Bharatayuddha
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Bharatayuddha (Dewanagari:भारतयुद्ध; Jawa: ꦨꦴꦫꦠꦪꦸꦢ꧀ꦝ; Bali: ᬪᬵᬭᬢᬬᬸᬤ᭄ᬟ; IAST: Bhāratayuddha) adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut kisah perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa, tokoh utama wiracarita Mahabharata. Kata Bhāratayuddha adalah kata Sanskerta yang berarti "Perang keturunan Bharata". Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India yang telah diadaptasi di Jawa sebagai karya seni dalam bentuk kakawin dan wayang. Istilah Bharatayuddha diambil dari judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1157 oleh Empu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab Bharatayuddha yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama-sama keturunan Raja Erlangga. Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Byasa, yaitu perang antara Pandawa dan Korawa yang sebenarnya juga keturunan Byasa sang penulis. Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta. Di Yogyakarta, cerita Bharatayuddha ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848. Latar belakangSama halnya dengan versi Mahabharata dari India, Bharatayuddha merupakan puncak perselisihan antara keluarga Pandawa yang dipimpin oleh Puntadewa (atau Yudistira) melawan sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin oleh Duryodana. Baik Pandawa maupun Korawa merupakan keturunan Bharata, yang dikisahkan dalam kitab Mahabharata sebagai seorang Cakrawartin (raja diraja), penguasa daratan Asia Selatan (India dan sekitarnya). Namun versi pewayangan Jawa menyebutkan bahwa perang Bharatayuddha sebagai peristiwa yang sudah ditetapkan kejadiannya oleh dewata, bahkan sebelum Pandawa dan Korawa dilahirkan. Selain itu, Padang Kurusetra sebagai medan pertempuran menurut pewayangan bukan berlokasi di India Utara, melainkan berada di Jawa, tepatnya di dataran tinggi Dieng. Dengan kata lain, kisah Mahabharata menurut tradisi Jawa dianggap terjadi di Pulau Jawa. Bibit perselisihan antara Pandawa dan Korawa dimulai sejak orang tua mereka masih sama-sama muda. Pandu, ayah para Pandawa suatu hari membawa pulang tiga orang putri dari tiga negara, bernama Kunti, Gandari, dan Madri. Salah satu dari mereka dipersembahkan kepada Dretarastra, kakaknya yang buta. Dretarastra memilih ketiga putri itu dengan cara mengangkat satu per satu. Akhirnya terpilihlah Gandari yang mempunyai bobot paling berat, karena Dretarastra berpikir bahwa kelak Gandari akan mempunyai banyak anak, sama seperti impian Dretarastra. Hal ini membuat putri dari Kerajaan Plasajenar itu tersinggung dan sakit hati. Gandari merasa ia tak lebih dari piala bergilir. Ia pun bersumpah keturunannya kelak akan menjadi musuh bebuyutan anak-anak Pandu. Gandari dan adiknya, bernama Sangkuni, mendidik anak-anaknya yang berjumlah seratus orang (Korawa) untuk selalu memusuhi anak-anak Pandu yang berjumlah lima orang (Pandawa). Ketika Pandu meninggal, anak-anaknya semakin menderita. Nyawa mereka selalu diincar oleh para Korawa. Kisah-kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi Mahabharata, antara lain usaha pembunuhan Pandawa dalam istana yang terbakar, sampai perebutan Kerajaan Amarta—kerajaan yang didirikan Yudistira—melalui permainan dadu. Akibat kekalahan dalam perjudian tersebut, para Pandawa harus menjalani hukuman pengasingan di hutan selama 12 tahun, ditambah dengan setahun menyamar sebagai rakyat jelata di Kerajaan Wirata. Namun setelah masa hukuman berakhir, para Korawa menolak mengembalikan hak-hak para Pandawa. Sebenarnya Yudhistira (saudara