Sjam Kamaruzaman
Sjam Kamaruzaman (30 April 1924 – 30 September 1986) atau juga dikenal Kamaruzaman bin Achmad Mubaidah dan Sjam, adalah anggota kunci dari Partai Komunis Indonesia yang telah dieksekusi karena bagian daripada kudeta 1965 yang lebih dikenal sebagai peristiwa Gerakan 30 September. Kehidupan awalMenurut kesaksian di ruang sidangnya di pengadilan karena terlibat dalam Gerakan 30 September, Sjam lahir di Tuban, Jawa Timur pada tahun 1924. Dia adalah keturunan dari pedagang Arab yang menetap di pantai utara Jawa. Dia mengenyam pendidikan di sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian sekolah agronomi di Surabaya. Sekolah agronomi ditutup ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda pada tahun 1942. Sjam meninggalkan studinya sebelum lulus dan pergi ke Yogyakarta, disana ia masuk di sekolah bisnis. Dia adalah anggota dari kelompok Pathuk, pemuda yang melawan Jepang di sekitar distrik Pathuk Yogyakarta. Dia berpartisipasi dalam serangan terhadap kantor pemerintah Jepang utama yang berada di Yogyakarta pada September 1945 ketika kelompoknya menurunkan bendera Jepang dan menaikkan bendera Indonesia merah putih.[1] Awal karier politikPada tahun 1947 pemimpin Partai Sosialis mengirim lima pemuda, termasuk Sjam, ke Jakarta untuk membantu para pejabat republik menyelundupkan perbekalan dan uang ke Yogyakarta, pada saat menjadi ibu kota Indonesia. Setibanya di Jakarta, Sjam menghubungi pejabat republik. Sjam bekerja di Departemen Informasi dan tinggal di Jalan Guntur. Dia bertemu dengan orang-orang yang telah belajar di Belanda dan belajar Marxisme-Leninisme seminggu sekali. Sjam adalah seorang PNS tahun 1947-1948, dan mengorganisir persatuan buruh pada periode 1948-1950. Bersama dengan empat anggota kelompok lainnya, Sjam bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1949, kemudian bergabung dengan bagian militer dari Departemen Organisasi PKI pada tahun 1950-an. Dia memiliki sejumlah besar kontak di militer yang dia dikenal dalam kelompok Pathuk.[1] Namun, meskipun Sjam mengaku di pengadilan bahwa ia bergabung PKI pada tahun 1949, menurut Mortimer ia terdaftar (dengan nama Kamarusaman) di Suara Sosialis, sebagai anggota Partai Sosialis ia menjalani pelatihan intensif di Jakarta.[2] Menurut Roosa, Sjam tidak mungkin menjadi anggota dari kedua organisasi Komunis dan Partai Sosialis pada saat yang sama pada tahun 1950-an.[1] Bersinar bersama PKIRoosa mengklaim bahwa Sjam membantu pemimpin PKI D.N. Aidit dan M.H. Lukman "muncul kembali" di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta setelah mereka berpura-pura pergi ke pengasingan setelah Peristiwa Madiun pada tahun 1948 ketika ada kudeta dari sayap kiri yang gagal. Sjam membantu kedua orang itu melewati imigrasi.[1] Pada tahun 1964 atau 1964, Sjam, diangkat menjadi kepala Biro Khusus PKI.[3] Ini terdiri dari lima laki-laki: Sjam sendiri, Pono (Supono Marsudidjojo]), asisten Sjam, Bono, Wandi dan Hamim. Tiga orang pertama memiliki tugas menghubungi personil militer untuk mengumpulkan informasi. Semua anggota kelompok ini memiliki pekerjaan pada siang hari untuk menyembunyikan keanggotaan partai dan fungsi mereka yang sebenarnya.[4] Kelima orang bertemu sebulan sekali untuk bertukar informasi, yang kemudian Sjam akan menyampaikan kepada Aidit, yang kemudian pada gilirannya akan memberi perintah. Dalam PKI, hanya Aidit dan beberapa anggota senior partai mengetahui keberadaan Biro Khusus, dan sejumlah langkah diambil untuk menjamin kerahasiaan yang dipertahankan. Untuk orang luar, Sjam, Pono dan Bono tampaknya menjadi mata-mata militer.