Wirata

Wirata
विराट
Ilustrasi Raja Wirata (duduk) sedang dihadap Kangka.
Ilustrasi Raja Wirata (duduk) sedang dihadap Kangka.
Tokoh Mahabharata
NamaWirata
Ejaan Dewanagariविराट
Ejaan IASTVirāṭa
Nama lainMatsyapati
Kitab referensiMahabharata (Wirataparwa)
Asalkerajaan Matsya
KediamanWiratanagara, Kerajaan Matsya
Kastakesatria
DinastiMatsya
SaudaraKicaka (ipar)
IstriSudesna
AnakSweta, Wratsangka, Utara, Utari

Wirata (Dewanagari: विराट; ,IASTVirāṭa, विराट) alias Matsyapati (Dewanagari: मत्स्यपति; ,IASTMatsyapati,; arti harfiah: 'Raja Matsya'), dalam wiracarita Mahabharata, merupakan seorang penguasa Wiratanagara, ibukota kerajaan Matsya. Wirata berasal dari Dinasti Matsya. Ia menyediakan tempat bernaung bagi para Pandawa yang sedang hidup dalam masa penyamaran selama setahun, setelah mereka menjalani masa pengasingan di hutan selama 12 tahun.

Wirata mendapat peran yang siginifikan dalam Wirataparwa, naskah keempat dari delapan belas parwa Mahabharata. Disebutkan bahwa ia memiliki permaisuri bernama Sudesna, putri Kekaya, dan seorang ipar bernama Kicaka yang menjadi panglima tertinggi di kerajaan Matsya. Raja Wirata memiliki empat anak: Sweta, Utara, Utari, dan Wratsangka (Sangka).[1] Ia turut serta dalam perang besar di Kurukshetra dan memihak Pandawa. Dalam pertempuran, ia dan seluruh putranya terbunuh oleh para kesatria Korawa.

Masa penyamaran Pandawa

Dalam kitab Sabhaparwa dikisahkan bahwa para Pandawa kalah taruhan dengan para Korawa sehingga mereka dan istri mereka (Dropadi) harus menjalani masa pengasingan selama 12 tahun, disusul masa penyamaran selama setahun. Saat para Pandawa mulai hidup dalam masa penyamaran, mereka memilih kerajaan Matsya sebagai tempat tinggal dan memakai identitas yang berbeda. Yudistira, yang sulung di antara Pandawa menyamar sebagai seorang brahmana bernama Kangka, yang berperan sebagai pelayan pribadi Wirata, serta menemani dan menghibur sang raja di keraton Wiratanagara.[2]

Perkara Kicaka

Saat Kicaka menghina Malini (Dropadi yang menyamar sebagai seorang sairandri) di balairung istana, Wirata tidak mampu berbuat apa-apa. Dalam Mahabharata dijelaskan bahwa Kicaka memiliki kuasa yang sangat besar atas Matsya; sedemikian berkuasanya, sang raja bahkan kalah pamornya jika dibandingkan dengan Kicaka. Setelah Kicaka dibunuh secara misterius (oleh Bima), sang raja mempertimbangkan untuk mengusir sairandri, tetapi ditentang oleh Sudesna yang menganggap bahwa sairandri tersebut bukanlah wanita biasa.[3] Sudesna takut akan peringatan sairandri, bahwa para gandarwa yang menjadi suaminya akan menghancurkan keraton Wirata apabila sairandri diusir dari sana.[4]

Raja Wirata yang duduk diam saat Dropadi dihina oleh Kicaka.
Lukisan karya Raja Ravi Varma (1848–1906).

Serbuan Susarma ke Matsya

Pada bagian Goharanaparwa dari Wirataparwa, dikisahkan bahwa setelah Kicaka tewas, maka kekuatan militer Matsya melemah. Kesempatan itu digunakan oleh Susarma dari Trigarta untuk menginvasi Matsya, yang diikuti oleh serangan susulan dari kerajaan Kuru. Wirata dan pasukannya segera berangkat setelah pasukan Trigarta menjarah sapi-sapi di Matsya. Namun, Wirata gagal mengalahkan para penyerbu, sehingga ia ditahan sebagai tawanan perang oleh Susarma. Bima dan Yudistira pun mengalahkan Susarma untuk menyelamatkan sang raja. Sementara itu, pangeran Utara dan Arjuna (dalam identitas sebagai waria bernama Wrehanala) menghadapi invasi di titik lain yang berasal dari kerajaan Kuru.[5]