sulung dari Pandawa), hanya menginginkan lima desa saja untuk dikembalikan ke Pandawa, alih-alih Amarta seutuhnya. Namun Korawa tidak sudi memberikan sejengkal tanah pun kepada Pandawa. Akhirnya keputusan diambil lewat perang Bharatayuddha yang tidak dapat dihindari lagi. Kitab JitapsaraDalam cerita pewayangan Jawa disebutkan adanya sebuah kitab yang tidak terdapat dalam cerita Mahabharata dari India. Kitab tersebut bernama Jitabsara atau Jitapsara, yang berisi skenario (Jw.: pakem) jalannya pertempuran dalam Bharatayuddha, termasuk urutan siapa saja yang akan menjadi korban. Kitab ini ditulis oleh Batara Penyarikan, sebagai juru catat atas apa yang dibahas oleh Batara Guru (raja kahyangan) dengan Batara Narada mengenai skenario tersebut. Kresna, raja Dwarawati yang menjadi penasihat pihak Pandawa, berhasil mencuri dengar pembicaraan dan penulisan kitab tersebut dengan cara berubah wujud menjadi seekor lebah putih (Jw: Klanceng Putih). Ketika tiba pada bagian Prabu Baladewa (kakak Kresna) dipertarungkan dengan Antareja (anak Bima), Klanceng Putih menumpahkan tinta yang dipakai, sehingga bagian atau bab itu batal ditulis. Klanceng Putih kemudian menjelma menjadi Sukma Wicara, yakni bentuk halus (sukma) dari Batara Kresna. Sukma Wicara memprotes rencana pertarungan antara Prabu Baladewa dengan Antareja, karena Baladewa pasti akan kalah dari Antareja. Selain itu, Sukma Wicara meminta agar diperbolehkan memiliki Kitab Jitapsara itu. Batara Guru merelakan kitab Jitapsara menjadi milik Kresna, asalkan ia selalu menjaga kerahasiaan isinya, serta bersedia menukarnya dengan Kembang Wijayakusuma, yaitu bunga pusaka milik Kresna yang bisa digunakan untuk menghidupkan orang mati. Di samping itu, Batara Guru juga meminta Kresna untuk mengatur penyelesaian soal Baladewa dan Antareja. Kresna menyanggupinya. Sejak saat itu Kresna kehilangan kemampuannya untuk menghidupkan orang mati, tetapi ia mengetahui dengan pasti siapa saja yang akan gugur di dalam Bharatayuddha sesuai isi Kitab Jitapsara yang telah ditakdirkan oleh dewata. Kresna juga akan meminta Baladewa untuk bertapa di Grojogan Sewu selama Bharatayuddha, dan meminta kesediaan Antareja untuk kembali ke alam abadi, sehingga pertempuran di antara kedua kesatria itu tidak terjadi.[1] Aturan peperanganJalannya perang Bharatayuddha versi pewayangan Jawa sedikit berbeda dengan perang Kurukshetra versi Mahabharata. Menurut versi Jawa, pertempuran diatur sedemikian rupa sehingga hanya tokoh-tokoh tertentu yang ditunjuk saja yang maju perang, sedangkan yang lain menunggu giliran untuk maju. Sebagai contoh, apabila dalam versi Mahabharata, Duryodhana sering bertemu dan terlibat pertempuran melawan Bimasena, maka dalam pewayangan mereka hanya bertemu sekali, yaitu pada babak terakhir ketika Duryodana tewas di tangan Bima. Dalam pihak Pandawa yang bertugas mengatur siasat peperangan adalah Kresna. Ia yang berhak memutuskan siapa yang harus maju, dan siapa yang harus mundur. sementara itu di pihak Korawa semuanya diatur oleh para penasihat Duryodana yaitu Bisma, Durna (Drona), dan Salya. Pembagian babakDi bawah ini disajikan pembagian kisah Bharatayuddha menurut versi pewayangan Jawa. Jalannya pertempuranKarena kisah Bharatayuddha yang tersebar di Indonesia dipengaruhi oleh kisah sisipan yang tidak terdapat dalam kitab aslinya (kitab dari India berbahasa Sanskerta), mungkin banyak terdapat perbedaan sesuai dengan daerah masing-masing. Meskipun demikian, inti kisahnya sama. Babak pertamaDikisahkan, Bharatayuddha diawali dengan pengangkatan senapati agung atau pimpinan perang