[5] Ketiga orang ini memiliki kartu resmi yang memungkinkan mereka mendapat akses ke pangkalan Angkatan Darat, dan masing-masing bisa memperbaiki kontrak mereka sendiri. Pada pengadilannya tahun 1967, Sjam mengatakan bahwa upayanya untuk merekrut tentara mulai dengan pendekatan yang ramah, kemudian jika tidak ada perlawanan yang dihadapi, dipindahkan secara bertahap pada teori Marxis, meskipun tujuannya adalah untuk merekrut informan daripada dijadikan anggota partai.[6] Sebagai imbalannya, Sjam dan rekan-rekannya menyampaikan informasi kepada militer tentang pemberontakan yang dilakukan Islamis yang sedang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Mengingat bahwa banyak dari para pemberontak yang sengit dan anti-komunis, ini menjadi kepentingan PKI.[7] Peran dalam Gerakan 30 SeptemberMenurut kesaksian Sjam di jejaknya, pada pertengahan 1965, Biro Khusus PKI di bawah Sjam telah cukup sukses menyusup ke militer, dan dalam kontak yang teratur dengan ratusan petugas.[8] Situasi di Indonesia pada waktu itu sangat tegang, dengan inflasi merajalela dan rumor dengan daftar kematian yang disusun oleh komunis dan non-komunis. Dalam jangka sampai Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober 1965, dengan sejumlah besar pasukan menuju ibu kota, banyak orang mengharapkan kudeta.[9] Pemimpin PKI D.N. Aidit meminta Sjam untuk menggunakan kontak untuk mengetahui apakah rumor itu benar. Sjam menyimpulkan bahwa mereka disana, dan memberitahu Aidit.[10] Pada malam tanggal 30 September 1965, kelompok yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 30 September menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat Indonesia. Keesokan paginya, anggota bersenjata kelompok mengambil alih alun-alun di pusat Jakarta, dan mengumumkan melalui radio nasional Indonesia bahwa mereka telah bertindak untuk menggagalkan kudeta yang direncanakan oleh sekelompok jenderal Angkatan Darat.[11] Pada subuh keesokan harinya, Sjam, bersama dengan Presiden Sukarno, Wakil Komandan Angkatan Udara Marsekal Omar Dani dan pemimpin PKI D.N. Aidit dan semua pemimpin digerakkan ke Bandara Halim, pinggiran Jakarta.[11] Roosa percaya bahwa bukan bawahan Aidit, Sjam sebenarnya bertanggung jawab atas gerakan tersebut. Dia memimpin setelah yakin dirinya diperlukan untuk mencegah kudeta militer, dan telah membujuk para perwira yang setia kepadanya dan PKI untuk bergabung dengan gerakan tersebut.[12] Setelah berjanji pada Aidit bahwa rencana akan bekerja, Sjam bertekad untuk melanjutkan, meskipun berkekurangan karena komunikasi dan perencanaan yang buruk. Bahkan setelah kegagalan untuk menculik staf militer Nasution, pembunuhan yang tidak direncanakan dari para jenderal yang diculik dan kegagalan untuk memperoleh restu dari Sukarno, Aidit dan Sjam bersikeras tetap melanjutkan. Namun, setelah menjadi jelas bahwa gerakan di Jakarta menjadi gagal total, Sjam dan Aidit memutuskan bahwa pemimpin PKI harus terbang ke Jawa Tengah untuk melanjutkan perjuangan.[13] Sjam dibawa ke Jakarta, dan akhirnya ditangkap pada Maret 1967.[14] Kesaksian di pengadilan dan eksekusiDi pengadilan sebagai saksi selama persidangan karena orang lain menuduh atau bertanggung jawab atas Gerakan 30 September, Sjam mengaku ia telah bertindak di bawah perintah Aidit. Ia dijatuhi hukuman mati pada tahun 1968, tetapi terus muncul sebagai saksi dalam berbagai masalah terkait, di mana ia terus mengungkapkan rincian lebih lanjut untuk menunda eksekusi. Dia akhirnya dieksekusi pada bulan September 1986.[15] ReferensiReferensi umum
Catatan
|