Kwee Tek Hoay
Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886 – 4 Juli 1951) adalah sastrawan Melayu Tionghoa dan tokoh ajaran Tridharma (Sam Kauw Hwee). Ia banyak menulis karya sastra terutama novel dan drama, kehidupan sosial, dan agama masyarakat Tionghoa peranakan. Karyanya yang terkenal di antaranya adalah Drama di Boven Digoel, Boenga Roos dari Tjikembang, Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia, dan Drama dari Krakatau. RiwayatKwee Tek Hoay adalah anak bungsu dari pasangan Kwee Tjiam Hong dan Tan Ay Nio. Sejak usia 8 tahun, Kwee Tek Hoay masuk sekolah Tionghoa yang menggunakan bahasa pengantar Hokkian. Namun dia sering membolos karena tidak mengerti bahasa pengantar yang digunakan itu. Pendidikan formal terakhir yang ditekuninya setara dengan sekolah dasar masa kini. Setelah itu ia belajar dibawah bimbingan oleh seorang guru. Pada masa itu, keturunan Tionghoa tidak diperkenankan masuk sekolah Belanda, jika bukan anak seorang bangsawan atau berpangkat.[1] Kwee Tek Hoay belajar tata buku dan akuntansi dari seorang guru sekolah Belanda. Dia juga giat mempelajari bahasa Melayu, Belanda dan Inggris yang kemudian membuatnya sangat gemar membaca buku-buku dalam ketiga bahasa tersebut. Kwee Tek Hoay menikah dengan Oeij Hiang Nio pada bulan Februari 1906. Mereka dikaruniai tiga anak, yakni seorang perempuan dan dua anak lelaki. Putri sulungnya yang bernama Kwee Yat Nio mengikuti jejak Kwee Tek Hoay menekuni bidang jurnalistik. Sedangkan kedua adiknya, Kwee Tjoen Gin dan Kwee Tjoen Kouw lebih tertarik dalam perdagangan. Pada 4 Juli 1952 Kwee Tek Hoay wafat di Cicurug, Sukabumi akibat dianiaya perampok yang menyatroni rumahnya. Dia merupakan orang pertama yang minta jenazahnya diperabukan dan sejak saat itu banyak orang Tionghoa mengikuti jejaknya.[2] Budha TridharmaKwee Tek Hoay adalah penganut Budha Tridharma yang taat. Ia menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama yang berisikan ajaran agama Buddha dengan nama Moestika Dharma (1932-1934). Dari majalah ini diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist Association di bawah kepemimpinan E. Power dan Josias van Dienst. Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma dan mengacu pada aliran Buddha Theravada.[3] Perkembangan zaman yang mempengaruhi peranakan Tionghoa membuat mereka mengalami krisis identitas kebudayaan dan agama. Kwee Tek Hoay kemudian berusaha mengembalikan kebudayaan leluhurnya dengan menulis tentang "Agama Tionghoa" yang merupakan gabungan dari tiga agama, yakni Konfusionisme, Buddhisme dan Daoisme (Taoisme). Pemikirannya tentang tiga agama itu kemudian dimuat dalam majalah Sam Kauw Gwat Po.[4] KepenulisanSebagai wartawanKwee Tek Hoay adalah seorang wartawan dan tulisannya telah dimuat di mingguan Li Po, surat kabar Bintang Betawi, dan Ho Po. Salah satu tulisannya yang terkenal dan mendapat sorotan masyarakat pada masa Perang Dunia I adalah Pemandangan Perang Dunia I Tahun 1914 - 1918 dimuat di surat kabar Sin Po.[5] Tahun 1925 Kwee Tek Hoay menjadi kepala redaksi di harian Sin Bin di Bandung. Menjabat pemimpin redaksi mingguan Panorama (1926-1932), majalah Moestika Panorama (1930-1932) yang berganti nama menjadi ''Moestika Romans''. Tahun 1932-1934 Kwee Tek Hoay mendirikan mingguan Moestika Dharma dan majalah bulanan ''Sam Kauw Gwat Po'' (1934-1947) yang khusus membahas agama, filsafat dan teosofi. Pada tahun 1932 Kwee Tek Hoay mendirikan sebuah percetakan dan penerbitan bernama Moestika, yang semula berkantor di Batavia (sekarang dikenal sebagai Jakarta) dan dipindahkan ke Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat tahun 1935. Sebagai sastrawanSebagai sastrawan Kwee Tek Hoay mulai menulis tahun 1905 ketika novelnya yang pertama berjudul Yoshuko Ochida atawa Pembalesannja Satoe Prampoean Japan diterbitkan secara bersambung di majalah Ho Po di Bogor. Tahun 1919 menulis sebuah drama 6 babak berjudul Allah jang palsoe. Drama kedua terbit pada tahun 1924 berjudul Djadi Korbannja Perempoean Hina. Itulah awal dari karier sastra Kwee Tek Hoay. Tulisannya Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia yang merupakan serial dalam Moestika Romans edisi Agustus 1936 - Januari 1939 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh sinolog terkemuka Lea E. Williams dengan judul "The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia".[6] Kwee Tek Hoay banyak menulis karya drama. Dalam sebuah pengantar untuk dramanya yang berjudul Korbannya Kong Eng, antara lain ia mengakui bahwa dalam penulisan drama ia belajar dari seorang dramawan Norwegia abad ke-19, Henrik Ibsen. Dengan pernyataan itu jelas Kwee telah meletakkan dasar realisme yang lebih kokoh di dalam penulisan drama Indonesia.[7] KaryaDrama
Novel
Keagamaan
Sosial politik
LihatPranala luar
Rujukan
|