Tjoe Bou San
Tjoe Bou San (朱茂山) yang memiliki nama pena Oen Tjip Tiong dan Hauw San Liang, serta nama samaran San Ling Hauw dan Getoel Gaet adalah tokoh nasionalis Tionghoa di Hindia Belanda yang lahir di Batavia tahun 1891 dan meninggal di Batavia tanggal 3 November 1925. Dia memulai karier menulis untuk surat kabar Hoa Pit dan Perniagaan. Pada 1919, dia membeli saham Hauw Tek Kong dan menjadikan dirinya sebagai pemimpin redaksi yang merangkap jabatan sebagai direktur Sin Po. Koran itu lantas menjadi pelopor nasionalisme Tionghoa yang cukup berpengaruh di Hindia Belanda. Tjoe sendirilah yang mengembangkan konsep nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda dan memimpin kampanye dalam memberantas kekawulaan Belanda ketika berlangsung Perang Dunia I. Dia merasa bahwa warga Tionghoa di Hindia Belanda (baik peranakan maupun totok) harus menganggap diri mereka Tionghoa. Tjoe menulis kritik-kritikannya melalui surat kabar Sin Po. Tulisan-tulisan maupun kritikannya dikenal tajam, sehingga sering menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Pandangan nasionalismenya itu berseberangan dengan beberapa tokoh, yaitu P.H. Fromberg Sr, Yap Hong Tjoen, dan Hauw Tek Kong. Selain dikenal sebagai wartawan dan pemimpin pergerakan nasionalisme Tionghoa, dia juga merupakan seorang penulis novel. Salah satu novel terbaiknya adalah The Loan Eng yang terbit pada 1922. Ketika kesehatannya semakin menurun, dia jarang menulis mengenai hal-hal berbau politik, tetapi lebih banyak membaca buku-buku filsuf dan menerjemahkan buku-buku Tiongkok klasik. Pemikirannya saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Lao Zi (Lao Tzu) yang menganjurkan wu wei atau boet wi (tidak berbuat apa-apa). Dia meninggal ketika berusia 34 tahun. Menurut berita Sin Po, kematiannya disebabkan oleh penyakit paru-paru. BiografiLatar belakangTjoe lahir tahun 1891 di Batavia dan meninggal tanggal 3 November 1925 di Batavia.[1] Menurut Tio Le Soei (wartawan dan sastrawan Melayu-Tionghoa angkatan lama) dalam karya Claudine Salmon (peneliti kajian kesusastraan Melayu-Tionghoa berkebangsaan Prancis) berjudul Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, dia lahir tahun 1892.[2] Namun, Leo Suryadinata (sinolog kelahiran Jakarta yang berkewarganegaraan Singapura) yang mengutip berita Sin Po tanggal 3 November 1925 berjudul Toean Tjoe Bou San Meninggal, meyakini bahwa Tjoe lebih tepat lahir tahun 1891 karena dia meninggal tahun 1925 ketika berusia 34 tahun.[3] Dia adalah anak dari Tjoe Hoat Hin, seorang pedagang tekstil pasar gelap di Batavia.[4][5] Tjoe memiliki dua orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Sumber-sumber primer maupun penelitian yang dilakukan oleh Suryadinata tidak menyebutkan secara jelas mengenai nama-nama dari saudara-saudaranya itu.[3] Tidak banyak keterangan mengenai pendidikannya. Menurut Salmon, Tjoe kemungkinan pernah masuk sekolah swasta Belanda dan Hokkien selama beberapa tahun untuk belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Melayu.[4] Suryadinata menengarai bahwa Tjoe yang pasti dapat berbahasa Melayu-Betawi, sedangkan penguasaan bahasa Tionghoa, Belanda, dan Inggrisnya agak terbatas.[3] Ang Jan Goan dalam Sin Po Wekelijksche Editie (edisi mingguan) tanggal 26 Desember 1925 berjudul Almarhoem Tjoe Bou San menulis bahwa Tjoe dapat membaca bahasa Tionghoa, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai penguasaan lisan bahasa Tionghoanya. Menurut sumber lain, yaitu Djawa Tengah Review yang terbit di Semarang bulan September 1935 dan disiarkan kembali dalam Sin Po Jubelium Nummer 1910–1935, pengetahuan bahasa Tionghoanya (terutama klasik) sangat terbatas.[3][6] KarierSalmon mengatakan bahwa Tjoe memulai menulis untuk surat kabar Hoa Pit dan Perniagaan, tetapi tidak menyebutkan periodenya secara jelas.[2] Ketika berusia 18 tahun, Tjoe menjadi pemimpin redaksi majalah mingguan berkala resmi terbitan Soe Po Sia (Taman Bacaan)[7] – organisasi totok berhaluan nasionalisme Tionghoa di Batavia yang mendukung revolusi Sun Yat Sen,[8] yaitu Hoa Tok Po edisi Melayu.[1][5][9][10] Suryadinata meragukan penyebab Tjoe tidak dijadikan sebagai editor dari majalah Hoa Tok Po edisi Tionghoa yang dikuasai totok, yaitu kemungkinan karena dia adalah seorang peranakan atau kurang mahir menguasai bahasa Tionghoa.[3] Lebih lanjut, Suryadinata meragukan mengenai masa jabatan Tjoe sebagai pemimpin majalah tersebut karena dia kemudian pindah ke Surabaya dan memimpin surat kabar Tjhoen Tjhioe (Musim Semi dan Musim Gugur) sejak Februari–Juni 1917.[11] Sebelumnya, dia juga pernah menerbitkan mingguan Penghibur yang dicetak oleh percetakan Kho Tjeng Bie bersama Lauw Giok Lan (Liu Njuk Lan), Lie On Moy, Lie In Eng, dan Song Chong Soei pada 1913, tetapi hanya bertahan dalam waktu singkat.