Berita kemenangan Utara sampai ke telinga Wirata sebelum sang pangeran tiba di istana. Ketika itu, sang raja yang mencemaskan nasib Utara sedang ditemani oleh Kangka (Yudistira). Saat mendengar berita kemenangan Utara, Wirata pun sangat gembira dan memuji-muji putranya, tetapi Yudistira berkata bahwa kemenangan dicapai oleh Utara karena ada Wrehanala yang mendampinginya. Hal itu menyinggung perasaan Wirata, karena Wrehanala adalah seorang waria (sesungguhnya Arjuna yang sedang menyamar). Dengan perasaan marah, ia melempar dadu ke wajah Yudistira, menyebabkan hidung Yudistira berdarah. Saat Wrehanala dan Utara tiba, Yudistira menyuruh para penjaga untuk tidak membiarkan Wrehanala masuk, agar Wrehanala tidak mengamuk jika tahu bahwa Yudistira telah dilukai oleh Wirata.[6]

Akhir masa penyamaran Pandawa

Pada bagian akhir Wirataparwa diceritakan bahwa setelah masa penyamaran para Pandawa dan Dropadi habis, mereka berdandan selayaknya bangsawan, lalu masuk dan duduk di balairung istana sebagaimana tamu kehormatan. Awalnya Wirata marah ketika melihat mereka berdandan dan bertingkah laku demikian, karena selama ini ia menganggap mereka bukanlah bangsawan; ia tidak mengetahui bahwa mereka adalah Pandawa dan Dropadi yang menyamar. Kemudian Yudistira menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

Akhirnya Wirata dan anggota keluarganya merasa gugup dan menyesal karena mereka pernah memperlakukan para Pandawa dan Dropadi secara tidak baik. Namun para Pandawa dan Dropadi memaafkan mereka, dan berterima kasih atas kemurahan hati sang raja dan keluarganya. Pada bagian akhir Wirataparwa juga diceritakan bahwa sang raja menikahkan putrinya yang bernama Utari dengan Abimanyu, putra Arjuna. Pernikahan tersebut sekaligus mempererat persekutuan antara Wirata dengan Pandawa.[3]

Perang Kurukshetra

Dalam Udyogaparwa dikisahkan bahwa para Pandawa tidak mendapatkan hak mereka sebagai pewaris takhta Dinasti Kuru. Akhirnya diumukanlah keputusan untuk berperang di Kurukshetra, India Utara. Pada saat itu, hampir seluruh raja dan kesatria di daratan India terbagi menjadi dua kubu. Wirata bersama seluruh putranya memihak para Pandawa. Menantunya yang bernama Abimanyu juga turut serta.

Perang berlangsung selama 18 hari. Pada hari pertama, putranya yang bernama Sweta dan Utara terbunuh di tangan Salya dari kerajaan Madra. Pada hari kedua, Wirata berhasil membunuh Mandrajaya, putra Salya. Pada hari ke-15, ia gugur di tangan Drona, panglima pasukan Korawa. Setelah kematiannya, Arjuna mengurus pemerintahan kerajaan Wirata.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Dowson, John (1888). A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion, Geography, History, and Literature. Trubner & Co., London. hlm. 1. 
  2. ^ J. A. B. van Buitenen (Translator), The Mahabharata, Volume 3, 1978, ISBN 978-0226846651, University of Chicago Press, pages 9-10
  3. ^ a b Virata Parva Mahabharata, Translated by Kisari Mohan Ganguli, Published by P.C. Roy (1884)
  4. ^ C. Rajagopalachari (1959), Mahabharata, Bharatiya Vidya Bhavan 
  5. ^ Monier Williams (1868), Indian Epic Poetry, University of Oxford, Williams & Norgate - London, page 105-107
  6. ^ Kisari Mohan Ganguli, "Go-Harana Parva. Section LXVII", Mahabharata of Krishna Dvaipayana Vyasa, Book 4: Virata Parva, Internet Sacred Text Archive, hlm. 118–120 
Kembali kehalaman sebelumnya