R. Bintoro
Mayor Jenderal TNI (Purn.) Raden Bintoro (23 Desember 1924 – 13 Juni 1986) adalah seorang perwira militer angkatan darat Indonesia. Jabatan terakhirnya di lingkungan militer adalah sebagai Wakil Panglima Komando Wilayah Pertahanan IV. Riwayat HidupKarier militerIa memulai karir militernya setelah mengikuti Renseitai (unit pelatihan perwira) pada masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Dia kemudian ditempatkan di komando Pembela Tanah Air — unit sukarelawan paramiliter — di Kedu setelah menyelesaikan pendidikan dari Renseitai.[1] Pasca Proklamasi KemerdekaanSetelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Bintoro masuk ke dalam Tentara Nasional Indonesia yang baru dibentuk dan menjadi Panglima Kecamatan Militer ke-296, yang meliputi Kecamatan Parakan, Temanggung, dan Candiroto. Dia memegang komando sampai Operasi Kraai pada Desember 1948.[1] Bintoro diangkat sebagai Kepala Staf Daerah Militer Merdeka pada akhir 1950-an. Ia menjadi penjabat sementara pangdam setelah pangdam sebelumnya, Sunarijadi, ditarik untuk mengikuti pendidikan militer lanjutan.[2] Setelah beberapa lama menjabat sebagai kasdam, Bintoro diinstruksikan untuk melanjutkan pendidikan militer di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat dan lulus pada tahun 1963.[1] Bintoro menjadi Panglima Daerah Militer Cenderawasih (Papua) pada 23 Maret 1966, menggantikan Kartidjo. Dia kemudian meluncurkan kompetisi untuk lagu pawai wilayah militer, dengan Bintoro sendiri sebagai penulis liriknya. Sebuah kiriman yang dibuat oleh musisi Nuskan Sjarif dinobatkan sebagai pemenang kompetisi dan pawai tersebut diresmikan pada 17 Agustus 1966.[3][4] Dua bulan setelah diangkat menjadi panglima, Bintoro mengganti kepala stafnya dengan yang baru.[5] Dia juga melakukan beberapa reorganisasi distrik militer dan batalyon.[6] Setahun kemudian, pada tanggal 29 Maret 1967, ia melancarkan operasi dengan nama sandi Bharatayudha, yang bertujuan untuk menumpas kelompok pemberontak di bawah pimpinan Ferry Awom dan Lodewijk Mandatjan dan untuk mengamankan proses Act of Free Choice.[7] Operasi tersebut melibatkan pasukan dari Batalyon Infanteri 314 Jawa Barat, Batalyon Lintas Udara 700 Sulawesi Selatan, Batalyon Brimob 935, beberapa peleton dari Korps Marinir Indonesia, Paskhas, Komando Pasukan Cepat, dan Komando Pasukan Khusus. Operasi itu mencapai tujuan awalnya, dengan sebagian besar kelompok pemberontak dipecah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil dan kurang kuat. Sekitar 73 tentara pemberontak tewas dan 60 ditangkap selama operasi ini, sementara 3.539 tentara menyerah. Namun, operasi itu mengejutkan dan membuat trauma sebagian besar orang Papua, karena mereka tidak pernah mengira orang Indonesia akan melancarkan perang terbuka melawan kelompok-kelompok ini.[7] Ia meninggalkan jabatannya tidak lama setelah operasi dimulai pada 25 Agustus 1968.[8] Setelah meninggalkan jabatannya, Bintoro diangkat sebagai Inspektur Penelitian Moril dan Mental di Departemen Pertahanan dan Keamanan.[9] Jabatan tersebut tidak dipegangnya dalam waktu lama, karena dia diperintahkan untuk mengikuti kursus reguler di Institut Ketahanan Nasional. Ia mengikuti kursus dari 13 Juli 1970 sampai 6 Januari 1971. Ia kemudian menjadi Wakil Panglima Komando Daerah Keempat — yang meliputi Maluku dan Papua — pada 24 Agustus 1976 dan menyerahkan jabatannya pada bulan Februari 1978. Dia pensiun dari militer pada tahun yang sama.[1] Bintoro meninggal pada 13 Juni 1986[1] dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata.[10] Referensi
Bibliography
|