[12] Sam Setyautama (penulis buku Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia) menyebutkan bahwa Tjoe lantas pindah lagi ke Batavia pada pertengahan tahun 1917 setelah meninggalkan harian Tjhoen Tjhioe dan berkunjung ke tanah leluhurnya, serta bekerja sebagai koresponden harian Sin Po edisi Melayu yang dipimpin oleh Kwee Hing Tjiat.[1][7][13] Setahun kemudian, dia kembali lagi ke Batavia dan diangkat menjadi pemimpin redaksi tersebut untuk menggantikan Tjiat yang pergi ke Eropa.[1] Benny Gatot Setiono (peraih Weirtheim Award tahun 2008) menambahkan bahwa Tjoe selanjutnya membeli saham Tek Kong pada 1919 dan menjadikan dirinya pemimpin redaksi yang merangkap jabatan sebagai direktur Sin Po.[5] Koran itu lantas menjadi pelopor nasionalisme Tionghoa yang cukup berpengaruh di Hindia Belanda.[14][15] Dia sendirilah yang mengembangkan konsep nasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda dan memimpin kampanye dalam memberantas kekawulaan Belanda ketika berlangsung Perang Dunia I.[11] Nasionalis TionghoaNasionalisme Tionghoa di Hindia Belanda bermula pada 17 Maret 1900 dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau dikenal juga sebagai sekolah Pa Hoa, yaitu Rumah Perkumpulan Tionghoa di Patekoan, Batavia.[16][17][18] Organisasi ini didirikan oleh Phoa Keng Hek, Lie Kim Hok, dan Lie Hin Liam dengan tujuan awal memperbaiki kebiasaan orang Tionghoa setempat berdasarkan Konfusianisme.[19][20][21] Organisasi tersebut kemudian menjadi perkumpulan khusus yang memajukan pendidikan Tionghoa dan berhasil mendirikan cabang di beberapa daerah.[22] Menurut pendapat dari para pemimpin THHK, orang Tionghoa dapat benar-benar mengerti ajaran Kong Hu Cu hanya dengan mempelajari bahasa Tionghoa.[16][23][24] THHK juga dikenal sebagai organisasi yang memprakarsai istilah “Tionghoa”[a] secara luas,[25][26] serta penggalang persatuan Tionghoa hoa kiao (perantauan), baik peranakan maupun totok.[18] Nasionalisme Tionghoa waktu itu merupakan nasionalisme kultural dan tujuannya lebih condong ke kebudayaan, bukan politik. Namun, dengan masuknya pengaruh totok yang menjadi simpatisan gerakan revolusioner di daratan Tiongkok, lambat laun pergerakan Tionghoa di Jawa juga bercorak politik.[27] Organisasi politik Tiongkok seperti Tongmenghui (yang kemudian menjadi Kuomintang) mulai masuk ke Hindia Belanda sekitar tahun 1907.[28] Soe Po Sia yang menyebar ide revolusi juga dibentuk di kota-kota besar Hindia Belanda.[29] Arus nasionalisme politik ini semakin besar setelah Dinasti Qing atau Dinasti Manchu digulingkan dan Republik Tiongkok berdiri pada 1 Januari 1912.[30] Sin Po yang awalnya berupa redaksi weekblad (mingguan) lantas berubah frekuensinya menjadi harian tidak lama sesudah lahirnya Republik Tiongkok, yaitu sejak 1 April 1912.[27] Surat kabar itu menjadi lawan utama dari koran besar berpendirian konservatisme yang dipimpin oleh Gouw Peng Liang dan opsir-opsir peranakan Tionghoa (juga dikenal sebagai Kapitan China), yaitu Kabar Perniagaan.[1] Kapital Sin Po yang sebelumnya 100.000 gulden turut ditingkatkan menjadi 300.000 gulden. Penambahan tersebut menjadikan redaksi itu menjadi media peranakan Tionghoa dengan kapital terbesar di Hindia Belanda.[31] Ketika berada di bawah pimpinan Tjiat (1916–1918), harian ini mulai bergerak memimpin masyarakat Tionghoa dalam hal-hal politik, misalnya menolak rencana Belanda yang ingin menjalankan Volksraad (Dewan Rakyat) pada 1917. Lembaga tersebut ingin mengikutsertakan peranakan Tionghoa dan pribumi di dalamnya.[27] Nazirwan Rohmadi dan Warto (penulis dari Universitas Sebelas Maret) mencatat bahwa lembaga ini disetujui pada 16 Desember 1916, dijalankan pada 1 Agustus 1917, dan diresmikan pada 18 Mei 1918 oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum bersama dengan Menteri Urusan Koloni Belanda yang bernama Thomas Bastiaan Pleyte.[32] George McTurnan Kahin (sejarawan dan akademisi politik Amerika Serikat) turut memperkuat pernyataan tersebut dengan menyebut bahwa Limburg membentuk dan melantik Volksraad sesuai dengan konstitusi dalam Indische Staatsrgeling pada 18 Mei 1918. Pembentukan lembaga itu diatur dalam pasal 53–80 bagian kedua wet op de Staatsinrichting Van Nederlandsh-Indie (Indische Staatsrgeling) yang ditetapkan pada 16 Desember 1916, serta diumumkan dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie No. 114 Tahun 1917 dan berlaku pada 1 Agustus 1917. Staatsblad tersebut menjelaskan mengenai peraturan dan kekuasaan legislatif Volksraad di Hindia Belanda.[33] Pada 1917 pula diadakan sebuah konferensi penduduk Tionghoa untuk membicarakan masalah pembentukan lembaga tersebut di Semarang.[34] Sin Po yang disokong oleh berbagai organisasi peranakan menolak usul dari Hok Hoei Kan (Kan Hok Hoei Sia), seorang peranakan yang pro Belanda, untuk ikut serta dalam politik lokal dengan alasan bahwa orang Tionghoa adalah warga negara Tiongkok.