kedua belah pihak. Pihak Pandawa mengangkat Resi Seta (Sweta) sebagai pimpinan perang dengan pendamping di sayap kanan Arya Utara dan sayap kiri Arya Wratsangka. Ketiganya terkenal ketangguhannya dan berasal dari Kerajaan Wirata yang mendukung Pandawa. Pandawa menggunakan siasat perang Brajatikswa yang berarti senjata tajam. Sementara di pihak Korawa mengangkat Bisma (Resi Bisma) sebagai pimpinan perang dengan pendamping Pendeta Durna (Drona) dan prabu Salya, raja Mandaraka yang mendukung Korawa. Bisma menggunakan siasat Wukirjaladri yang berarti "gunung samudra." Tentara Korawa menyerang laksana gelombang lautan yang menggulung-gulung, sedang pasukan Pandawa yang dipimpin Resi Seta menyerang dengan dahsyat seperti senjata yang menusuk langsung ke pusat kematian. Sementara itu Rukmarata, putra Prabu Salya datang ke Kurukshetra untuk menonton jalannya perang. Meski bukan anggota pasukan perang dan berada di luar garis peperangan, ia telah melanggar aturan perang dengan bermaksud membunuh Resi Seta. Rukmarata memanah Resi Seta namun panahnya tidak melukai sasaran. Setelah melihat siapa yang memanahnya, Resi Seta kemudian mendesak pasukan lawan ke arah Rukmarata. Setelah kereta Rukmarata berada di tengah pertempuran, Resi Seta segera menghantam dengan gada (pemukul) Kyai Pecatnyawa, hingga hancur berkeping-keping. Rukmarata, putra mahkota Mandaraka tewas seketika. Dalam peperangan tersebut Arya Utara gugur di tangan Prabu Salya sedangkan Arya Wratsangka tewas oleh Pendeta Durna. Bisma dengan bersenjatakan Aji Nagakruraya, Aji Dahana, busur Naracabala, Panah kyai Cundarawa, serta senjata Kyai Salukat berhadapan dengan Resi Seta yang bersenjata gada Kyai Lukitapati, pengantar kematian bagi yang mendekatinya. Pertarungan keduanya dikisahkan sangat seimbang dan seru, hingga akhirnya Bisma dapat menewaskan Resi Seta. Bharatayuddha babak pertama diakhiri dengan sukacita pihak Korawa karena kematian pimpinan perang Pandawa. Babak KeduaSetelah Resi Seta gugur, Pandawa kemudian mengangkat Trustajumena (Drestadyumna) sebagai pimpinan perangnya dalam perang Bharatayuddha. Sedangkan Bisma tetap menjadi pimpinan perang Korawa. Dalam babak ini kedua kubu berperang dengan siasat yang sama yaitu Garudanglayang (Garuda terbang). Dalam pertempuran ini dua anggota Korawa kembar, yaitu Wikataboma dan Bomawikata, terbunuh setelah kepala keduanya diadu oleh Bima. Sementara itu beberapa raja sekutu Korawa juga terbunuh dalam babak ini. Diantaranya Prabu Sumarma (Susarma), raja Trigartapura tewas oleh Bima, Prabu Dirgantara terbunuh oleh Arya Setyaki, Prabu Dirgandana tewas di tangan Arya Sangasanga (anak Setyaki), Prabu Dirgasara dan Surasudirga tewas di tangan Gatotkaca, dan Prabu Malawapati, raja Malawa tewas terkena panah Hrudadali milik Arjuna. Bisma setelah melihat komandan pasukannya berguguran kemudian maju ke medan pertempuran, mendesak maju menggempur lawan. Atas petunjuk Kresna, Pandawa kemudian mengirim Dewi Wara Srikandi untuk maju menghadapi Bisma. Dengan tampilnya prajurit wanita tersebut di medan pertempuran menghadapi Bisma. Bisma merasa bahwa tiba waktunya maut menjemputnya, sesuai dengan kutukan Dewi Amba yang tewas di tangan Bisma. Bisma gugur dengan perantaraan panah Hrudadali milik Arjuna yang dilepaskan oleh istrinya, Srikandi. Kutipan dari Kakawin BharatayuddhaKutipan di bawah ini mengambarkan suasana perang di Kurukshetra, yaitu setelah pihak Pandawa yang dipimpin oleh Raja Drupada menyusun sebuah barisan yang diberi nama “Garuda” yang sangat hebat untuk menggempur pasukan Korawa.
Referensi
Lihat pula |