena uremia pada 5 Juni 1916, pada usia lima puluh enam tahun. Kematiannya ini diumumkan keesokan harinya.[12][23] Jasadnya lalu dibawa ke kampung halamannya dan ditempatkan di mausoleum besar. Pada 1928, makamnya ini dijarah oleh Feng Yuxiang, seorang Tentara Guominjun selama Ekspedisi Utara. Ia memiliki tiga putra dari istrinya Yu Yishang: Pangeran Yuan Keding, yang cacat dan dipanggil "idiot" oleh ayahnya, Pangeran Yuan Kewen, yang dijuluki ayahnya sebagai "sarjana palsu", dan Pangeran Yuan Keliang, yang sering disebut ayahnya sebagai "bandit". Evaluasi dan warisanBanyak dari kebijakan Yuan dinilai menyebabkan dampak negatif bagi kehidupan berbangsa di Tiongkok. Meskipun ia adalah orang yang telah melatih dan mengorganisasi salah satu pasukan modern Tiongkok dan memperkenalkan modernisasi dalam ranah hukum dan sosial. Para loyalis Yuan yang sebelumnya diberi kekuasaan untuk mengurus pasukannya sendiri-sendiri malah saling bermusuhan dan melakukan pertempuran yang tidak perlu setelah kematiannya. Yuan juga hanya melakukan sedikit perbaikan ekonomi dan perkembangan teknologi, dan ia membiayai rezimnya melalui pinjaman luar negeri yang sangat besar. Ia juga dikritik karena dianggap sebagai pihak yang membuat moral dan reputasi internasional Tiongkok merosot, hal ini juga berhubungan dengan kebijakannya yang memperbolehkan Jepang memperoleh wilayah konsesi dari pemerintahannya.[24] Setelah kematian Yuan, ada usaha untuk mengembalikan republik oleh Li Yuanhong dengan cara memanggil legislator yang diusir pada tahun 1913, tetapi usaha ini dirasa tidak efektif untuk memulihkan keadaan, karena Li tidak memiliki dukungan militer yang memadai. Selain itu ada percobaan untuk mengembalikan kembali Dinasti Qing oleh Jenderal Zhang Xun pada tahun 1917, tetapi pasukannya dikalahkan oleh panglima perang yang lain pada tahun yang sama. Setelah kegagalan gerakan Zhang, pemerintahan di tingkat pusat menjadi hancur, dan Tiongkok masuk ke dalam Era Panglima Perang. Dalam beberapa dekade berikutnya, kantor kepresidenan dan parlemen hanya menjadi alat bagi kegiatan militer, dan politisi di Peking sangat bergantung kepada para gubernur dalam hal mendapatkan dukungan supaya bisa mmepertahankan jabatan politiknya.[25] Setelah kematian Yuan, Tiongkok menjadi negara tanpa pemerintahan pusat yang diakui, dan tentara nasional terpecah menjadi panglima-panglima perang yang berkompetisi untuk memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Karena alasan ini Yuan disebut sebagai "Bapak Panglima Perang". Selama hidupnya, ia sangat mengerti persoalan pengelolaan pasukan, kemampuannya ini menjadikan ia mampu membentuk pasukan Tiongkok modern yang terorganisasi. Setelah ia kembali berkuasa pada 1911, ia mengandalkan kemampuan pasukan yang ia bangun sendiri untuk mewujudkan ambisi kekaisaran yang juga ia bangun sendiri serta untuk menghancurkan sistem pemerintahan republik. Pada program CCTV berjudul Towards the Republic, Yuan digambarkan sebagai pengelola yang mumpuni, ia juga seorang manipulator situasi politik yang hebat. Deklarasi dirinya sebagai kaisar dipengaruhi oleh kekuatan dari luar serta putranya Yuan Keding. Sebuah patung kura-kura bixi dengan sebuah prasasti untuk menghormati Yuan Shikai, dibangun di Taman Huanyuan, Anyang, Henan tidak lama setelah kematiannya, sebagian telah direstorasi pada tahun 1993.[26] DasanamaSeperti banyak tokoh Tiongkok sebelum 1949, Yuan memiliki banyak nama yang berbeda. Nama kehormatannya adalah "Weiting" (ejaan Wade-Giles: Wei-ting; Hanzi: 慰亭; Pinyin: Wèitíng; Wade–Giles: Wei4-t'ing2), ia juga memakai nama samaran "Rong'an" (ejaan Wade-Giles: Jung-an; Hanzi: 容庵; Pinyin: Róng'ān; Wade–Giles: Jung2-an1). Ia juga kadang-kadang menggunakan nama tempat lahirnya, "Xiangcheng" (Hanzi sederhana: 项城; Hanzi tradisional: 項城; Pinyin: Xiàngchéng; Wade–Giles: Hsiang4-ch'eng2), atau sebutan tutor pangeran mahkota, "Kung-pao" (Hanzi sederhana: 宫保; Hanzi tradisional: 宮保; Pinyin: Gōngbǎo; Wade–Giles: Kung1-pao3). Informasi pribadi
Pranala luar
Referensi
|