[35] Penolakan itu ada hubungannya dengan rencana pemerintah Belanda mengadakan Hindie Weerbaar (pertahanan Hindia Belanda) yang mewajibkan kawula Belanda menjadi milisi. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab warga peranakan Tionghoa tidak mau dianggap sebagai kawula. Selain itu, rencana tersebut juga ditentang oleh Sarekat Islam dan juga kelompok nasionalis Indonesia lainnya.[36][37] Setelah menjadi pemimpin dan direktur Sin Po, Tjoe meneruskan pandangan tersebut dan mengembangkannya.[38][39] Sin Po tanggal 2 September 1918 menyebutkan bahwa dalam kata sambutannya ketika mengambil alih kedudukan Tjiat, Tjoe menulis sebagai berikut.[40]
Pada 1918, Tjoe mulai menggerakkan orang Tionghoa di Hindia Belanda untuk memberantas Undang-Undang Kekawulaan Belanda.[41] Dinasti Manchu di sisi lain sudah mengumumkan Undang-Undang Kewarganegaraan Kerajaan pada 1909 sebelum terjadi Revolusi Xinhai atau Revolusi 1911, yang menegaskan bahwa semua orang yang berdarah Tionghoa dianggap berkewarganegaraan Tiongkok. Setahun kemudian, pemerintah Belanda juga mengumumkan bahwa penduduk yang lahir di Hindia Belanda adalah Nederlands Onderdanen (kawula Belanda) – peranakan Tionghoa otomatis menjadi kawula.[42] Setelah Republik Tiongkok berdiri, pemerintah Tiongkok yang baru melanjutkan konsep kewarganegaraan Dinasti Manchu. Republik Tiongkok menganggap semua orang Tionghoa (baik peranakan maupun totok) sebagai warga negaranya, tetapi Tiongkok dipaksa mengakui yurisdiksi Belanda. Selama orang Tionghoa itu bermukim di daerah kekuasaan Belanda, Undang-Undang Belanda yang berlaku.[43][44] Hal ini ditegaskan dalam perjanjian konsuler antara Tiongkok dan Belanda.[45] Oleh karena itu, orang totok tetap menjadi warga negara Tiongkok, sedangkan peranakan Tionghoa dalam praktiknya memiliki “kewarganegaraan rangkap” (kawula Belanda dan warga negara Tiongkok).[40][42] Menurut Suryadinata, Sin Po berhasil mengumpulkan 28.789 tanda tangan dalam kampanye memberantas Undang-Undang Kekawulaan.[46] Tek Kong, mantan direktur Sin Po, kemudian ditugaskan ke Tiongkok untuk menyampaikan tanda tangan itu dan meminta pemerintah di Peking (sekarang Beijing) menyokong petisi peranakan Tionghoa, yaitu mendesak Belanda supaya memberikan hak repudiasi (hak untuk menolak suatu kewarganegaraan yang ditawarkan oleh negara lain) kepada peranakan. Namun, kampanye itu tidak berhasil karena Tiongkok tetap menandatangani perjanjian konsuler yang mengakui hak yurisdiksi pemerintah Belanda terhadap peranakan. Selain itu, kampanye yang dilakukan oleh Tjoe juga kehilangan momentumnya karena pemerintah Belanda sendiri tidak memaksakan usul pertahanan Hindia Belanda itu.[47] Setiono berpendapat bahwa kontroversi masalah tersebut akhirnya berhenti karena pemerintah Belanda membatalkan wajib militer bagi kawula dengan pertimbangan mempersenjatai orang-orang yang memiliki kecenderungan nasionalis sangat membahayakan kedudukan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian melakukan tekanan dan intimidasi kepada para pemimpin Tionghoa yang aktif melakukan perlawanan dan memaksa mereka yang berada di luar negeri untuk kembali ke Hindia Belanda. Selain itu, para pemimpin peranakan Tionghoa dan pengusaha banyak yang tidak mendukung kampanye ini karena mereka merasa sudah memiliki posisi yang kuat di Hindia Belanda. Faktor lain yang turut menyurutkan kampanye tersebut adalah kurangnya dukungan dari pemerintah nasionalis Tiongkok yang sedang menghadapi banyak persoalan di dalam negerinya. Orang Tionghoa memang gagal untuk menolak menjadi kawula, tetapi usaha untuk memperoleh status Eropa juga diabaikan oleh pemerintah Belanda dengan alasan akan melukai perasaan golongan bumiputra yang akan menimbulkan pergolakan di Hindia Belanda.[48] Sin Po yang berada di bawah pimpinan Tjoe terus melakukan perlawanan, meskipun kampanye penolakan Undang-Undang Kekawulaan gagal.[38] Selain menjadi penggerak nasionalisme Tionghoa, dia juga menganjurkan orang peranakan Tionghoa agar tetap berorientasi ke Tiongkok.[49] Menurut pandangannya, nasib peranakan bergantung kepada Tiongkok.[50] Jika peranakan tidak menyadari hal ini dan tidak berusaha menjadi orang Tionghoa, nantinya mereka akan mengalami lebih banyak kesusahan. Sin Po Wekelijksche Editie tanggal 26 Desember 1925 menyebutkan bahwa Tjoe tidak menjelaskan secara jelas mengenai kesusahan yang akan dihadapi oleh warga peranakan. Kemungkinan dia merasa bahwa Tiongkok tidak akan menghiraukan warga peranakan karena mereka sudah bukan orang Tionghoa lagi. Tanpa perlindungan dari Tiongkok, warga peranakan akan menderita. Kemungkinan lain yang disebutkan oleh Suryadinata sebagai perbandingan adalah orang Jepang di Hindia Belanda yang dilindungi karena negaranya kuat.[51] Tjoe berpendapat bahwa warga peranakan tidak bisa menjadi indier (orang Hindia) dikarenakan konsep itu tidak praktis. Berikut kutipan pernyataan Goan dalam Sin Po Wekelijksche Editie tanggal 26 Desember 1925.[52]
