Njono
Njono atau Njono Prawiro (EYD: Nyono, 28 Agustus 1925 – Oktober 1968) adalah seorang aktivis buruh dan anggota Politibiro Partai Komunis Indonesia (PKI). Njono dikenal sebagai Sekretaris Jenderal dan Ketua Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan anggota Politbiro CC PKI yang terlibat dalam Gerakan 30 September. Sebelumnya, Njono merupakan anggota Partai Buruh Indonesia (PBI) dan sempat menjadi ketua sementara di partai tersebut. Kehidupan awalNjono lahir di Cilacap pada 28 Agustus 1925.[1][a] Ia adalah putra sulung dari Sastroredjo, seorang pegawai jawatan kereta api. Pada tahun 1931, Njono masuk Sekolah Rakyat Taman Siswa (Taman Muda), yang diselesaikannya pada tahun 1938, kemudian meneruskan ke Taman Guru Muda, namun tidak sampai selesai. Ia lalu bekerja sebagai wartawan muda di surat kabar Asia Raya di Jakarta semasa pendudukan Jepang.[3][4] Awal karir politikPada awal kemerdekaan, Njono menjabat sebagai anggota Badan Pekerja KNI Djakarta Raya sekaligus menjadi anggota KNIP.[3][5] Njono juga memimpin Serikat Buruh Trem di Kramat sebelum masuk Barisan Buruh Indonesia (BBI) dan menjadi pimpinan BBI cabang Jakarta.[4][6] Njono lalu terpilih menjadi ketua sementara Partai Buruh Indonesia (PBI) pada 26 Juli 1946, menggantikan Sjamsu Harja Udaja yang ditangkap setelah kegagalan Peristiwa 3 Juli dengan Setyadjit sebagai wakil sementara.[6] Pada November 1946, sebagai bagian dari perundingan antara Belanda dengan Indonesia menjelang Perundingan Linggarjati, berbagai subkomite dibentuk atas usul komisi gabungan untuk urusan sipil. Adapun Njono menjadi anggota dalam subkomite urusan buruh.[7] Guna memperbaiki kondisi partai yang terpuruk, Njono mengadakan konferensi partai di Solo pada 5 Oktober 1946 untuk melakukan "koreksi diri, seleksi, dan sentralisasi"[b], yakni dengan mengubah haluan partai menjadi lebih moderat sehingga mampu menarik dukungan yang lebih luas dari kalangan buruh. Pernyataan-pernyataan kebijakan partai yang menegaskan bahwa partai berhaluan Marxis-Leninis dan menyinggung pertentangan kelas dihapus.[6] Berdasarkan hasil Kongres PBI di Malang pada tanggal 6 April 1947, Njono terpilih sebagai wakil ketua, sedangkan Setyadjit menjadi ketua partai.[8][9] Menjadi pimpinan di SOBSINjono menjadi Sekretaris Jenderal SOBSI sejak November 1946.[4] Dia menjadi ketua delegasi SOBSI dalam Konferensi WFTU yang kedua di Beijing dan berangkat pada tanggal 5 Januari 1950. Njono kemudian menjadi ketua SOBSI setelah kembali dari kunjungan tersebut pada tanggal 19 November.[10][11] Selain itu, sejak 1953, Njono juga diangkat menjadi Wakil Presiden Federasi Serikat Buruh Seluruh Dunia (WFTU).[3] Di bawah kepemimpinannya, SOBSI semakin didominasi oleh PKI, sebuah proses yang dimulai sejak akhir Oktober 1949 ketika SOBSI kembali beraktivitas setelah berhenti akibat penumpasan Peristiwa Madiun. Pada pertengahan 1951, hampir seluruh anggota SOBSI tunduk pada kepemimpinan PKI. Serikat-serikat yang bernaung di dalamnya juga semakin didominasi atau dipengaruhi oleh PKI.[11] Pada September 1960, Njono mengusulkan pembentukan dewan pekerja di setiap perusahaan milik negara dengan status sebagai badan penasihat untuk "segala urusan". Usulan ini lahir sebagai upaya kader-kader SOBSI untuk mendominasi bidang perekonomian dan memberikan serikat-serikat komunis sebuah penyeimbang yang mampu meningkatkan kesejahteraan anggota mereka. Oleh karenanya, usulan ini segera didukung oleh organisasi-organisasi beraliran komunis.[12] Usulan ini diwujudkan oleh pemerintah, tetapi para kader dari serikat buruh dan tani hanya sebatas menjadi penasihat tanpa memegang kendali apapun terhadap manajemen produksi, berbeda jauh dari yang diharapkan SOBSI.[12] Menjadi anggota PKIMeskipun memiliki hubungan yang dekat dengan Aidit dan seringkali dianggap telah menjadi anggota PKI sejak lama, Njono baru secara resmi mengajukan permohonan untuk bergabung dengan PKI pada bulan Desember 1954.[13] Dia terpilih menjadi anggota DPR mewakili Fraksi PKI pada tahun 1955.[13] Njono kemudian dilantik sebagai calon anggota Politbiro sebagai hasil Kongres Nasional PKI ke-VI yang diselenggarakan pada tanggal 7-14 September 1959 dan resmi menjadi anggota Politibiro pada Februari 1963.[14] Njono juga menjadi ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Djakarta Raya sejak September 1964. Sebagai akibatnya, dia berhenti dari jabatannya sebagai Ketua Dewan Nasional SOBSI.[15][16] Keterlibatan dalam G-30-SNjono berperan dalam membagi Jakarta menjadi enam sektor, di mana pada tiap sektor dipersiapkan sukarelawan sipil sebagai tenaga cadangan dalam melancarkan operasi. Sebagian besar sukarelawan berasal dari Pemuda Rakyat dan telah menerima latihan militer di Lubang Buaya. Akan tetapi, hanya sektor Gambir yang bergerak dan menjalankan tugas untuk menduduki Gedung Telekomunikasi (kini Gedung Telkom STO Gambir).[17] Selain itu, dia juga menyusun sebuah jaringan yang terdiri dari berbagai pos yang kemungkinan bertempat di rumah-rumah anggota atau kantor-kantor partai. Pos-pos tersebut akan diisi oleh anggota PKI di tingkat Comite Seksi (CS) dan diperintahkan untuk bersiaga dan terus mendengarkan radio saat aksi dilancarkan. Njono berencana untuk menggerakkan mereka agar melakukan demonstrasi apabila gerakan dapat bertahan lebih lama.[18] KematianAtas keterlibatannya dalam Gerakan 30 September, Njono ditangkap oleh tentara pada 3 Oktober 1965. Pada tanggal 14 Februari 1966, Njono menghadapi persidangan di Gedung Bappenas di Menteng dan divonis hukuman mati pada tanggal 21 Februari lewat putusan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).[19][20] Njono akhirnya menjalani hukuman mati pada bulan Oktober 1968.[21] Kehidupan pribadiNjono memiliki satu putri sebagai anak semata wayangnya dan seorang istri yang bernama Siti Mariam.[22] Istrinya ditahan sejak Oktober 1965 di Penjara Bukit Duri, sebelum dipindahkan pada bulan April 1971 ke Kamp Plantungan. Menjelang kematiannya, Njono menulis tiga puisi, salah satunya ditujukan untuk keluarga yang akan ditinggalkannya.[23][24] CatatanReferensi
Daftar Pustaka
|