Tjoe menganjurkan bahwa orang Tionghoa harus mengutamakan pendidikan Tionghoa dan terus belajar bahasa Tionghoa untuk mencapai hal tersebut. Isi dari pendidikan Tionghoa tidak harus dititikberatkan kepada pendidikan yang mengejar “ilmu mencari uang” saja, dikarenakan hal ini hanya menghasilkan kerani-kerani yang memakan gaji besar atau pedagang-pedagang yang masing-masing memiliki keuntungan pribadi. Hal yang terpenting adalah menggalakkan nationale onderwijs (pendidikan nasional) – dia tidak menjelaskan isi pendidikan itu. Kemungkinan yang dimaksudkannya adalah pendidikan yang mengandung bahasa dan kebudayaan Tionghoa, serta kesadaran ketionghoaan.[54] Menurutnya, warga Tionghoa dan pribumi di Hindia Belanda sama-sama bangsa Asia dan dalam perjuangan kemerdekaan harus saling menyokong. Tidaklah mengherankan ketika memimpin Sin Po, dia banyak memakai wartawan pribumi dan menggunakan berita tentang pergerakan yang ditulis oleh penulis pribumi. Nasionalis Indonesia rupanya senang bekerja sama dengan redaksi itu karena mereka masih kekurangan media massa yang bisa menyebarkan ide nasionalisme Indonesia.[54] Mereka banyak menyinggung mengenai kesulitan dan ketidakpuasan yang dihadapi oleh intelektual pribumi terhadap kebijakan pemerintah kolonial.[14][31] Memoar Ang Jan Goan menyebutkan jika Soekarno sudah dekat dengan beberapa orang nasionalisme Tionghoa sejak masih menjadi mahasiswa di Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung), yaitu Tan Tek Ho (penulis Sin Po dan mantan murid dari Kay Lam Hak Tong di Nanking) serta Liem Soei Tjoan (pencetak dan penyokong Sin Po).[55] Melalui keduanya, dia berkenalan dengan Tjoe dan pernah mengunjungi kantornya yang berada di Asemka, Glodok, Batavia pada September 1923.[31] Seperti diungkap pula dalam memoar tersebut, Soekarno mengatakan kepada Tjoe bahwa dia lebih menghargai orang Tionghoa yang mengambil haluan nasionalisme Tionghoa dan menyokong pergerakan Indonesia tanpa mempedulikan bahaya yang mengancam nyawanya, dibandingkan dengan orang-orang yang mau menjadi Indonesia semata-mata hanya karena ingin mendapatkan keuntungan.[56] Rupanya, yang dipikirkan oleh para nasionalis Indonesia waktu itu hanyalah cara dalam mengusir Belanda dari Hindia Belanda. Masalah mengenai Tionghoa belum terlalu dipikirkan lebih jauh. Nasionalis Tionghoa sendiri hanya memikirkan bahwa mereka akan mempunyai musuh dan pengalaman yang sama. Para nasionalis Tionghoa tidak memikirkan apabila bentrok dengan warga pribumi setelah Hindia Belanda merdeka. Mereka berpikir jika terjadi bentrokan nantinya akan dilindungi oleh Tiongkok dan perkaranya akan selesai.[57] Kritik terhadap FrombergTjoe mengidentifikasi diri dengan nasionalis Tionghoa di Tiongkok.[58] Dia merasa bahwa warga Tionghoa di Hindia Belanda (baik peranakan maupun totok) harus menganggap diri mereka Tionghoa.[59] Warga Tionghoa di Hindia Belanda adalah orang asing. Mereka tidak harus mengambil bagian dalam politik lokal karena nasib mereka bergantung kepada Tiongkok, bukan Belanda.[60] Pandangannya itu berseberangan dengan P.H. Fromberg Sr, yaitu ahli hukum Belanda yang pernah bertugas di Hindia Belanda sebagai pejabat Biro Urusan Tionghoa dan dekat dengan masyarakat peranakan Tionghoa. Sikap yang ditunjukkan Fromberg berbeda sekali dengan pembesar Belanda yang dianggap memusuhi masyarakat Tionghoa. Dia adalah pembesar Belanda yang bersimpati terhadap orang Tionghoa.[61] Menurut Suryadinata, untuk membela orang Tionghoa, dia menulis catatan-catatan kecil yang kemudian dikumpulkan menjadi satu dan diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Chung Hwa Hui Nederland dengan judul Pergerakan Orang Tionghoa di Jawa pada 1926.[47] Tjoe sendiri menganggap bahwa Fromberg adalah “Douwes Dekker-nya” orang Tionghoa. Dia tidak setuju dengan pendapatnya mengenai nasionalisme Tionghoa dan mengkritiknya berkali-kali di Sin Po, meskipun mengakui jasa Fromberg. Dia akhirnya menerbitkan beberapa terjemahan tulisan-tulisan Fromberg serta kritiknya sendiri menjadi sebuah buku berjudul Pergerakan Tionghoa di Hindia Olanda dan Mr. P.H. Fromberg Sr pada 1921.[62][63] Tulisan-tulisan dari Fromberg sendiri awalnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat secara bersambung di Sin Po edisi Melayu.[64] Fromberg berpendapat bahwa warga Tionghoa pada akhir abad ke-19 diperlakukan tidak adil di Hindia Belanda dan hal inilah yang menyebabkan timbulnya Pan-Chinese Movement (Gerakan Tionghoa Raya). Orang Tionghoa lantas berorientasi ke Tiongkok dan sadar akan rasnya sendiri. Mereka merasa terhina karena ditempatkan di bawah orang Eropa dan menuntut agar diberi status yang sama, tetapi usaha ini gagal.[65] Lebih lanjut, dia menengarai bahwa orang Tionghoa tidak senang ketika Undang-Undang Kekawulaan diumumkan dan kaum peranakan Tionghoa digolongkan sebagai kawula. Mereka berpikir bahwa Belanda berniat menghilangkan kewarganegaraan orang Tionghoa, sedangkan kekawulaan tidak memberikan sesuatu yang baru bagi mereka. Masalah mengenai milisi akhirnya memancing peningkatan kampanye menentang kekawulaan, tetapi kampanye masih berlanjut setelah rancangan itu ditinggalkan. Fromberg berpendapat bahwa hal ini disebabkan karena orang peranakan Tionghoa telah terpengaruh oleh semangat nasionalisme Tionghoa, tetapi tidak mengerti tentang hukum.[66] Bagi dirinya, kekawulaan hanya menyangkut peranakan Tionghoa yang terus tinggal di Hindia Belanda sejak beberapa generasi. Dia menunjuk kelompok-kelompok minoritas di negara-negara lain yang mengeluhkan bahwa mereka dihalangi untuk mendapatkan kewarganegaraan dari negara tempat tinggalnya dan diperlakukan sebagai orang-orang asing, sekalipun telah tinggal di negara bersangkutan sejak beberapa generasi. Sebaliknya, kaum peranakan Tionghoa di Hindia Belanda malah menolak untuk menerima kekawulaan setelah ditawari oleh Belanda. Mereka seperti tidak mengetahui bahwa kekawulaan disertai dengan hak yang menarik batas antara seorang kawula dengan orang asing. Dia menerangkan tentang hak dan manfaat yang dapat dinikmati oleh seorang kawula. Salah satu contoh yang ditunjukkannya adalah hak untuk ikut serta dalam politik setempat.[67] Fromberg beralasan bahwa menerima kekawulaan tidak berarti bahwa orang Tionghoa di Hindia Belanda harus meninggalkan bahasa dan adat istiadat mereka. Kekawulaan untuk sementara waktu hanya suatu keterangan atau pengenal mengenai keanggotaan dalam masyarakat Hindia Belanda. Berikut pendapat Fromberg yang diambil dari tulisan Suryadinata berjudul Politik Tionghoa Peranakan di Jawa.[65]
Dia memercayai bahwa sebagian besar peranakan Tionghoa tidak setuju dengan kampanye gerakan anti Undang-Undang Kekawulaan. Dia senang bahwa ada orang peranakan berpendidikan yang mau bekerja untuk Belanda dan tidak mengurung dirinya di kelompoknya sendiri. Dua contoh yang diberikannya adalah Yap Hong Tjoen (ahli mata yang pernah menjadi ketua perkumpulan mahasiswa Tionghoa di Belanda)[68] dan H.H. Kan (tuan tanah dan politisi). Dia akhirnya berkesimpulan bahwa kampanye anti kekawulaan dilancarkan oleh kaum sauvinis Tionghoa. Mereka hanya memanfaatkan masalah milisi dan kekawulaan untuk mengungkapkan rasa sauvinisme dan rasa menyendiri yang mereka miliki. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan kepentingan Belanda dan hanya akan membahayakan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda sendiri.[69] Tjoe mengemukakan sanggahan bahwa Fromberg sebagai seorang Nederlander telah gagal untuk memahami gerakan orang Tionghoa di Hindia Belanda. Fromberg benar ketika mengatakan bahwa gerakan Tionghoa sebelum kampanye ada kaitannya dengan hukum-hukum yang diskriminatif dan bertujuan untuk menaikkan status orang Tionghoa di Hindia Belanda agar setara dengan orang-orang Eropa. Namun, gerakan lain yang dikenal sebagai kampanye anti Undang-Undang Kekawulaan bertujuan untuk mendapatkan kewarganegaraan Tiongkok. Tjoe mengatakan bahwa orang Tionghoa di Hindia Belanda merasa diri mereka sebagai satu bagian yang tak terpisahkan dengan nasion Tionghoa yang besar.[70] Sebagai satu kelompok tersendiri, orang Tionghoa di Hindia Belanda tidak mempunyai arti apa pun di mata dunia karena jumlahnya kecil. Namun, mereka mempunyai arti penting jika bergabung dengan ratusan juta orang Tionghoa di Tiongkok.[35] Kekawulaan justru memisahkan mereka – kaum peranakan – dari totok dan memaksa setiap orang peranakan untuk menjadi kawula. Dia beralasan bahwa orang Tionghoa di Hindia Belanda ingin tetap menjadi orang asing, tetapi penguasa Belanda justru mengangkat H.H. Kan dan Liem A. Pat sebagai wakil Tionghoa di Hindia Belanda.[71] Sementara itu, langkah-langkah ke arah wajib dinas militer untuk kaum peranakan diusulkan oleh Volksraad. Sejarawan Ong Hok Ham menyebut bahwa orang Tionghoa tidak mempunyai wakil di sana, kecuali “wakil-wakil” yang ditunjuk oleh Belanda sendiri.[72] Belanda bersikeras mengatakan bahwa Volksraad adalah Dewan Rakyat dan keputusan-keputusannya harus dianggap sebagai keputusan-keputusan rakyat. Pada tahap ini, kampanye menentang kekawulaan dimulai. Tjoe mengatakan bahwa kelompok ini berhasil memperoleh dukungan dari 28.789 kepala keluarga yang ingin mendapatkan kewarganegaraan Tiongkok dalam waktu singkat, setelah Sin Po mengemukakan pendiriannya secara jelas. Harian tersebut ditunjuk sebagai wakil mereka untuk menentang kekawulaan. Dia mengklaim bahwa ada telegram dan surat dari beberapa ratus organisasi yang menyatakan persetujuan dengan redaksi tersebut. Organisasi-organisasi itu kemudian bergabung dan mengirim delegasi bersama ke Tiongkok. Lebih lanjut, dia mengemukakan bahwa hal seperti itu tidak mungkin hanya disebabkan oleh kampanye yang dilakukan oleh Sin Po semata. Berdasarkan pandangannya, Fromberg hanya menerima pidato dari Kan dan Yap saja – yang hanya mewakili kepentingan para opsir dan pengusaha Tionghoa.[59][73] Tjoe selanjutnya mengecam Fromberg karena konsepnya mengenai “kepentingan bersama” dalam Sin Po tahun 1921 berjudul Pergerakan Tionghoa di Hindia Olanda dan Mr. P.H. Fromberg Sr.[74] Fromberg berpandangan bahwa onderdaanschap (kekawulaan) biasanya sama dengan nationaliteit (kewarganegaraan) dan hakikat dari kewarganegaraan adalah kepentingan bersama. Dia setuju dengan pandangan ini, tetapi mengemukakan argumen bahwa tidak ada kepentingan bersama di Hindia Belanda. Kepentingan kelompok Tionghoa berbeda dengan kepentingan kelompok-kelompok lain. Dia menyalahkan politik pecah belah yang dilakukan oleh Belanda, seperti halnya sistem wilayah untuk tinggal dan sistem surat jalan. Sistem tersebut menyebabkan orang Tionghoa tetap terpisah dari kelompok ekonomi lainnya. Dia juga mengajukan pendapat bahwa sistem sekolah terpisah yang diterapkan saat itu telah memperpanjang separatisme orang Tionghoa. Hal tersebut dikarenakan rasa kepentingan kelompok begitu kuat, sehingga tidak ada kepentingan bersama, yang ada hanyalah kepentingan kelompok.[75] Menurut Tjoe, orang Tionghoa sebagai satu kelompok minoritas berada dalam kedudukan yang sangat sulit. Mereka terpisah dari kelompok-kelompok lainnya. Tjoe menulis di Sin Po tahun 1921 sebagai berikut.[75]
Bagi Tjoe, satu-satunya pemecahan masalah itu adalah orang Tionghoa di Hindia Belanda berasimilasi sepenuhnya dengan kelompok-kelompok lain. Hanya dengan berbuat demikian, masalah Tionghoa dapat dipecahkan. Namun, pemecahan ini tidaklah mungkin terjadi karena jurang yang memisahkan berbagai kelompok demikian lebar dan masyarakat sadar mengenai perbedaan etnis di antara mereka. Orang Tionghoa tidak mau menyerahkan masa depannya ke tangan orang Belanda karena mereka mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Mereka tidak memperoleh manfaat apa pun dari pemerintah kolonial dan memutuskan tidak menjadi kawula, sebab mereka adalah orang Tionghoa yang mempunyai hubungan dengan Tiongkok.[76] Bertolak dari teorinya tentang kepentingan kelompok, dia berpandangan bahwa pertahanan Hindia Belanda bukanlah suatu kepentingan bersama, melainkan hanya kepentingan para kapitalis Belanda. Dia mengemukakan sanggahannya dalam Sin Po tahun 1921 sebagai berikut.[77]
Jelaslah Fromberg dan Tjoe mempunyai pandangan yang berbeda tentang lahirnya nasion Hindia Belanda. Fromberg yang berpandangan asosiasi berpendapat bahwa nasion ini akan lahir, tetapi Tjoe tidak sependapat dan tetap mempertahankan nasionalisme Tionghoanya. Pandangannya itu bahkan juga membuatnya bertikai dengan Tek Kong. Tek Kong yang tidak betah tinggal di Tiongkok akhirnya memutuskan untuk menerima kekawulaan dan kembali ke Hindia Belanda. Dia akhirnya menerbitkan sebuah surat kabar Melayu (Indonesia) pada 1923 bernama Keng Po (koran yang bersaing) karena tidak bisa masuk lagi ke Sin Po.[14][79] Keyakinan Tjoe juga ditampilkan dalam buku berjudul Doea Kepala Batoe yang ditulis oleh Tjiat pada 1924. Buku tersebut berisi perdebatan antara Tjoe dan Yap. Yap sendiri adalah seorang anggota Chung Hwa Hui Nederland yang memiliki pandangan sama seperti Fromberg.[80] Tjoe dan perkembangan Sin PoSin Po semakin berkembang ketika berada di bawah kepemimpinan Tjoe.[81] Beberapa inovasi yang dilakukannya adalah menerbitkan Sin Po Chineesche Editie (edisi bahasa Tionghoa) pada 12 Februari 1921,[31] Bin Seng (versi lebih murah dari harian Sin Po) pada 12 Februari 1922[82] – dengan editor dirinya sendiri yang menggunakan nama pena Oen Tjip Tiong,[36] Sin Po Oost-Java Editie (edisi Jawa Timur di Surabaya yang kelak berubah namanya menjadi Sin Tit Po dan dipimpin oleh Liem Koen Hian)[83] pada Juli 1922,[84] dan Sin Po Wekelijksche Editie (edisi mingguan) pada 7 April 1923.[31][36] Pada 1 Desember 1922, Tjoe lantas mengundang beberapa tenaga muda seperti Ang Jan Goan (mantan murid dari Kay Lam Hak Tong yang mengajar di THHK Bandung)[85][86] dan Kwee Kek Beng (lulusan Hollandsche Chineesche Kweekschool atau sekolah guru Belanda untuk warga Tionghoa di Meester Cornelis – sekarang Jatinegara, Jakarta Timur) karena pekerjaannya semakin bertambah.[87][88] Goan sendiri paham mengenai bahasa Melayu, Inggris, dan Tionghoa.[85] Dia lantas menjadi pengikut Tjoe yang setia di kemudian hari.[89] Keduanya memang sudah dekat sejak lama karena Tjoe sering ke Bandung untuk berbincang dan bertukar pikiran dengan Goan. Saat itu, Tjoe baru ditinggal mati istri dan anaknya, sehingga dia hidup seperti bujangan. Menurut Goan dalam Sin Po Wekelijksche Editie tanggal 26 Desember 1925, istri dan anak-anak Tjoe meninggal sekitar tahun 1917.[90] Sementara itu, Suryadinata berspekulasi bahwa Tjoe pernah menikah sebanyak dua kali jika pernyataan tersebut benar.[57] Setelah menjadi pembantu redaksi tersebut, Goan juga mengambil haluan nasionalis Tionghoa dan menyokong pergerakan Indonesia. Pada 1925, dia menyiarkan tulisan Tjiat berjudul Bahaya Putih tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Tjoe. Artikel itu bermaksud mengimbangi tulisan orang kulit putih yang sering membicarakan tentang Bahaya Kuning. Tidakannya tersebut membuatnya diseret ke meja hijau. Sebelum perkara itu selesai, Goan juga menyiarkan berita tentang penembakan anjing gila yang mengakibatkan tewasnya dua orang pribumi karena keteledoran polisi Belanda. Hal ini juga mengakibatkan dirinya mendapat kesulitan, tetapi dia akhirnya dibebaskan dari kedua tuduhan itu.[91] Eksistensi Sin Po edisi Jawa Timur ternyata kalah dibandingkan dengan Pewarta Surabaya.[14] Hal inilah yang membuat para pegawainya mau memotong gajinya secara sukarela agar dapat bertahan. Tjoe mengatakan bahwa pemotongan tersebut dijadikan sebagai utang perusahaan dan akan dikembalikan kalau redaksi yang dipimpinnya itu mendapatkan keuntungan kembali.[92] Namun, Sin Po edisi Jawa Timur tetap tidak tertolong dan terpaksa gulung tikar. Pada 1924, saham percetakan itu kemudian dibeli oleh Hian dan namanya diubah menjadi Sin Tit Po tanggal 25 September 1932.[83] Demikian halnya dengan Bing Seng yang juga harus berhenti terbit karena menderita kerugian. Sin Po yang dapat bertahan hanyalah edisi Melayu dan Tionghoa pusat.[93] Karya sastraKesehatan Tjoe semakin menurun sekitar tahun 1924 dan dia jarang menulis mengenai hal-hal berbau politik. Dia lebih banyak membaca buku-buku filsuf dan menerjemahkan buku-buku Tiongkok klasik, yaitu Da Xue atau Thai Hak (Kitab Ajaran Besar), Zhong Yong atau Tiong Yong (Kitab Tengah Sempurna), Lun Yu atau Leon Gie (Kitab Sabda Suci), dan Mengzi atau Beng Tjoe (Kitab Bingcu) yang dimuatnya di Sin Po dengan nama samaran Hauw San Liang.[57][94] Keempat buku tersebut terkenal dengan nama Soe Sie atau Sìshū (Buku yang Empat)[95] – di Indonesia disebut dengan Su Si oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin)[96][97] – dan menjadi salah satu kumpulan kitab suci agama Konghucu.[98] Goan memang berpendapat bahwa Tjoe dapat memahami bahasa Tionghoa dan menerjemahkan karya klasik tersebut langsung dari bahasa aslinya. Namun menurut Suryadinata, Tjoe kurang memahami bahasa Tionghoa dan sering mengunjungi Sinse Pang Kam (seorang guru totok) untuk menanyakan kata-kata yang sukar dalam Sìshū. Dia dikatakan selalu mengantongi buku tersebut ketika berkunjung ke rumah sinse itu.[99] Tjoe tetap bersikap kritis terhadap ajaran Konghucu, meskipun telah menerjemahkan Sìshū dan menganggap Kong Hu Cu sebagai seorang guru besar kebudayaan Tionghoa. Salah satu yang dikritisinya adalah konsep Hauw (realisasinya berpengaruh kepada tiga alam, yaitu langit mempunyai ketertiban, bumi mempunyai kebenaran, dan rakyat mempunyai periiaku)[100] yang menyuruh agar anak-anak berbakti kepada orang tua. Menurut Tjoe, hal tersebut tidak wajar dan tidak memiliki dasar yang kuat – Suryadinata menganggap bahwa Tjoe dan Goan kurang mendalami kitab-kitab klasik ini. Berikut kritikan Tjoe yang dikutip dari tulisan Goan berjudul Almarhoem Tjoe Bou San.[101]
Suryadinata menyebut bahwa Tjoe juga mempelajari Zhuangzi (Chuang Tzu) dan Daodejing (Tao Te Ching). Menjelang akhir kehidupannya, pemikirannya lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Lao Zi (Lao Tzu) yang menganjurkan wu wei atau boet wi (tidak berbuat apa-apa).[101] Wu wei yang menjadi konsep sentral dalam Taoisme bukanlah sesuatu yang dapat dipahami melalui wacana intelektual saja. Namun, kedalamannya hanya dapat diterima oleh seseorang ketika mereka sudah cukup rendah untuk melepaskan pengendalian hidup dan menjalaninya dengan prinsip spontanitas.[102][103] Lao menjelaskan bahwa fenomena harmonis dengan Tao adalah fenomena alami, misalnya sebatang pohon hanya akan tumbuh tanpa mencoba tumbuh. Lebih lanjut, menurutnya tujuan praktik spiritual dalam diri manusia adalah mempertahankan perilaku yang alami.[104][105] Salah satu perkataan dari Lao yang memberikan pengaruh dalam diri Tjoe menjelang ajalnya adalah “Selama kita tidak berbuat apa-apa, tidak akan ada yang tidak diperbuat. Kita memiliki kekhawatiran lantaran sadar diri, apalagi yang kita khawatirkan apabila hal tersebut ditiadakan?” Goan mensinyalir bahwa Tjoe kemudian jarang menulis lagi karena perkataan itu. “Seseorang yang memakai kacamata Lao untuk memandang urusan dunia akan mendapati kenyataan bahwa dunia tidak begitu penting,” ungkap Goan.[55] Tjoe pernah berkata kepada Goan bahwa dirinya khawatir apabila nantinya tidak dapat menulis lagi. Dia sering menyatakan keinginannya untuk hidup dengan sederhana dan tinggal dalam satu sudut aman yang terpisah dari kekalutan dunia. Goan melihat konflik batin yang dialami Tjoe – di satu sisi dia menampilkan diri sebagai seorang pejuang, sedangkan di sisi lain dia menganut filsafat yang pasif.[56] Suryadinata menyatakan bahwa filsafat pasif yang dianut oleh Tjoe itu baru dianutnya setelah dia sering mengalami sakit dan banyak merenung.[106] Goan menambahkan bahwa Tjoe juga tertarik kepada Bhagawadgita yang ditulis oleh Resi Byasa atau Sri Krishna Dvipayana Vyasa.[56] Hal inilah yang membuat Suryadinata berkesimpulan bahwa Tjoe lebih cenderung kepada filsafat klasik yang pasif dibandingkan dengan nasionalisme Tionghoa ketika kesehatannya semakin menurun.[106] Tjoe memang lebih dikenal sebagai seorang wartawan dan pemimpin nasionalisme Tionghoa, dibandingkan dengan seorang sastrawan produktif pengarang novel.[107] Menurut Goan, Tjoe senang membaca buku kesusastraan sajak-sajak kuno Tiongkok gubahan Li Po (juga dikenal dengan Li Pai, Li Bai, dan Li T’ai -pai) dan Du Fu (Tu Fu) dari Dinasti Tang, serta karya William Shakespeare seperti Hamlet, Macbeth, dan Romeo dan Julia.[108] Menurut Goan, novel yang digemari oleh Tjoe umumnya bercerita tentang pengorbanan dalam percintaan.[108] Pandangan tersebut sebenarnya telah tercermin dalam novel yang telah dihasilkannya sejak tahun 1913. Novel terjemahan pertamanya adalah Penghidoepan Radja Belgie, Satoe Tjerita jang Betoel Telah Kedjadian di Europa yang terbit pada 1913 – sumber novel tersebut tidak diketahui. Pada 1917, dia menerbitkan dua buah novel dengan nama samaran Hauw San Liang,[109] yaitu Satoe Djodo jang Terhalang dan Tjerita Pendjahat di Parys. Satoe Djodo jang Terhalang mengambil latar belakang di Bogor yang mengisahkan tentang tragedi percintaan antara dua pemuda-pemudi Tionghoa, keduanya dipisahkan oleh orang tua si gadis yang ingin menjodohkannya dengan lelaki pilihan mereka,[10][110] sedangkan Tjerita Pendjahat di Parys adalah terjemahan novel berbahasa Prancis yang tidak diketahui sumbernya dan pertama kali diterbitkan di Tjhoen Tjhioe.[111] Pada 1918, Tjoe menerbitkan empat buah novel, yaitu Djadi Korbannja Napsoe atawa Siotjia Idoeng Poeti: Satoe Tjerita jang Belom Lama Soeda Kedjadian di Soerabaja, Dengan Setalen Mengitari Boemi – terjemahan novel berbahasa Prancis berjudul Les Cinq Sous de Lavarède yang ditulis oleh Paul d'Ivoi dan Henri Chabrillat, serta Binasa Lantaran Harta yang disambung dengan Badjingan Besar (juga terbit pada tahun yang sama). Novel Binasa Lantaran Harta ditulis Tjoe dengan nama samaran San Ling Hauw.[111][112] Tema ceritanya mengenai kejahatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki Tionghoa yang tamak karena harta, sedangkan latar belakang cerita ini adalah di Jawa tahun 1912.[113] Salah satu novel terbaiknya adalah The Loan Eng yang terbit pada 1922 dan ditulis dengan nama samaran Getoel Gaet. Novel itu menceritakan tentang seorang gadis bernama Loan Eng yang diasuh oleh pamannya. Ketika seorang pemuda yang bernama Yo Kim Sioe mengetahui bahwa paman Eng akan meninggalkan seluruh hartanya kepada gadis itu, Yo yang tidak pandai dan sangat ambisius mulai memacari Eng. Menurut Nio Joe Lan (penulis buku sastra Indonesia-Tionghoa), Tjoe pandai menggunakan kata-kata dan bahasa percakapan dalam novelnya tersebut. Hal inilah membuat The Loan Eng menjadi salah satu novel terbaik yang ditulis oleh warga peranakan sebelum Perang Dunia II.[114] Novel ini disusul dengan Lima Tahoen Kemoedian yang juga terbit pada 1922.[113] Tjoe memang tidak banyak menulis karangan mengenai politik dan masyarakat Tionghoa di Sin Po setelah kesehatannya menurun. Namun, serial novelnya berjudul Salah Mengerti dan Hoen Tjeng Lao atau Fenzhuang Lou (Kamar Hias Wanita) masih dimuat dalam mingguan Sin Po pada 1925 dan baru selesai setelah dia meninggal.[1][115] Dia meninggal pada 3 November 1925 ketika berusia 34 tahun.[1] Sehari sebelumnya, dia masih masuk ke kantor dan tidak ada tanda apa pun. Menurut Sin Po, kematiannya disebabkan oleh penyakit paru-paru. Tjoe meninggalkan seorang istri, dua orang anak perempuan, dan ide nasionalisme Tionghoanya. Setelah kematiannya, beberapa teman dekatnya mengambil alih tugasnya di Sin Po. Goan lantas diangkat menjadi direktur dan Kek Beng menjadi pemimpin redaksi.[88][116][117][118] Daftar karya
Lihat pulaKeterangan
Rujukan
Daftar pustakaBuku
Periksa
Jurnal
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Tjoe Bou San.
|